Body Istri Tetangga yang Sexy Jangan Diurusi, Nasihat Emha Ainun Nadjib

Tentu, masing-masing suami punya penilaian bahwa istrinya begini begitu dibanding istri tetangganya, tapi cukuplah disimpan di dalam hati saja.

Itulah sebagian kata-kata yang disampaikan oleh Emha Ainun Nadjib, seorang rohaniawan, budayawan, entrepreuner, dan sudah kondang mendunia dengan Kiai Kanjeng-nya, saban hari akrab dipanggil Cak Nun dengan nama lengkap Muhammad Ainun Nadjib.

Dai dan budayawan kondang yang juga dikenal sebagai tokoh intelektual Islam ini mengajak kita untuk melihat realita kehidupan demi NKRI yang didambakan, semua itu indah dan Fitri! Tulisan yang kami sadur ini merupakan tulisan yang beredar akhir-akhir ini (Mei 2017).

Bukan itu saja, Cak Nun suami dari Novia Kolopaking (aktris dan penyanyi pop pada zamannya, lagu tenarnya Dengan Menyebut Nama Allah dan film-sinetron Sity Nurbaya, Keluarga Cemara) telah menerbitkan buku sekitar 50 judul buku, dan puluhan Puisi yang tersebar di media masa.

Lebih lanjut inilah wejangan beliau melalui media sosial baru-baru ini (Mei 2017).


Nasihat yang Menyejukkan

Dalam suatu forum saya bertanya, ”Apakah anda punya tetangga ?”
Dijawab serentak, “Tentu punya”

“Punya istri enggak tetangga Anda ?”
“Yaa, punya doong”

“Pernah lihat kaki istri tetangga Anda itu ?”
“Secara khusus tak pernah melihat” kata hadirin di forum,

“Jari-jari kakinya lima atau tujuh ?”
“Tidak pernah memperhatikan”

“Body-nya sexy atau enggak ?”

Hadirin tertawa lepas.

Dan saya lanjutkan tanpa menunggu jawaban mereka,
“Sexy atau tidak bukan urusan kita, kan ?”

Tidak usah kita perhatikan,
tak usah kita amati,
tak usah kita dialogkan, diskusikan atau perdebatkan.
Biarkan saja.

Keyakinan keagamaan orang lain itu yaa ibarat istri orang lain.
Ndak usah diomong-omongkan, ndak usah dipersoalkan benar salahnya, mana yang lebih unggul atau apa pun.

Tentu,
masing-masing suami punya penilaian
bahwa istrinya begini begitu dibanding istri tetangganya,
tapi cukuplah disimpan di dalam hati.

Bagi orang non-Islam, agama Islam itu salah.
Dan itulah sebabnya ia menjadi orang non-Islam.

Kalau dia beranggapan atau meyakini bahwa Islam itu benar,
ngapain dia jadi non-Islam ?

Demikian juga, bagi orang Islam, agama lain itu salah.

Justru berdasar itulah maka ia menjadi orang Islam.

Tapi,
sebagaimana istri tetangga.
Itu disimpan saja di dalam hati,
jangan diungkapkan,
diperbandingkan atau
dijadikan bahan seminar atau pertengkaran.

Biarlah setiap orang memilih istri sendiri-sendiri
dan jagalah kemerdekaan masing-masing orang untuk menghormati dan mencintai istrinya masing-masing,
tak usah rewel bahwa istri kita lebih mancung hidungnya karena Bapaknya dulu sunatnya pakai calak dan tidak pakai dokter, umpamanya.

Dengan kata yang lebih jelas,
teologi agama-agama tak usah dipertengkarkan,
biarkan masing-masing pada keyakinannya.

Sementara itu orang muslim yang mau melahirkan padahal motornya gembos,
silahkan pinjam motor tetangganya yang beragama Katolik untuk mengantar istrinya ke rumah sakit.

Atau Pak Pastor yang sebelah sana karena baju misalnya kehujanan,
padahal waktunya mendesak,
ia boleh pinjam baju koko tetangganya yang NU mau pun yang Muhamadiyah.

Atau ada orang Hindu kerjasama bikin warung soto dengan tetangga Budha,
kemudian bareng-bareng bawa colt bak ke pasar dengan tetangga Protestan untuk kulakan bahan-bahan jualannya.

Tetangga-tetangga berbagai pemeluk agama,
warga berbagai parpol, golongan, aliran, kelompok atau apa pun,
silakan bekerja sama di bidang usaha perekonomian, sosial,
kebudayaan, sambil saling melindungi koridor teologi masing-masing.

Bisa memperbaiki pagar bersama-sama,
bisa gugur gunung membersihi kampung,
bisa pergi mancing bareng,
bisa main gaple dan remi bersama.

Bisa ngumpul nge WA, BB-an & Facebookan,..
& media sosial lainnya,.. bersama.

Tidak ada masalah lurahnya Muslim, cariknya Katolik, kamituwonya Hindu, kebayannya Gatholoco atau apa pun.

Jangankan kerja sama dengan sesama manusia,
sedangkan dengan kerbau dan sapi pun kita bekerja sama nyąngkul dan olah sawah.

Itulah lingkaran tulus hati dengan hati.

Semoga… kita makin sadar akan pentingnya Toleransi… Solidaritas & Kerukunan.
Bahwa semuanya itu indah nan Fitri… !!!

Sahabat dan saudara-saudara, kita membutuhkan ketenangan dan kedamaian. Tulisan ini boleh disebarkan.

Damai dihati…
Damai di bumi…


Biografi Singkat Emha Ainun Nadjib

Muhammad Ainun Nadjib (Cak Nun)

Emha merupakan anak keempat dari 15 bersaudara. Pendidikan formalnya hanya berakhir di semester 1 Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) seperti dikutip dari wikipedia bahasa Indonesia.

Sebelumnya dia pernah ‘diusir’ dari Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo Jawa Timur setelah melakukan ‘demo’ melawan pimpinan pondok karena sistem pondok yang kurang baik, pada pertengahan tahun ketiga studinya.

Kemudian ia pindah ke Yogyakarta dan tamat SMA Muhammadiyah I Yogyakarta. Istrinya yang sekarang, Novia Kolopaking, dikenal sebagai seniman film, panggung, serta penyanyi. Sabrang Mowo Damar Panuluh adalah salah satu putranya yang kini tergabung dalam grup band Letto.

Lima tahun ia hidup menggelandang di Malioboro, Yogyakarta antara 1970–1975, belajar sastra kepada guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat memengaruhi perjalanan Emha.

Masa-masa itu, proses kreatifnya dijalani juga bersama Ebiet G Ade (penyanyi), Eko Tunas (cerpenis/penyair), dan EH. Kartanegara (penulis).

Selain itu ia juga pernah mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985). Emha juga pernah terlibat dalam produksi film Rayya, Cahaya di Atas Cahaya (2011), skenario film ditulis bersama Viva Westi.

Dalam kesehariannya, Emha terjun langsung di masyarakat dan melakukan aktivitas-aktivitas yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik, sinergi ekonomi guna menumbuhkan potensi rakyat.

Di samping aktivitas rutin bulanan dengan komunitas Masyarakat Padhang Bulan, ia juga berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, rata-rata 10 sampai15 kali per bulan bersama Gamelan Kiai Kanjeng, dan rata-rata 40 sampai 50 acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung. Kajian-kajian islami yang diselenggarakan oleh Cak Nun antara lain:

  • Jamaah Maiyah Kenduri Cinta sejak tahun 1990-an yang dilaksanakan di Taman Ismail Marzuki. Kenduri Cinta adalah salah satu forum silaturahmi budaya dan kemanusiaan yang dikemas sangat terbuka, nonpartisan, ringan dan dibalut dalam gelar kesenian lintas gender, yang diadakan di Jakarta setiap satu bulan sekali.
  • Mocopat Syafaat Yogyakarta
  • Padhangmbulan Jombang
  • Gambang Syafaat Semarang
  • Bangbang Wetan Surabaya
  • Paparandang Ate Mandar
  • Maiyah Baradah Sidoarjo
  • Obro Ilahi Malang, Hongkong dan Bali
  • Juguran Syafaat Banyumas Raya
  • Maneges Qudroh Magelang

Dalam pertemuan-pertemuan sosial itu ia melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metode perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.

Editing — 07-Februari-2019

Tulisan Cak Nur terbaru di blog-nya (6 Februari 2019), Demokrasi

Kita diajari demokrasi oleh orang-orang yang keahliannya memperdaya masyarakat atau bangsa lain dengan bahasa dan strategi yang bungkusnya adalah demokrasi. (Emha Ainun Nadjib, 06-02-2019)

“Sebab, aku lebih takut kepada manusia dibanding kepada iblis”

Belakangan, kita cepat marah pada perbedaan pendapat, termasuk dalam menentukan “Siapa yang paling pantas menjadi pemimpin”

Setiap orang pasti memilih pemimpin yang bisa dipercaya. Namun, percaya membabi buta kepada pemimpin tersebut justru bisa menjadi persoalan.

Sebutan terbaru untuk Emha Ainun Nadjib adalah Mbah Nun, tetapi dalam pelbagai acara masih Cak Nun

Bibliografi

Puisi

  • “M” Frustasi (1976),
  • Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978),
  • Sajak-Sajak Cinta (1978),
  • Nyanyian Gelandangan (1982),
  • 99 Untuk Tuhanku (1983),
  • Suluk Pesisiran (1989),
  • Lautan Jilbab (1989),
  • Seribu Masjid Satu Jumlahnya ( 1990),
  • Cahaya Maha Cahaya (1991),
  • Sesobek Buku Harian Indonesia (1993),
  • Abacadabra (1994),
  • Syair-syair Asmaul Husna (1994)

Essai/Buku

  • Dari Pojok Sejarah (1985),
  • Sastra yang Membebaskan (1985)
  • Secangkir Kopi Jon Pakir (1990),
  • Markesot Bertutur (1993),
  • Markesot Bertutur Lagi (1994),
  • Opini Plesetan (1996),
  • Gerakan Punakawan (1994),
  • Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996),
  • Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994),
  • Slilit Sang Kiai (1991),
  • Sudrun Gugat (1994),
  • Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995),
  • Bola- Bola Kultural (1996),
  • Budaya Tanding (1995),
  • Titik Nadir Demokrasi (1995),
  • Tuhanpun Berpuasa (1996),
  • Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997),
  • Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997),
  • Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997),
  • 2,5 Jam Bersama Soeharto (1998),
  • Mati Ketawa Cara Refotnasi (1998),
  • Kiai Kocar Kacir (1998),
  • Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (Penerbit Zaituna, 1998),
  • Keranjang Sampah (1998) Ikrar Husnul Khatimah (1999),
  • Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000),
  • Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000),
  • Menelusuri Titik Keimanan (2001),
  • Hikmah Puasa 1 & 2 (2001),
  • Segitiga Cinta (2001),
  • Kitab Ketentraman (2001),
  • Trilogi Kumpulan Puisi (2001),
  • Tahajjud Cinta (2003),
  • Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun (2003),
  • Folklore Madura (Agustus 2005, Yogyakarta: Penerbit Progress),
  • Puasa Itu Puasa (Agustus 2005, Yogyakarta: Penerbit Progress),
  • Syair-Syair Asmaul Husna (Agustus 2005, Yogyakarta; Penerbit Progress)
  • Kafir Liberal (Cet. II, April 2006, Yogyakarta: Penerbit Progress),
  • Kerajaan Indonesia (Agustus 2006, Yogyakarta; Penerbit Progress),
  • Jalan Sunyi EMHA (Ian L. Betts, Juni 2006; Penerbit Kompas),
  • Istriku Seribu (Desember 2006, Yogyakarta; Penerbit Progress),
  • Orang Maiyah (Januari 2007, Yogyakarta; Penerbit Progress,),
  • Tidak. Jibril Tidak Pensiun (Juli 2007, Yogyakarta: Penerbit Progress),
  • Kagum Pada Orang Indonesia (Januari 2008, Yogyakarta; Penerbit Progress),
  • Dari Pojok Sejarah; Renungan Perjalanan Emha Ainun Nadjib (Mei 2008, Yogyakarta: Penerbit Progress)
  • DEMOKRASI La Raiba Fih (cet ketiga, Mei 2010, Jakarta: Kompas)
  • Markesot Bertutur, Markesot Bertutur Lagi, Arus Bawah (2014),
  • Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (2015) — cetak baru,
  • Gelandangan di Kampung Sendiri (2015),
  • Sedang Tuhan pun Cemburu (2015),
  • 99 untuk Tuhanku (2015),
  • Istriku Seribu (2015),
  • Kagum kepada Orang Indonesia (2015),
  • Titik Nadir Demokrasi (2016), dan
  • Tidak. Jibril Tidak Pensiun! (2016). — beberapa buku terakhir dicetak ulang 2018 dengan cover baru
  • Hidup itu Harus Pintas Ngegas dan Ngerem
  • Kapal Nur Abad 21
  • Iblis tidak Butuh Pengikut
  • Kiai Hologram (2018)
  • Pempimpin yang “Tuhan” (Dec. 2018), untuk diskripsi buku ini klik disini.

Sekian….

Semoga bermanfaat.

Kiriman Soeroto @mulia
Ilustrasi Google
by Kissparry, diolah dari berbagai sumber
Editor Kissparry

Tinggalkan Balasan

Eksplorasi konten lain dari Kissparry

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca

Eksplorasi konten lain dari Kissparry

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca