Arsip File (Hasprabu)
SENI UNTUK HIDUP – HIDUP UNTUK SENI
Saya punya teman baik, keluarga pekerja Seni. Namanya Mas Hery Supriyanto. Karya seni dari padepokannya, terutama seni tari, sudah melanglang buana. Namanya padepokan seni Ayodya Pala, di Kota Depok.
Diceritakan, saat merintis dulu, benar-benar perlu perjuangan panjang. Tahun 1980-an, siapa bisa mengandalkan hidup dari hasil sebagai pekerja seni? Khususnya seni tradisional.
Tapi ternyata, seni bisa menjadi sumber penghasilan. Kuncinya, yang bisa membuat seni berharga dan dihargai adalah keberanian kita sendiri. Tegasnya, agar kelompok usaha seni bisa eksis, seniman pun harus punya jiwa wirausaha. Ini yang selama ini kurang kita perhatikan. Misalnya, saat perkumpulan kuda lumping kita diundang tampil, kita berat dan sungkan meminta upah. Kalau ditanyakan berapa tarifnya, jawabnya: “Monggo, pinten kemawon Kula tampi” (silakan, berapapun dibayar, diterima).
Di kawasan transmigrasi sejak dulu sudah banyak keinginan warganya mengembangkan seni. Seperti ludruk, kuda lumping, srimpi, wayang kulit, janger, degung, rampak kendang, sisingaan, lenong, karawitan, dan lainnya. Tetapi kesadaran untuk menjadikan seni sebagai sumber nafkah, belum optimal. Sehingga kehidupan pekerja seni kurang berkembang. Hidup untuk seni, dan belum pada taraf seni untuk hidup.
Belajar dari pengalaman Ayodyapala, ada baiknya jika teman-teman PATRI mulai profesional menggarap karya seni. Dengan demikian karya seni menjadi berharga dan dihargai. Bahkan seni bisa sebagai sumber penghidupan.
Mengapa? Karena dengan lokasi transmigrasi yang makin berkembang, jumlah lahan yang makin berkurang, dan taraf hidup yang makin baik, hiburan menjadi kebutuhan. Nah, pada posisi itu karya seni perlu dikembangkan.
Semoga para aktivis Pokja Kewirausahaan dan HW-TRANS juga mulai memikirkan dan menggarap, bagaimana mengangkat karya pekerja seni kita.
Ternate, 01/11/2016
@hasprabu