Ada Cinta Dibalik Rasa | 25, Cerbung Tien Kumalasari

ADA CINTA DI BALIK RASA 25
(Tien Kumalasari)

Usman tersenyum penuh nafsu. Anjani membuka matanya dengan perasaan heran. Seperti mimpi ia berada di sebuah kamar, lalu ada bayangan laki-laki yang dibencinya, berdiri sangat dekat dengannya. Anjani mengucek matanya, lalu dia sadar bahwa itu bukanlah mimpi. Ia menjerit sekuat tenaganya ketika melihat bajunya yang tersingkap dan sebagian tubuh yang harusnya tertutupi menjadi terbuka.

“Aaaaaaaawww!! Tolooooong!”

“Heii, jangan berteriak. Tak akan ada yang mendengarmu. Kamar ini kedap suara.”

Anjani membetulkan bajunya, bangkit lalu beringsut mundur. Wajahnya pucat pasi.

Tak berhenti hanya menampakkan senyuman iblis, Usman kemudian naik ke atas ranjang.

“Pergiiiiii!! Pergiiiiii!” Anjani menjerit-jerit.

Ia berhasil merosot ke sisi samping tempat tidur, kemudian berlari mengitari tempat tidur itu, menuju pintu.

Usman terkekeh melihat Anjani seperti kelinci kecil yang ketakutan.

“Mau lari ke mana kamu, kelinci kecilku? Akhirnya kamu tak akan bisa lepas dariku. Akhirnya kamu harus menyerah. Tak mungkin kamu mengabarkan berita kemesraan kita nanti ke mana-mana kan? Jadi satu-satunya jalan adalah menurut, dan semua aman.”

“Tolong hentikan, ayahku sedang dioperasi. Biarkan aku pergi.”

“Membiarkan kamu pergi? Hahahahhh… mana ada penangkap ikan melepaskan kembali ikan yang sudah dikailnya?”

Anjani merapat ke pintu, ia mencoba membukanya, tak berhasil. Tentu saja, pintu itu dikunci. Anjani merasa putus asa. Matanya mengitari ruangan, barangkali ada yang bisa dijadikan senjata. Tapi tak ada sesuatu yang diharapkan bisa menolongnya.

“Anjani, apakah aku tidak menarik, menurutmu? Memang benar sih, aku sudah agak tua. Tapi aku kan masih ganteng, masih gagah, dan perkasa.”

“Pergiiiii!”

Tapi Usman semakin mendekat. Melihat kelinci cantik ketakutan, justru Usman merasa mendapatkan mainan. Ia mendekat, dan Anjani berusaha menghindar, tapi Usman berhasil meraih bajunya, sehingga robek di bagian bahu dan dadanya.

Serpihan baju itu dicium-ciumnya oleh Usman, sambil tertawa-tawa. Wajah Anjani semakin pucat. Pengaruh obat tidur masih menguasainya. Ia tak bisa bergerak leluasa. Ia menarik selimut yang ada di atas kasur untuk menutupi sebagian pundaknya yang terbuka.

“Anjani, apa yang harus kamu tutupi? Nanti juga aku akan bisa melihat semuanya.”

Anjani terus berteriak-teriak minta tolong, tapi Usman tak peduli. Anjani berada di dekat sofa. Sekali terkam, kelinci buruannya akan meringkuk dalam pelukannya. Usman melompat dengan cekatan, Anjani berusaha menghindar, tapi kakinya tersandung kaki meja yang ada di dekat sofa. Anjani terjungkal.

“Anjani, kamu tidak akan bisa terlepas, menyerahlah. Ini akan menyenangkan. Kamu belum mencobanya kan?”

Anjani berusaha bangkit. Kakinya yang sakit tak dirasakannya. Ketika Usman mendekat, Anjani mengayunkan kekinya ke arah bawah perutnya.

Usman berteriak kesakitan.

“Dasar gadis gila! Aku akan memberi kamu kenikmatan, tapi kamu menyakiti aku!”

Teriaknya sambil mengelus bagian bawah perutnya yang terasa nyeri.

Anjani mendapat kesempatan untuk bangkit. Sekali lagi ia menuju pintu, tapi pintu itu tetap terkunci.

“Tolooong … tolooong … “ jeritnya tanpa henti sambil menggebrak-gebrak pintu itu. Tak ada seorangpun yang mendengar, bahkan kalaupun ada, mana mau ia membukakan pintu? Erma ada di luar, duduk santai tak peduli suara gebrakan pintu. Ia berharap ayahnya bisa terhibur atas apa yang dilakukannya.

Usman mendengus kesal. Ketika rasa sakit itu mereda, ia bangkit, dan kali ini ia benar-benar tak ingin melepaskan buruannya.

Anjani yang ketakutan merasa lemas.

“Kalau sampai kamu menjamahku, lebih baik aku mati,” desisnya dengan suara bergetar.

“Hei, jangan dulu mati. Banyak kesenangan di dunia ini yang bisa kita nikmati,” katanya sambil melangkah pelan. Kaki Anjani gemetar. Ia tak lagi mampu untuk bergerak. Harapan untuk selamat dari kebuasan serigala berwajah manusia itu sudah pupus. Ia luruh kebawah dengan lemas. Usman terkekeh mendekati.

“Toloong, lepaskan aku,” katanya menghiba, sambil air matanya bercucuran. Berharap rasa belas kasihan Usman akan runtuh. Tapi Usman sedang dikuasai oleh nafsu iblis. Ia tak berhenti melangkah. Anjani memejamkan mata. Ia merasa dunianya sudah gelap. Ia benar-benar memilih mati.

Selangkah lagi Usman akan berhasil menubruk Anjani yang meringkuk di depan pintu, seperti tikus yang menunggu kucing melahapnya.

Tapi tiba-tiba pintu digedor sangat keras dari luar.

Usman terkejut. Ia menatap ke arah pintu dengan kening berkerut. Siapa berani mengganggunya? Mengapa Erma membiarkan ada orang menggedor pintu kamarnya? Gedoran di pintu semakin keras.

Anjani merasa lega ketika Usman urung menubruknya. Ia beringsut menjauh. Meraih kembali selimut penutup pundaknya yang tadi terjatuh. Lalu pintu di dobrak dari luar.

Usman terkejut. Ia melihat beberapa polisi berdiri di depan pintu.

“Ada apa … ada apa ini?” teriaknya marah.

Tapi dua orang polisi meringkusnya.

“Tolooong….” Anjani berteriak. Polisi heran karena ada perempuan di kamar itu.

Lalu tiba-tiba seorang laki-laki melompat ke dalam.

“Anjani?”

Anjani menghambur ke arah laki-laki itu dan menangis di dadanya.

“Jatmiko, untunglah kamu datang.”

“Aku mengantarkan polisi yang menggerudug ke kantor, untuk menunjukkan rumah pak Usman. Tidak mengira kamu ada di sini. Apa yang dilakukan laki-laki jahat itu?” kata Jatmiko sambil menuntun Anjani keluar dari kamar. Selimut itu masih tersampir di pundaknya.

“Ini.. kenapa?”

“Bajuku di sobeknya di bagian pundak.”

“Aku antar kamu pulang,” kata Usman yang kemudian berpamit pada polisi-polisi yang sudah memborgol Usman. Anjani juga melihat Erma ikut diborgol, mereka dimasukkan ke dalam mobil polisi.

*

Anjani terisak di sepanjang perjalanan pulang.

“Aku mengkhawatirkan bapak.”

“Nanti setelah kamu mengganti pakaian kamu, aku antarkan ke rumah sakit.”

“Bukankah kamu dinas ke luar kota?”

“Aku kembali karena ditelpon orang kantor bahwa polisi sedang memeriksa kantor dan mengobrak abriknya.”

“Kamu datang kemari karena aku ada di rumah bandot tua itu?”

“Aku tidak tahu ada kamu. Aku bahkan terkejut melihatmu di kamar itu. Apa yang sudah dilakukannya?”

“Beruntung kalian datang. Dia belum melakukan hal yang sangat aku takutkan.”

“Syukurlah, aku jadi merasa lega. Tapi bagaimana kamu bisa berada di rumah pak Usman? Kamu menurut saja diajak olehnya?”

“Apa aku sudah gila? Mana mungkin aku sudi pergi bersamanya. Tadinya aku ketemu Erma di rumah sakit, aku sudah minta agar dia pergi, sebel mendengar dia bicara tentang ayahnya. Lalu dia memberi aku minuman dalam botol, aku meminumnya. Kecuali tidak enak menolak, aku juga agak haus. Setelah itu aku merasa sangat mengantuk. Mengantuk sekali sampai aku tak kuasa membuka mataku. Tapi aku masih agak setengah sadar ketika dia memapahku pergi, dan membawanya ke mobil. Lalu aku benar-benar tak bisa menahannya, lalu aku tidur sangat lama. Ketika aku terbangun, Usman sudah ada di dekatku.”

“Berarti di dalam minuman itu ada obat yang membuat kamu sangat mengantuk. Apakah botol yang diberikan masih bersegel?”

“Entahlah, aku membukanya begitu saja, tidak sadar masih bersegel atau tidak. Aku hanya ingin segera menjauhi gadis itu.Tapi mungkin benar, rasanya tidak bersegel, begitu gampang aku membukanya.”

“Kamu ceroboh. Dan tidak ada yang bertanya, saat kamu diajaknya keluar dari rumah sakit?”

“Entahlah, sepertinya ada yang bertanya, lalu Erma menjawabnya, entah apa jawabnya, aku sudah setengah tidur biarpun masih bisa melangkah.”

“Ya Tuhan, untunglah tidak terjadi apa-apa.”

Jatmiko menghentikan mobilnya di rumah Anjani, agar Anjani bisa berganti pakaian. Selimut itu masih tersampir di pundaknya, tapi kemudian dibuang oleh Anjani di keranjang sampah sebelum dia berganti baju.

*

Ketika Raharjo dan Nilam sampai di rumah sakit, dilihatnya Wijan sedang mondar mandir tak jelas. Nilam berlari mendekati dan memegang lengannya.

“Mas, kamu kenapa?”

“Ya ampun, kamu sama siapa?”

“Itu, sama bapak. Mana Anjani?”

“Itulah. Aku bingung sampai sekarang Anjani belum kelihatan batang hidungnya. Masa dia tak menunggui ayahnya operasi, sampai operasi itu selesai. Ini aneh, pasti terjadi sesuatu padanya.”

“Barangkali dia pergi membeli sesuatu.”

“Seharian?”

“Coba tanyakan pada satpam, apakah dia melihat Anjani keluar.”

“Ada apa?” tanya Raharjo ketika sudah mendekat.

“Anjani dari pagi menghilang,” jawab Nilam.

“Kamu sudah menelponnya?”

“Berkali-kali Wijan menelpon. Tidak aktif. Sekarang Wijan mau bertanya pada satpam, apa dia melihat Anjani keluar.”

“Baiklah, sebaiknya ditanyakan. Tapi bagaimana dengan pak Marjono?”

“Sudah selesai operasinya, sekarang ada di ruang observasi,” jawabnya sambil bergegas menuju keluar. Ia kemudian merasa bodoh. Kenapa tidak bertanya sejak tadi, malah kebingungan menyusuri rumah sakit yang luasnya minta ampun.

Tapi satpam yang bertugas siang sudah pulang, sedangkan yang ada, tidak tahu menahu tentang seorang gadis cantik yang digambarkan oleh Wijan dan Nilam. Ia belum lama piket, dan belum banyak pasien maupun pengunjung yang datang serta pergi.

“Tampaknya ini sebuah kejahatan. Sebaiknya lapor polisi,” kata Raharjo.

Tapi ketika semua meributkan hilangnya Anjani, tiba-tiba Anjani muncul bersama Jatmiko.

Nilam langsung menyemprotnya.

“Kamu dari mana? Enak saja pergi tanpa pamit, membuat semua orang kebingungan. Apa kamu tidak prihatin disaat ayahmu dioperasi, kemudian kamu pergi berduaan?”

Wajah Wijan langsung muram, melihat Anjani datang bersama Jatmiko.

Tapi tanpa mempedulikan pertanyaan mereka dan rasa gusar di wajah-wajah mereka, Anjani langsung bergegas melangkah masuk. Air matanya bercucuran.

“Bagaimana keadaan bapak?” ujarnya diantara isak.

Wijan mengejarnya. Mereka berbicara sambil berjalan ke arah ruang operasi.

“Bapakmu sudah ada di ruang observasi.”

“Operasinya sudah selesai?”

“Sudah sejam yang lalu. Kamu mengapa meninggalkannya?”

“Aku hampir bunuh diri kalau sampai itu terjadi.”

“Apa maksudmu?”

“Aku mau ketemu dokternya dulu,” kata Anjani yang langsung mencari dokter yang mengoperasi ayahnya.

Jatmiko yang mengikuti bersama Raharjo dan Nilam segera menceritakan semua yang terjadi pada Anjani.

Nilam menutup mulutnya karena kaget. Tak mengira Anjani mengalami peristiwa yang begitu mengerikan. Ia menyesal telah menyemprot Anjani dengan keras, begitu Anjani menginjakkan kakinya di lobi rumah sakit.

Wijanpun merasa menyesal setelah Nilam mengulang lagi cerita Jatmiko tentang yang terjadi pada Anjani.

“Mengapa anak pak Usman melakukan semua itu? Aku mendengar hari ini perusahaan Usman sedang diperiksa,” kata Raharjo.

“Benar Pak, tapi pak Usman sudah ditangkap. Karena polisi memburu ke rumahnya dan saya harus mengantarkannya itulah, maka Anjani terlepas dari perbuatan jahat pak Usman.

“Jadi nak Jatmiko ini karyawan di perusahaan pak Usman?”

“Benar Pak, tapi setelah kejadian ini, entahlah nanti, bagaimana nasib saya,” kata Jatmiko sambil tersenyum getir.

Sementara itu Wijan sudah menyusul Anjani, dan menunggunya di luar ruang dokter. Ketika Anjani keluar, Wijan segera menyambutnya.

“Anjani, aku minta maaf karena telah berpikir yang tidak-tidak. Sama sekali aku tidak mengira bahwa kamu baru saja mengalami kejadian yang sangat mengerikan.”

“Iya Mas, tidak apa-apa. Wajar kalau semua orang mengira bahwa saya lalai dan mengacuhkan keadaan bapak.”

“Bagaimana kata dokter?”

“Hasilnya sih baik, mudah-mudahan tidak ada komplikasi atau hal lain yang membuatnya harus tinggal di ruang ICU untuk beberapa waktu.”

“Sudah ketemu bapak?”

“Belum, bapak belum sadar, saya akan menungguinya.”

“Akan aku temani,” kata Wijan.

“Jangan merepotkan. Saya sudah menyusahkan banyak orang.”

“Tidak, siapa yang repot? Bukankah aku sudah berjanji untuk menemani kamu?”

Anjani melongok ke arah depan, melihat Jatmiko asyik berbincang dengan Nilam. Barangkali menceritakan tentang kejadian yang dialaminya, sedangkan Raharjo tampak berjalan mendekati.

“Bapak belum sadar?”

“Belum Pak. Terima kasih banyak, Bapak sudi datang kemari. Ini sebuah perhatian yang sangat berarti bagi kami, sedangkan saya belum menjadi karyawan Bapak, tapi Bapak sudah bersusah payah meluangkan waktu Bapak yang pastinya sangat berharga.”

“Jangan pikirkan, saling memperhatikan itu kewajiban setiap persaudaraan. Kamu, biarpun belum menjadi karyawan, tapi sudah dekat dengan anak-anakku, bukan?”

Anjani tersenyum haru.

“Tapi mungkin kami tidak bisa lama, semoga bapak segera membaik. Kalau ada waktu aku akan kemari lagi,” kata Raharjo sambil menepuk bahu Anjani.

“Bapak pulang dulu saja bersama Nilam, saya masih akan di sini sebentar,” kata Wijan.

Raharjo tersenyum mengerti. Nilam tak bereaksi. Ia menyalami dan memeluk Anjani sambil berpamitan.

“Semoga pak Marjono segera membaik,” bisiknya ketika memeluknya.

“Terima kasih Mbak.”

Raharjo mengajak Nilam pulang, sementara Wijan masih menemani Anjani.

Sementara itu Jatmiko tiba-tiba juga ikutan berpamit pada Anjani, yang dijawabnya dengan tatapan kecewa.

“Aku akan mengantarkan Nilam dulu,” katanya yang membuat hati Anjani semakin kuncup. Rasa cemburu membakarnya, tapi dia berusaha menahannya. Bukan saatnya memanjakan hati dengan elusan cinta dari laki-laki yang digilainya, karena ia lebih memikirkan keadaan ayahnya.

“Duduklah saja di sini. Biarkan mereka pulang,” kata Wijan.

Anjani mengangguk, lalu mereka duduk berdampingan.

“Mengapa mas Wijan memilih menemani aku? Hari sudah sore, pasti mas Wijan lelah.”

“Tidak masalah kalau aku lelah, atau bahkan hari sudah semakin gelap. Karena cinta mengalahkan segalanya.”

“Apa?”

*

Besok lagi ya.

at February 23, 2024
Share
by Tien Kumalasari

diunggah Indarsih Weanind

Ada Cinta Dibalik Rasa | 25, Cerbung Tien Kumalasari

tags: cerbung, cerita bersambung, Tien Kumalasari, Kumalasari, Tien, Seni Budaya, Bahasa Indonesia, kisah, cerita,

–bersambung–

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.