Efek Puasa Ramadhan terhadap Kondisi Kesehatan, Ditinjau secara Medis

Mengapa efek puasa di bulan ramadhan dibahas di sini yang ditinjau dari segi kesehatan? Perkembangan ilmu kesehatan begitu pesat seiring dengan kemajuan teknologi. Kissparry kali ini mengutip mengenai Efek Puasa Ramadhan terhadap Kondisi Kesehatan orang yang menjalankan puasa ramadhan satu bulan penuh.

Bahasa yang digunakan merupakan bahasa ilmiah di dunia kesehatan, namun demikian semoga orang-orang diluar dunia medis bisa mengikutinya.

Sebagai muslim, kita meyakini bahwa apapun yang diperintahkan maupun dilarang oleh syari’at (agama) pasti mempunyai maslahat dan kebaikan. Termasuk dalam hal ini perintah untuk berpuasa di bulan Ramadhan.

Makna Puasa Tinjuan Medis

Puasa di dalam islam diartikan sebagai menahan diri dari makan, minum, dan segala hal yang bisa membatalkannya sejak terbit fajar hingga terbenam matahari.

Saat ini, ilmu kedokteran telah berkembang demikian pesat, sehingga banyak hal dapat diungkap, termasuk efek puasa ramadhan terhadap beberapa kondisi kesehatan.

Pada saat kita berpuasa, terjadi penurunan kadar hormon kortisol yang dihasilkan kelenjar adrenal, hormon ini berkaitan dengan tingkat stres, sehingga penurunan kortisol juga dapat menurunkan tingkat stres. Puasa secara tidak langsung membuat pikiran lebih tenang dan lebih tajam.

Selain itu, puasa merupakan sarana untuk menghilangkan kebiasaan buruk seperti merokok, mengubah gaya hidup yang tak sehat dan pola makan yang tak terkontrol. Puasa ramadhan selama sebulan penuh dikaitkan dengan proses detoksifikasi atau pengeluaran zat racun dari dalam tubuh.1

Efek Puasa

Ketika puasa kontraktilitas usus menurun menjadi sekali setiap 2 jam. Kerja usus yang menurun sangat bermanfaat pada pasien dengan gangguan motilitas usus. Pada keadaan puasa juga terdapat aktivitas motorik lambung dan usus halus yang disebut interdigestive myoelectric complex (IDMEC).

IDMEC memiliki fungsi pembersihan, perlindungan lambung dan usus halus dari kolonisasi bakteri, dengan mekanisme pendorongan mekanik sisa makanan dan bakteri ke bagian saluran cerna yang lebih bawah, pelumasan lambung dan usus halus akibat sekresi asam lambung, cairan empedu dan pankreas yang meningkat.2

Pasien dengan gangguan lambung seperti dispepsia, ulkus peptikum, dan ulkus duodenum perlu meningkatkan kewaspasaan karena selama ramadhan dapat mengalami keluhan pada saluran cerna lebih sering. Hal ini disebabkan meningkatya sekresi gastrin, pepsin, dan asam lambung selama ramadhan, yang akan kembali ke tingkat semula sebulan setelah Ramadhan.

Sementara itu, pasien dengan GERD (gastroesophageal reflux disease), dimana isi lambung dapat kembali naik ke esofagus dan menyebabkan iritasi esofagus akibat terjadi kelemahan sfingter esofagus bawah, tetap boleh berpuasa dan tidak terdapat kontraindikasi untuk berpuasa. Yang penting adalah jenis nutrisi yang dikonsumsi saat berbuka, yaitu berupa makanan dengan kandungan lemak rendah dan disajikan dalam porsi kecil secara bertahap.2

Sebuah review literature pada tahun 2014 menyebutkan bahwa selama Ramadhan, terdapat penurunan berat badan, indeks massa tubuh, dan lemak tubuh yang signifikan pada subjek penelitian (terutama laki-laki) yang berpuasa selama 3 minggu awal ramadhan, dibanding seminggu sebelum ramadhan.2, 3

Puasa juga mampu memperbaiki profil lipid seseorang, dimana pada saat puasa Ramadhan terjadi penurunan kadar kolesterol total dan lemak jahat (LDL dan VLDL), serta peningkatan kadar lemak baik (HDL). Profil lipid yang membaik merupakan penanda kesehatan jantung dan pembuluh darah.1

Namun beberapa bulan setelah Ramadhan usai, berbagai parameter tersebut kembali seperti sebelum Ramadhan. Hal ini erat kaitannya dengan kebiasaan makan dan intake makanan yang lebih banyak saat di luar bulan ramadhan.3, 4

Perubahan pola tidur yang terjadi selama bulan Ramadhan berhubungan erat dengan perubahan kadar hormon leptin, neuropeptida Y, insulin, melatonin, hormon-hormon steroid, dan hormon tiroid yang kesemuanya berperan penting dalam homeostasis energi jangka panjang sehingga terjadi penurunan kadar gula darah. Hal ini menjelaskan mengapa puasa Ramadhan dapat memperbaiki kontrol gula darah, dan mencegah penyakit diabetes melitus (DM).3, 4

Puasa ramadhan dapat menurunkan kadar gula darah puasa dan menurunkan resistensi insulin pada pasien DM tipe 2, sehingga glukosa darah dapat masuk ke dalam sel dengan optimal. Perlu diperhatikan bahwa pasien DM dapat mengalami komplikasi serius berupa hipoglikemia (kadar gula darah rendah) maupun hiperglikemia (kadar gula darah tinggi).3

Penelitian terbaru menunjukkan risiko hipoglikemia meningkat pada pasien diabetes selama Ramadhan, sehingga pada pasien DM diharuskan makan sahur dan dianjurkan mengakhirkan makan sahur untuk mencegah hipoglikemia, terutama dengan makanan berkarbohidrat kompleks seperti nasi, roti, dan lain sebagainya yang lebih lama dicerna, sehingga energi yang terbentuk ‘cukup’ sampai sore hari. Inilah mungkin hikmah disunnahkannya mengakhirkan sahur.

Sementara risiko hiperglikemia berkaitan dengan berlebihnya konsumsi makanan saat berbuka sehingga perlu pembatasan asupan makanan saat berbuka, dan tidak boleh berlebihan ketika berbuka puasa karena dapat menyebabkan kadar gula darah meningkat drastis, dan terjadi hyperosmolar hyperglikemik state (HHS). 2, 3

Untuk mencegah terjadinya komplikasi DM saat puasa, pasien DM dianjurkan memantau gula darahnya secara teratur, menjaga asupan nutrisi ketika berpuasa, tidak kurang ataupun berlebih dibanding nutrisi harian biasanya, melakukan olahraga teratur dimana shalat tarawih dengan jumlah rakaat cukup banyak dianjurkan sebagai bagian dari olahraga, dan segera membatalkan puasa jika mengalami gejala hipoglikemia seperti pusing, pucat, jantung berdebar-debar, kejang, dan penurunan keasadaran. Selain itu, pemakaian obat antidiabetik selama ramadhan perlu disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing individu untuk mencegah komplikasi DM.2, 3

Khusus Wanita Hamil dan Wanita Menyusui

Pada wanita hamil yang berpuasa ramadhan terjadi penurunan kadar glukosa, insulin, laktat dan karnitin yang bermakna dan peningkatan kadar trigliserida dan hidroksibutirat.2 Namun penelitian terbaru yang membandingkan antara wanita hamil usia 25-30 tahun yang berpuasa dengan yang tidak berpuasa, menunjukkan bahwa wanita hamil yang berpuasa tidak menyebabkan berat badan lahir rendah pada bayi. Justru pada wanita hamil yang tidak berpuasa, berat badan bayi menjadi lebih berat sehingga meningkatkan rasio kelahiran dengan operasi cesar, mungkin karena berat badan lahir bayi yang lebih besar akibat asupan nutrisi ibu yang lebih banyak, sehingga harus dilakukan operasi cesar.3

Pada wanita hamil yang berpuasa dalam kondisi sehat, juga tidak ditemukan pengaruh buruk puasa Ramadhan terhadap pertumbuhan intrauterin, volume cairan amnion, dan sirkulasi fetomaternal. Juga tidak ada perbedaan perkembangan fisik dan intelektual pada anak usia 4 hingga 13 tahun yang lahir dari ibu yang berpuasa Ramadhan selama hamil dibandingkan ibu yang tidak berpuasa.2

Meskipun begitu, Wanita hamil tetap dianjurkan tidak berpuasa kecuali bagi mereka yang mempunyai kondisi nutrisi baik, tidak mengalami mual muntah berlebih, dan memiliki nafsu makan baik.2, 3

Sementara pada ibu yang menyusui, saat menjalani puasa Ramadhan dapat mengalami kehilangan cairan tubuh sehingga meskipun jumlah unsur-unsur nutrisi makro (makronutrien) tidak berubah. Sedangkan kandungan zinc, magnesium, natrium, kalium dapat menurun dalam air susu ibu (ASI) selama berpuasa. Oleh karenanya ibu yang menyusui tidak dianjurkan berpuasa.2

Puasa ramadhan ternyata juga berpengaruh terhadap peningkatan sistem imun tubuh. Terjadi penurunan konsentrasi sitokin proinflamasi (IL-6, IL-1β, dan TNF-α), penurunan jumlah leukosit dan monosit sehingga menurunkan faktor risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler seperti stroke dan serangan jantung. Efek ini diperkirakan bisa terjadi karena puasa dapat menurunkan stress oksidatif, sehingga jumlah radikal bebas menurun, juga karena puasa dapat menurunkan kadar lemak tubuh sehingga pengeluaran sitokin proinflamasi akan berkurang.3, 4, 5

Penelitian terbaru melaporkan tidak terdapat efek buruk puasa dengan fungsi ginjal dan komponen urin pada orang sehat.3, 5 Justru puasa dapat menyehatkan ginjal karena dengan berkurangnya asupan air pada saat berpuasa, target untuk mencapai kekuatan osmosis dalam urin dapat tercapai sehingga berdampak baik untuk kesehatan ginjal.2

Terdapat efek perbaikan pada pasien dengan gagal ginjal kronis (laju filtrasi golemerulus mengalami perbaikan, proteinuaria berkurang baik saat maupun setelah ramadhan). Pada pasien dengan transplantasi ginjal , puasa tidak menyebabkan efek samping. Tidak terdapat bukti kuat bahwa kurangnya asupan cairan selama puasa menyebabkan terbentuknya batu pada saluran kemih.3

Salahuddin et al menyatakan bahwa terdapat hubungan antara puasa dan penurunan tekanan darah yang signifikan pada pasien hipertensi berusia diatas 40 tahun, namun penurunan tekanan darah tidak terjadi pada pasien dengan tensi dalam batas normal. Penurunan tekanan darah dimungkinkan terjadi melalui mekanisme penghambatan katekolamin, yang menyebabkan penurunan tonus saraf simpatis.3, 4

Perubahan Pola

Selain itu, perubahan pola makan, pola tidur, aktivitas, dan penggunaan obat antihipertensi turut mempengaruhi tekanan darah selama puasa.2 Meskipun begitu, pasien hipertensi tetap harus mendapatkan pengobatan antihipertensi yang memadai selama bulan puasa agar tekanan darahnya dapat terkontrol.2, 3, 4

Perlu diketahui bahwa dokter bukanlah penentu pasien boleh berpuasa atau tidak. Dokter hanya memberikan saran sesuai kapabilitas keilmuan yang dimilikinya. Keputusan akhir untuk berpuasa atau tidak tentu dikembalikan kepada masing-masing pasien.

Dengan mengetahui efek puasa yang mungkin dan dapat terjadi pada beberapa kondisi kesehatan, diharapkan pasien dapat mengambil keputusan yang lebih baik untuk berpuasa atau tidak sesuai dengan kondisi kesehatan masing-masing.

Wallaahu a’lam. Mudah-mudahan kita semua selalu diberikan sehat wal afiat dan dapat beribadah maksimal khususnya di bulan Ramadhan. Aamiin.

Semoga bermanfaat.

Daftar Pustaka:
1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. 12 Manfaat Puasa Bagi Kesehatan Tubuh, diambil dari http://www.kemkes.go.id pada April 2018.

  1. Firmansyah MA. 2015. Pengaruh Puasa Ramadhan pada Beberapa Kondisi Kesehatan. Cermin Dunia Kedokteran-230. 42(7): 510-515.

3.Rouhani MH and Azadbakht L. 2014. Is Ramadan fasting related to health outcomes? A review on the related evidence. J Res Med Sci. 19(10): 987-992.

  1. Aliasghari F, Izadi A, Gargari BP, Ebrahimi S. 2017. The Effects of Ramadan Fasting on Body Composition, Blood Pressure, Glucose Metabolism, and Markers of Inflammation in NAFLD Patients: An Observational Trial. J Am Coll Nutr. 36(8): 640-645.
  2. Mohammadzade F, Vakili MA, Seyediniaki A, Amirkhanloo S, Farajolahi M, Akbari H, Eshghinia S. 2017. Effect of Prolonged Intermittent Fasting in Ramadan on Biochemical and Inflammatory Parameters of Healthy Men. JCBR. 1(1):38-46.

Penulis :
Judul Asli: EFEK PUASA RAMADHAN TERHADAP KONDISI KESEHATAN
oleh: Humamuddin, S.Ked.
dikirim oleh grup asatidz
Posting : Kissparry
Editor: Kissparry WA

One thought on “Efek Puasa Ramadhan terhadap Kondisi Kesehatan, Ditinjau secara Medis

Tinggalkan Balasan

Eksplorasi konten lain dari Kissparry

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca

Eksplorasi konten lain dari Kissparry

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca