BUNGA UNTUK IBUKU 45 *Tamat*
(Tien Kumalasari)
Ada debar aneh ketika ia menatap bayi itu. Mungkin karena wajahnya yang mirip, atau entah karena apa, ia merasa seperti melihat bayangan Baskoro. Ia diam saja ketika Nilam minta agar boleh menggendong bayi itu sebentar, kemudian perawat menggendongnya masuk ke ruang bayi.
Nilam mengamati dari kaca jendela, karena tidak boleh memasuki ruangan itu, tapi Suri menatapnya dengan perasaan tak suka.
Bayi mungil itu bergerak, dan bibirnya mengeluarkan suara seperti merengek. Tidak seperti bayi lain diruangan itu yang tampak montok, bayi Hasti begitu kurus dan memelas. Barangkali kekurangan gizi saat dalam kandungan.
Tiba-tiba Suri sadar, bahwa bayi itu tak berdosa, mengapa harus membencinya. Matanya berkilat ketika menatapnya, dan rasa kasihan memenuhi perasaannya. Bayi itu seperti menginginkan sesuatu, lalu rengek itu menjadi tangisan.
Suri belum pernah melahirkan, tapi ia sudah sering melihat bayi saat mengunjungi tetangga dan teman yang melahirkan. Trenyuh melihat bayi kurus kering itu, dan rasa trenyuh itu mengalahkan rasa sakit karena sang bayi terlahir dari rahim wanita lain, bukan dari dirinya.
“Oeeeek … oeeekk…”
Nilam menoleh ke arah suster yang duduk jauh di sudut ruangan. Tapi suster itu membiarkannya. Nilam ingin berlari ke dalam untuk menghentikan tangisnya, tapi pintu itu terkunci.
“Nilam, tenanglah. Tidak apa-apa bayi menangis. Itu menandakan bahwa dia kuat,” hibur Suri. Dan ternyata tak lama kemudian bayi itu diam dan tertidur. Nilam merasa lega.
Tapi kemudian ia ingat bahwa ia belum menanyakan keadaan Hasti. Ia segera mengajak ibu angkatnya untuk pergi lagi ke ruang bersalin. Suri mengikutinya, tak sepatah katapun terucap, karena pikirannya hanya ke arah Baskoro.
Memang sih, sejak pergi dari rumah, Suri telah mengajukan gugatan cerai. Tapi bagaimanapun, melihat wanita melahirkan bayi yang mirip Baskoro, membuat pikirannya sedikit terganggu.
Seingatnya, Baskoro berhubungan dengan ibunya Nilam, tapi kenapa sekarang kakaknya melahirkan bayi yang mirip Baskoro? Benar-benar keluarga yang menjijikkan. Umpat Suri dalam hati.
Tapi mengapa juga ia menuduh hanya karena bayinya mirip? Entahlah. Bukankah bayi lahir semuanya seperti sama? Lalu kenapa bayangan Baskoro yang tiba-tiba muncul?
“Bu, kenapa diam saja?” tanya Nilam ketika sudah sampai di depan kamar bersalin.
“Tidak apa-apa. Tiba-tiba ibu merasa agak pusing.”
Tiba-tiba seorang perawat muncul. Nilam mendekatinya.
“Suster, bagaimana keadaan kakak saya?”
“Siapa kakak Mbak?
“Hasti. Prahasti namanya.”
“Oh, yang baru saja melahirkan? Ada nama Hasti yang sama soalnya, Hasti Ariani. Yang baru melahirkan alamatnya jalan Nangka?”
Nilam bingung, jalan Nangka atau jalan Mawar?
“Iya benar, dia bilang jalan Nangka. Ibu lupa.” kata Suri tiba-tiba.
“Iya … iya, itu kakak saya,” kata Nilam.
“Maaf Mbak, keadaannya kritis. Kami sedang berusaha menyelamatkannya. Dia kehilangan banyak darah, dan terlambat datang ke rumah sakit.”
Nilam terhenyak. Ikatan darah tak bisa terlepas dari rasa yang bersambungan. Ada yang mengiris hatinya. Nilam sedikit gemetar, lalu memegangi tangan Suri erat, berharap mendapatkan sedikit saja kekuatan. Suri menepuk tangannya lembut.
Ia merasakan duka di hati anak angkatnya, lalu perasaan kesal perlahan lenyap, berganti dengan rasa haru yang menyelinap. Kata-kata kritis seperti menyiratkan sebuah isyarat buruk.
“Bolehkah kami menemuinya?”
Perawat itu masuk ke dalam, sepertinya meminta ijin, atau melihat keadaan pasien, lalu keluar lagi.
“Ada yang bernama Nilam?”
“Saya Nilam,” kata Nilam gemetar.
“Ibu Prahasti memanggil-manggil nama Nilam, silakan masuk.”
Suri menggandeng Nilam masuk ke dalam. Trenyuh hati Suri melihat keadaan Hasti yang pucat pasi. Selang infus terhubung di lengannya, matanya terpejam.
“Mbak Hasti,” terisak Nilam mendekatinya dan memegang tangannya.
Tiba-tiba mata Hasti terbuka.
“Nilam … “ lirih suara Hasti terdengar.
“Mbak Hasti, Nilam di sini. Apa yang Mbak rasakan?”
“Tak ada … semuanya kosong … syukurlah … di saat terakhir masih … bisa … melihatmu. Maafkan mbak … “
Lalu air mata menetes dari mata cekung pucat itu. Nilam mengusapnya dengan jari tangan, lalu mengelus pipinya lembut.
“Aku … aku … “
“Jangan bicara yang tidak-tidak. Di mana suami Mbak?”
“Suami? Itu yang … membuat aku … malu bertemu … dengan kamu. Aku .. tak punya … suami.”
Nilam menghela napas panjang.
“Aku … buruk … kotor … dan laki-laki … bernama Baskoro itu … tak peduli pada … kehamilan … ku….”
Suri gemetar mendengar kenyataan itu. Dugaannya benar, bayi itu anak bekas suaminya. Nilam menatap ibu angkatnya, dan mengerti bahwa sang ibu terkejut mendengarnya. Mungkin juga marah. Entahlah. Suri tak mengucapkan apapun. Wajahnya datar, seperti tak merasakan apapun, padahal hatinya sakit.
“Maafkan … mbak … “
“Mbak, ini bu Suri, ibu angkatku, dia istri laki-laki bernama Baskoro itu,” kata Nilam berterus terang. Nilam ingin kakaknya tahu, dan berharap sang kakak mau meminta maaf padanya.
Hasti menoleh ke arah Suri.
“Ini … kan … “
“Mbak, aku ibu warung ayam panggang itu. Mbak pernah makan di sana kan? Mbak juga ingin bekerja di tempat saya, tapi saya tunggu tidak datang,” kata Suri yang akhirnya merasa iba melihat keadaan Hasti yang pucat dan lemah.
“Ooh … mm… maafkan … saya … saya … saya … ber .. dosa … pada … ib..bu ..” suara Hasti terdengar sangat lirih dan semakin lemah.
“Lupakan semuanya Mbak, saya sudah memaafkan.”
“Terima … kasih … Bu … jadi … saya bisa … menutup mata … dengan… lega.”
“Jangan mengatakan itu Mbak, mbak harus sembuh. Ingat bayi Mbak, dia membutuhkan Mbak.”
“Mbak Hasti akan sembuh dan sehat kembali,” tangis Nilam.
“Ti .. tip .. anakku … Nil ..lam …”
Tampaknya Hasti tak kuat lagi, bagai pelita yang berkelip kehabisan minyak … nyala itu akhirnya padam …
Nilam menjerit sekuatnya.
“Mbaaaak, jangan pergi …. dokteeeer, tolooong ….”
Suri merangkul Nilam. Perawat dan dokter sudah datang … dan Nilam pingsan mendengar kenyataan bahwa kakaknya sudah tiada.
Derita itu sudah berakhir. Kehidupan di dunia juga sudah berakhir, membawa segala pernik hitam putih ke dunia yang berbeda.
*

Tawangsari Kec. Teras Kab. Boyolali Solo
Raharjo terkejut ketika menerima telpon bahwa Nilam ada di rumah sakit. Di rumah hanya ada bibik, sedangkan Wijan ada di Jogya mengurus kuliahnya. Yang menelpon adalah Suri, dengan mempergunakan ponsel Nilam, karena dia sendiri tak tahu nomor kontak Raharjo. Raharjo segera berangkat sendiri ke rumah sakit, bertemu Suri yang menunggui Nilam di ruang perawatan.
Nilam sudah sadar, dan kembali menangis ketika melihat ayahnya datang. Karena tergesa-gesa, tadi Suri tidak mengatakan tentang Hasti, maka Raharjo terkejut ketika mendengar bahwa Hasti meninggal sesaat setelah melahirkan.
Nilam bangkit, lalu merangkul sang ayah sambil menangis.
“Bapak, maafkanlah mbak Hasti ya Pak, maafkan dia yang selalu membuat Bapak kesal dan pasti kecewa,” isaknya.
“Iya, tentu, bapak memaafkannya. Jangan menangis lagi, doakan agar kakakmu mendapat tempat yang layak disisiNya, serta diampuni semua dosanya.”
“Iya Pak.”
“Bagaimana dengan Hasti, apa sudah ada yang mengurusnya?”
“Saya sudah menyelesaikan semuanya, Pak. Sekarang masih di kamar mayat, menunggu keluarganya.”
“Saya adalah keluarganya. Biar dia disucikan di sini saja, saya akan meminta orang untuk mengurus pemakamannya,” kata Raharjo sambil terus merangkul Nilam.
Suri mengangguk. Dia sudah membayar semuanya.
“Berapa ibu membayarnya, saya yang berkewajiban melakukannya.”
“Tidak apa-apa, Pak.”
“Ada bayinya di sini?”
“Bolehkah bayinya saya rawat Pak?” tanya Suri.
Raharjo menatap Nilam.
“Kalau bersama ibu, Nilam bisa ikut merawatnya.”
“Baiklah, itu dipikirkan nanti, yang penting mengurus pemakamannya.”
*

Hari terus berjalan. Raharjo minta agar bayi Hasti masih dirawat di rumah sakit sampai benar-benar sehat, ketika melihat tubuh bayi begitu kurus kering dan pucat.
Nilam bersyukur, ibu angkatnya tidak membenci bayi kakaknya, walaupun bayi itu adalah benih dari bekas suaminya. Ia benar-benar menemukan seorang ibu yang berhati mulia dan penuh kasih sayang.
Seperti seorang ibu yang menyambut kedatangan bayinya, Suri membeli perlengkapan bayi dan memesan box bayi, demi nyamannya bayi yang dipungutnya.
Bayi itu deberinya nama Anugerah, dengan panggilannya Nugi. Dia tumbuh menjadi bayi yang montok dan menggemaskan, setelah dirawat dengan nutrisi terbaik.
Nilam sangat senang. Raharjo memesan perawat bayi yang baik untuk membantu merawat Nugi, sementara Suri melanjutkan berjualan di warungnya.
“Ibu, saya heran. Ketika itu ibu memberikan alamat tentang tempat tinggalnya mbak Hasti, ternyata salah, bukan? Ibu bilang jalan Mawar, padahal yang benar adalah jalan Nangka. Tapi Nilam benar-benar melihat mbak Hasti di jalan itu, walaupun keluar dari gang kecil yang ada di jalan Mawar,” kata Nilam ketika mereka sedang duduk bersantai.
“Karena semua yang dijalani manusia adalah atas tuntunan dari Allah. Ada jalan untuk mempertemukan kamu dengan kakak kamu, agar kamu bisa bertemu disaat terakhirnya, dan itu sudah terjadi.”
“Tapi sebenarnya beda kan bu?”
“Ibu itu dulu sering keluar masuk dari rumah ke rumah untuk menjajakan dagangan. Jalan kaki, masuk gang, keluar gang, masuk rumah, mengetuk pintu menawarkan dagangan, jadi ibu banyak tahu nama jalan disekitar kota ini.
Jalan Nangka itu memang tidak disekitar jalan Mawar, tapi untuk menyingkat waktu, terkadang orang dari jalan Nangka bisa melalui gang kecil yang tembus ke jalan Mawar.
Waktu itu, tampaknya kakakmu tergesa-gesa karena sudah kesakitan, tidak memanggil taksi karena uangnya terbatas, jadi dia naik becak.
Nah, jalan ke rumah sakit dari jalan Nangka itu bisa melalui jalan kecil yang tembus ke jalan Mawar, sehingga kamu yang ada disekitar jalan Mawar bisa melihatnya, aneh tapi nyata, bukan?” kata Suri panjang lebar.
Nilam mengangguk-angguk mengerti.
“Benar ya Bu, semua Allah yang mengaturnya, sehingga Nilam bisa bertemu dengan mbak Hasti,” kata Nilam sendu. Ingatan tentang sang kakak selalu membuatnya sedih. Diakhir hayatnya, Hasti mengalami kehidupan yang sangat menderita.
“Sudah, jangan sedih lagi. Ingat, kakak kamu menitipkan Nugi sama kamu. Walaupun Nugi menjadi anak ibu, tapi kamu harus ingat, bahwa kepadamulah kakak kamu menitipkannya. Berbahagialah demi Nugi, Ya.”
“Iya Bu, terima kasih Ibu mau menerimanya, walaupun mbak Hasti melukai hati Ibu.”
“Bayi itu tidak berdosa, haruskah melampiaskan dendam kepadanya? Lagi pula kebencian hanyalah menyakiti. Ibu hanya bersyukur karena bisa menjalani semuanya dengan baik. Yang lalu biarlah berlalu, hadapilah yang akan datang dengan penuh rasa syukur.”
Nilam merangkul ibu angkatnya. Ia tiba-tiba berlari mendengar tangis Nugi. Tapi ia lega ketika melihat suster perawat telah memberinya sebotol susu.
*
Tak lama setelahnya, Suri harus pindah ke tempatnya yang baru, karena Raharjo telah menyuruh orang mengurus semuanya.
Warungnya ada di pinggir jalan besar, lebih menarik, dan dibuat senyaman mungkin bagi pelanggan yang ingin menikmati ayam panggangnya.
Beberapa karyawan membantu di sana. Suri hanya bertugas membumbui ayamnya, dan selanjutnya ada karyawan yang menyelesaikannya.
Suri sangat bahagia. Benar apa yang dikatakan Raharjo, bahwa dia bisa membantu mengurangi pengangguran, dan itu membuatnya sangat bahagia. Semua duka telah berlalu, karena Allah memberikan anugrah yang tak henti-hentinya.
Tak bisa melahirkan, bukanlah sesuatu yang hina, karena tangan penuh cinta bisa merawat anak-anak yang kehilangan. Kehilangan ibu, kehilangan kasih sayang. Sekarang ada yang kehilangan penghasilan, dia juga bisa memberikannya.
Bukankah tangan mulia itu indah?
*
Sidang atas Rusmi dan Baskoro telah berakhir. Dengan kesaksian Barno, dan semua bukti yang diajukan, keduanya tak biasa mengelak lagi. Hukuman berat telah dijatuhkan. Limabelas tahun penjara, semoga cukup untuk membuatnya jera. Sedangkan Barno yang bersaksi dalam persidangan mendapat keringanan hukuman, setahun dikurangi masa tahanan.
Barno telah kembali sehat. Ia juga merasa lega telah berhasil mengurai kejahatan yang sebenarnya, dan membuat pengadilan menindak pelaku utamanya.
Dan ungkapan bahwa siapa menabur, dia akan menuai, adalah benar adanya.
*
T A M A T ya.
Terima kasih sudah mengikuti alur ceritanya
by Tien Kumalasari
diunggah Eswede Weanind
Kissparry

ADA CINTA DIBALIK RASA
Cinta terkadang menyakitkan, tapi ketika bersambut, semuanya menjadi indah. Seorang gadis cantik bergayut dilengan pemuda ganteng yang menawan. Wajah gadis itu sedih, karena pemuda itu menolak cintanya.
“Jangan Nilam, aku adalah kakakmu. Cintaku adalah cinta seorang kakak kepada adiknya.”
Nah lo, ternyata kisah cintanya Nilam? Bagus nggak ya, ikuti yuk.