Hati-hati Ucapkan Talak atau Cerai, Inilah Pendapat tentang Talak

Terdapat perbedaan pendapat (ikhtilaf) di antara ulama mengenai masalah talak khususnya yang diucapkan talak tiga sekaligus. Bagaimana pun juga, pasangan suami istri harus hati-hati terhadap masalah perkataan yang satu ini, CERAI.

Talagh atau talak adalah memutuskan hubungan antara suami istri dari ikatan pernikahan yang sah menurut syariat agama. Perkataan talak dimiliki oleh seorang suami, dan perkataan ini tidak boleh untuk main-main dalam bentuk apapun. Perkataan talak yang telah diikrarkan biasa disebut jatuhlah talak.

Pengertian

Arti talak itu sendiri menurut Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) adalah ikrar suami di hadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.

Mengenai talak diatur lebih lanjut dalam Pasal 129, Pasal 130, dan Pasal 131 KHI. Pasal 129 KHI berbunyi:

“Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepadaPengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.”

Jadi, talak yang diakui secara hukum negara adalah yang dilakukan atau diucapkan oleh suami di Pengadilan Agama.

Sedangkan, mengenai cerai karena talak yang diucapkan suami di luar Pengadilan Agama, hanya sah menurut hukum agama saja, tetapi tidak sah menurut hukum yang berlaku di negara Indonesia, karena tidak dilakukan di Pengadilan Agama.

Talak yang dilakukan di luar Pengadilan Agama, ikatan suami-istri tersebut belum putus secara hukum. Akibatnya kejadian ini, mereka berada dalam satu atap rumah tetapi secara agama akibat perkataan talak itu berarti sudah bukan suami-istri lagi.

Perceraian atau dalam islam dikenal dengan talak yang dapat diartikan sebagai terlepasnya ikatan sebuah perkawinan atau juga bisa diartikan terputusnya hubungan perkawinan antar suami dan istri dalam jangka waktu tertentu atau untuk selama-lamanya.

Mengapa dikatakan dalam jangka waktu tertentu? Karena dalam Islam diperbolehkan adanya rujuk, dengan beberapa catatan seperti firman Allah SWT berikut ini :

الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْزَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئاً إِلاّض أَنْ يَخَافَا أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Artinya:

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.

Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.

Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya.

Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.” 
(QS. Al- Baqarah ayat 229)

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa talak merupakan perbuatan yang disenangi oleh iblis.

إن إبليس يضع عرشه على الماء ثم يبعث سراياه فأدناهم منه منزلة أعظمهم فتنة يجئ أحدهم فيقول فعلت كذا وكذا فيقول ما صنعت شيئا قال ثم يجئ أحدهم فيقول ما تركته حتى فرقت بينه وبين امرأته قال فيدنيه منه ويقول نعم أنت

Artinya:

Sesungguhnya iblis singgasananya berada di atas laut. Dia mengutus para pasukannya. Setan yang paling dekat kedudukannya adalah yang paling besar godaannya.

Di antara mereka ada yang melapor, ‘Saya telah melakukan godaan ini.’ Iblis berkomentar, ‘Kamu belum melakukan apa-apa.’ Datang yang lain melaporkan, ‘Saya menggoda seseorang, sehingga ketika saya meninggalkannya, dia telah bepisah (talak) dengan istrinya.’

Kemudian iblis mengajaknya untuk duduk di dekatnya dan berkata, ‘Sebaik-baik setan adalah kamu.” 
(HR. Muslim).

Baca juga: Tujuh Kriteria Jilbab Wanita Muslimah

Talak Satu dan Talak Dua

Talak satu dan talak dua, dikatakan bahwa Al Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 229 (seperti tersebut diatas) mengatur hal talak, yaitu talak hanya sampai dua kali yang diperkenankan untuk rujuk kembali atau kawin kembali antara kedua bekas suami istri itu.

Jadi apabila suami menjatuhkan talak satu atau talak dua, ia dan istri yang ditalaknya itu masih bisa rujuk atau kawin kembali dengan cara-cara tertentu.

Arti rujuk kembali ialah kembali terjadi hubungan suami istri antara seorang suami yang telah menjatuhkan talak kepada istrinya dengan istri yang telah ditalak-nya itu dengan cara yang sederhana.

Caranya ialah dengan mengucapkan saja “saya kembali kepadamu” oleh si suami di hadapan dua orang saksi laki-laki yang adil.

Sedangkan arti kawin kembali ialah kedua bekas suami istri memenuhi ketentuan sama seperti perkawinan biasa, yaitu ada akad nikah, saksi, dan lain-lainnya untuk menjadikan mereka menjadi suami istri kembali.

Sungguhpun demikian, dalam masyarakat kita di Indonesia orang selalu menyebut kawin kembali itu dengan sebutan rujuk juga.

Mengenai talak satu atau talak dua ini disebut juga talak raj’i atau talak ruj’i, yaitu talak yang masih boleh dirujuk, yang pengaturannya terdapat dalam Pasal 118 KHI yang berbunyi berikut ini.

“Talak raj’i adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah.”

Jadi, akibat dari talak kesatu dan kedua ini adalah suami istri dapat rujuk atau kawin kembali.

Talak raj’i, pada hakekatnya talak ini dijatuhkan satu kali oleh suami dan suami dapat rujuk kembali dengan istri yang ditalaknya tadi.

Dalam syariat Islam, talak raj’i terdiri dari beberapa bentuk, antara lain: talak satu, talak dua dengan menggunakan pembayaran tersebut (iwadl). Akan tetapi dapat juga terjadi talak raj’i yang berupa talak satu, talak dua dengan tidak menggunakan iwadl juga istri belum digauli.

Baca juga: Keutamaan Menghafal Sepuluh Ayat Surat Al Kahfi

Masa Iddah

Masa iddah atau waktu tunggu adalah waktu yang berlaku bagi seorang istri yang putus perkawinannya dari bekas suaminya. Jadi yang memiliki masa iddah adalah seorang perempuan (janda) yang telah jatuh talak dari mantan suaminya.

Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut.

  • apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qabla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.
  • apabila perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.
  • apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
  • apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

Baca juga: Tutorial Lengkap Shalat Tahajud yang Mudah Diaplikasikan

Talak tiga sekaligus

Mencermati berbagai literatur fiqih di antaranya al-Majmû‘ karya Imam al-Nawawî (631-676 H.), Bidâyat al-Mujtahid karya Ibnur Rusyd (w. 565 H), dan al-Fiqh al-Islâmî wa-Adillatuh karya Syekh Wahbah al-Zuhailî, tentang masalah ini dapat dikelompokkan menjadi empat macam. seperti dikutip dari NU-online

Pertama, pendapat yang menghukumi talak tiga yang diucapkan sekaligus adalah jatuh talak tiga.

Ini pendapat Empat Imam Mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi‘i, Hanbalî), Syiah Zaidiyyah dalam pendapat yang masyhur, dan suatu riwayat Imamiyah, serta pendapat Ibnu Hazm Az-Zhâhirî.

Pendapat ini manqûl (diambil) dari pendapat jumhur sahabat, di antaranya Khulafâ’ur Rasyidun (selain Abu Bakar RA), Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Amar, Ibnu ‘Abbâs, Ibn Mas’ûd, Abû Hurairah, dan para tabi’in.

Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa talak tiga sekaligus hanya jatuh talak satu. Ini pendapat Dâwud Az-Zhâhirî (mazhab Zhahiriyah selain Ibnu Hazm), Ibnu Ishâq, Ibnu Taimiyyah, dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Syiah Zaidiyah dalam satu riwayat, serta sebagian besar Syiah Imamiyah, seperti At-Thûsî (385-460 H).

Pendapat ini, yang awalnya pendapat Abu Bakar RA, dipilih dan diberlakukan dalam undang-undang Mesir tahun 1929, dan undang-undang Suriah tentang Hukum Keluarga (Qânûn al-Ahwâl al-Syakhshiyyah) Pasal 91-92.

Ketiga, pendapat yang menafsil (memerinci), yakni memisahkan antara istri yang sudah digauli oleh suami yang menalaknya dan istri yang belum digauli oleh suaminya.

Talak tiga yang diucapkan sekaligus terhadap istri yang sudah digaulinya, maka jatuh talak tiga, tetapi terhadap istri yang belum digaulinya, maka jatuh talak satu (talak raj’i).

Pandangan ketiga ini adalah pendapat murid-murid Ibnu ‘Abbâs RA di antaranya ‘Atha’, Sa‘îd bin Jubair, Abûs Sya‘tsâ’, ‘Amar bin Dînâr, yang merupakan mazhab Ishâq bin Râhawiyah.

Dalilnya antara lain, HR Abû Dâwud: ”Taukah kamu bahwa bila seseorang menalak istrinya tiga kali sebelum ia berhubungan badan dengannya mereka menjadikan (menghukumi)nya talak satu?” (Lihat An-Nawawi, Kitâb Al-Majmû‘, [Jedah, Maktabah Al-Irsyâd: tanpa tahun], juz XVIII, halaman 275).

Keempat, pendapat yang menyatakan bahwa talak tiga sekaligus tidaklah jatuh talak sama sekali (laysa bisyai’), sebab merupakan bid‘ah muharramah (bid’ah yang diharamkan), tertolak dan batal, sebab menyalahi prosedur Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang talak.

Ini pendapat Al-Hajâj bin Arthâh, Muhammad bin Ishâq, dan Syiah Imâmiyah dalam riwayat yang râjih (unggul).

Berikut di antara referensi tentang jatuhnya talak tiga tersebut:

وإيقاع الثلاث للإجماع الذي انعقد في عهد عمر على ذلك ولا يحفظ أن أحدا في عهد عمر خالفه في واحدة منهما. ثم قال: فالمخالف بعد هذا الإجماع مُـنـابذٌ لـه، والجمهور على عدم اعتبار مَن أحدث الاختلاف بعد الاتفاق.اهـ

Artinya, “Jatuhnya talak tiga-dalam kasus mengucapkan talak tiga sekaligus-itu karena ijmak yang terjadi pada masa pemerintahan ‘Umar bin ‘Affân, dan tidak tercatat adanya seseorang pada masa beliau menentang pendapatnya tersebut…

Maka orang yang menyalahi atau menentang setelah ada ijma’ ini berarti menentang pendapat beliau, dan Jumhur ulama memandang tidak ada penilaian terhadap orang yang membuat perbedaan pendapat setelah terjadi persepakatan tentang hukum tersebut.”

(Ibnu Hajar Al-‘Asqalânî, Syarh Shahîhil Bukhârî [Beirut, Dârul Ma‘rifah: 1379 H], juz X, halaman 364).

Bahkan alangkah baiknya, terutama putusan hakim, mengikuti pendapat yang meringankan (takhfîf), sebagaimana yang telah diberlakukan dalam undang-undang di Mesir dan Suriah, sehingga bisa menjadi hukum yang lebih kuat (al-hukm al-aqwâ) untuk diterapkan, yang menetapkan talak tiga sekaligus adalah jatuh talak satu.

Mengambil atau memilih pendapat yang meringankan (takhfîf) ini, tidak berarti menentang putusan ‘Umar bin Khathab r.a. sebagaimana pula ditetapkan empat imam mazhab, karena persoalan norma hukum dikembalikan kepada (pertimbangan) aspek perubahan hukum sebab adanya perubahan ‘urf/adat-istiadat dan kondisi manusia.

Menerapkan pendapat yang takhfîf ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan (taisîr) bagi manusia, dan menjaga keutuhan hubungan suami istri, serta melindungi kemaslahatan anak-anak, karena ucapan talak tiga sekaligus itu biasanya untuk menakut-nakuti, dan jelas prinsip fiqih itu bersifat solutif (problem solving) dan mengembalikan relasi perkawinan (ruju’).

Wallahu a’lam.  

Demikian agar dapat dipahami dengan baik, dan kita terhindar dari menjatuhkan talak.

Kissparry, diolah dari berbagai sumber
editor Eswedewea

Tinggalkan Balasan

Eksplorasi konten lain dari Kissparry

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca

Eksplorasi konten lain dari Kissparry

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca