Bunga untuk Ibuku | 33, Cerbung Tien Kumalasari

BUNGA UNTUK IBUKU  33
(Tien Kumalasari)

Hasti menatap nanar kearah seseorang yang mengetuk pintu. Wajahnya muram, dan ingin segera menutupnya kembali. Tapi seseorang itu menahan dengan tangannya yang amat kuat.

“Tolong dengarkan aku, Hasti.”

“Sam, sudahlah, jangan mendekati aku. Aku sudah tidak ingin melakukannya lagi, kenyataan ketika aku nyaris dibunuh oleh istri kamu, membuat aku sangat ketakutan. Aku mengerti kesalahanku. Aku sengsara karena salah dalam melangkah. Sekarang aku ingin bertobat.”

“Aku mengerti Hasti, aku datang kemari hanya untuk mengingatkan kamu. Jangan menyewa kamar di tempat ini.”

“Kenapa? Aku hanya bisa menyewa kamar yang murah. Aku harus bertahan hidup. Sudahlah Sam, jangan pedulikan aku lagi.”

”Hasti, sesungguhnya aku iba mendengar nasib kamu. Jangan dulu memotong perkataanku, aku sungguh merasa kasihan. Aku mencari kamu setelah kemu pergi, dan aku menemuimu di tempat ini. Lebih baik cari penginapan lain. Ini bukan tempat yang pantas untuk kamu.”

“Biarkan saja, sudah berkali-kali aku bilang, bahwa aku hanya ingin mencari tempat yang murah.”
“Akan aku carikan tempat yang lebih baik.”

“Dulu kamu juga begitu, tapi akhirnya apa? Kamu membuat aku masuk perangkap, dan aku nyaris dibunuh istri kamu. Memang sih, aku sangat lemah dan gampang terbujuk, dan itu cukup memberi pedaku pelajaran berharga dalam hidup ini. Aku akan bertobat, dan menjalani hidup bersih.”

“Kalau kamu tetap di sini, kamu tidak akan menjalani hidup bersih seperti keinginan kamu.”
“Apa maksudmu?”

Ditempat ini ada lima kamar disewakan tak jauh dari sini ada limabelas kamar yang lain, semuanya perempuan, dan semuanya bekerja malam.”
“Apa?”

“Mereka menjual tubuhnya untuk mendapatkan uang. Cepat atau lambat, akan ada yang membujukmu untuk mengikuti mereka.”

Hasti terkejut. Hal itu sudah terjadi. Perempuan genit itu menawarkannya untuk bekerja, mirip seperti apa yang dikatakan Samuel.

“Kamu mengerti kan? Ada tempat lain yang lebih aman untuk kamu, aku akan mengantarkan kamu sekarang juga.”
“Lalu kamu akan memperlakukan aku seperti yang telah lalu?”
“Tidak, sungguh aku tak ingin kamu terjerumus ke dalam dunia yang gelap ini.”

“Bagaimana kamu bisa mengikuti aku sementara istri kamu sedang marah besar?”

“Dia melarangku masuk ke rumah, dan sesungguhnya aku merasa kasihan terhadapmu, jadi aku mencari dan menemukan kamu di sini. Aku menunggu para perempuan itu keluar untuk bekerja, lalu aku menemui kamu. Percayalah aku hanya ingin menolong kamu.”

“Mengapa kamu melakukannya?”

“Melihat kamu pergi, aku merasa sangat berdosa. Aku hanya akan menolong kamu mencarikan tempat tinggal yang lebih baik. Aku sudah mendapatkannya. Sekarang juga kamu harus keluar dari tempat ini. Aku akan mengantarkan kamu.”

Meskipun belum sepenuhnya percaya kepada Samuel, tapi pertemuannya dengan wanita genit itu sebelum mandi tadi, membuatnya berpikir.

“Percayalah aku tidak akan melakukan apa-apa kecuali hanya akan menolong kamu. Setelah kamu sampai di pemondokan baru kamu, aku akan langsung pulang, dan tak akan pernah lagi mengganggu kamu.”

Hasti berkemas. Suasana di pemondokan itu sepi. Rupanya memang benar, semua sudah pada pergi. Samuel membantu membawa kopornya ke mobil yang diparkirnya di jalan, lalu mempersilakan Hasti masuk.

Katika itu tiba-tiba Hasti melihat beberapa laki-laki masuk kehalaman. Dan sebelum Samuel menjalankan mobilnya, masih terdengar celoteh laki-laki itu.

“Benarkah dia cantik?”
“Sungguh dia cantik. Baru semalam dia datang. Kata Mami, dia memang sedang mencari pekerjaan. Itu makanan empuk bagi kita. Kita bia menjualnya mahal.”

“Bagus sekali. Semoga dia tidak rewel ketika kita mengajaknya.”
“Dengan iming-iming uang , perempuan mana yang bisa menolak? Ayo cepat, biar aku bangunkan dia. Bos kita sudah menunggu,”

Lalu langkah-langkah menjauh terdengar, diiringi tawa mereka yang memuakkan.
“Mereka hampir membawa kamu,” kata Samuel sambil menjalankan mobilnya.

Hasti bergidik ngeri. Biarpun dia bukan gadis baik dan bergaul dengan bebas dengan kawan-kawannya, tapi ia bukan wanita penjual diri. Hal itu membuatnya bergidik ngeri.

Samuel sudah membawanya jauh, ketika kedua laki-laki itu menggedor kamar Hasti lalu membukanya paksa, dan menemukan kamar itu kosong. Maki dan sumpah serapah berhamburan dari mulut mereka.

Dari dalam mobil, Hasti menelpon pemilik rumah, dan minta maaf karena dia harus pindah tanpa berpamit, karena suatu hal. Pemilik rumah tak begitu peduli, karena Hasti sudah membayar sewanya selama sebulan.


*

Pagi hari itu, ketika RIna membuka pintu, dilihatnya Samuel tidur didepannya, beralaskan jacket yang digelarnya. Kemarahan yang semalam meledak-ledak, perlahan surut. Tapi tidak serta merta dia bersikap manis kepada suaminya.

Ia bahkan membiarkan Samuel masih tertidur walau dia sudah membuka pintunya lebar-lebar.

Rina melakukan tugasnya sehari-hari, berkutat di dapur, menyiapkan minuman hangat dan membuat sarapan dengan roti  bakar lapis coklat yang ditabur parutan keju. Ia sedang mengaduk soklat susunya, ketika tiba-tiba merasa seseorang memeluknya dari belakang.

“Aku mencium aroma roti coklat, jadi aku terbangun.”

Rina tidak menjawab, ia membawa coklat susu ke ruang makan, Samuel mengikutinya. Lalu ia duduk di salah satu kursi, dan meraih segelas coklat susu yang diletakkan istrinya.

“Ini untuk aku bukan?” katanya sambil tersenyum.

Rina masih cemberut. Tapi Samuel lega, karena sang istri tidak mengomel seperti semalam. Wajahnya masih terlihat masam, tapi kemarahan itu sudah mereda.

Rina mengambil roti bakar dari dapur, diletakkannya di meja.

Samuel meraihnya tanpa diminta.

“Jangan kamu kira, walaupun aku menyediakan ini semua untuk kamu, lalu aku sudah memaafkanmu,” katanya dengan mulut masih mengerucut.

“Permintaan maaf, biasanya tidak diberikan dengan tiba-tiba. Ada waktu untuk menerimanya dalam hati, lalu suatu saat baru terucap. Aku menyadari aku jahat, aku buruk dan busuk, tapi manusia kan tidak bisa luput dari dosa,” katanya sambil menggigit roti bakarnya.

“Jangan juga kamu kira dengan alasan manusia tidak luput dari dosa, lalu kamu dengan enteng melakukan dosa itu.”

“Aku sangat menyesal, aku bersumpah tidak akan melakukannya lagi.”
“Jangan sembarangan mengucapkan sumpah.”

“Aku akan menepatinya. Aku hanya punya kamu, hanya kamu wanita yang aku cintai, aku sayangi, karena kamu adalah istri yang luar biasa baik.”

“Luar biasa baik karena memberi kamu kesempatan untuk menodai pernikahan kita, bukan?”
“Aku akan membasuh noda itu. Tolong dengarkan aku. Aku bersedia melakukan apa saja, asalkan kamu memaafkan aku.”

“Tidak semudah itu, aku harus yakin dengan kesungguhan kamu untuk menjaga rumah tangga ini dengan baik.”

“Baiklah. Aku akan bersabar menunggu. Semalaman aku tak tidur karena mengingat kamu akan menceraikan aku. Aku sungguh menyesal.”

“Apa? Tidak tidur? Ketika aku membuka pintu, kamu masih ngorok dan terlelap dengan nyenyak.”
“Hanya sebentar, hampir pagi aku tidur.”

Samuel mengantarkan Hasti ke sebuah rumah dan membayar sewa kamar untuk Hasti selama setahun. Tapi bukan berarti Samuel berharap akan bisa mengunjunginya seperti sebelumnya.

Samuel benar-benar mengasihani dan hanya ingin membantu. Lalu ia ingin melupakan semuanya. Setelah itu ia pulang ke rumah, mendapati rumahnya tetap terkunci, tapi ia tak ingin membangunkan istrinya. Ia yakin, kalaupun ia menggedor pintu sampai roboh, Rina tak akan membukakan pintu untuknya.

arenanya ia menggelar jacketnya dan tidur, asal bisa merebahkan tubuhnya.

“Ya sudah, bersiaplah ke kantor, kamu hampir terlambat.”
“Aku tidak akan ke kantor hari ini, aku akan mengajak kamu jalan-jalan dan bersenang-senang.”

Rina mencibir. Tak mudah memaafkan kesalahan yang dianggapnya begitu menyakitkan. Rina akan memberinya kesempatan Samuel untuk bertobat.

amuel merasa lega, karena cibiran itu sudah jauh dari amarah, walau belum sepenuhnya bisa memaafkannya.  

amuel berjanji akan menebus semua kesalahannya dengan tetap menyayangi istrinya dengan sepenuh hati.

*

Hari terus berjalan. Malam itu Nilam sudah selesai belajar, tapi dia tak bisa tidur. Sekarang Nilam sudah kelas tiga SMA dengan prestasi yang bagus. Suri senang, dan merasa mendapat karunia dengan menemukan seorang anak yang baik dan pintar.

Suri sudah selesai menyiapkan dagangan untuk besok pagi, bermaksud pergi tidur, tapi ia tertegun di pintu melihat Nilam masih melamun di ruang tengah.

“Nilam.”

Nilam terkejut. Ia sedang teringat pada laki-laki yang dikiranya pengemis, dan sangat mirip ayahnya. Ia sangat menyesal tak sempat berkata-kata dan menanyakan namanya. Tapi wajah laki–laki itu terus menerus membayang di benaknya.

“Nilam sedang apa? Mengapa belum tidur juga? Ini sudah malam, lhoh.” tegur Suri sambil duduk di sampingnya.

“Iya Bu, kenapa ya, Nilam belum merasa ngantuk.”
“Apa kamu memikirkan sesuatu? Sekolah kamu lancar kan?”
“Lancar Bu. Tidak terasa, sebentar lagi Nilam sudah akan lulus SMA.”
“Kamu akan melanjutkan kuliah?”

“Tidak Bu, tidak usah. Kuliah itu kan mahal.”
“Nanti akan ibu usahakan mencari dananya. Kalau kamu tekun_”
“Tidak. Nilam ingin bekerja saja.”
“Lulusan SMA, bisa bekerja jadi apa?”

Nilam terdiam. Tiba-tiba dia teringat akan ayah tirinya. Dulu dia ingin membantu Wijan di kantor ayahnya, dan sang ayah mengatakan bahwa dia harus rajin belajar.

Terbersit keinginan untuk bekerja di kantor itu. Bisakah? Ayahnya tidak ada, maukah pak Rangga menerimanya? Laki-laki tangan kanan ayahnya itu sangat baik dan ramah kepada dirinya.

“Nilam mau kok. Jadi tukang bersih-bersih juga mau. Yang penting bisa mendapatkan uang, dan tidak memberatkan ibu lagi,” kata Nilam bersemangat.

“Ke mana kamu akan mencari pekerjaan itu?”
“Entahlah, Nilam masih belum memikirkannya.”
“Yang penting kamu harus menekuni sekolah kamu ini dulu.”

“Oh iya Bu, tadi ada bu RT yang mau memesan nasi dengan lauk ayam panggang, sebanyak lima puluh kotak.”

“Iya, ibu sudah tahu, tadi ketika pulang sudah ketemu bu RT.”
“Sebenarnya kalau ibu berjualan di rumah saja, ibu tidak capek jalan ke mana-mana lhoh. Jualan di depan rumah situ, jadi sepulang sekolah Nilam bisa membantu.

“Iya, ibu pernah memikirkannya. Tampaknya memang lebih baik begitu. Mereka yang sudah mengenal ayam panggang buatan ibu, pasti akan datang kemari.”

“Tuh, kan. Mulai besok ya Bu?”

Suri mengacak rambut anak angkatnya.

“Kok terus besok. Ibu harus menyiapkan tempat untuk berjualan dulu. Mungkin bangku untuk menata dagangan, atau entahlah.”

“Tapi ibu mau kan?”
“Ibu sangat ingin melakukannya.”
“Nah, kalau jualan di rumah, jadi tidak capek.”

“Ya sudah, sekarang tidurlah, sudah malam lhoh.”

Nilam berdiri, lalu masuk ke dalam kamarnya. Malam sudah larut ketika Nilam akhirnya tertidur, lalu bermimpi ketemu pak tua yang dulu duduk di bawah pohon, dan sedang mengantuk. Lalu tiba-tiba pak tua itu berubah menjadi ayahnya.

Nilam tersenyum dalam tidurnya.

*

Pagi hari itu Wijan terbangun dari tidurnya. Termenung di tepi ranjangnya, memikirkan sesuatu yang mengusik perasaannya tak henti-hentinya.

Saat ini dia sudah bisa menyelesaikan sekolah SMA nya dengan percepatan belajar yang dijalaninya. Ia sedang mendaftar ke sebuah perguruan tinggi yang ada di kota itu.

Beruntung ayahnya mengisi tabungannya dengan cukup, sehingga tak ada kesulitan baginya untuk membayar semua beaya yang diperlukan.

Pagi itu ia akan melihat pengumuman tentang diterima atau tidaknya dia di perguruan tinggi tersebut. Ia memilih jurusan ekonomi.

Tapi pagi itu ia merasa sangat malas. Mungkin badannya sedang kurang enak, atau mungkin karena teringat akan mimpinya.

Semalam ayahnya datang dan memeluknya erat. Tapi tiba-tiba ayahnya bertanya tentang sebuah sepatunya yang hilang. 

Wijan terbangun dengan sedih. Wijan menatap sepatu sebelah yang ditatanya di dekat sepatunya sendiri.
Ia merasa sendirian. Ia ingin berbincang, tapi dengan siapa? Ia ingat Nilam, pasti Nilam sudah melupakan dirinya. Lalu ia teringat bibik. Bibik yang sangat mengasihinya.

Wijan membuka ponselnya, dia lupa apakah nomor kontak bibik masih disimpannya. Wijan gembira karena menemukannya. Ia menginginkan seseorang untuk berbincang. Lalu ditekannya nomor kontak bibik.

Agak lama, tapi akhirnya diangkat juga.

“Ini siapa ya?”
“Bibik? Aku Wijan, Bik.”

“Mas Wijan? Ya Tuhanku, ini Mas Wijan?” bibik berteriak dengan gembira.
“Iya Bik, beruntung masih menyimpan nomor bibik.”

“Apa kabar Mas Wijan? Sekarang ada di mana?”
“Aku baik-baik saja Bik, sudah mau kuliah nih, doakan ya Bik.”

“Ya ampun Mas, bibik pernah bertemu seseorang, wajahnya persis dengan bapak.”
“Apa? Di mana?”

“Tapi dia namanya Bejo.”
Wijan tergetar mendengar cerita bibik.

*

Besok lagi ya. —bersambung—

Thursday, January 4, 2024
by Tien Kumalasari
 
 

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.