Bunga untuk Ibuku | 34, Cerbung Tien Kumalasari

BUNGA UNTUK IBUKU 34
(Tien Kumalasari)

Wijan merasa aneh. Bagaimana bibik bisa mengira seorang bernama Bejo sebagai ayahnya?

“Bik, aku agak kurang jelas, bibik bertemu seseorang bernama Bejo, lalu bibik mengira dia bapak?”

“Mas Wijan pasti tak akan percaya, tadinya bibik mengira itu adalah bapak, wajahnya sangat mirip, tapi ketika bibik bertanya, dia bernama Bejo, sedang mengantarkan mboknya berobat.”

“Apakah Nilam ada? Aku mau bicara, kalau dia belum berangkat sekolah. Pasti sekarang dia sudah SMA, kan?”

Bibik tertegun. Rupanya Wijan tidak tahu apa-apa setelah kepergiannya.

“Mas Wijan,” tiba-tiba bibik terisak.

Wijan sangat heran, mengapa bibik tiba-tiba menangis.

“Bibik, kenapa?”

“Banyak yang Mas Wijan tidak mengetahuinya. Waktu itu, ketika mbak Nilam sembuh dari sakit, mencari Mas Wijan tidak ketemu. Setelah tahu kalau mas Wijan pergi dari rumah, Mbak Nilam juga pergi, Mas,” bibik semakin terisak

“Pergi? Kemana? Sekarang di mana dia, Bik?”

“Bibik tidak tahu Mas, bibik juga pergi hari itu juga, tidak tahan melihat rumah yang berantakan. Maksud bibik, penghuninya yang berantakan. Bibik sedih, bibik hanya berharap bapak segera ditemukan.”

“Berantakan bagaimana Bik?”

“Mas, ibu memasukkan laki-laki ke rumah, bersikap seperti suami istri. Setiap hari tidur di sana, Mas. MBak Hasti juga sama saja.”

Wijan merasa miris.

“Bapak belum diketahui bagaimana nasibnya, istrinya sudah berbuat yang tidak pantas, tidak tahu malu. Bibik tidak tahan melihat itu semua.”

“Sampai sekarang bibik belum tahu Nilam di mana? Apakah dia pergi mencari aku, lalu pulang setelah tidak ketemu?”

“Tidak tahu Mas, bibik juga langsung pergi. Tadinya bermaksud mencari mbak Nilam, tapi ke mana bibik harus mencari? Lalu bibik tidak tahu lagi bagaimana kabarnya.”

“Jadi sekarang bibik di mana?”

“Di kampung lah Mas, mau kemana lagi. Beberapa hari yang lalu bibik membezoek kerabat bibik yang dirawat di rumah sakit. Jauh dari kampung bibik Mas, ya di rumah sakit itu saya ketemu bapak itu. Bibik sudah merasa senang, lalu bibik dekati dia, tapi dia bilang namanya Bejo, sedang mengantar mboknya, yang katanya bernama Supi. Lalu bibik meninggalkannya. Wajahnya memang persis bapak, tapi penampilannya sangat beda. Bajunya kumuh, celananya kombor sebatas lutut. Ya seperti penampilan orang yang nggak punya, begitu.”

Entah mengapa, Wijan sangat tertarik mendengar cerita bibik. Laki-laki bernama Bejo yang mirip ayahnya? Ada getaran aneh menelusuri sekujur tubuhnya.

Barangkali karena cerita bahwa wajahnya mirip, atau barangkali teringat akan mimpinya semalam. Tiba-tiba ia ingin pergi ke rumah sakit itu, melihat laki-laki dengan wajah mirip ayahnya.

“Mas Wijan sekarang ada di mana?”

“Aku di Jogya bik, tapi aku sudah mau kuliah, ini sedang menunggu pengumuman penerimaan mahasiswa baru.”

“Ya Tuhan, terima kasih, mas Wijan tidak putus semangat. Senang bibik mendengarnya.”

“Bibik, aku minta alamat kampung bibik ya, aku mau ketemu bibik.”

“Ya Mas, akan bibik kirimkan alamatnya, senang bertemu Mas Wijan,” kata bibik bersemangat.

“Aku akan mengajak bibik ke rumah sakit itu.”

“Rumah sakit mana Mas?”

“Rumah sakit, dimana bibik ketemu laki-laki bernama Bejo itu.”

“Oh, apakah Mas Wijan berharap, laki-laki itu adalah bapak?”

“Harapan itu ada. Aku yakin bapak masih hidup, karena kalau sudah meninggal, jasadnya pasti ditemukan.”

“Baiklah Mas, bibik akan menemani Mas Wijan ke sana.”

Pembicaraan itu ditutup dengan tangis bahagia bibik karena bisa bicara dengan majikan muda yang sangat disayanginya.

*

Wijan bergegas mandi, lalu pergi ke kampus. Ingin ia bersorak, karena dia diterima. Wijan akan mengurus semuanya, nanti setelah dia pergi bersama bibik.

Ia langsung berangkat. Bayangan laki-laki bernama Bejo itu adalah ayahnya, menerpa sanubarinya. Atau mungkin juga harapannya, entahlah, yang jelas dia penasaran. Wijan sangat bersemangat untuk ketemu dia.

Hari belum begitu siang ketika Wijan menemukan rumah bibik. Rumah sederhana yang kecil tapi bersih dan rapi. Bibik menyambutnya dengan suka cita. Ia memeluk Wijan lama sekali, sambil berurai air mata suka cita.

“Bibik sudah langsung mandi dan rapi setelah mas Wijan menelpon. Syukurlah lancar bisa menemukan gubug bibik ini.”

“Bibik tinggal sendiri?”

“Iya. Tapi kerabat bibik tinggal tak jauh dari rumah. Yang jelas bibik tidak akan kesepian. Hanya saja bibik sangat rindu mas Wijan, rindu mbak Nilam, entah bagaimana kabarnya sekarang. Kasihan dia, sebenarnya mbak Nilam tidak suka melihat laki-laki bercambang itu ada di rumah. Dia tak pernah mau bertemu, waktu itu. Kasihan kalau kelakuan ibu berlanjut seperti itu,” keluh bibik.

“Aku juga memikirkan Nilam, disamping berharap bisa segera bertemu bapak.”

“Kasihan dia Mas, mbak Nilam gadis yang baik. Jauh bedanya kelakuan mbak Nilam dan kakaknya, apalagi ibunya.”

“Ya sudah Bik, apa kita berangkat sekarang?”

“Mas Wijan jangan terburu-buru. Dari rumah pasti belum sarapan kan? Bibik siapkan makan dulu, baru kita berangkat,” kata bibik yang langsung pergi ke belakang.

Wijan tak bisa menolak. Ia harus menahan keinginannya yang besar untuk bertemu Bejo, demi menghormati sambutan bibik yang dengan penuh kegembiraan menghidangkan makan untuknya.

*

Dalam kebingungannya mencari rumah Raharjo, Bejo sampai menginap di kota itu selama tiga hari. Ia tidur di emperan toko atau di mushala yang ditemuinya, setiap kali merasa lelah.

Tapi setiap hari dia menyambangi rumah Raharjo, yang dari hari ke hari tetap saja gerbangnya digembok. Bejo merasa putus asa, kemudian bermaksud pulang ke rumah simbok. Kecuali itu dia juga sudah kehabisan uang.

Untunglah saat simbok meninggal, tetangga dekat mengurus pemakamannya, sehingga uang simbok masih tersisa. Tapi ia sudah mempergunakannya untuk ongkos bepergian dalam mencari alamat Raharjo, juga untuk makan seadanya.

Sekarang tinggal beberapa puluh ribu, yang akan digunakannya untuk ongkos pulang. Dompet itu masih disimpannya dalam saku. Tak berani mengusik selembarpun dari uang itu, walau dia kelaparan atau menginginkan sesuatu.

Pesan wanti-wanti simbok selalu dipegangnya erat. Sayang sekali dia belum bisa menemukannya.

Dalam perjalanan pulang, didalam bis yang membawanya, Bejo berpikir, apakah sebaiknya menyerahkan dompet itu kepada polisi saja? Bisakah polisi menemukannya?

Tapi Bejo merasa tidak puas kalau bukan dirinya yang mengembalikan dompet itu, sesuai dengan pesan almarhumah simboknya.

Ketika dia minta diturunkan di pinggir sawah yang dekat dengan rumah simbok, sebelum kakinya melangkah turun, ia melihat seorang wanita yang wajahnya seperti sudah pernah dikenalnya. Wanita itu sedang terkantuk-kantuk diatas tempat duduknya.

Bejo ingin menyapanya, tapi bis yang ditumpanginya sudah melaju.

Bejo melangkah, melintasi jembatan yang menuju ke arah rumah simbok, dengan perasaan gelisah. Wanita itu yang dulu menyebut dirinya Raharjo.

Sebenarnya dia bisa menanyakannya, barangkali dia mengenali dompet itu, atau sedikit bisa mengatakan tentang Raharjo yang dikenalnya. Mungkinkah Raharjo yang sama?

Sampai dia memasuki rumahnya, sesal itu masih terus menggayutinya.

Bejo masuk ke dalam bilik simbok, langsung memasukkan dompet itu ke dalam kalengnya lagi.

“Maaf Mbok, ketemu alamatnya tapi belum ketemu orangnya.”

Bejo merasa sangat letih dan badannya lengket. Berhari-hari tidak mandi dan tetap memakai selembar pakaian yang dipakainya, membuatnya risih. Ia mengambil pakaian bersih, kemudian pergi mandi.

*

Bunga Mawar Pink (koleksi Iin Weanind 20190406)

Bibik dan Wijan sudah sampai di rumah sakit yang dulu bibik pernah mengunjunginya, saat membezoek salah seorang kerabat. Tapi sehari setelahnya, kerabatnya sudah dibawa pulang karena sudah sembuh. Tapi sekarang bibik datang lagi bersama Wijan, untuk menanyakan pasien bernama Bejo. Eh bukan, mboknya Bejo.

“Bik, mboknya Bejo namanya siapa ya? Apa masih dirawat di sini?”

“Sebengtar Mas, bibik ingat-ingat dulu. Dia bilang, namanya Bejo, sedang mengantarkan mboknya yang bernama Supi … ya Mas, Supi.”

“Saya akan menanyakannya.”

Lalu Wijan pergi ke loket informasi, menanyakan pasien bernama Supi yang beberapa hari yang lalu di rawat di sini.

“Namanya Supi? Maksudnya Supini?”

Wijan menoleh ke arah bibik, tapi bibik pun tidak tahu kelanjutan namanya siapa. Atau diberi tahu tapi lupa?

“Mungkin Supini, kami tahunya Supi.”

“Kalau itu Supini, dia sudah meninggal,”

“Sudah meninggal ?”

“Dia tidak sempat dirawat, meninggal beberapa jam setelah dibawa kemari.”

“Bisakah kami tahu alamatnya?”

“Anda siapanya?”

“Kerabatnya dari jauh, tapi kami tidak tahu nama lengkapnya.”

Petugas itu memberitahukan alamat mbok Supi.

*

Di kampung, mencari seseorang tidak begitu susah, karena satu sama lain saling kenal dan lebih akrab seperti saudara. Jadi setelah bertanya ke sana kemari, mereka segera bisa menemukan dimana letak rumah mbok Supi.

Hanya saja, dari jalan raya mereka berjalan cukup jauh. Melalui jembatan bambu, masih berjalan lagi kira-kira satu kilometer.

Rumah mbok Supi agak terpencil, jauh dari tetangga kiri kanan, tapi dibelakangnya ada kebun sayuran yang subur karena sangat terawat. Dalam hati Wijan berdebar.

Seperti apa sebenarnya orang yang kata bibik mirip dengan ayahnya? Terkadang Wijan merasa bodoh, hanya karena mirip, lalu berusaha menemuinya.

Tapi itu adalah kehendak hatinya yang dia sendiri susah untuk mengendalikannya. Seperti sebuah dorongan yang kuat, dan membuatnya bingung sendiri.

Tak terasa langkah Wijan dan bibik sudah sampai di depan rumah. Rumah beratap rumbai dan berdinding bambu, lantainya juga terbuat dari tanah. Wijan merasa miris membayangkan, kalau benar ayahnya tinggal di rumah ini.

“Permisiiii,” kata bibik sambil melongok ke dalam. Pintu rumah itu memang terbuka lebar.

“Assalamu’alaikum ….”

Sepi. Bibik dan Wijan melangkah melalui samping rumah, ke arah belakang, sambil sebentar-sebentar berteriak mengucapkan salam. Tetap tak ada jawaban. Keduanya terus berjalan ke arah belakang rumah.

Wijan berdebar. Dari jauh ia melihat sosok yang berdiri membelakanginya. Tampaknya ia sedang mengumpulkan kayu bakar.

“Benarkah dia bapak?” gumam Wijan lirih.

“Assalamu’alaikum …..”

Laki-laki itu menoleh. Pertama-tama yang dilihatnya adalah Wijan. Ada sesuatu berkelebat dalam kepalanya, tapi ia tak tahu dengan siapa dia berhadapan. T

Tapi dia terkejut melihat bibik. Tadi dia melihatnya duduk di dalam bis, tapi di belakang, jadi Bejo tidak melihat sebelumnya dan tidak menyapanya.

Wijan menatap nanar laki-laki itu. Wajah ayahnya, benar-benar wajah ayahnya. Pantas saja bibik salah menyapa.

“Mau mencari siapa ya? Kalau simbok, dia sudah meninggal beberapa hari yang lalu,” kata Bejo sambil mendekat.

“Bapak …?” lirih Wijan menyapa, karena masih ragu.

Bejo menampakkan wajah masam. Dia masih bujangan, siapa memanggilnya bapak?

“Bapak siapa ya? Saya masih bujangan.”

Wijan diam, tapi terus mengawasi laki-laki setengah tua yag masih tampak gagah itu. Kalau ayahnya, mengapa tidak mengenalinya?

“Ibu itu dulu yang ketemu di rumah sakit ya? Lalu mengira saya Raharjo?” Bejo menatap bibik.

“Iya, benar Pak. Soalnya Bapak sangat mirip dengan majikan saya.”

“Yang namanya Raharjo itu?”

“Iya, ini putra pak Raharjo.”

“O, dia, ganteng sekali. Tapi tunggu, saya ingin bertanya tentang yang namanya Raharjo. Oh ya, maaf, kenapa omong-omong sambil berdiri di kebun? Saya tadi baru mencari kayu bakar. Saya akan merebus singkong, tapi kayunya habis,” kata Bejo tersipu.

“Ayo duduk di depan,” kata Bejo sambil melangkah ke arah depan, Wijan dan bibik mengikutinya.

“Cara dia berjalan juga seperti bapak,” bisik Wijan di dekat bibik.

“Silakan, saya hanya punya bangku dari bambu, silakan duduk. Saya ingin menyuguhkan minuman, tapi belum sempat merebus air, habis kayu bakarnya baru saya kumpulkan.”

“Tidak apa-apa, kita duduk-duduk saja Pak.”

“Saya baru pulang dari kota Solo.”

“Oh, kami tadi juga lewat Solo.”

“Saya tahu, karena saya melihat ibu dan adik ini duduk di belakang saya.”

“Benarkah?” kata Wijan dan bibik hampir bersamaan.

“Saya tahunya ketika turun di depan sana.”

“Ooh … Bapak punya kerabat di Solo?”

“Ya tidak, saya orang desa, keluarga saya cuma simbok, tapi sudah meninggal.”

“Kenapa Bapak pergi ke Solo?”

“Begini, almarhumah simbok itu menemukan sebuah dompet, isinya uang banyak. Ditemukan dipinggir kali. Sebelum meninggal, simbok berpesan agar saya mencari pemilik dompet itu. Saya bingung, harus mencari ke mana. Saya membuka dompet itu lagi, ada kartu-kartu, yang sudah rusak terkena air. Sebagian besar tidak terbaca. Tapi saya membaca tulisan sedikit-sedikit, sebuah nama, Raharjo.”

“Itu punya ayah saya.” Wijan memekik.

“Saya membaca alamat yang terpotong-potong karena sebagian sudah kusam, tapi bisa menemukan rumahnya. Rumah bagus, besar, tapi pintunya digembok. Saya sempat bertanya kepada tukang sampah yang lewat, katanya, pak Raharjo kecelakaan dan belum ditemukan, lalu istrinya ditangkap polisi bersama selingkuhannya. Sedangkan anak-anaknya pergi entah kemana,” kata Bejo berterus terang.

“Itu ayah saya.”

Bejo masuk dan kembali dengan membawa dompet itu. Wijan mendekap dompet itu didadanya.

“Ini milik bapak,” katanya gemetar.

“Kalau begitu saya merasa lega, bisa mengembalikan dompet itu ke pemiliknya.”

*

Besok lagi ya — bersambung
by Tien Kumalasari

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.