ADA CINTA DI BALIK RASA 23
(Tien Kumalasari)
Jatmiko pun menatap kagum pada Nilam. Walaupun berpakaian sederhana, tidak menyolok dan tidak kelihatan menantang seperti pakaian gadis-gadis muda pada umumnya, tapi membuat Jatmiko sangat terpesona. Pandangan matanya tak beralih, sampai Nilam menegurnya kesal.
“Apa kamu belum pernah melihat manusia?”
Jatmiko tertawa pelan.
“Manusia secantik kamu? Belum pernah.”
Bibir Nilam mengerucut kesal.
Ketika Jatmiko kembali ingin menggodanya, Suri muncul diiringi Nugi, yang langsung berkomentar.
“Mbak Nilam mau pacaran kan?”
Nilam segera mendekat ke arah Nugi dan bersiap menjewernya, tapi Nugi sudah lebih dulu bersembunyi dibalik tubuh ibunya.
“Awas, kamu.”
“Sudahlah Nilam, sama adiknya kok galak amat sih. Kalian mau berangkat?” tanyanya kemudian sambil menatap Jatmiko.
“Iya Bu, mohon ijin untuk mengajak Nilam jalan-jalan.”
“Silakan, Nak. Tapi pulangnya jangan malam-malam ya.”
“Baiklah Bu.”
Jatmiko ingin meraih tangan Nilam, tapi Nilam sudah lebih dulu berjalan mendahuluinya. Jatmiko mengejarnya sambil meringis. Ia lupa Nilam tak mau disentuh sembarangan.
Ia mengucapkan kata maaf sebelum membukakan pintu untuk Nilam.
Suri menatapnya sambil geleng-geleng kepala. Apa sebenarnya kekurangan Jatmiko, menurut Nilam, sehingga dia selalu tampak ketus dihadapannya? Sungguh Suri sangat berharap, Jatmiko benar-benar bisa menjadi menantunya.
Ketika mobil Jatmiko berlalu, Suri segera merangkul Nugi dan membawanya masuk ke rumah.
“Mas Jatmiko itu, bukankah pacarnya mbak Nilam?”
“Ssst, Nugi. Kamu ingin dijewer kembali oleh kakakmu? Ayo lanjutkan belajarnya,” kata Suri sambil menarik Nugi ke arah meja belajarnya.
“Ayo, mengerjakan pe-er nya belum selesai kan?”
“Iya Bu, kurang sedikit kan?”
“Baiklah, segera selesaikan, ibu menunggui kamu di sini,” kata Suri sambil mengelus kepala Nugi. Ia sangat menyayangi Nugi, bagai anak yang dilahirkannya sendiri. Semakin besar, wajah Nugi semakin mirip Baskoro. Laki-laki bekas suaminya yang kemungkinan besar masih berada di dalam penjara. Suri menghela nafas. Cinta itu sudah pergi, ketika noda penghianatan mengotori rumah tangganya. Siapa sangka kemudian ia menemukan Nugi yang akhirnya menjadi anak angkatnya? Anak kecil ganteng yang tak berdosa ini sama sekali tidak tahu, siapa yang meneteskan benih dan kepada siapa benih itu diteteskan sehingga lahirlah dia ke dunia.
Suri mengelus kembali kepala Nugi. Anak yang polos, dilahirkan tanpa dosa, layak mendapat kasih sayangnya yang tulus. Dia tak bisa melahirkan anak dari Baskoro suaminya, tapi siapa sangka dia bisa menjadi ibu dari bayi darah dagingnya?
“Seharusnya aku yang melahirkan kamu, Nugi,” bisik batinnya sambil terus mengelus kepala Nugi.
“Mengapa ibu mengelus kepala Nugi terus, susah nih nulisnya,” keluh Nugi.
“Karena ibu amat menyayangi kamu,” kata Suri sambil mencium pipi Nugi, lalu duduk agak menjauh, khawatir mengganggu belajar Nugi.
*
“Kita nyamperin Anjani dulu ya,” kata Jatmiko sambil menghentikan mobilnya di depan rumah Anjani.
Nilam tak menjawab. Ada rasa kurang suka ketika Jatmiko juga menaruh perhatian kepada Anjani. Seperti juga Wijan, yang kata Raharjo sedang menemani Anjani mengambil sepeda motornya di rumah sakit.
Waktu itu, kantor sudah usai, semua orang sudah pulang, tapi Wijan belum tampak batang hidungnya.
Nilam menghela napas panjang. Apakah dia harus bersaing dengan Anjani? Tidak, gadis itu sangat baik dan pantas dikasihani. Dia juga pantas menarik hati dua orang pria yang dikenalnya.
Nilam menyandarkan kepalanya di jok depan, ketika melihat Anjani keluar dari dalam rumah, beriringan dengan Jatmiko.
Nilam memejamkan matanya.
Ia bahkan tak membuka matanya ketika mendengar pintu ditutup di belakang dan di sampingnya.
“Nilam, kamu tertidur?” sapa Jatmiko sambil menjalankan mobilnya.
“Oh, eh … apa? Aku ketiduran ….” katanya sambil mengusap wajahnya, pura-pura terbangun dari tidur.
“Mbak Nilam pasti sangat lelah,” kata Anjani yang duduk di belakang.
“Hai, Anjani, maaf ya. Aku benar-benar mengantuk,” sapanya sambil menoleh ke belakang.
“Mengapa Miko mengajak mbak Nilam, kasihan dia sangat lelah,” kata Anjani, tulus.
“Nanti kalau kita sudah bersama-sama jalan, pasti kantuknya hilang,” kata Jatmiko seenaknya.
“Ihh, Miko maksa deh,” kata Anjani yang sesungguhnya memang lebih suka tidak mengajak Nilam, tapi sungkan mengatakannya. Lagipula Nilam adalah calon atasannya yang sangat baik.
“Tadi sama mas Wijan ke mana saja?” tiba-tiba tanya Nilam.
“Oh, itu … pak Wijan menemani saya mengambil sepeda motor saya yang tertinggal di rumah sakit. Lalu saya mengantarkannya kembali ke kantor dengan sepeda motor butut saya.”
“Iya, aku lupa. Tadi bapak ke rumah kamu kan, sama mas Wijan? Aku tidak ikut karena pekerjaan menumpuk,” kata Nilam yang sebenarnya kurang puas atas jawaban Anjani. Hanya mengambil sepeda motor dan mengantarkan Wijan kembali ke kantor? Bukankah tadi ayahnya menunggu sampai sore?
“Iya mbak.”
“Urusannya sudah selesai?”
“Sudah. Kami harus berterima kasih pada pak Raharjo karena bersedia membeli rumah ayah saya.”
“Bapak ingin memberikan rumah itu nanti pada mas Wijan.”
“Tampaknya harus banyak yang dibenahi.”
“Mungkin, tapi bapak berharap pak Marjono masih tetap tinggal di rumah itu. Kami tidak tergesa-gesa ingin memakainya. Itu kata bapak lho.”
“Iya, tadi juga pak Raharjo bilang begitu. Tapi bapak akan membeli rumah sederhana untuk tempat tinggal kami. Barangkali akan segera diurus setelah operasi nanti.”
“Kapan pak Marjono operasi?”
“Mungkin Minggu depan. Setelah bapak pulih, saya ingin segera mulai bekerja.”
“Bersabarlah. Kamu kan juga harus merawat bapak sampai benar-benar pulih, meskipun ada ibu kamu?”
Anjani terdiam. Ia tak ingin menceritakan perihal keluarganya. Perihal ibunya yang sudah diusir oleh ayahnya karena ketahuan melakukan hal yang tak patut bersama Usman. Tapi kalau terus-terusan ditanyakan, barangkali nanti dia juga harus berterus terang.
Tiba-tiba ponsel Anjani berdering.
“Oh, pak Wijan menelpon,” katanya sambil membuka ponsel, dan hal itu membuat Nilam berdebar-debar. Rupanya Wijan selalu ingin berkomunikasi dengan Anjani, walaupun sejak siang sampai sore sudah bersamanya.
“Ya Pak? Eh… iya Mas … tidak, saya sedang jalan bersama mbak Nilam juga … tidak berdua, bersama Jatmiko juga … oh … benarkah? Kami hanya akan jalan-jalan. Mau bicara dengan mbak Nilam? (tapi dilihatnya Nilam menggoyang-goyangkan tangannya, pertanda tak ingin bicara) … ya sudah, lain kali saja. Atau pak .. eh .. mas Wijan ingin ikut? Biar Miko saya suruh menjemput ke rumah … ya sudah … lain kali saja. Baiklah, selamat malam.”
“Mas Wijan mau, kita jemput?” tiba-tiba kata Jatmiko yang sejak tadi diam saja.
“Tidak, dia tidak mau.”
“Ya sudah, kita makan malam dulu ya.”
“Tanyakan sama mbak Nilam, mau jalan-jalan dulu atau makan dulu,” kata Anjani.
“Saya ngikut saja. Makan dulu boleh, jalan-jalan dulu juga boleh.”
“Aku lapar, makan dulu saja ya,” kata Jatmiko.
“Ya, terserah kamu saja,” kata Anjani.
*
Malam itu Usman pulang ke rumah menjelang tengah malam. Saat itu Erma yang mengkhawatirkan ayahnya, masih menunggu kepulangannya, dengan duduk di depan televisi di ruang tengah.
“Papa baru pulang?”
“Melihat wajah sang ayah yang muram, Erma merasa prihatin. Akhir-akhir ini ia melihat sedang banyak masalah di kantor. Selama dia kembali dari luar negri, tak banyak waktu bagi sang ayah untuk bercengkerama dengannya.
Usman duduk di depan Erma.
“Mau Erma buatkan minuman hangat Pa?”
“Tidak usah, papa baru saja minum di kantor.”
“Papa dari kantor?”
“Urusan tidak selesai-selesai. Biasanya dengan uang, semuanya bisa diselesaikan. Kali ini sangat sulit.”
“Memangnya ada persoalan apa?”
Usman tampak menghela napas. Ia tak ingin membawa anak semata wayahnya untuk ikut terbawa dalam permasalahan sulit yang sedang terjadi.
“Erma tak boleh tahu? Biarpun Erma anak Papa?”
“Ini urusan yang berat. Papa tidak ingin membebani kamu.”
“Apakah tentang perempuan itu?”
“Maksudmu … Estiana? Tidak, dia bukan masalah bagiku. Dia itu perempuan tak tahu malu. Yang papa suka itu anak tirinya, bukan dia.”
“Mengapa kemudian dia datang kemari dan keberatan ketika disuruh pergi?”
“Dua suka uang papa.”
“Lebih-lebih anaknya, yang Papa sukai itu?”
“Tidak. Gadis itu berbeda.”
“Kalau begitu segera jadikan dia istri Papa.”
“Sekarang menjadi berat.”
“Mengapa berat?”
Usman hanya menghela nafas panjang.
“Masalah gadis itu bisa dipikirkan nanti. Papa harus menyelesaikan masalah yang lebih besar. Semoga segera teratasi.”
“Masalah hutang? Papa punya hutang yang sangat banyak?”
“Tidak. Lebih dari hutang. Kamu tidak usah ikut campur. Ini urusan papa.”
Erma menyandarkan kepalanya di bahu sang ayah.
“Tidurlah, ini sudah malam. Papa juga mau beristirahat.”
Erma bangkit. Ia mencium pipi sang ayah, kemudian melangkah ke kamarnya. Ia tidak pernah dilibatkan dalam usaha sang ayah. Kewajibannya hanya belajar, dan itu sudah ditunaikannya. Sekarang dia sudah selesai dan kembali ingin menemani sang ayah. Sayangnya ia tak bisa berbuat apapun karena tidak mengerti semua permasalahannya. Yang dia tahu hanyalah masalah Anjani, yang sesungguhnya tidak banyak yang diketahuinya kecuali ayahnya mencintai gadis itu.
*
Raharjo heran melihat Wijan duduk di taman sendirian. Hari sudah malam, dan udara di luar sangat dingin. Raharjo turun ke halaman samping, di mana taman di rumah itu berada, dan Wijan sedang duduk sambil mengutak atik ponselnya.
“Wijan.”
Wijan menoleh, melihat ayahnya berjalan medekati.
“Bapak belum tidur?”
“Kamu sendiri juga belum tidur. Ini sudah tengah malam.”
“Iya Pak, tapi Wijan tidak bisa tidur.”
“Memikirkan sesuatu?”
Wijan tersenyum.
“Memikirkan gadis yan sore tadi megantarkan kamu ke kantor?”
Wijan tertawa lirih.
“Benarkah?”
Wijan masih saja terdiam. Tapi ia membiarkan sang ayah duduk di dekatnya.
“Kamu jatuh cinta pada gadis itu?” Raharjo terus saja mencecar anaknya dengan pertanyaan yang sama.
“Bapak mengira, kamu akan berjodoh dengan Nilam.”
Wijan menoleh ke arah ayahnya, dan lagi-lagi hanya tersenyum.
“Nilam sangat cantik, dan baik. Bukankah begitu? Dia juga sangat menja setiap kali berada di dekat kamu. Bapak pikir, kalian adalah pasangan serasi.”
“Nilam itu kan sudah seperti adik kandung Wijan. Bagaimana bisa berjodoh?”
“Hanya seperti, sesungguhnya bukan.”
“Bapak menginginkan itu?”
“Kamu yang menjalani. Sesungguhnya bapak ingin segera punya cucu.”
Wijan tertawa agak keras.
“Bapak serius.”
“Apakah Bapak tidak suka, seandainya Wijan mencintai Anjani?”
“Anjani juga baik, tapi bapak lebih suka Nilam. Nilam sudah sejak kecil bersama kita. Kita sudah tahu bagaimana tabiatnya.”
“Justru sudah sejak kecil bersama itulah, maka cinta Wijan adalah cinta seorang kakak kepada adiknya.”
“Jadi kamu tidak mau, menjadikan Nilam sebagai istri?”
“Wijan sudah pernah mengatakannya pada Nilam, bahwa Wijan mencintainya sebagai kakak. Lebih dari seorang kekasih.”
Raharjo menghela nafas panjang.
“Sekarang apa yang kamu pikirkan, sehingga sampai larut kamu belum juga tidur?”
“Tampaknya Anjani sudah punya pacar.”
“Benarkah? Laki-laki sahabat masa kecilnya itu?”
“Tampaknya begitu.”
“Jadi kamu patah hati?”
Wijan tersenyum tipis. Haruskah dia patah hati? Bukankah semuanya belum jelas?
“Ya sudah. Berserahlah kepada Allah Yang Maha Kuasa. Jodoh itu, Dia yang menentukannya. Kamu tidak perlu memikirkan itu. Tapi kalau kamu memang cinta, katakan terus terang, dan bersiaplah seandainya dia menolaknya,” kata Raharjo sambil berdiri, lalu menarik lengan anaknya, diajaknya masuk ke dalam rumah.
Sang ayah benar. Ia harus mengatakannya terus terang. Masa kalah sama Nilam yang berani mengaku cinta kepada dirinya sedangkan dia adalah seorang gadis?
*
Hari di mana Marjono harus menjalani operasi itu telah tiba. Dua hari sebelumnya ia sudah harus berada di rumah sakit, untuk menjalani pemeriksaan pra operasi itu. Dan syukurlah karena kesehatan Marjono dianggap layak untuk menjalani operasi, maka tindakan itu segera dilakukan.
Anjani menunggui di luar dengan hati berdebar-debar. Ia merasa sendirian. Dan hatinya merasa sangat kecil. Seandainya Miko ada di dekatnya, pasti dia bisa membesarkan hatinya dan menenangkannya. Tapi Miko sudah dua hari pula dinas ke luar kota. Ia hanya memberinya semangat melalui telpon setelah Anjani mengabarinya.
Ia duduk sambil bersandar pada kursi tunggu. Mulutnya tak henti-hentinya memanjatkan doa.
“Ya Allah, selamatkan bapak, hamba hanya punya dia,” desisnya kemudian dengan air mata berlinang.
Tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya.
“Kamu Anjani kan?”
Anjani terkejut. Seorang gadis cantik berpakaian elegan berdiri dihadapannya. Ia lupa-lupa ingat, siapa gadis itu?
*
Besok lagi ya.
by Tien Kumalasari
diunggah Indarsih Weanind
Ada Cinta Dibalik Rasa | 23, Cerbung Tien Kumalasari
tags: cerbung, cerita bersambung, Tien Kumalasari, Kumalasari, Tien, Seni Budaya, Bahasa Indonesia, kisah, cerita,
—bersambung—