Valentine yang tak Dirindukan

Patung bertubuh manusia berkaki kambing berdiri tegak di pelataran sebuah kuil. Kepalanya bertanduk, badannya kekar.

Satu yang menonjol dari patung tanpa busana tersebut adalah alat reproduksi pria yang terlihat jelas. Bagian terakhir menjadi sangat penting karena ini adalah patung Lupercus, dewa kesuburan.

Di hadapannya, pendeta menyembelih seekor kambing sebagai persembahan. Lalu dengan mengenakan baju kulit kambing, setelah minum anggur, pendeta berkeliling kota Roma dan menyentuh siapa saja yang mereka jumpai di sepanjang jalan.

Setiap warga antusias mengikuti ritual ini, terlebih para gadis belia. Mereka beramai-ramai turun ke jalan hanya agar bisa menyentuh kulit kambing tersebut. Percaya akan dikarunia kesuburan dan bisa melahirkan dengan mudah jika berhasil menyentuhnya.

Deskripsi di atas adalah sekilas gambaran festival Lupercalia yang dirayakan setiap 15 Februari di masa Romawi Kuno untuk mengusir roh jahat, membersihkan kota, meraih kesehatan dan terpenting, mendapatkan kesuburan. Festival yang kemudian menjadi cikal bakal Valentine’s Day. 

Lalu kenapa sekarang Valentine’s Day dirayakan tanggal 14 Februari?

Adalah Paus Gelasius di abad kelima yang menetapkan hari Valentine pada tanggal 14 Februari.  Dengan menetapkan 1 hari sebelum festival Lupercalia maka diharapkan festival kuno tersebut akan dilupakan, dan digantikan dengan ingatan akan tokoh yang merepresentasikan gereja, bukan dewa kuno.  Konon nama diambil dari Santo Valentinus yang dihukum mati kaisar karena merestui pernikahan dua kekasih sekalipun dilarang kaisar yang berkuasa.

Bisa dikatakan usaha sang paus berhasil. Masyarakat kini melupakan ajaran Romawi kuno dan menganggap Valentine sebagai tradisi Nasrani.

Dari abad ke abad “pemasaran”  tradisi ini makin sukses dan kini dianggap sebagai perayaan umum yang diperingati segenap penduduk dunia.

Saat ini popularitas Valentine’s  Day menyaingi perayaan hari Natal.  Setiap tahun 1 miliar kartu Valentine dikirim di seluruh dunia. Sebanyak lima juta cokelat dihadiahkan dan 220 juta bunga mawar diberikan. Senilai lebih dari 50 triliun rupiah digunakan di seluruh dunia untuk belanja keperluan Valentine.

Dakwah, bagaimanapun adalah sebuah pemasaran, dan tradisi Valentine adalah salah satu produk yang berhasil dipasarkan dengan sangat baik sehingga mendunia, dan brand-nya mampu mencitrakan agama Nasrani sebagai agama kasih sayang. Sesuatu yang bisa diambil pelajaran bagi siapa saja.

Lalu bagaimana Islam memandangnya?

Sederhananya, jika Muslim merayakan Hari Valentine, maka mereka sudah menjadi korban marketing perayaan tersebut. Padahal dalam sejarah Islam, kita bisa melihat betapa penting umat Islam untuk mempunyai ciri khas, berkepribadian dan membedakan diri dari yang lain.

Lihat sejarah adzan. Ketika umat Islam ingin menemukan cara memanggil untuk shalat, mereka berdiskusi. Sepakat tidak memakai loceng, terompet dan cara yang sudah dilakukan agama lain, sampai akhirnya muncul petunjuk untuk menggunakan metode adzan.

Lihat pula sejarah tahun Hijriyah. Perhitungan berdasarkan bulan sendiri sudah merupakan tradisi Arab, akan tetapi pemilihan kapan dimulainya tahun Hijrah berbeda. Mereka menghitung dari saat Hijrah Rasul, bukan berdasarkan kelahiran sebagaimana kebanyakan budaya lain.

Begitu juga memanjangkan jenggot dan mencukur kumis, salah satu cara membedakan diri. Bahkan jika kita analisa sejarah, ketika Paus Gelasius memutuskan mengadakan perayaan Valentine’s Day, di dalamnya ada semangat membedakan diri dari ajaran Romawi kuno, sekaligus juga strategi menghilangkan tradisi tersebut dengan memilih waktu satu hari lebih cepat.

Dengan semangat ini, umat Islam seharusnya juga mengabaikan Valentine’s Day. Mewayakannya membuat umat Islam tidak membedakan diri, lebih parah justru mencitrakan Islam seolah tidak punya hari kasih sayang—padahal dalam Islam, kasih sayang seharusnya dirayakan setiap hari.

Lebih buruk lagi Hari Valentine, kini mempunyai makna lebih sempit. Kasih sayang diidentikkan sebagai hubungan bersama kekasih. Dan semakin sempit diartikan  dengan melakukan hubungan intim bersama pasangan yang belum halal, sebagai puncak perayaannya.

Tidak sedikit gadis muda yang menyerahkan kesucian di saat pada Hari Velentine.  Sebuah perusahan cokelat menjual paket valentine dengan hadiah kondom, melihat fenomena meningkatnya penjualan kondom setiap menjelang Hari Valentine, bahkan pernah sampai 70 persen.

Jika seorang  Muslim ikut merayakan, maka secara tidak langsung ia juga ikut memopulerkan budaya pacaran dan free sex.

Karena itu penting mengingatkan keluarga-keluarga muslim untuk tidak perlu bersemangat bahkan menghindari  hari Valentine.

Tentu tidak harus melarang umat lain merayakannya, karena itu bagian dari kebebasan beragama, tapi bagi seorang Muslim ia tidak lebih dari Valentine yang tak Dirindukan.

Oleh : Asma Nadia
Sudah diterbitkan di Republika Online  17/02/2010
Kissparry (WN)

Tinggalkan Balasan

Eksplorasi konten lain dari Kissparry

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca

Eksplorasi konten lain dari Kissparry

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca