Ada Cinta Dibalik Rasa | 18, Cerbung Tien Kumalasari

ADA CINTA DI BALIK RASA 18
(Tien Kumalasari)

Nilam terguguk dalam rasa. Ingin mencari hiburan saja terhambat oleh keadaan. Ia masih memegang ponselnya, ketika Jatmiko masih bicara lagi.

“Nilam, apa kamu mau, kami menjemputmu? Lebih menyenangkan kalau ada kamu.”

“Apa? Tidak, terima kasih. Bersenang-senanglah. Aku mau jalan-jalan sama Nugi saja.”

Tanpa menunggu jawaban, Nilam langsung menutup ponselnya.

Nugi yang mendengar namanya disebut, langsung berlari mendekat.

“Mbak Nilam mau mengajak Nugi? Nugi sudah selesai belajar,” katanya riang.

Nilam menatap wajah kecil dengan mata bening yang menatapnya penuh harap. Batinnya berbisik. Ada orang lain yang harus diberinya cinta, mengapa sedih? Ia segera merangkul adik yang sebenarnya adalah keponakannya itu penuh kasih. Perlahan rasa nyeri dihatinya mencair.

“Benarkah? Sudah selesai belajarnya?”

Nugi mengangguk penuh semangat. Nilam menoleh kepada ibunya yang menatap keduanya sambil tersenyum. Suri tidak pernah merasa kehilangan cinta. Ketika sekeping cintanya hilang, ia segera mendapat gantinya, cinta cinta dari sosok belia dan bayi merah yang merenggut kasih sayangnya sepenuh jiwa.

Suri mengangguk.

“Bolehkah ibu ikut?”

“Horeee, jalan-jalan sama ibu. Bagaimana mbak Nilam memboncengkan aku dan ibu yang gendut?” pekik Nugi.

Nilam tertawa.

“Namanya jalan-jalan ya jalan. Kenapa kamu bilang ibu itu gendut? Ini ibu kita yang cantik, tak ada duanya,” kata Nilam sambil menjewer kuping Nugi.

Nugi terkekeh sambil berlari menjauh. Ia merapikan buku-buku pelajarannya, kemudian berlari ke kamar untuk mengganti baju.

Nilam tersenyum senang. Ada banyak cinta didapatkannya, mengapa patah hati bisa mengalirkan air mata dukanya?

Iapun segera mengganti baju dan bersiap untuk pergi. Suri sudah lebih dulu meninggalkan kamar anaknya untuk bersiap-siap. Senang hatinya melihat senyum sumringah Nilam yang tersembunyi sejak kemarin harinya.

*

Anjani menatap Jatmiko yang tampak kecewa ketika Nilam menutup pembicaraan mereka, setelah Nilam lebih dulu menelponnya.

“Kenapa, Miko? Kamu kecewa, mbak Nilam menolak untuk pergi bersama kita?”

“Bukan begitu, kalau tadi Nilam mengatakan bahwa dia ingin jalan-jalan, aku bisa nyamperin dia lebih dulu sebelum menjemputmu.”

“Mungkin keinginannya jalan baru saja. Kenapa sih? Kamu kecewa?”

“Tidak.”

“Menyesal karena lebih dulu mengajak aku?”

“Tidak. Sudahlah, jangan dipikirkan. Ayo kita makan, sejak siang aku belum sempat makan.”

“Kok bisa. Harusnya saat istirahat kamu harus mempergunakannya untuk makan.”

“Di kantor banyak sekali pekerjaan. Aku tidak sempat makan.”

“Kasihan, kamu lapar ya sekarang?”

“Dulu, saat aku kelaparan, kamu selalu datang membawakan aku sepotong roti,” kata Jatmiko sambil mengajak Anjani masuk ke dalam sebuah rumah makan.

“Hanya sepotong roti, dan sekarang kamu bisa mengajak aku makan di sebuah restoran.”

Mereka duduk dan memesan makanan serta minuman, sambil meneruskan percakapan mereka.

“Dunia terus berputar. Hari yang berjalan bisa mengubah apapun yang terjadi. Hari kemarin tidak selalu sama dengan hari ini. Kalau dulu aku menderita, sekarang aku merasa mendapatkan anugerah kehidupan yang lebih baik.”

“Kebalikan dengan kehidupanku,” keluh Anjani. Tapi kemudian ia tersenyum.

“Semoga aku akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik, paling tidak perasaanku yang tertekan.”

“Aku ingin sekali menolong kamu, dengan meminjam dari perusahaan tempat aku bekerja, tapi saat sekarang perusahaan sedang banyak masalah, aku belum berani mengutarakan keinginanku pada pimpinan.”

“Miko, aku berterima kasih karena kamu peduli. Tapi tampaknya aku akan segera bisa lepas dari belenggu ini. Semoga saja.”

“Benarkah? Laki-laki itu mengurungkan niatnya?”

“Bapak menjual rumahnya, dan bermaksud akan mengembalikan semua uang yang sudah dikeluarkan oleh laki-laki itu.”

“Oh, alhamdulillah, aku senang mendengarnya. Berhari-hari aku memikirkan, bagaimana bisa melepaskan kamu dari belenggu yang menyakitkan itu, dan ternyata ayahmu sudah mendapatkan jalan keluarnya. Tapi kenapa tidak dari dulu hal itu dilakukan?”

“Awalnya kami mengira akan bisa mengatasi masalah sakitnya bapak, tapi ternyata pengobatan itu harus berlaku terus-menerus, bahkan kemudian bapak harus dioperasi.

Ketika itulah dia masuk ke dalam masalah dan aku mengira dia dengan suka rela membantu, dengan mengeluarkan banyak uang. Tapi tidak, ternyata tidak dengan suka rela. Diam-diam dia membujuk ibuku untuk menukar kebaikan itu dengan menyerahkan aku padanya.

Ketika aku mengusulkan untuk menjual rumah itu, ibu sangat menentangnya, karena barangkali sudah terikat dengan ‘kebaikannya’. Ayahku mengira aku dengan suka rela melakukannya, tapi kemudian, entah mengapa, bapak mencium ketidak tulusanku.

Tiba-tiba bapak bermaksud menjual rumah itu, dan sudah berhasil mendapatkan pembeli, bahkan sudah mendapat bayaran separonya. Besok aku menemani bapak mengurus pemindahan kepemilikan itu ke notaris, lalu mengembalikan uang laki-laki itu “

“Syukurlah, senang mendengarnya, bahkan bahagia mendengar kamu akan terlepas dari beban yang membelenggumu.”

Anjani menatap Jatmiko dengan tatapan berterima kasih. Tapi ada sesuatu terselip pada tatapan itu, dan Anjani berdebar tiba-tiba, Perasaan apa ini?

“Jani, mengapa menatapku seperti itu?”

Anjani tiba-tiba merasa gugup mendapat pertanyaan itu.

“Ap … apa? Apa maksudmu? Aku tidak … tidak menatapmu.”

“Kamu itu lucu, bukankah kamu sedang menatapku? Ada yang aneh dalam tatapan itu, aku merasa ada yang lain. Kamu kesal karena aku tidak bisa membantumu?”

“Apa? Mengapa kamu berpikir begitu? Tidak Miko, aku harus berterima kasih karena perhatian kamu. Kamu sudah cukup membantu dengan menguatkan aku.”

“Anjani, kalau kamu berbahagia, aku juga akan berbahagia.”

“Untuk itulah aku berterima kasih.”

Mereka makan dan hampir menyelesaikannya, ketika terdengar sebuah teriakan mengejutkan.

“Mas Mikoooo !” lalu seorang gadis cantik mendekat.

Jatmiko dan Anjani langsung mengangkat kepalanya, menatap gadis cantik yang melangkah mendekati meja mereka.

“Erma!”

“Kalau ingin jalan-jalan kenapa tidak mengajak aku? Aku kesepian,” katanya sambil duduk diantara mereka.

“Aku tidak tahu kalau kamu ada di sini.”

“Aku sudah tiga hari, nggak tahu harus ke mana. Kebetulan ketemu mas Miko. Besok aku akan ajak mas Miko jalan-jalan,” katanya seenaknya.

“Kami sudah mau selesai,” kata Miko yang ingin menghindar.

“Hei, jangan dulu, biar aku pesan, walau sekedar minum,” katanya sambil melambai ke arah pelayan.

“Nanti dulu, ini pacarmu mas?” katanya sambil menatap Anjani yang diam saja.

“Eh, iya, kenalkan, ini Anjani, sahabatku, dan ini, Erma, putri dari bosku,” kata Jatmiko memperkenalkan mereka.

Anjani tersenyum, mengulurkan tangannya, Erma menyambutnya sambil menatapnya tajam. Ia seperti pernah melihat gadis itu, dan sedang mengingat-ingatnya.

Anjani melepaskan tangannya, lalu kembali duduk dari semula berdiri menyambutnya ramah.

“Duduklah, kami akan menemani kamu sebentar,” kata Jatmiko.
Erma memesan minuman kepada pelayan yang sudah agak lama menunggu, kemudian duduk. Tapi ia terus saja menatap Anjani.

“Di mana ya, aku serasa pernah melihat wajah ini?” gumamnya.

“Bisa jadi pernah ketemu di jalan, mengapa kamu serius sekali mengingatnya?” tegur Jatmiko.

“Tapi … haaa, aku ingat. Bukankah kamu calon ibu tiriku?” pekiknya tanpa sungkan, membuat Anjani dan Jatmika terperanjat.

“Apa maksudmu?” tanya Jatmiko tak kalah keras.

“Baru tadi aku melihat di ponsel ayahku, wajah ini, yang dikatakan ayahku bahwa dia ini calon istrinya.”

Anjani pucat pasi, apakah Erma anaknya Usman? Jatmiko menatap Anjani lekat-lekat, dan melihat Anjani tampak lesu.

“Apakah laki-laki yang kamu ceritakan itu bernama Usman?”

Anjani mengangguk lemah.

“Tuh, kan. Kalian sudah membicarakan ayahku? Aneh juga melihatmu. Kamu begini cantik, mengapa mau menjadi istri ayahku? Kamu menginginkan hartanya, karena ayahku kaya raya?” tudingnya dengan mata menatap tajam. Anjani mengangkat wajahnya. Kemarahan tertangkap di sana.

“Aku tidak sudi harta ayah kamu. Aku juga tidak sudi pada ayahmu,” katanya pelan, tapi tandas, membuat Erma mengerutkan keningnya. Ia tak tahu apa maksud semua ini.

“Aku jadi bingung,” kata Erma sambil meneguk minuman dingin yang disodorkan pelayan.

Jatmiko terdiam, iapun bingung. Jadi laki-laki yang dimaksud Anjani adalah Usman, atasannya? Anjani tak pernah menyebutkan namanya, dan dia juga tak pernah menanyakannya.

Jatmiko menggaruk-garuk kepalanya walaupun tidak merasa gatal.

“Jadi kamu hanya menipu ayahku, sementara sebenarnya kamu adalah pacar mas Jatmiko?” ucapan Erma masih membuatnya kesal.

“Kamu tidak tahu apa-apa, jadi lebih baik menanyakannya pada ayahmu,” kata Anjani yang kemudian berdiri.

“Miko, ayo kita pergi.”

Miko menuju kasir, sementara Erma mengaduk-aduk minumannya dengan pertanyaan yang tak terjawabkan. Ia membiarkan Jatmiko pergi bersama Anjani karena bingung tak tahu harus mengatakan apa.

*

Jatmiko sudah duduk di belakang kemudi, dan Anjani terpaku di tempat duduknya. Wajahnya muram.

“Dia terbiasa bicara ceplas-ceplos, jangan hiraukan,” hibur Jatmiko sambil menjalankan mobilnya.

“Gadis cantik, tapi mulutnya tajam seperti pisau. Mana mungkin aku terima disebut menyukai harta ayahnya.”

“Biarkan saja, nanti kalau dia sudah ketemu ayahnya, pasti ia sudah tahu siapa sebenarnya dirimu.”

“Kamu sudah lama kenal sama dia? Tampaknya dia suka sama kamu.”

“Dia sekolah di luar negri, jarang pulang. Aku tidak pernah mengenal dia secara dekat. Biasanya hanya berbicara sekilas, lalu sudah. Suka sama aku? Tidak, tidak mungkin. Dia hanya dekat dengan pria-pria kaya, aku tak sebanding sama dia.”

“Kalau dia sudah bertemu ayahnya, dia akan tahu bahwa aku benar-benar tak sudi sama dia. Kalau saja ayahnya tahu gelagat dan bisa merasakannya.”

“Bukankah kalau uangnya dikembalikan maka dia akan tak lagi bisa berharap untuk memiliki kamu?”

“Iya, semoga permasalahannya segera selesai, dan tak ada lagi hubungan antara keluarga kami dan dia.”

“Aku selalu berdoa untuk kamu. Yang aku heran, mengapa ternyata laki-laki tua yang kamu katakan itu adalah atasanku. Memang sih, pernah mendengar desas desus bahwa dia akan menikah lagi, tapi aku tidak mengira bahwa gadis itu kamu. Kamu tidak pernah menyebutkan namanya sih.”

“Berat mulutku menyebutkan namanya. Dan maaf, kamu tadi mendengar aku berkata kasar kepada gadis itu. Habis dia menuduhku terang-terangan bahwa aku menginginkan harta ayahnya. Aku bukan gadis seperti itu.”

“Tidak apa-apa, aku mengerti perasaan kamu. Kamu tahu, saat ini perusahaan pak Usman sedang terkena masalah. Dia ketahuan telah memanipulasi pajak, sekarang sedang sibuk membersihkan diri dan entah apa yang akan dilakukannya. Aku tidak akan ikut campur karena tidak ingin terlibat.”

“Oh ya, pantas beberapa hari ini dia tidak datang ke rumah. Biasanya dia datang, siang atau malam, mengajak aku keluar, dan ibu tiriku memaksaku ikut. Aku tak pernah bisa menolak, takut ayahku mengetahui kebohongan aku dalam bersikap saat menghadapi dia. Tapi sekarang ayahku sudah mengetahui semuanya. Aku bersyukur.”

“Semoga kamu segera bisa menemukan kebahagiaan kamu, dan menemukan seorang laki-laki baik yang mencintai dan bisa membahagiakan kamu.”

Anjani menoleh ke arah Jatmiko. Mengapa Jatmiko mengatakan itu? Mendoakan dirinya menemukan laki-laki baik, karena bukankah Jatmiko bisa mengatakan bahwa dia juga berharap atas cintanya? Apa berarti Jatmiko tidak memiliki perasaan itu terhadapnya?

Tiba-tiba Anjani merasa gelisah sendiri. Rupanya dia berharap, tapi Jatmiko tenang-tenang saja. Anjani bukan Nilam yang suka berterus terang dalam segala hal, bahkan untuk mengungkapkan isi hatinya. Anjani hanya memendamnya, dan menunggu.

Barangkali dia merasa bahwa sekarang belum saatnya Jatmiko bicara tentang cinta. Anjani menghela napas, bertanya tentang perasaannya terhadap Jatmiko. Apa benar dia mengharapkan cinta Jatmiko?

*

Malam itu Usman mendapat pemberitahuan dari rumah sakit, bahwa Marjono akan membayar biaya operasinya sendiri, dan uang yang dititipkannya akan dikembalikan. Ditambah dengan laporan Erma tentang pertemuannya dengan Jatmiko yang sedang berduaan dengan Anjani.

Walaupun menurut Erma, Anjani diakuinya sebagai sahabat, tapi tetap saja membuat hatinya panas. Malam itu juga dia menelpon Estiana. Estiana menerima telpon di halaman, agar suaminya dan Anjani tak mendengar pembicaraannya.

“Jangan gusar Nak, bukankah saya sudah mengatakan bahwa nak Usman tidak akan kehilangan Anjani?”

“Tapi kenapa ibu membiarkan dia bepergian dengan teman laki-lakinya? Kebetulan anak saya melihatnya, jadi ibu tidak usah menutupinya.”

“Saya tidak menutupi Nak, saya memang tidak tahu kalau Anjani pergi dengan teman laki-lakinya. Tapi biarkan saja, setelah ini kita akan bisa melaksanakan apa yang harus kita lakukan. Saya sudah mempersiapkan semuanya, dan Anjani tak akan bisa menghindar lagi.”

“Baiklah, segera laksanakan, dan jangan membuat saya gusar. Pikiran saya sedang penuh dengan banyak persoalan, tapi saya tetap tidak mau kehilangan Anjani.”

*

Besok lagi ya.

at February 14, 2024
Share
by Tien Kumalasari

diunggah Indarsih Weanind

Ada Cinta Dibalik Rasa | 18, Cerbung Tien Kumalasari

tags: cerbung, cerita bersambung, Tien Kumalasari, Kumalasari, Tien, Seni Budaya, Bahasa Indonesia, kisah, cerita,

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.