ADA CINTA DI BALIK RASA 19
(Tien Kumalasari)
Anjani keluar dari dalam rumah, dan melihat ibu tirinya sedang menutup ponselnya, tapi dia tidak tahu sang ibu bertelpon dengan siapa.
Estiana agak terkejut melihat Anjani, dan khawatir anak tirinya tersebut mendengarnya.
“Kamu nguping pembicaraanku dengan temanku?”
“Tidak Bu, saya baru mau keluar untuk membuang sampah ini.”
“Malam-malam membuang sampah? Apa kamu kurang pekerjaan?”
“Saya baru membersihkan kamar, ini kertas-kertas dan barang yang tidak berguna,” jawab Anjani jujur, karena dia juga tidak mendengar apa-apa. Ia membawa keresek berisi barang-barang tak berguna, langsung membuangnya ke keranjang sampah di dekat pintu pagar. Estiana membiarkannya. Tampaknya Anjani memang tak mendengar apa-apa.
Estiana masuk ke dalam. Ketika ia memsasuki kamar, dilihatnya Marjono seperti sudah terlelap. Tapi tak lama kemudian ia membuka matanya.
“Ternyata tidak tidur,” sapa Istiana.
“Badanku rasanya sangat tidak enak. Besok aku mau kontrol. Mana Anjani””
“Anjani sedang bersih-bersih kamarnya. Bapak tidak usah khawatir, besok aku saja yang mengantarkan Bapak ke rumah sakit.”
“Biasanya kamu tidak mau.”
“Mengapa Bapak mengatakan hal itu? Kalau aku tidak bisa mengantarkan, itu karena ada Anjani, sedangkan aku sedang ada keperluan. Bermasyarakat itu juga perlu kan?”
“Ya sudah, gampang. Aku dengan Anjani saja tidak apa-apa kok.”
“Anjani sedang rajin bersih-bersih, besok pasti dia masih sibuk. Aku akan menyuruhnya membersihkan kamar bapak sekalian, sementara bapak ke rumah sakit bersama aku.”
“Terserah kamu saja,” kata Marjono sambil menutup matanya.
“Obatnya sudah diminum? Sebentar lagi Bapak dioperasi, pasti besok akan diperiksa secara menyeluruh, apa Bapak sudah siap atau belum untuk operasi.”
“Besok aku juga akan melihat-lihat rumah yang akan aku beli. Rumah ini sudah bukan milik kita lagi, aku harus siap untuk pergi, dan menyediakan rumah baru untuk keluargaku. Kalau kamu mau, ikutlah bersama kami, hidup sederhana dan seadanya. Kalau tidak mau, terserah saja apa maumu.”
Estiana tersnyum getir. Sungguh banyak hal yang harus dilakukannya untuk tidak hidup seadanya. Dia sudah terbiasa membawa banyak uang dan tidak pernah kesulitan ketika memerlukan apapun yang diinginkannya. Biarlah berpindah rumah sederhana, asalkan kehidupannya tidak sederhana. Dan itu bisa terjadi kalau Usman jadi memperistri Anjani.
Estiana menatap suaminya sekali lagi, lalu beranjak keluar dari dalam kamar. Ia duduk di ruang tengah, menyalakan televisi, tapi tangannya sibuk mengutak-atik ponsel, entah apa yang sedang dicarinya, atau sedang berkirim pesan dengan siapa.
Anjani yang melihatnya, tak sedikitpun memperhatikannya. Ia masuk ke kamar ayahnya, untuk memastikan ayahnya sudah tidur atau belum.
Ketika ia hendak keluar, Marjono mengatakan keinginannya untuk kontrol, karena badannya terasa tidak enak.
“Bapak merasa sakit?”
“Bukan sakit, hanya merasa kurang nyaman saja. Besok aku mau kontrol, katanya Estiana akan mengantarkan aku ke rumah sakit.”
“Memang besok waktunya Bapak akan kontrol kan? Tidak apa-apa kalau ibu mau mengantarkan, nanti saya akan menyusul setelah membereskan rumah.”
“Begitu lebih baik, aku merasa lebih nyaman kalau ada kamu di dekat aku.”
“Kalau begitu aku akan mengantarkan Bapak saja.”
“Ibumu sudah mengatakan ingin mengantar, biarkan saja, tidak enak menolaknya, nanti dia sakit hati.”
“Baiklah, kalau begitu. Sekarang Bapak tidur ya, ini sudah malam.”
“Besok setelah kontrol, bapak akan mengajak kamu melihat rumah kecil yang ditawarkan teman Bapak.”
“Kalau Bapak sedang tidak enak badan, bisa lain kali kan Pak?”
“Rumah ini sudah akan tidak menjadi milik kita. Besok pak Raharjo sudah akan melunasinya.”
“Apa pak Raharjo minta agar kita segera meninggalkan rumah ini?”
“Tidak sih, bapak sendiri yang merasa tidak enak.”
“Baiklah, tapi kalau bapak sudah merasa enakan. Bapak harus sehat supaya bisa segera dioperasi, dan Bapak jadi lebih sehat.”
Marjono mengangguk. Anjani membetulkan letak selimut ayahnya, kemudian berlalu setelah sang ayah memejamkan mata.
Ketika ia keluar, dilihatnya sang ibu tiri masih mengutak atik ponsel. Tapi mendengar Anjani menutupkan pintu, Estiana menoleh ke arahnya.
“Anjani, besok ayahmu mau kontrol ke rumah sakit.”
“Iya. Bapak sudah mrngatakannya.”
“Biarlah ibu yang mengantarkan ayahmu. Kamu di rumah saja, membersihkan rumah, terutama kamar ayahmu. Sepertinya sudah beberapa hari kelihatan agak berantakan.”
“Iya, besok akan Anjani rapikan.”
“Istirahatlah,” katanya sambil tersenyum manis. Anjani agak heran, ibunya tidak pernah mengulaskan senyum semanis itu. Tapi Anjani tidak memikirkannya. Ia segera masuk ke kamar dan berusaha tidur.
*
Pagi hari itu Usman sedang menelpon seseorang, tampaknya sangat gusar. Ada panggilan masuk dari ponselnya, tapi tidak digubrisnya.
“Bodoh. Kamu benar-benar tidak bisa bekerja. Gunakan uang untuk membujuknya agar masalah bisa menjadi lebih mudah. Kamu kan tahu, yang bisa menyelesaikan masalah itu uang. Uang … dan uang.
Kalau iming- iming uang itu sudah kamu tunjukkan, mustahil dia tidak mau membantu. Tidak usah, kamu saja menyelesaikannya. Tentu saja, ambil di keuangan, katakan pada dia, berapa kita harus membayarnya. Yaa, bilang itu atas perintah aku.
Ya, tulis nominalnya, aku akan tanda tangan. Bagian keuangan akan menyelesaikannya. Nanti siang? Terserah kamu saja. Aku menunggu kabar baik dari kamu. Bekerja yang bagus, mengerti? Jangan membuat aku marah lagi.”
Usman meletakkan gagang telpon di depan meja kerjanya dengan keras.
Erma yang baru masuk ke ruangan ayahnya, terkejut melihat ayahnya marah-marah, entah pada siapa. Ia mendekat, tanpa berani menanyakannya.
“Dasar bodoh. Menyesal aku menyerahkannya sama dia. Kalau memang tidak bisa menyelesaikan, aku kan bisa menyuruh orang lain?” omelnya tanpa mempedulikan putrinya yang duduk sambil menatapnya heran.
“Ada apa?” tanya Marjono dingin.
“Papa sedang marah sama siapa?”
“Sama orang yang papa suruh menyelesaikan masalah. Dasar orang nggak becus.”
“Memangnya masalah apa?”
“Kamu nggak perlu tahu, sudah … jalan-jalan sana saja.”
“Bolehkan Erma ikut Jatmiko keluar kota?”
“Apa? Mendengar namanya, aku baru ingat kalau Jatmiko bermasalah denganku. Hanya saja aku masih banyak urusan lain sehingga belum sempat bicara dengannya.”
“Masalah apa?”
“Bukankah katamu dia berduaan sama Anjani dan kelihatan sangat dekat?”
“Tapi katanya, Anjani itu bukan pacarnya kok. Mungkin mereka hanya berteman. Lagi pula gadis itu galak. Erma tidak suka.”
“Apa? Dia itu lemah lembut seperti Dewi dari Kahyangan. Bagaimana kamu bisa mengatakan bahwa dia galak?”
“Semalam itu dia bicara sama Erma dengan kasar.”
“Apa?”
“Dia bilang tak sudi harta Papa, dia juga tak sudi sama Papa, bukankah itu sangat kasar?”
“Pasti kamu mengatakan hal yang membuatnya mengatakan itu. Kamu mengatakan kalau Anjani menyukai harta papa bukan?”
“Dia itu sangat cantik. Lebih cantik dari foto yang papa perlihatkan dari ponsel Papa. Rasanya aneh saja kalau dia suka dan cinta murni sama Papa.”
“Kamu jangan bicara sembarangan tentang dia. Apapun yang terjadi, dia akan menjadi ibu tiri kamu, dan kamu harus menghormatinya. Mengerti?”
Ponsel Usman kembali berdering. Usman melihat sudah enam kali nomor itu menghubunginya. Estiana.
“Ya, bagaimana? Oh, begitu? Baiklah, meskipun saya sedang banyak urusan, tapi masalah ini harus saya selesaikan juga. Betul, baiklah, Oh begitu? Ya, saya mengerti, calon ibu mertua,” kata Usman dengan senyum mengembang.
“Dari siapa? Perempuan yang menemui Papa itu? Calon ibu mertua? Hm, tampaknya dia sendiri yang suka sama Papa,” kata Erma enteng.
“Sudah, jangan lagi mengganggu papa,” katanya sambil berdiri.
“Tapi aku kesepian Pa, boleh ya aku ikut Jatmiko?”
Usman tak menjawab, ia sudah sampai di pintu. Sebelum menutupnya, ia menoleh ke arah Erma.
“Bersabarlah, beberapa saat lagi kamu akan punya teman. Ibu tiri kamu akan membuat suasana menyenangkan untuk kamu.”
“Papa mau ke mana?”
“Bukan urusan anak kecil,” katanya sambil menjauh.
“Pa, Erma mau ikut Jatmiko keluar kota ya,” teriaknya karena sang ayah semakin menjauh. Tapi Usman tak menjawab. Ia langsung meminta petugas agar menyiapkan mobilnya di depan lobi.
Erma mengikuti keluar, lalu menuju ke ruang Jatmiko. Ia merasa kesepian karena tidak punya teman untuk berbincang. Nanti kalau ia sudah memiliki ibu tiri? Gadis cantik itu? Masa iya.
Sekarang ia sudah sampai di depan ruang kerja Jatmiko. Menurutnya, Jatmiko amat menarik. Kalau dia bukan pacar Anjani, apa salahnya dirinya mendekat dan merayunya?
Erman membuka pintu ruangan Jatmiko tanpa mengetuknya, membuat Jatmiko menatapnya tak senang.
“Mengapa membuka pintu tanpa mengetuk lebih dulu? Nggak sopan,” kesalnya.
Bukannya takut, Erma malah tersenyum sambil mendekatinya. Melihat setumpuk berkas dihadapan laki-laki tampan itu, Erma menggaruk-garuk kepalanya.
“Bukankah hari ini kamu mau keluar kota?”
“Siapa yang bilang?”
“Sekretaris kamu. Bolehkah aku ikut?”
“Memangnya aku sedang jalan-jalan?”
“Hanya menemani saja, aku kesepian di rumah sendirian.”
“Aku sedang bekerja.”
“Aku hanya duduk diam, tak akan mengganggu kamu. Pokoknya aku hanya ingin merasa tidak sendirian. Tadi aku ingin berbincang sama papa, tapi tampaknya papa sedang sangat sibuk. Entah apa saja yang diurusnya.?”
“Kalau pak Usman tidak mengatakan apapun tentang urusannya, berarti kamu memang tidak boleh tahu dan aku juga tak ingin mengatakannya. Ini rahasia perusahaan.”
“Apa kamu lupa bahwa aku ini putrinya atasan kamu?”
“Urusan perusahaan tidak ada hubungannya dengan keluarga. Kalau ini adalah rahasia, putrinyapun tak boleh mengetahuinya,” kata Jatmiko sambil berdiri dengan membawa setumpuk berkas.
“Apa kamu pacaran sama calon istri papaku?” pekik Erma sambil mengikutinya keluar dari ruangan.
“Dia sahabat terbaikku.”
“Kenapa kamu tidak mau dekat sama aku? Biarkan aku ikut, aku hanya akan duduk diam, tidak akan mengganggumu.”
Jatmiko tak menjawab. Ia langsung menuju ruang parkir, dan dengan entang Erma ikut masuk ke dalamnya, melalui pintu samping kemudi.
*
Anjani sudah memanggil taksi untuk ayahnya yang akan pergi ke rumah sakit. Estiana membawa kan besar yang dikeluarkannya dari dalam kulkas. Ia menuangkan sebagian jus jeruk yang ada di dalam kan itu, ke dalam gelas yang sudah disiapkannya.
“Anjani, ibu membuat jus jeruk, dingin dan segar. Setelah bersih-bersih, kamu pasti haus, minumlah ini.”
“Iya Bu, terima kasih,” jawab Anjani.
“Kalau masih kurang, kamu boleh menuangnya lagi. Cobain deh, segar sekali rasanya, ibu sudah menghabiskan segelas, biarpun hari masih pagi.”
“Iya, nanti pasti Anjani minum.”
Ia mengantarkan sang ayah sampai masuk ke dalam taksi. Rasa haru menusuk hatinya, melihat tubuh sang ayah yang kurus, dan wajahnya yang pucat.
“Semoga segera sembuh ya Pak,” bisiknya lirih penuh rasa prihatin.
Ia masuk ke dalam rumah setelah taksi yang ditumpangi sang ayah dan sang ibu tiri sudah menghilang di balik pagar.
Anjani melirik ke arah gelas yang sudah berisi es jeruk, dan kan yang berisi setengah lagi jus jeruknya. Kelihatannya segar. Anjani ingin meraihnya, tapi diurungkannya karena masih terlalu dingin. Ia memilih pergi ke belakang dan menuang secangkir teh yang masih hangat karena berada di dalam termos.
Lalu Anjani mengambil sapu dan masuk ke kemar ayahnya. Ia menarik seprei di ranjang ayahnya, bermaksud menggantikannya dengan yang bersih. Setelah melepas semua sarung bantalnya, ia membawanya ke belakang untuk di cuci.
Ia kembali ke kamar, merapikan letak barang-barang, lalu mengelap meja yang ternoda bekas minuman. Ia mengelapnya sampai bersih. Lalu ia menyapu ruangan itu dengan bersemangat.
Nanti kalau ayahnya pulang, kamarnya harus sudah rapi. Keringat mengalir di tubuh Anjani. Ia mengelapnya dengan tissue dan wajahnya tampak kemerahan.
Ia akan mengambil alat mengepel ke arah belakang, ketika mendengar suara orang mengetuk pintu di arah depan.
Anjani bergegas ke depan, dan melihat Usman berdiri di depan pintu.
Wajah Anjani langsung muram.
“Di rumah sedang tidak ada siapa-siapa.”
Usman menatap wajah Anjani yang berkeringat dan kemerahan, Pikirannya langsung terbang ke mana-mana. Tampaknya Estiana sudah mempersiapkan semuanya. Usman tersenyum. Senyum yang membuat Anjani merasa muak.
“Benarkah? Tapi aku ingin bicara sama pak Marjono, tentang sesuatu yang sangat penting.”
“Bapak sedang kontrol ke rumah sakit.”
“Kalau begitu aku akan menunggu,” katanya sambil langsung masuk ke dalam ruangan. Anjani mundur beberapa langkah.
“Sebaiknya Bapak menunggu diluar, karena saya sedang sendirian,” kata Anjani sambil mengelap keringatnya.
Usman mengangguk.
“Baiklah. Temani aku ya?”
“Tidak bisa, saya sedang bersih-bersih rumah, akan saya buatkan Bapak minum, dan tolong menunggu di luar.”
Usman mencoba bersabar.
Baiklah, saya akan menunggu di teras. Anjani masuk ke dalam, dan keluar lagi dengan membawa minuman yang tadi dituangkan Estiana kepadanya.
“Silakan diminum, saya selesaikan dulu pekerjaan saya,” kata Anjani sambil kembali masuk ke dalam kamar ayahnya, melanjutkan pekerjaan membersihkan kamarnya.
*
Besok lagi ya. –bersambung–
by Tien Kumalasari
diunggah Indarsih Weanind
Ada Cinta Dibalik Rasa | 19, Cerbung Tien Kumalasari
tags: cerbung, cerita bersambung, Tien Kumalasari, Kumalasari, Tien, Seni Budaya, Bahasa Indonesia, kisah, cerita,