Ada Cinta Dibalik Rasa | 15, Cerbung Tien Kumalasari

ADA CINTA DI BALIK RASA 15
(Tien Kumalasari)

Nilam gemas sekali menerima godaan kakaknya. Ia segera mendekat dan ingin mencubit lengannya. Hal biasa yang dilakukan setiap merasa kesal pada kakaknya.

“Eiittt, ada apa?” Wijan berdiri menghindar. Tapi Nilam mengejarnya. Seperti anak kecil, keduanya berkejaran di ruangan. Nilam yang memakai sepatu hak tinggi akhirnya terpeleset karena salah satu kakinya tersandung kaki meja. Tak ayal Nilam terhuyung dan jatuh tersungkur. Hampir saja kepalanya beradu dengan lantai, kalau Wijan tidak segera meraih tubuhnya yang kemudian membuat mereka seperti berpelukan.

Wijan yang sadar bahwa pemandangan itu tak pantas, segera mendorong tubuh Nilam pelan.

“Maaf, aku hanya menahan tubuhmu agar tidak jatuh,” katanya pelan. Tapi Nilam enggan melepaskan pelukan itu.

“Kenapa minta maaf? Sesekali aku ingin juga dipeluk oleh mas Wijan,” katanya lembut, membuat Wijan terkejut.

“Nilam, apa maksudmu?” katanya sambil berusaha mendorong lagi tubuh adik tirinya.

“Mengapa mas Wijan begitu bodoh?” Nilam tetap tak mau melepaskannya, membuat Wijan gelagapan.

“Bodoh bagaimana? Tolong, lepaskan dulu.”

Sebelah tangannya terlepas, tapi sebelahnya lagi masih bergayut di lengan Wijan.

“Mas Wijan, apa mas Wijan tidak tahu bahwa aku mencintai mas Wijan, bahkan sejak kita masih belia?”

Wijan terbelalak.

“Jangan Nilam, aku adalah kakakmu. Aku mencintai kamu sebagai seorang kakak kepada adiknya,” kata Wijan lembut.

Tanpa disuruh Nilam melepaskan pegangan tangannya. Mata bulat bening itu menatap kakaknya dengan pandangan sendu.

“Tapi aku mencintai mas Wijan, seperti cinta seorang wanita kepada pria kekasihnya,” katanya pilu.

“Nilam, jangan begitu.”

“Mas Wijan tidak cinta sama aku?” sekarang suara itu bergetar mengandung tangis. Wijan luluh dalam rasa iba yang mencengkeram dadanya. Tapi apa yang bisa dilakukannya ketika rasa bicara beda?

“Aku cinta sejak kita masih kanak-kanak, Nilam. Tapi aku ini kakakmu, dan kamu adalah adikku.”

“Kita bukan kakak adik yang sebenarnya. Salahkah kalau kita saling mencintai?”

Wijan mengajak Nilam duduk di sofa. Mereka berhadapan, dan saling menatap dengan rasa yang berbeda. Cinta sama cinta, tapi berbeda dalam rasa.

“Cinta tidak pernah salah, Nilam. Yang salah adalah apabila kita tidak tepat menempatkannya di hati kita.”

“Aku tidak mengerti.”

“Kamu pasti mengerti. Kamu boleh cinta, seperti juga aku juga mencintaimu. Tapi cinta kita adalah cinta saudara.”

“Tidak. Tidak Mas, aku mencintai mas Wijan seperti cinta seorang gadis kepada kekasihnya. Tolong jangan ingkar Mas, Nilam tahu mas Wijan juga sayang sama aku.”

“Kamu benar, aku sayang sama kamu. Tapi sayang seorang kakak kepada adiknya.”

Tiba-tiba Nilam terisak.

“Nilam, jangan begitu.”

“Apa karena mas Wijan mencintai gadis lain?” katanya diantara tangis.

Wijan tak menjawab. Ia menatap Nilam dengan iba. Ingin sekali ia menghapus air mata yang membasahi pipinya, tapi khawatir Nilam akan lebih salah mengerti terhadap perasaannya.

“Aku juga tidak tahu bagaimana perasaanku terhadap dia. Memang dia berbeda,” kata Wijan berterus terang, seperti Nilam mengatakan terus terang juga bagaimana perasaannya.

“Dia Anjani?” tebak Nilam.

“Nilam, jangan menanyakan perasaanku dulu, aku juga belum tahu. Tapi dia berbeda. Aku belum pernah merasakan ini sebelumnya. Apa kamu akan memarahi aku karena aku mengatakan ini?”

Nilam menghapus air matanya. Ia sudah menduga ketika ia melihat bagaimana Wijan menatap Anjani. Ia kesal ketika itu, barangkali karena merasa cemburu. Tapi setelah Wijan mengatakannya meskipun belum sepenuhnya jelas mengakui, ia tak ingin marah.

Cintanya kepada Wijan adalah cinta sejati, dan kebahagiaan Wijan akan menjadi kebahagiaannya juga. Hati Nilam sungguh mulia.

Sekali lagi dia mengusap air matanya yang masih saja merembes keluar, lalu mengulaskan sebuah senyuman yang sangat manis, walaupun terlukis dari bibirnya yang kepucatan.

“Anjani gadis yang baik. Kalau mas Wijan mencintai dia, tampaknya harus ada perjuangan keras,” kata Nilam pelan, sambil berusaha mengendapkan perasaannya yang hancur akibat cintanya yang bertepuk sebelah tangan.

“Karena dia sudah dijodohkan?”

“Saingan mas Wijan lumayan berat. Karena pembalasan sebuah budi tidak sebanding dengan segerobag uang.”

“Benarkah?”

Ketika itu sekretaris datang dan memberitahukan kalau ada tamu ingin bertemu Nilam.

“Siapa? Tanya Nilam sambil meraih lagi selembar tissue.

“Suruh dia masuk,” tiba-tiba Wijan memerintahkan tamu Nilam agar masuk ke dalam. Wijan rupanya bisa membaca, bahwa tamu Nilam adalah laki-laki yang menelponnya beberapa saat lalu.

Sekretaris mengangguk, lalu seorang pemuda masuk. Pemuda tampan itu mengangguk hormat kepada Wijan, lalu melirik kepada Nilam yang diam tak mengacuhkannya.

Wijan tersenyum.

“Silakan duduk,” sapanya kemudian.

Laki-laki itu tentu saja adalah Jatmiko, yang memintanya untuk menemani makan siang. Ia duduk dan tangannya terulur ke arah Nilam, yang disambutnya dengan mulut mengerucut. Ia mengulurkan tangannya untuk memperkenalkan diri.

“Saya Jatmiko.”

“Oh ya, saya Wijanarko, kakaknya Nilam,” jawab Wijan sambil tersenyum.

“Maaf saya mengganggu.”

“Tidak, ini waktu istirahat, silakan kalau mau mengajak Nilam.”

“Mengapa jamu kemari?”

“Bukankah tadi kamu sudah berjanji akan menemani aku?”

Wijan berdiri, tak enak rasanya masih duduk di situ, dan mengganggu pertemuan mereka. Ia merasa lucu melihat sikap Nilam yang kekanak-kanakan di hadapan Jatmiko. Sambil tersenyum dia menepuk bahu adiknya.

“Hormati tamu kamu,” katanya, kemudian melangkah keluar pintu. Tapi sebelum membuka pintu, ia menoleh lagi ke arah mereka.

“Nikmati makan siang kalian.”

Lalu Wijan menutup pintunya.

“Kakakmu sangat baik, kenapa adiknya begini galak?”

“Aku tidak mengerti, mengapa kamu datang kemari, minta aku menemani kamu makan, sementara ada Anjani yang sudah lama menunggu saat bertemu denganmu.”

“Kami sudah bertemu kemarin.”

“Apakah karena sudah bertemu kemarin, maka tidak boleh bertemu lagi sekarang?”

“Kenapa kamu tidak bisa bersikap manis di hadapan aku?”

“Kamu juga bikin aku kesal.”

“Baiklah, sekarang jadi mau menemani aku atau enggak, kalau enggak, aku pamit saja,” kata Jatmiko sambil berdiri.

Melihat hal itu, Nilam kemudian ikut berdiri, meraih tas kecil yang ada di meja, kemudian mengikuti Jatmiko yang sudah lebih dulu melangkah keluar.

Sebenarnya Nilam tidak sejahat itu. Ia tahu Jatmiko seorang yang baik. Tapi ia sedang tidak enak hati. Cintanya ditolak, bukankah namanya patah hati? Walau tak ingin marah, tapi luka, pasti ada.

Sayangnya Wijan adalah kakak tiri yang sangat disayanginya, jadi dia tak bisa membencinya. Harapan ingin melihat sang kakak bahagia, itu tetap ada. Baiklah, bukankah cinta tak harus memiliki?

Jatmiko terus melangkah. Ia pura-pura tak tahu Nilam melangkah di belakangnya. Ia langsung ketempat parkiran, dan Nilam masih ada di belakangnya. Wajahnya yang kusut, membuat orang yang melihatnya mengira mereka adalah pacar yang sedang marahan.

Jatmiko membuka pintu di samping kemudi, membiarkan Nilam berdiri tegak di pintu. Tapi melihat mulut mengerucut dengan masih berdiri, membuat Jatmiko kemudian tertawa keras. Ia melangkah mengitari mobil, dan membuka pintu mobil untuk Nilam.

“Silakan, tuan putri, mau ikut bersama aku, bukan?”

Nilam tak menjawab, langsung masuk dan duduk di samping kemudi.

“Senyum dong,” kata Jatmiko yang sudah duduk di belakang kemudi dan menjalankannya keluar dari halaman kantor.

Mobil Jatmiko berjalan pelan, menyibak keramaian jalanan di siang yang panas.

“Apakah kamu membenci aku?” tanya Jatmiko tiba-tiba.

Nilam menoleh ke arah Jatmiko. Membencinya? Tentu saja tidak. Jatmiko selalu baik dan santun, seperti kata Suri, ibu angkatnya yang begitu getol ingin menjodohkannya dengan dirinya.

“Mengapa aku harus membencimu?”

“Barangkali saja. Buktinya sikap kamu kelihatan kalau kamu tidak suka padaku.”

“Bukan berarti aku membenci kamu kan? Kalau aku benci, aku tak akan mau menemani kamu makan.”

“Barangkali terpaksa, atau karena kasihan sama aku.”

“Oh ya? Apakah kamu seperti orang yang harus dikasihani?”

“Kamu ngomong yang enggak-enggak. Aku bukan minta dikasihani kok.”

“Ya, aku tahu. Yang aku tidak tahu, mengapa kamu tidak mengajak Anjani saja? Bukankah Anjani belum mulai bekerja, dan masih banyak waktu luang untuk diajak jalan?”

“Anjani sibuk merawat ayahnya, kalau siang aku tidak banyak waktu, sementara rumah Anjani jauh dari kantor. Tapi kalau dia ada waktu di sore hari, aku pasti akan mengajak dia.”

“Hmm, begitu rupanya. Tapi aku melihat, kalian pasangan yang sangat serasi.”

“Bicara tentang serasi, kamu melihatnya dari mana?”

“Dia cantik, kamu cakep, bukankah itu serasi?”

“Baiklah, terlepas dari aku setuju atau tidak atas pendapat kamu, tapi aku senang kamu memuji aku cakep.”

Nilam tertawa kecil.

“Cakep itu kan ganteng, tampan, menarik, ya kan? Terima kasih, sayang.”

“Hei, kamu memanggil aku apa? Sayang? Dari mana kamu menemukan kata sayang itu?”

“Dari sini,” kata Jatmiko sambil memegang dadanya dengan sebelah tangan.

Nilam terkekeh. Terkadang Jatmiko menyenangkan juga. Baiklah, tak apa, hitung-hitung bisa menjadi obat sakit patah hatinya.

*

Dan ketika makan siang itu mereka ternyata bisa berbincang akrab serta menyenangkan. Bahkan Nilam bisa sedikit mengurangi luka hatinya karena patah hati. Hanya saja dia akan mengkhawatirkan kakaknya itu.

Anjani bukan hanya sudah punya calon suami, tapi juga ada pria lain yang pastinya akan mengharapkan bisa memilikinya.

Siapa yang akan berhasil memiliki Anjani? Bagaimanapun sakitnya, Nilam tetap berharap kakaknyalah yang akan bisa memilikinya, tapi bagaimana mengurai benang kusut yang melibat Anjani dengan persoalan hutang budi?

“Hei, makan jangan sambil melamun, nanti sendokmu bisa masuk ke hidung lhoh,” canda Jatmiko.

“Aku sedang memikirkan Anjani,” kata Nilam terus terang.

“Bukankah kamu juga ingin memilikinya sementara dia sudah dijodohkan dengan laki-laki lain?”

“Aku ingin membantunya, tapi bukan berarti aku ingin memilikinya.”

“Apa maksudmu?”

“Untuk bisa menjadi pasangan, dibutuhkan perasaan saling mencintai.”

“Apa kamu tidak mencintai dia?”

“Aku sudah mengatakannya. Aku ingin membantunya, tapi aku tidak ingin memilikinya.”

“Karena apa? Apa kekurangan Anjani? Dia cantik, pintar, lembut, bukan seperti aku yang galak seperti ayam sedang mengerami telurnya.”

Jatmiko terbahak. Istilah ayam sedang mengerami telur itu membuatnya geli. Memang sih, Nilam terkadang galak, tapi galak yang manis kok.

“Bukankah itu benar?”

“Salah, kamu itu galak, seperti duri-duri pada setangkai mawar.”

“Bagaimana sih?”

“Mawar itu berduri, tapi dia cantik, wangi, menawan, ya kan? Nah itulah kamu.”

Nilam tersenyum manis sekali, membuat Jatmiko kemudian terpana sampai mulutnya menganga.

“Hei, mingkem! Kalau ada lalat masuk ke mulut bagaimana?” pekik Nilam.

Jatmiko menutup mulutnya dan tertawa pelan.

“Habis, aku terpesona melihat kamu.”

“Ada-ada saja kamu nih. Tapi kamu tadi ngomong katanya ada yang ingin kamu katakan bukan? Mau ngomong apa? Buruan, waktu istirahat hampir habis nih.”

“Oh iya, kamu benar. Tapi aku sudah lupa mau mengatakan apa. Maaf, aku bohong. Hanya supaya kamu mau menemani aku.”

“Dasar pembohong.”

“Eh, tidak, jangan begitu dong, sekali itu saja kok, karena sangat ingin bisa berdua sama kamu.”

Nilam heran, Jatmiko tidak suka sama Anjani?

“Miko, kembali ke soal Anjani, apa benar kamu tidak suka pada dia?”

“Tentu saja aku suka. Dia sahabat aku. Dia bidadari penolongku. Tapi cinta seperti sebuah hubungan pria dan wanita, tidak. Cinta itu kan semau dia datangnya, tapi dia tidak datang padaku untuk Anjani.”

“Apa kurangnya?”

“Cinta bukan masalah wajah atau perangai seseorang. Cinta adalah rasa yang terkadang kita heran ketika dia menguasai kita. Dia cantik, lembut, baik, tapi cinta kepada dia itu tidak ada. Aku mencintai dia sebagai sahabat.”

Nilam tersenyum tipis, ada sendu menghentak ketika mendengar perkataan Jatmiko. Itu seperti apa yang dikatakan Wijan kepadanya. (Aku mencintai kamu, tapi cinta sebagai saudara) kira-kira itulah ucapan Wijan yang mirip dengan apa yang dikatakan Jatmiko tentang Anjani.

Sampai kemudian Jatmiko mengantarkannya kembali ke kantor, Nilam masih merasa patah hati.

*

Estiana sedang duduk di teras sendirian. Suaminya sedang tidur, dan Anjani sedang disuruhnya belanja. Ia berharap Usman akan datang nyamperin Anjani untuk diajaknya makan siang, seperti sering dilakukannya. Tapi ternyata Usman tidak datang.

Estiana sedang memikirkan sebuah cara, bagaimana supaya Anjani tidak bisa lepas dari Usman. Cara itu pasti ada, dan Estiana sedang memikirkannya,

Estiana baru meraih ponsel untuk menelponnya, ketika dilihatnya mobil memasuki halaman. Mobil Usmankah? Tapi kok beda? Estiana berdiri untuk menyambut, dan dua orang laki-laki turun dari mobil dan mendekat ke arah rumah. “Selamat siang Bu. Pak Marjono ada?”

“Oh, suami saya sedang tidur. Ada yang bisa dibantu?”

“Begini, nama saya Wongso. Saya mengantarkan pak Raharjo ini, yang tampaknya tertarik untuk membeli rumah yang ditawarkan pak Marjono.”

Estiana tidak tampak terkejut karena ia sudah tahu bahwa suaminya akan menjual rumahnya. Ia menekan rasa geram di hatinya, tapi mengulaskan senyuman di bibirnya.

“Oh, iya. Suami saya memang menawarkan rumah ini. Soalnya rumah ini sebenarnya penuh dengan hantu,” katanya ringan.

“Hantu?” seru pak Wongso dan Raharjo, bersamaan.

“Suami saya pasti takut berterus terang, khawatir tidak ada yang mau. Tapi keluarga kami sudah ada yang meninggal karena ketakutan di rumah ini.”

*

Besok lagi ya. –bersambung–

at February 10, 2024
Share
by Tien Kumalasari

diunggah Indarsih Weanind

Ada Cinta Dibalik Rasa | 15, Cerbung Tien Kumalasari

tags: cerbung, cerita bersambung, Tien Kumalasari, Kumalasari, Tien, Seni Budaya, Bahasa Indonesia, kisah, cerita,

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.