Inilah Sejarah Angklung Musik Tradisional Jawa Barat yang Dirayakan Google Doodle Hari Ini | Hari Angklung Sedunia

Google Doodle hari ini, Rabu (16/11/2022) turut memperingati Hari Angklung Sedunia yang diperingati tanggal 16 November setiap tahunnya.

Cara Google memperingati hari spesial angklung tersebut dengan menampilkan ikon Doodle sejumlah orang yang sedang memainkan angklung (liputan6).

“Doodle animasi hari ini merayakan Angklung, alat musik Indonesia yang terbuat dari bambu. Pada hari ini di tahun 2010, UNESCO secara resmi menyatakan angklung sebagai barang Warisan Dunia,” tulis Google.

Google menulis bahwa angklung merupakan alat musik yang berasal dari Jawa Barat, Indonesia. Penduduk desa percaya bahwa suara bambu dapat menarik perhatian Déwi Sri, dewi padi dan kemakmuran.

“Setiap tahun, pengrajin terbaik desa menggunakan bambu hitam khusus untuk membuat angklung. Pada musim panen, mereka mengadakan upacara dan memainkan angklung dengan harapan dewa akan memberkati mereka dengan hasil panen yang subur,” tulis Google.

Angklung ini juga masih menjadi pokok budaya Indonesia. Seringkali pemerintah menyelenggarakan pertunjukan angklung untuk menyambut tamu terhormat di Istana Kepresidenan.

Angklung adalah salah satu alat musik tradisional Indonesia yang terbuat dari bambu. Alat musik tradisional ini dikenal sebagai alat musik yang berasal dari tanah Sunda yaitu Jawa Barat. Dikutip dari Kompas.com.

Berbeda dengan alat musik tradisional lainnya yang cara memainkannya dipukul atau ditiup. Cara memainkan angklung terbilang sangat unik, karena dilakukan dengan cara digetarkan atau digoyangkan.

Alat musik tradisional angklung ini terdiri dari dua, tiga, atau empat bambu yang memiliki susunan dua, tiga, dan empat nada.

Bambu yang biasanya digunakan untuk membuat angklung adalah awi wulung atau bambu hitam dan awi temen atau bambu putih.

Melansir dari laman resmi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, angklung sudah tercatat juga sebagai warisan budaya oleh United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO).

Sejarah Angklung

Dilansir dari situs Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemdikbud Republik Indonesia, angklung adalah alat musik tradisional yang memiliki nada ganda yang sudah dikenal sejak abad ke-11.

Nama angklung sendiri berasal dari bahasa Sunda, yaitu angkleung-angkleung. Terdiri dari dua suku kata yaitu angka yang berarti nada dan lung yang berarti pecah.

Bunyi pada angklung sendiri dihasilkan oleh adanya benturan pada badan pipa bambu, sehingga dapat menghasilkan suatu bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2,3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran. Baik ukuran yang besar maupun yang kecil.

Permainan pada era abad ke-12 sampai ke-16 dilakukan demi pemujaan terhadap Nyai Sri Pohaci yang merupakan lambang dari Dewi Sri yaitu dewi kesuburan atau dewi padi.

Selain untuk pemujaan, kisah yang tercatat dalam Kidung Sunda mengatakan bahwa alat musik ini dimainkan untuk memacu semangat para prajurit saat berperang.

Dalam perkembangannya, syair lagu-lagu banyak yang diiringi dengan bunyi tetabuhan yang terbuat dari batang bambu yang dibuat dengan sederhana, yang kita kenal dengan nama angklung.

Seiring perkembangan zaman, angklung masih digunakan sebagai alat musik untuk berbagai pertunjukan.

Setelah Proklamasi, pertunjukan angklung ini dilakukan oleh tokoh angklung nasional, yaitu Daeng Soetigna dalam Perundingan Linggarjati 1946. Daeng Soetigna juga dikenal dengan julukan Bapak Angklung Indonesia.

Sebab, ia berhasil menciptakan angklung dengan tangga nada diatonik, sehingga alat musik tersebut dapat dimainkan secara harmonis bersamaan dengan alat musik lainnya.

Usaha dalam melestarikan angklung sebagai alat musik tradisional ini dilanjutkan oleh sang murid, yaitu Udjo Ngalagena. Seiring dengan kepopulerannya di mancanegara, maka akhirnya di tahun 2010, UNESCO menetapkan bahwa angklung sebagai warisan budaya yang perlu dilestarikan.

Cara Memainkan Angklung

Angklung adalah alat musik tradisional melodis yang menghasilkan bunyi jika digoyangkan. Bunyi tersebut berasal dari adanya benturan atau gesekan antara tabung dan bilah bambu yang dirangkai dengan sedemikian rupa.

Berikut ini cara memainkan alat musik angklung:

1. Teknik getar atau kurulung

Teknik kurulung adalah cara yang biasanya digunakan untuk memainkan alat musik tradisional yang satu ini.

Cara memainkan angklung dengan teknik ini adalah satu tangan memegang rangka angklung, sedangkan tangan yang lainnya menggoyangkan angklung.

Goyangkan angklung sesuai dengan nada yang diinginkan, hingga tabung-tabung pada bambu yang ada ini saling beradu dan mampu menghasilkan bunyi.

2. Teknik sentak atau cetok

Teknik cetok dalam permainan angklung dilakukan dengan cara menarik tabung dasar dengan cepat menggunakan jari ke telapak tangan.

Teknik ini bisa menghasilkan bunyi satu kali saja atau staccato.

3. Teknik tengkep

Cara memainkan angklung dengan Teknik tengkep ini tidak jauh berbeda dengan Teknik kurulung.

Adapun yang membedakannya adalah pada teknik tengkep ini salah satu tabung pada angklungnya ditahan menggunakan jari supaya tidak ikut bergetar. Angklung menjadi alat musik tradisional yang menjadi warisan budaya Indonesia.

Angklung berkembang dari sekadar alat musik tradisional yang tidak banyak orang ketahui, menjadi alat musik tradisional yang paling terkenal dari Indonesia.

Jenis Angklung

Angklung adalah alat musik khas Indonesia yang banyak dijumpai di daerah Jawa Barat. Alat musik tradisional ini terbuat dari tabung-tabung bambu. Disadur dari laman kemdikbud.go.id.

Sedangkan suara atau nada alat ini dihasilkan dari efek benturan tabung-tabung bambu tersebut dengan cara digoyangkan.

Sebagai bentuk pengakuan alat musik Indonesia, Angklung telah terdaftar sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity dari UNESCO sejak November 2010.

Angklung memiliki beberapa jenis, antara lain :

Angklung Kanekes,

Angklung Dogdog Lojor,

Angklung Gubrag, dan

Angklung Padaeng.

a. Angklung Kanekes

Angklung Kanekes adalah Angklung yang dimainkan oleh masyarakat Kanekes (Baduy), di daerah Banten.

Tradisi Angklung yang ada pada masyarakat Kanekes ini terbilang kuno, dan tetap dilestarikan sebagaimana fungsi yang dicontohkan leluhur mereka, yakni mengiringi ritus bercocok-tanam (padi), bukan semata-mata untuk hiburan orang-orang.

Angklung digunakan atau dibunyikan ketika mereka menanam padi di huma (ladang). Pada masyarakat Kanekes, yang terbagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok Baduy Luar (Kajeroan) dan kelompok Baduy (Luar Kaluaran), yang berhak membuat Angklung hanyalah warga Baduy Jero, itu pun tidak semua orang, melainkan hanya mereka yang menjadi keturunan para pembuat Angklung.

Sementara itu, warga Baduy Luar tidak membuat Angklung, melainkan cukup membelinya dari warga Baduy Jero. Nama-nama Angklung di Kanekes dari yang terbesar adalah: indung, ringkung, dongdong, gunjing, engklok, indung leutik, torolok, dan roel.

Baca juga : Museum Angkut Batu Jatim Masih Tujuan Utama Wisata di Malang Penghujung 2020

b. Angklung DogDog Lojor

Angklung ini sering digunakan pada kesenian dogdog lojor yang terdapat di masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan atau kesatuan adat Banten Kidul yang tersebar di sekitar Gunung Halimun.

Istilah Dogdog Lojor sendiri sejatinya diambil dari nama salah satu instrumen dalam tradisi ini, yakni Dogdog Lojor.

Angklung yang digunakan memiliki fungsi pada tradisinya, yakni sebagai pengiring ritus bercocok-tanam. Setelah masyarakat di sana menganut Islam, dalam perkembangannya, kesenian tersebut juga digunakan untuk mengiringi khitanan dan perkawinan.

Dalam kesenian Dogdog Lojor, terdapat 2 instrumen Dogdog Lojor dan 4 instrumen angklung besar.

c. Angklung Gubrag

Angklung gubrag terdapat di kampung Cipining, kecamatan Cigudeg, Bogor. Angklung ini telah berusia tua dan digunakan untuk menghormati dewi padi dalam kegiatan melak pare (menanam padi), ngunjal pare (mengangkut padi), dan ngadiukeun (menempatkan) ke leuit (lumbung).

Dalam mitosnya angklung gubrag mulai ada ketika suatu masa kampung Cipining mengalami musim paceklik. Hal ini terkait mitos Dewi Sri yang enggan menurunkan hujan.

Baca juga : Apa itu Lampu Petromax, Sejarah Petromak dan Mengenang Pakdhe-ku Tukang Lampu

d. Angklung Padaeng

Angklung Padaeng dikenalkan oleh Daeng Soetigna sekitar tahun 1938. Inovasi angklung padaeng ini terdapat pada laras nada yang digunakan yaitu diatonik yang sesuai dengan sistem musik barat.

Sejalan dengan teori musik, Angklung Padaeng secara khusus dibagi ke dalam dua kelompok, yakni: angklung melodi dan angklung akompanimen.

Angklung melodi adalah yang secara spesifik terdiri dari dua tabung suara dengan beda nada 1 oktaf.

Pada satu unit angklung, umumnya terdapat 31 angklung melodi kecil dan 11 angklung melodi besar.

Sementara itu, angklung akompanimen adalah angklung yang digunakan sebagai pengiring untuk memainkan nada-nada harmoni. Tabung suaranya terdiri dari 3 sampai 4, sesuai dengan akor diatonis.

Setelah inovasi Daeng Soetigna, pembaruan-pembaruan lainnya terhadap angklung terus berkembang. Beberapa diantaranya adalah: Angklung Sarinande, Arumba, Angklung Toel, dan Angklung Sri Murni.

Baca juga : Wayang Ada Masalah? Sejarah Buktikan Wayang Jadi Media Dakwah Efektif

Saung Udjo

Salah satu tempat yang masih melestarikan kebudayaan angklung adalah Saung Udjo. Di sanggar yang terletak di Kota Bandung ini, pengunjung tidak hanya dapat melihat berbagai jenis angklung, tapi juga belajar proses pembuatan angklung.

Pusat Kerajinan Angklung Udjo Bandung (11/11/2011) Arsip

Inilah alat musik yang mungkin sering kita jumpai diberbagai tempat, saat ini seniman angklung sudah menyebar.

Diolah dari berbagai sumber

Baca juga : Sejarah Awal Mula Salat Tarawih yang Dijalankan Rasulullah

oleh Eswede Weanind
editor Kissparry

Tinggalkan Balasan

Eksplorasi konten lain dari Kissparry

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca

Eksplorasi konten lain dari Kissparry

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca