ADA CINTA DI BALIK RASA 24
(Tien Kumalasari)
Anjani masih menatap wanita itu tak berkedip. Ia seperti pernah melihatnya, di mana? Apakah dia mengenalnya?
“Hai, apa kamu tidak mengingatku? Bukankah kamu sahabat mas Jatmiko?”
Mendengar nama Jatmiko, Anjani tiba-tiba mengingatnya. Saat dia makan bersama Jatmiko, dan gadis itu muncul. Ah, yaaa. Ada perasaan tak senang ketika teringat bahwa gadis itu anaknya Usman. Ia bahkan pernah menghardiknya ketika Erma berbicara seenaknya tentang dirinya, dan menganggap dirinya hanya menyukai harta ayahnya.
“Ya, sekarang aku mengingatnya,” kata Anjani datar.
Erma, gadis itu, lalu duduk disamping Anjani, tanpa dipersilakan.
“Aku baru saja menambal gigiku yang bolong, lalu tiba-tiba melihatmu. Bukankah kamu calon istri ayahku?”
Wajah Anjani muram. Ia butuh seseorang yang bisa menenangkan perasaannya ketika sedang merasa cemas dalam menunggu ayahnya yang sedang menjalani operasi. Tapi yang datang adalah seseorang yang dianggapnya mengganggu karena bicara yang tidak-tidak.
“Aku tidak ada hubungannya dengan ayahmu.”
“Mengapa tiba-tiba berubah? Dulu kamu tidak menampiknya kan?”
“Sejak dulu aku menampiknya. Dan tolong hentikan bicara tentang ayahmu, aku sedang menunggui ayahku yang sedang dioperasi.”
“Bagaimana sebenarnya hubungan kalian?”
“Jangan tanyakan itu padaku. Tanyakan pada ayahmu. Dia yang memaksakan kehendak.”
Erma menatap Anjani lekat-lekat.
“Apa kamu tahu, bahwa ibumu pernah datang ke rumahku dan minta agar ayahku menikahinya?”
“Entahlah, aku juga tidak mau tahu tentang dia. Dia bukan ibuku.”
“Ibu tiri kamu?”
“Sekarang tidak lagi. Ayahku menceraikannya. Sedang dalam proses.”
“O, aku sedikit mengerti. Ayahku memang tak suka pada wanita itu. Ayahku hanya mencintai kamu.”
“Aku tidak pernah tertarik pada ayahmu. Bukankah aku pernah mengatakannya?”
“Kasihan ayahku … benarkah kamu tidak mau menjadi ibu tiriku?”
“Aku mohon jangan menggangguku. Aku ingatkan kamu, bahwa aku tak suka mengulang lagi kata-kataku.”
“Aku sekarang tahu, bahwa kamu bukan gadis yang menyukai harta ayahku. Biar aku tebak. Waktu itu ibu tirimu yang menjual kamu pada ayahku?”
Anjani menghela napas kesal. Erma masih saja nyerocos tentang hal yang tidak disukainya.
“Ayahku sedang banyak masalah di perusahaannya. Tapi ia sangat menyukai kamu. Aku ingin menghiburnya dengan mengajak kamu menemuinya.”
Anjani bergeming. Ingin sekali dia mengusir gadis itu.
“Anjani ….”
“Tolong hentikan, aku sedang mencemaskan ayahku.”
“Baiklah, akan aku temani kamu.”
“Tidak usah, biarkan aku sendiri.”
“Jangan begitu, aku bermaksud baik. Tapi sebentar, aku haus, akan aku belikan minuman untukmu,” kata Erma sambil berdiri, dan berlalu.
Anjani merasa kesal. Ia merasa Erma sangat berlebihan. Mereka tidak pernah mengenal secara akrab, mengapa tiba-tiba dia bersikap seperti seorang teman? Ia mengacuhkannya, kemudian kembali bersandar di kursi. Di ruang operasi, belum tampak tanda-tanda bahwa operasi sudah selesai. Anjani kembali berdoa.
Tapi setengah jam kemudian gadis itu datang kembali. Ia membawa dua botol minuman dingin, dan memberikan satu botol untuk Anjani.
Tak enak harus menolak, Anjani menerimanya. Biarlah, hanya sekedar minum. Lagipula ia memang merasa agak haus.
Is membuka botol minuman itu dan menenggaknya sampai setengah dari botol yang isinya sekitar 600ml.
Ia juga melihat Erma meminumnya.
“Pulanglah, aku hanya ingin sendiri.”
“Bukankah lebih menenangkan kalau ditemani?”
“Tidak, lebih baik tinggalkan aku sendiri. Kalau ada temannya, aku tidak bisa tenang.”
“Baiklah, sebentar lagi aku tinggalkan kamu, tapi biarkan aku minum dulu,” kata Erma sambil menghabiskan sebotol minumannya.
Anjani menenggaknya lagi sampai hampir habis sebotol.
“Hm, lumayan segar.”
Anjani diam saja. Ia merasa tidak suka ditemani Erma. Ia ingin meninggalkannya saja, dan mencari tempat lain.
Anjani berdiri, tapi tiba-tiba kepalanya terasa pusing. Kantuk berat menyerangnya. Ia kembali duduk dan terkulai di kursinya.
“Ngantuk ya?”
Anjani tak menjawab. Kepalanya terkulai di sandaran kursi.
*
Wijan sedang mengikuti rapat bersama ayahnya, bersama para staf penting di perusahaannya. Sebentar-sebentar ia melihat arloji di tangannya. Nilam yang duduk di dekatnya melirik ke arahnya, dan tahu bahwa Wijan tidak konsentrasi dengan rapat itu.
“Mas, kamu sakit?” tanya Nilam pelan sekali.”
“Tidak. Kamu mencatat dan merekam isi rapat ini kan?” kata Wijan tak kalah pelan. Nilam mengangguk.
“Nanti kamu berikan rekaman dan catatan kamu.”
“Apa maksudmu?”
“Aku mau pergi dulu.”
“Ke mana?”
“Hari ini pak Marjono menjalani operasi, aku sudah berjanji pada Anjani bahwa aku akan menemaninya.”
“Apa?”
Wijan menutup mulut Nilam dengan telapak tangannya. Raharjo dan beberapa staf menoleh ke arahnya.
Wijan tersenyum ke arah ayahnya, dan memberi isyarat bahwa tidak ada apa-apa yang terjadi. Berkali-kali Wijan menatap kearah ponsel yang digenggamnya, karena dia sedang menunggu jawaban Anjani, ketika dia menanyakan jam berapa pak Marjono mulai dioperasi. Jawaban itu tak kunjung tiba, membuat Wijan merasa gelisah.
Rapat sedang mendengarkan salah seorang manager pemasaran tentang adanya sebuah perusahaan yang ingin bergabung tapi urung melanjutkan kerja samanya.
Raharjo menatap Wijan yang diharapkan akan memberikan respon atas pembicaraan itu. Tapi Wijan menatap Nilam, berharap Nilam yang akan bicara.
“Sebaiknya kita menindak lanjuti dengan mengingatkan perusahaan itu. Bukan hanya diam menunggu,” kata Nilam dengan tangkas.
Wijan mengacungkan jempol sambil tersenyum, tapi kemudian dia berdiri.
Raharjo menatapnya heran, dan Nilam mengatakan bahwa Wijan sedang ada keperluan mendesak. Raharjo mengangguk, lalu Nilam melanjutkan bicara.
*
Wijan bergegas menuju ke arah mobilnya. Ia yakin bahwa Anjani tidak melupakan bahwa dia sudah berjanji akan menemani menunggui ayahnya. Pasti sedih menunggu saat operasi sendirian, merasa cemas sendirian.
Wijan memacu mobilnya agar bisa segera sampai di rumah sakit.
Begitu tiba dan memarkir mobilnya di halaman rumah sakit, setengah berlari ia masuk ke dalam, mencari ruang operasi.
Ia tak melihat Anjani. Kepada petugas dia bertanya, apakah pak Marjono sedang dioperasi, atau sudah selesai lalu dimasukkan ke ruang rawat inap. Tapi petugas mengatakan bahwa operasi sedang berlangung.
Wijan mencari Anjani dan tak bisa menemukannya. Ia berkeliling di sekitar rumah sakit, sampai kakinya pegal. Tapi bayangan Anjani tak ditemukannya.
Wijan mengambil ponselnya dan menelpon, tapi ponsel Anjani tampaknya dimatikan.
“Kemana dia? Mengapa tidak menunggu di luar ruang operasi?” gumamnya sambil matanya terus mencari-cari.
Wijan duduk di sebuah kursi tunggu. Barangkali Anjani sedang beli sesuatu, atau sedang mengambil sesuatu.
Agak lama Wijan menunggu, tak juga Anjani kembali.
Wijan berdiri. Bertanya kepada petugas, apakah Anjani sudah memesan ruang rawat inap untuk pak Marjono.
Wijan bergegas ke arah ruang yang dikatakan petugas. Barangkali Anjani sedang mengatur sesuatu di ruangan itu. Tapi ruangan itu masih kosong. Ada tas teronggok di sana, Wijan memasuki kamar mandi, barangkali Anjani ada di sana. Tapi kamar mandi itu kosong.
Wijan keluar dari ruangan itu dengan perasaan heran.
Ia kembali lagi ke depan ruang operasi.
Seorang perawat yang keluar tampak mencari-cari. Wijan kendekat.
“Keluarga pak Marjono?”
“Ya, saya,” kata Wijan sambil matanya mencari-cari.
“Operasi sudah selesai dan hasilnya baik.”
“Alhamdulillah,” kata Wijan, matanya masih mencari-cari.
“Di mana ya, putrinya yang tadi menunggu di situ?” kata perawat itu.
“Saya juga sedang mencarinya, mungkin sedang keluar.”
“Baiklah. Kalau keadaan stabil, pak Marjono akan segera dipindahkan ke ruang recovery. Sampai keadaannya stabil. Kalau perlu masih akan dirawat di ruang ICU. Tapi pemasangan ring berjalan lancar.”
“Terima kasih, suster.”
Perawat itu kembali masuk. Wijan duduk di ruang tunggu dengan gelisah.
“Kemana Anjani?” gumamnya.
*
Ketika rapat selesai, Raharjo memanggil Nilam. Ia tak tahu kenapa tiba-tiba Wijan menghilang.
“Mas Wijan menemani Anjani.”
“Menemani Anjani, kemana?” rupanya Raharjo tidak tahu bahwa hari ini Marjono dioperasi.
“Pak Marjono operasi hari ini.”
Raharjo geleng-geleng kepala. Begitu besar perhatian Wijan kepada Anjani, sampai meninggalkan rapat penting di kantornya.
“Apakah Wijan menyukai Anjani?”
Nilam merasa jantungnya ditusuk ribuan jarum. Ia teringat kegagalannya dalam mencintai Wijan.
“Tampaknya begitu.”
Raharjo menghela nafas.
“Aku mengira, kamulah yang akan menjadi menantuku,” kata Raharjo pelan. Raharjo ingat bahwa Wijan mengatakan bahwa dia pernah menolak Nilam secara terang-terangan.
Wajah Nilam tampak pias. Ada air mata menggenang di mata bulatnya yang indah. Raharjo menepuk bahunya lembut.
“Kamu akan tetap menjadi anakku, bukan? Cinta kasih bapak dan juga Wijan kepadamu, tak akan berubah.”
Nilam mengangguk, lalu mengusap air matanya.
“Mencintai itu adalah mengharapkan kebahagiaan untuk orang yang dicintai. Bukankah begitu?”
Lagi-lagi Nilam mengangguk.
“Cinta tidak harus memiliki. Cinta yang tulus bukan cinta yang berambisi untuk selalu berada di sampingnya.”
Nilam bersimpuh dihadapan Raharjo, menangis terisak dipangkuannya. Ia tahu, Raharjo masih tetap mencintainya seperti terhadap anaknya sendiri, sejak dia menjadi anak tirinya, sampai dia menjadi anak angkat wanita baik bernama Suri.
Raharjo mengelus kepala Nilam lembut.
“Kamu tidak akan kehilangan cinta. Anak bapak yang cantik ini akan mendapatkan laki-laki baik yang akan mencintai dan melindungi.”
Nilam terisak tanpa mengucapkan apapun. Raharjo menariknya agar berdiri, lalu memintanya kembali duduk.
“Apa kamu mengerti apa yang bapak katakan?”
Nilam mengangguk lagi.
“Apa kamu percaya bahwa bapak adalah ayah kamu yang akan tetap menjadi ayah kamu selamanya?”
Nilam tak kuasa menjawab dengan kata-kata. Bahwa Raharjo sangat mencintainya seperti cinta Raharjo kepada anak kandungnya, ia sudah mengerti. Ia bahagia menemukan banyak cinta.
“Ya sudah, kamu bisa kembali ke ruangan kamu, atau masih ingin menemani bapak di sini?”
“Nilam akan kembali ke ruangan, karena banyak yang harus Nilam kerjakan, apalagi mas Wijan menyerahkan semuanya kepada Nilam.”
“Baiklah, hapus air matamu,” kata Raharjo sambil mengulurkan selembar tissue.
“Terima kasih, Pak.”
Nilam keluar, Raharjo menatap punggungnya sampai gadis itu hilang di balik pintu. Gadis yang tadinya diharapkan akan menjadi menantu, ternyata sang anak mencintai gadis lain.
Raharjo meraih ponselnya, mencoba menelpon Wijan.
“Ya, Pak. Maafkan Wijan, tadi_”
“Bapak sudah tahu. Nilam sudah mengatakannya.”
“Oh, iya.”
“Operasi sudah selesai?”
“Sudah. Masih ada di ruang recovery. Wijan belum bisa menjenguk. Bahkan Wijan belum ketemu Anjani.”
“Apa maksudmu? Bukankah Anjani juga menunggui ayahnya di situ?”
“Sejak Wijan datang, Anjani tidak ada.”
“Pergi ke mana dia?”
“Wijan tidak tahu. Wijan juga bingung. Ponselnya mati.”
“Mana mungkin dia meninggalkan ayahnya yang baru dioperasi?”
“Itulah yang membuat Wijan heran. Sampai sekarang Wijan hanya bisa menunggu.”
“Setelah ini, bapak akan menyusul bersama Nilam.”
“Baiklah. Terima kasih. Wijan tidak akan segelisah ini kalau ada teman menemani.”
*
Erma sudah ada di rumah. Ia menunggu kedatangan ayahnya. Rasa kasihan terhadap ayahnya, membuatnya ingin melakukan sesuatu yang akan membuat ayahnya senang. Tadi dia menghubungi Estiana, yang nomornya ia temukan di ponsel ayahnya tadi malam.
Erma mengatakan, bahwa ia ingin mempersatukan sang ayah dengan gadis yang dicintainya. Estiana mengatakan sebuah ide, tentu saja dengan imbalan. Erma menyanggupinya. Ia sudah mentransfer sejumlah uang, setelah Estiana mengutarakan ide yang menurutnya sangat baik.
“Hari ini ayahnya akan operasi. Kamu bisa menculiknya.” kata Estiana pagi itu.
Erma tersenyum senang. Ia berhasil membawa Anjani pulang, dan menguncinya di kamar sang ayah.
Erma menelpon ayahnya berkali-kali, dan sang ayah menjawab masih ada urusan. Tapi kemudian Erma memberinya iming-iming tentang Anjani yang sudah ada di dalam kamarnya.
Usman terkejut. Ia meninggalkan pembicaraan dengan stafnya, yang sebenarnya masih belum selesai. Perusahaan terancam ditutup, dan dia bisa masuk penjara. Jalan keluarnya hanya uang.
“Siapkan uang lebih banyak. Mereka akan membantu kita,” ujarnya seperti yang sudah-sudah.
Usman meninggalkan kantor dengan terburu-buru. Ia segera pulang. Kali ini Anjani diharapkan akan bisa mengendapkan perasaan gelisahnya akibat kemelut yang menimpa perusahaannya.
Ketika mobil berhenti di halaman, Erma sudah menunggu dengan tersenyum.
“Apa kamu bersungguh-sungguh? Benarkah Anjani menunggu aku di dalam kamar?”
“Papa masuk saja ke kamar, masa Erma akan membohongi Papa.”
Usman bergegas menuju kamar. Ia membukanya perlahan setelah Erma membuka kuncinya.
Hatinya berdebar. Di atas ranjang, Anjani tergolek pulas, dengan posisi menantang. Erma yang mengaturnya.
Usman membuka sepatunya, juga jas yang dipakainya, dengan terburu-buru. Ia melemparkannya begitu saja ke lantai.
Perlahan ia mendekati ranjang. Wajahnya kemerahan dibakar nafsu. Lalu dilihatnya Anjani membuka matanya.
*
Besok lagi ya.
at February 22, 2024
Share
by Tien Kumalasari
diunggah Indarsih Weanind
Ada Cinta Dibalik Rasa | 24, Cerbung Tien Kumalasari
tags: cerbung, cerita bersambung, Tien Kumalasari, Kumalasari, Tien, Seni Budaya, Bahasa Indonesia, kisah, cerita,