Kemiskinan Membuat Ayahku Nekat Transmigrasi, Kisah (Nyata) Perjalanan

Kisah spesial memeringati milad PATRI ke 15 tahun 2019, ada kisah perjalanan yang ditulisan oleh sahabat PATRI, Nyoman Suwandi, dari Bali tinggal di Sulawesi

Tulisan ini mengingatkan kepada seluruh PATRI, pun para orang tuanya, yang berjuang untuk kemajuan mereka kelak dikemudian hari. Bagi mereka, program transmigrasi oleh pemerintah yang hanya ada di Indonesia ini sangatlah menolong keluar dari masalah ekonomi.

Jalan Kimtran — foto baru


KEMISKINANKU MEMBUAT AYAHKU NEKAT TRANSMIGRASI


Untuk ukuran di desaku, Desa Selat Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung Bali, keluargaku terbilang miskin. Sebab untuk ukuran di sebut berada di desaku ialah punya lahan perumahan yang disebut Karang umah, rata rata per KK luasnya satu hektar, punya tegalan, dan sawah rata rata lebih dari satu hektar. Hal itu merata, saya lihat keadaan di desaku.

Sedangkan keluargaku, hanya memiliki tanah pekarangan tak lebih dua puluh are, tidak memiliki tegalan, apalagi sawah. Walaupun saat itu masih berumur sepuluh tahun, tapi ketika itu saya sudah dapat merasakan perbedaan kehidupan dengan para tetangga di sekitar rumahku dengan keadaan keluargaku.

Bapak sering berkisah tentang keadaan keluarga, “kalau terus menerus seperti ini, bagaimana nasib anak anak kelak?”, suatu saat saya dengan beliau bercakap-cakap dengan mamaku. Aku lima bersaudara, dua laki dan tiga perempuan, sebuah keluarga yang cukup besar nantinya.


Tekad Berangkat Transmigrasi

Akhirnya ayah membulatkan tekadnya untuk bertransmigrasi. Ya… jalan satu satunya transmigrasi..

Kebetulan sebulan sebelumnya ada seorang warga di desaku pulang dari daerah transmigrasi, dia merantau melalui program transmigrasi dan bertempat tinggal di Desa Tolai Kecamatan Parigi Sulawesi Tengah (Sulteng). Nama panggilan sehari-hari adalah Pan Suri.

Beliaulah yang banyak memberikan informasi tentang transmigrasi, termasuk tata caranya, keadaan tanah, dan pola hidup di daerah rantau. Ayahku tertarik. Akhirnya, banyak juga warga yang tertarik dan memutuskan lebih baik ikut transmigrasi.

Transmigrasi yang diikuti ayah bukan transmigrasi umum yang semua pembiayaan di tanggung pemerintah, tetapi trans mandiri yang disebut swakarsa.

Tiada pelatihan, tiada peninjauan ke daerah yang akan di tuju. Pokoknya semua serba minim informasi, dan hanya berdasarkan kepercayaan informasi yang diberikan oleh Bapak Pan Suri, yang langsung di daulat sebagai Ketua rombongan.

Saya ketika itu masih berumur sepuluh tahun, tetapi masih ingat betul, saat itu bulan September 1978. Sanak saudara berkumpul di rumah, nenek saya (orang tuanya mama) menangis. Nenek, orang yang paling tidak setuju kami berangkat merantau ber-transmigrasi.

Namun apa boleh dikata, tekad ayahku sudah bulat, dengan melihat kondisi kesehariannya, karena masing-masing sudah berkeluarga sendiri dan keluargaku tentu pengendalinya ayahku. Sehingga tadinya melarang akhirnya merestui juga untuk berangkat transmigrasi, meskipun mungkin berat hati untuk berpisah, dalam waktu yang sangat lama.

Waktu itu sarana komunikasi juga minim, entah berapa lama tidak bisa kirim kabar kepada sanak saudara di kampung halaman, apalagi kabar rincian perjalanan, bahkan berkirim surat saja tidak sehari dua hari sampai, tetapi mingguan, dan bisa berbulan-bulan, bahkan boleh jadi surat tidak sampai alamat tujuan.


Bis DAMRI Menjemput, dan Kapalpun Mengangkut

Mobil bis DAMRI sudah berjejer di depan jalan, menandakan rombongan siap diberangkatkan. Saya merasa senang saya tidak tahu apa itu transmigrasi. Sebagai anak kecil yang saya tahu kita akan naik Bis besar. Sebab seumur umur ketika itu saya belum pernah naik mobil, apalagi akan menuju Surabaya sebagai tempat penampungan sementara.

Di Surabaya kami di tampung di sebuah gudang kayu berlantai dua. Hanya ada satu kamar dan satu WC. Kesulitan hidup mulai kami rasakan. Selama dua belas hari kami di tampung akhirnya kami diberangkatkan dengan kapal pengangkut barang.

Saya lihat ada beberapa mobil berjejer dan barang lainnya yang dibungkus terpal dalam kapal. Kami selama lebih kurang seminggu di lautan. Kapal melaju perlahan, goyangan ombak sangat terasa, apalagi kalau hujan. Pasti akan tampias basah karena kami berjejeran di pinggiran.

Tapi yang menyenangkan ketika pembagian jatah makan kami menunggu bel berbunyi seperti bel di sekolahan. Jika dengar bel, itu pertanda harus antri mengambil jatah makan.

Setelah seminggu kami di laut lepas, akhirnya kapal berlabuh di pelabuhan Pentoloan Donggala Sulawesi Tengah.

Kami pun bergegas turun dengan keadaan setengah mabuk laut, ada yang sempoyongan, ada yang sakit, kuyu, dan baru kita merasa akan di bawa ke mana ini, tidak ada gambaran sama sekali tempat yang baru nanti.

Akhirnya kami di tampung di sebuah rumah kosong. Masih syukur, ada warung kecil di sampingnya, sehingga kami masih bisa beli makanan hanya sekedar pengganjal perut.

Setelah lebih kurang tiga jam menunggu, akhirnya ada beberapa kapal motor merapat di dermaga Pentoloan. Rombongan kami dipecah dalam beberapa kapal motor, yang masing-masing bisa memuat dua puluhan penumpang dengan barang.

Saya masih tidak tahu, kami mau di bawa ke mana. Sebenarnya ada penjelasan tentang arah dan tujuan oleh petugas, tetapi tetap saja masih bingung, pokoknya ngikuti saja.

Setelah hampir dua belas jam mengarungi lautan, akhirnya kapal berlabuh di pesisir pantai Kayu Meloa Kecamatan Pasangkayu Kabupaten Mamuju, saat itu masih propinsi Sulawesi Selatan.

Saat ini sudah dimekarkan menjadi Kabupaten Pasangkayu Propinsi Sulawesi Barat saat ini.

Kampung Kayu Meloa di daerah pesisir ini nampak sepi hanya ada beberapa rumah,ssya mulai heran dengan bentuk rumahnya tidak seperti rumah di Bali.

Untuk pertama kali saya melihat model rumah kayu gelondongan panggung. Rumah berdinding batang kayu pipih, dan atapnya dari nipah, mirip sejenis pohon aren. Lantainya dari papan atau bambu. Hampir dua jam kami di pantai sambil membenahi barang bawaan dari Bali. Beras yang di bawa sebagian dibuang, karena busuk terendam air laut.


Kimtrans 2019, pemukiman transmigrasi tahun 2019

Jalan Darat dengan Gerobag Sapi

Setelah menunggu akhirnya kami diangkut menggunakan gerobak sapi. Saya agak ketakutan naik gerobak. Demikian pula kakak dan adik saya masih kecil. Dia menangis ketakutan, takut disepak sapi. Apalagi kusirnya di pinggangnya terselip pisau panjang.

Akhirnya saya tahu namanya parang. Saya takut dan ada rasa curiga. Jangan-jangan kita akan dirampok di perjalanan. Tapi setelah mendapat penjelasan dari kepala rombongan Bapak Pan Suri akhirnya kami tahu, bahwa itu kebiasaan sehari-hari masyarakat suku Bugis di pedalaman.

Gerobak sapi berjalan perlahan, karena selain muatannya banyak, juga jalannya becek berlumpur. Kadang lewat semak belukar.

Perjalanan sekitar lima belas kilometer. Hmm..lelahnya luar biasa manalagi perut mulai lapar. Sapi yang menarik kami pun nampak lelah. Untuk menambah laju sapi dicambuk berulang kali.


Sampailah di Kimtran dan Memulai Babak Baru

Akhirnya kami tiba di sebuah penampungan yang disebut gudang dipinggir sungai di tengah hutan, yang sebagian kayunya sudah di tebang. Disinilah kami mulai dengan kehidupan.

Membabat hutan belantara hanya dengan kapak, bahasa Bali disebut kandik. Membuat rumah dari kayu hutan dan beratap daun rotan. Hidup sangat memprihatinkan, tidak ada sekolah, jalan masih di atas tumbangan kayu, tidak ada petugas kesehatan, semuanya serba tidak ada. Mungkin persis seperti awal mulanya membangun kerajaan Majapahit.

Setahun setelah kami berhasil membabat hutan, membuat rumah sederhana dari kayu gelondongan beratap daun rotan, sudah berhasil pula tanam ubi dan jagung.

Padi gogo rancah (istimewa)

Ada ternak ayam dan padi Gogo Rancah atau padi ladang. Barulah setelah itu para orang tua kita berpikir membentuk perkampungan, yang kemudian diberi nama Kampung Mertajaya. Kampung ini masuk wilayah Desa Pasangkayu, Kecamatan Pasangkayu, Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Selatan.


Sekolah di Gedung Darurat

Para tokoh juga mulai berpikir tentang pendidikan anak anak. Para orang tua kita yang sedikit berpengalaman inisiatif menghadap ke Kecamatan, yang jaraknya satu hari perjalanan pulang pergi, untuk menyampaikan prihal pendidikan anak- anak Transmigran. Termasuk saya yang putus sekolah di caturwulan pertama kelas 4 Sekolah Dasar.

Berdasarkan petunjuk Pak Camat dan Pak penilik sekolah diperintahkan kapada masyarakat, agar membuat sekolah darurat di lokasi pemukiman transmigrasi, sebagai sekolah filial atau kelas jauh dari SD Inpres Pasangkayu, yang berlokasi di ibukota Kecamatan.

Mulailah saya sekolah dengan diajar oleh kakak-kakak yang kebetulan tamatan SLTA. Bahkan ada yang tamatan SLTP. Gaji guru dibayar dengan tenaga murid pada setiap hari Sabtu, berupa kerja bakti di ladangnya guru.

Belum Usai

Ah, terlalu panjang kisah penderitaannya kalau semua dikisahkan. Tapi syukur, sekarang lokasi itu sudah menjadi daerah yang cukup maju dan makmur.


Akhirnya

Semuanya itu berkat kerja keras para orang tua kita yang sebagian besar sudah Almarhum, termasuk Ayah saya yang luar biasa perjuangannya. Semoga mereka semua mendapat ampunan dan mendapat ganjaran disisi-Nya.
Aamiin.

Pasangkayu, 16 Februari 2019

Oleh Nyoman Suwandi
Kadis Pariwisata Pasang Kayu

Dikirim oleh Hasprabu (Sekjen DPP PATRI) *
Diunggah oleh LikKasjo Kissparry Sekayu Muba

Editor ❤Kissparry

Sekarang (saat ini 201906) Bapak Hasprabu terpilih menjadi Ketua Umum (Ketum) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PATRI


Baca Juga :


MILAD PATRI KE-15 2019, KISSPARRY MENYAMPAIKAN SELAMAT DAN SUKSES

Markas Kissparry (kissparry.com) UPT 5 Air Tenggulang Musi Banyuasin (Muba) Sumatera Selatan. kissparr@gmail.com

Jalan masuk ke Markas Kissparry (https://kissparry.com) di SP 5 Air Tenggulang sudah lumayan bagus (daripada dahulu), meskipun masih ada yang jalan becek dan licin, dan dalam waktu yang tidak terlalu lama akan dikeraskan oleh Pemda Muba, semoga.


Ulasan Catatan Kecil oleh ❤Kissparry

Pada dasarnya, setiap orang pasti memiliki kisah sendiri-sendiri, hanya kadang, karena kadang rumitnya kisah itu sendiri sehingga mau disampaikan menjadi bingung, akan mulai dari mana.

Keinginan seseorang transmigrasi, kebanyakan karena latar belakang ekonomi. Ada yang ingin memiliki lahan yang luas untuk anak cucunya, dan tanah pertanian yang subur, dan lain sebagainya, intinya masalah masa depan jalan hidup Ia dan keluarganya.

Namun, bertransmigrasi itu tiada lain adalah untuk usaha mengubah jalan hidup mereka, dan tidak semua orang berani memutuskan untuk berubah, apalagi pasti diawali hidup yang susah, ini biasanya bila ditengok dari kesehariannya saat itu.

O…ya…. kadang transmigrasi ke pelosok negeri tujuannya untuk berkelana mencari pengalaman hidup di pelosok desa, tapi ini presentasinya sangat sedikit sekali.

Kisah diatas mirip yang dialami keluarga saya, ayah ibuku saat itu bilang ‘Le…. nduk, awake dewe ayo golek tanah sing ombo, mengko uripe ben luwih kepenak, melu trans, awake dewe nek melu trans meh diwenehi tanah karo negara‘, jadi kata-kata mengko atau nanti, bukan saat itu.

Perjuangan memang terasa berat, namanya saja berjuang, akan tetapi lambat laun dapat menikmati hidup yang lebih mapan meskipun bertahap karena harus keluar masuk pulau Sumatera.

Kisah tulisan “Kemiskinan Membuat Ayahku Nekad Transmigrasi” merupakan sekelumit kisah dari anggota PATRI, yang dibuat seringkas mungkin, namun sudah menggambarkan sebuah perjuangan hidup yang teramat berat dan melelahkan, ya… karena kalau ditulis semua akan menghabiskan ribuan halaman, dan jadilah novel.

Biasanya ketika keluarganya akan diboyong ber-transmigrasi, orang tua akan memberi penjelasan kepada anaknya atau keluarganya, dan pastinya sudah rembugan. Keliling kampung dan pamitan kepada tetangga-tetangganya.

Saat akan berangkat seperti akan berangkat berhaji dengan diiringi isak tangis keluarga dekatnya, karena pasti dalam waktu yang lama tidak akan bertemu.

Untungnya, sekarang teknologi informasi dan komunikasi sudah semakin maju, sehingga memudahkan untuk berkomunikasi. Untuk itu, marilah kita manfaatkan teknologi ini untuk memupuk persaudaraan yang berada di tempat jauh, jangan mengasingkan diri dari hiruk pikuknya kemajuan iptek, karena pasti akan tertinggal.

Dan inilah kenyataan hidup dan kisah, sejarah hidup yang harus dilalui harus dengan suka cita, buang rasa minder atau kata lain dari kurang percaya diri dan suka mengasingkan diri, menyendiri, kurang terbuka, masih suka menyembunyikan masa lalunya.

Karena masing-masing orang memiliki kisah hidup, dalam duka dan suka, sedih dan gembira, masa sulit dan masa gemilang. Mari menangkap masa depan untuk anak cucu yang lebih gemilang, mulai di era Industri 4.0 bersama keluarga besar PATRI.

Bagi yang punya kisah lainnya, silakan kirim email ke kissparr@gmail.com atau kirim WA ke admin.

Dan terima kasih, semoga dapat menginspirasi.

Salam hangat,

Fortuga Kissparry (kissparry.com)

❤Tenggulang, ❤Sekayu (Musi Banyuasin), ❤Tebo, Jambi, Ogan Komering [❤Ulu, ❤Ilir], ❤Batam Kepri, ❤Semarang Jateng, ❤Tenggarong Samarinda, ❤Lampung, ❤Muko-muko Bengkulu, ❤Papua.


Baca Juga :
Sisi Lain: Transmigrasi dan Pendekatan Budaya

8 thoughts on “Kemiskinan Membuat Ayahku Nekat Transmigrasi, Kisah (Nyata) Perjalanan


  1. Benar catatan sejarah perjalanan hidup itu sendiri sendiri, tiap orang juga punya kisah sendiri sendiri pula, namun demikian kisah ini termasuk salah satunya yang dapat menginspirasi dan memotivasi diri untuk menjadi seorang yang lebih baik dan dapat bermanfaat untuk sesama dan lingkungannya.


  2. Kisah ini sangat inspiratif dan terbuka, disaat orang kadang kurang percaya diri ketika berhadapan dengan masa lalu mereka
    Tetap semangat


  3. Kebetulan ayah saya juga adalah salah satu yang transmigarasi berasal dari NTB kedaerah Tobadak, Mamuju, Sulbar. Dia sering cerita awal mula dia tinggal, dengan kehidupan yang sangat sederhana, bahkan katanya ada banyak teman yang tdk sanggup untuk tinggal dan kembali ke daerahnya. Tapi alhamdulillah dengn perjuangan kedua orang tua saya sekarang kita sekeluarga sudah bisa dikatakan sukses dan berhasil.


    1. Alhamdulillah, kita senantiasa bersyukur dan terus berjuang demi masa depan.
      Kadang, jika kita berkisah masa lalu pendahulu kita serasa malu dan minder, tetapi sekarang tidak perlu malu, hal ini merupakan kisah perjalanan hidup yang harus dilalui.


    1. Betul sekali, saya tinggal di SP. 5 Air Tenggulang, walaupun sekarang berdomisili di Kota Sekayu, karena pekerjaan, akan tetapi 2-3 pekan selalu saya ke SP. 5. Karena saya juga salah satu pengelola pesantren di SP. 5 (DAWF).
      Salam kenal dengan kami (Kissparry).

Tinggalkan Balasan

Eksplorasi konten lain dari Kissparry

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca

Eksplorasi konten lain dari Kissparry

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca