Ada Cinta Dibalik Rasa | 20, Cerbung Tien Kumalasari

ADA CINTA DI BALIK RASA 20
(Tien Kumalasari)

Ketika Anjani mencari cairan pembersih lantai, ditemukannya botol cairan itu sudah kosong. Anjani meletakkannya dengan kecewa, lalu kembali lagi ke kamar ayahnya. Ia tak mempedulikan Usman yang masih duduk di depan, yang katanya sedang menunggu ayahnya, karena ada hal penting yang ingin dibicarakan.

Barangkali sang ayah sudah mengutarakan maksudnya untuk mengembalikan uang yang sudah dikeluarkan keluarganya selama dia sakit, bahkan sejak bertahun lalu. Kemudian dia datang untuk membicarakannya secara detail. Ayahnya juga belum mengatakan tentang uang itu, kecuali mengembalikan uang yang sudah dititipkannya di rumah sakit.

Itu sebabnya Anjani tidak mengusirnya. Maksudnya supaya semua permasalahan segera selesai, dan dia tidak lagi akan bertemu Usman sebagai calon istri. Memuakkan.

“Baguslah kalau dia ingin bicara, ayahku tak akan membiarkan dirimu mengambil hidupku,” kata batin Anjani.

Tapi yang namanya ke rumah sakit, tak mungkin bisa seperti orang bertamu. Begitu datang, dipersilakan masuk, kemudian mengutarakan maksud kedatangan, lalu pulang.

Di rumah sakit banyak pasien. Harus ngantri, itu pasti, belum kalau harus memeriksa keadaan tubuh secara detail, yang periksa darah, tensi, dan lain sebagainya. Jadi dengan agak sebal Anjani menjamin bahwa Usman juga akan lama duduk di teras.

Tapi biarkan saja, daripada menyuruh dia pulang lalu permasalahan tidak akan segera selesai.

Sementara itu Usman semakin kegerahan, bukan hanya karena udara semakin panas, tapi membayangkan berhasilnya rencana Estiana yang akan membuat Anjani tak akan lagi bisa berkutik kecuali menerimanya. Ia meraih gelas yang dihidangkan sang ‘calon istri’ dengan senyum mengambang.

Akan ada saat-saat indah yang akan dinikmatinya, walau sebenarnya dia ingin melakukannya setelah resmi menikah. Apa boleh buat, ini adalah jalan terbaik yang harus dilaluinya.

Usman melihat wajah Anjani kemerahan dan keringat membasah. Ia memastikan, Anjani sudah menelan sesuatu yang dicekokkan Estiana sebelum berangkat ke rumah sakit. Usman sedang menunggu. Ia tak melihat bayangan Anjani ketika melongok ke dalam. Apakah Anjani sudah terlelap atau bahkan sedang menunggu kedatangannya dengan bara yang ditiupkan oleh obat itu?

Usman mengendurkan bajunya dengan melepas sebuah kancing. Ia sendiri merasa semakin gerah. Lalu minuman di gelas diteguknya sampai habis.

Usman melongok ke dalam, mencari keberadaan Anjani. Lalu berdiri pelan, masuk ke dalam.

*

Marjono duduk menunggu, menatap antrian yang memenuhi ruangan. Tampaknya dia datang kesiangan, sehingga mendapatkan nomor antrian yang ke sekian puluh, entah berapa, Marjono tak ingin melihatnya. Ia hanya melihat nomor antrian sekilas, dan tidak begitu memperhatikan karena Estiana menggenggamnya.

“KIta datang kesiangan Pak, sabar ya,” katanya lembut. Entah mengapa hari ini Estiana bersikap sangat manis. Bukan hanya kepada Anjani, tapi juga kepada suaminya.

“Salahnya kamu tadi, pakai mampir-mampir segala.”

“Hanya mampir ke rumah makan langganan, agar mengirim makanan ke rumah, soalnya aku tidak menyiapkan makanan untuk makan siang, sedangkan Anjani sibuk membersihkan rumah.”

“Cuma pesan saja kamu lama sih.”

“Bapak itu mbok ya sabar, sudahlah. Apa Bapak lapar? Aku ke toko di depan itu beli roti ya?” kata Estiana sambil berdiri.

“Tidak usah.”

“Nggak apa-apa, menunggu sambil ngemil biar tidak bosan.”

Tapi kemudian Estiana terkejut. Tak ada dompet di dalam tasnya. Ketika mampir memesan makanan tadi dia juga belum membayarnya karena sudah langganan, jadi tidak tahu kalau dompetnya ketinggalan.

“Ada apa?” tanya Usman ketika melihat istrinya merogoh-rogoh tas yang dibawanya.

“Dompetku ketinggalan.”

“Ya sudah, tidak usah beli apa-apa,” kata Marjono yang sebenarnya membawa uang di dalam dompetnya, tapi enggan memberikannya karena dia tidak ingin makan apapun.

“Biar aku pulang dulu ya Pak.”

“Pulang?”

“Aku harus mengambil dompet itu.”

“Kalau butuh sesuatu, aku membawa sedikit uang,” kata Marjono pada akhirnya, ketika sang istri ingin pulang mengambil dompetnya.

Tapi Estiana memikirkan hal lain. Ada sesuatu di dompet itu. Surat-surat pembelian perhiasan, dan lain-lain, yang dikhawatirkan akan dilihat oleh Anjani ketika dia bersih-bersih kamar.

Ia ingat ketika meletakkan dompet setelah membayar pembelian kerupuk yang lewat, dan lupa memasukkannya ke dalam tas.

Mungkin di meja, atau dimana. Bagaimana kalau Anjani menemukannya dan membuka-buka isinya? Karenanya dia harus pulang.

“Tidak, biar aku ambil dompet dulu saja, pasti gilirannya masih lama.”

“Kenapa sih, kalau butuh uang aku bawa sedikit.”

“Tidak ah, ada hasil ceklab minggu lalu yang aku simpan di dompet itu juga, barangkali diperlukan,” katanya sembarangan, kemudian ia membalikkan badannya, bergegas pergi.

Marjono menatap punggungnya dengan heran. Tapi kemudian ia membiarkannya. Ia juga heran, mengapa tak menelpon Anjani saja agar mengirimkan dompet itu ke rumah sakit, bukankah itu lebih mudah? Tapi Marjono enggan memikirkannya. Ia kembali duduk diam, memejamkan matanya agar merasa lebih tenang.

*

Usman merasa tubuhnya semakin gerah. Ia melihat teko terletak di ruang tengah, kemudian melongok ke sekitar ruangan, tak ada siapa-siapa. Di mana Anjani? Usman berbalik ke teras untuk mengambil gelasnya yang masih kosong, lalu masuk kembali dan menuangkan lagi segelas jus jeruk yang masih ada di dalam teko.

Usman duduk dan meminumnya dengan sekali tenggak. Tapi minuman itu tak membuatnya merasa segar. Ada perasaan aneh. Di mana Anjani?

“Anjani..!” Usman memanggil dengan suara serak. Tak terdengar jawaban. Apa Anjani sedang menunggunya? Usman tersenyum iblis. Tubuhnya merasa tidak karuan. Ia bangkit ingin mencari Anjani, berjalan sempoyongan ke sekitar rumah. Bayangan Anjani tak kelihatan. Ada kamar yang tertutup.

“Ada apa aku ini? Apakah Estiana juga membubuhkan obat itu ke dalam minumanku?” desisnya pelan.

Tapi kemudian dia tersenyum.

“Kalau begitu baguslah, kami jadi sama-sama membutuhkan.”

Senyuman aneh itu masih membayang ketika dia sampai di depan kamar yang tertutup.

“Anjani ….”

Usman mencoba membuka kamar itu, tapi ternyata terkunci. Lalu ia membalikkan tubuhnya, kembali ke arah depan. Ada sebuah kamar lagi di sana. Usman tersenyum liar. Ia menuju ke kamar itu, lalu membukanya pelan. Tidak terkunci rupanya. Dan karena sempoyongan, maka Usman jatuh tersungkur. Dengan susah payah dia bangun, tapi keningnya benjol terantuk sudut ranjang yang agak runcing.

Usman mengelusnya, dan terengah, kemudian duduk di tepi ranjang. Matanya sedikit berkunang-kunang.

Tiba-tiba seseorang masuk. Mata Usman berbinar, mengira Anjani menyusulnya. Tanpa mengatakan sesuatu, dia segera memeluknya.

Terdengar suara memekik.

“Eh, nak Usman? Ada apa?”

Usman tak peduli, ia lupa segala-galanya oleh hasrat yang tidak dimengertinya. Wanita itu adalah Estiana. Sentuhan Usman membuatnya heran, tapi entah mengapa dia menyukainya. Estianapun seperti orang kesetanan. Pikiran warasnya hilang entah kemana. Dia melupakan Anjani dan semuanya. Suara pintu tertutup segera terdengar, agak keras, tapi rupanya tak seorangpun mendengarnya.

*

Anjani masuk ke halaman, berjalan pelan dengan harapan Usman yang dikiranya masih duduk di teras tak mendengar kedatangannya. Seperti ketika dia keluar tadi, ia melewati samping rumah dan berjalan pelan tanpa menimbulkan suara. Itu sebabnya Usman tak melihatnya.

Anjani kembali melewati samping rumah, sambil menjinjing obat pencuci lantai yang dibelinya. Ia agak kesal pada Usman. Mobilnya masih ada di halaman, tapi orangnya tak kelihatan duduk di teras. Gelas yang tadi dihidangkan tampak sudah kosong. Jangan-jangan Usman masuk ke dalam, dan punya maksud untuk melakukan hal yang tidak pantas pada dirinya.

Anjani mengambil obat pencuci lantai itu dan membuka tutupnya. Ia masuk ke dalam rumah melalui pintu belakang. Ia bersiap menjaga diri kalau-kalau Usman berbuat nekad. Obat pencuci lantai itu siap dipegangnya. Kalau Usman bertindak macam-macam, dia akan menyiramkan obat itu ke arahnya.

Tapi sampai dia masuk ke rumah, tak ditemuinya Usman. Ia bahkan mendengar dering ponselnya dari dalam kamar yang tadi ditinggalkannya.

Anjani bergegas masuk, telpon dari ayahnya? Anjani segera membukanya.

“Bapak? Sudah selesai?”

“Anjani, apa ibumu pulang?”

“Ibu? Anjani tidak melihatnya.”

“Tadi ibumu pamit pulang untuk mengambil dompet. Kok lama sekali. Sebentar lagi giliran bapak masuk ke ruang periksa.”

“Oh, jadi Bapak sendirian? Baiklah, Anjani akan menyusul segera.”

“Cepat sedikit ya Nak.”

“Iya, tentu.”

Anjani meletakkan cairan pembersih lantai itu sembarangan, kemudian masuk ke dalam kamarnya dan mengambil kunci motor.

Ia tak usah mengganti baju karena saat keluar tadi dia sudah mengenakan pakaian yang pantas.

Ia mengendarai motornya dengan cepat, menuju rumah sakit. Ia tidak mengunci rumahnya karena merasa bahwa di rumah tadi masih ada tamu menunggu, yang sebenarnya membuatnya heran karena saat masuk dia tak melihat ‘sang tamu’ tersebut.

“Mungkin sedang ke kamar mandi di belakang,” pikir Anjani yang terus ngebut menuju rumah sakit.

*

Sesampainya di sana, kebetulan sang ayah sedang berdiri untuk menuju ke ruang periksa, karena petugas sudah memanggil namanya.

Terengah Anjani mengejarnya, lalu ikut masuk ke dalamnya.

“Ibumu ke mana?” tanya Marjono pelan.

Anjani hanya mengangkat bahu, tanda tak mengerti, karena dia memang tidak tahu.

Perawat kemudian memintanya untuk berbaring di bangku pemeriksaan.

Anjani agak lega, mendengar dokter yang memeriksa mengatakan bahwa kondisi ayahnya baik-baik saja. Perawat membawa alat untuk memeriksa jantungnya, sedangkan Anjani duduk menunggu.

“Apakah ada keluhan dari pak Marjono?” tanya dokter yang segera dijawab oleh Anjani bahwa semalam ayahnya hanya mengeluh badannya agak kurang enak.

“Hanya kecapekan, atau banyak pikiran. Bukankah seharusnya pak Marjono tidak boleh berfikir dan kelelahan?”

“Ya dokter, akhir-akhir ini memang banyak yang dipikirkan bapak. Tapi tidak terlalu berat.”

Dokter mengangguk-angguk. Pemeriksaan EKG berjalan lancar, dokter mengatakan tak ada yang menghawatirkan menjelang operasi pada beberapa hari mendatang.

Anjani tersenyum lega. Barangkali masalah rumah itu membuat ayahnya terlalu memikirkannya, padahal semuanya berjalan lancar. Walau begitu memang ada sedikit pemikiran mengenai tempat tinggal yang akan dipilihnya nanti.

“Siap operasi seminggu lagi, Pak?” tanya dokter ketika Marjono sudah kembali duduk di depannya.

“Siap, dokter,” kata Marjono mantap.

“Bagus, tiga hari lagi kembali ke rumah sakit untuk pemeriksaan lengkap, untuk melihat kesiapan tubuh menjelang operasi nanti.”

“Baik, dokter.”

“Usahakan jangan terlampau lelah, jangan banyak berpikir, apalagi sampai tertekan.”

“Baik.”

“Obatnya masih ada?”

“Masih untuk tiga hari mendatang.”

“Baiklah, dilanjutkan saja. Tiga hari lagi kembali, mungkin harus menginap sebelum operasi dilaksanakan.”

*

Ketika pulang, Marjono mengajak Anjani untuk melihat rumah yang ditawarkan temannya. Dalam perjalanan itu, Marjono bertanya-tanya tentang istrinya. Tapi Anjani memang tidak melihat ibunya pulang.

“Pergi ke mana dia? Katanya hanya untuk mengambil dompetnya yang ketinggalan. Sudah hampir dua jam belum juga kembali.”

“Apa Bapak tidak membawa uang?”

“Sudah bapak tawarkan, kalau perlu uang bapak membawa uang sedikit, tapi dia bersikeras untuk pulang, katanya ada hasil lab minggu lalu yang ada di dalam dompetnya, yang dikhawatirkan akan ditanyakan oleh dokternya ketika pemeriksaan. Jadi bapak membiarkannya dia pulang. Nyatanya dokter tidak bertanya apapun tentang hasil lab itu. Bukankah setelah pemeriksaan lab itu dokter sudah melihat hasilnya?”

“Benar, tadi dokter tidak menanyakannya. Tapi dompet ibu memang terletak di atas meja tadi. Anjani hanya melihatnya di dalam kamar, saat bersih-bersih. Tapi tidak membukanya dan tidak mengira kalau itu barang yang tertinggal. Anjani mengira, dompet itu memang tidak dibawa.”

“Apa dompet itu berisi hasil lab juga?”

“Anjani sama sekali tidak membukanya, jadi tidak tahu apa isinya.”

“Ya sudah, biarkan saja. Paling-paling kalau dia kembali ke rumah sakit dan bapak tidak ada, dia juga akan pulang dengan sendirinya.

“Tadi ada pak Usman menunggu Bapak, katanya akan bicara penting.”

“Bapak sudah berpesan pada ibumu kalau uangnya akan bapak kembalikan, dan dia tidak lagi boleh berharap atas dirimu.”

“Mungkin kurang jelas, lalu ingin bicara dengan Bapak. Entah sekarang masih di sana atau tidak. Ketika Anjani berangkat ke rumah sakit, mobilnya masih ada di halaman, tapi Anjani tidak bertemu dia dan pamit bahwa mau ke rumah sakit. Kecuali segan bicara sama dia, Anjani juga tergesa-gesa karena Bapak bilang kalau sendirian.”

“Ya sudah, jangan dipikirkan.”

Taksi yang ditumpangi oleh mereka sudah berhenti di depan sebuah rumah kecil, sederhana. Marjono dan Anjani dipersilakan melihat-lihat oleh penjaga rumah itu, karena Marjono sudah berpesan akan melihat-lihat hari ini.

Rumah itu bukan rumah baru, catnya sudah mengelupas, dan tampak suram. Tapi ada tiga kamar di rumah itu, ada dapur dan kamar mandi, yang salah satunya adalah kamar mandi dalam. Ada sisa halaman yang tak begitu luas, untuk menjemur pakaian dan membuat taman kecil.

“Secara umum bapak suka. Tapi harus dicat lagi supaya kelihatan terang. Banyak pohon-pohon di sekitar rumah, membuat sejuk suasana. Apa kamu suka?”

“Kalau Bapak suka, Anjani juga suka. Kalau sudah di cat ulang, dibersihkan, tampaknya rumah ini akan nyaman untuk tempat tinggal.”

Keduanya merasa senang, dan akan segera menindak lanjuti pembelian rumah itu. Ketika mereka sampai di rumah, mobil Usman masih ada di halaman. Anjani heran, karena tak melihat Usman di teras, bahkan ketika masuk ke dalam rumah.

Marjono terkejut, ketika melihat Estiana keluar dari kamar tamu dengan rambut awut-awutan, dan pakaian yang kedodoran. Lebih terkejut lagi ketika mendengar suara laki-laki terbatuk dari dalam kamar itu.

Estiana pucat pasi melihat suaminya sudah pulang. Mulut Anjani ternganga melihat penampilan sang ibu tiri. Apa yang terjadi?

*

Besok lagi ya.

at February 17, 2024
Share
by Tien Kumalasari

diunggah Indarsih Weanind

Ada Cinta Dibalik Rasa | 20, Cerbung Tien Kumalasari

tags: cerbung, cerita bersambung, Tien Kumalasari, Kumalasari, Tien, Seni Budaya, Bahasa Indonesia, kisah, cerita,

Tinggalkan Balasan

Eksplorasi konten lain dari Kissparry

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca

Eksplorasi konten lain dari Kissparry

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca