Bunga untuk Ibuku | 30, Cerbung Tien Kumalasari

BUNGA UNTUK IBUKU 30
(Tien Kumalasari)

Pak Rangga menatap Barno dengan tatapan tajam. Tak percaya Barno mengatakan hal yang sama sekali tak diduganya. Barno yang baik, yang setia mengabdi kepada pekerjaannya, tega melakukan hal sekejam itu?

“Maafkan saya,” lalu Barno menangis terisak.

“Mengapa kamu melakukannya?

Barno terguguk.

“Saya begitu jahat. Busuk. Pantas mendapat hukuman lebih dari ini.”

“Mengapa kamu melakukannya? Bukankah pak Raharjo sangat baik kepada kamu?”

“Setan-setan itu, membujuk saya, dengan iming-iming uang.”

“Setan-setan itu? Setan yang mana?”

“Bu Raharjo dan pak Baskoro,” lalu Barno menutupi wajahnya dengan kedua tangan.

Pak Rangga terhenyak di tempatnya, juga salah seorang staf yang ikut bersamanya, dan berdiri di samping ranjang.

“Jadi mereka yang menyuruh kamu?”

“Bagaimana kabar pak Raharjo? Bisa diketemukan? Saya sangat menyesal. Sesal itu datang ketika saya berada di rumah sakit. Mereka datang dan memberikan uang tambahan, tapi saya menolaknya. Bahkan uang yang diberikan pertama kali sebelum saya melakukannya, masih saya simpan, dan nanti akan saya kembalikan. Saya terus menerus dihantui perasaan bersalah, saya ingin melupakannya tapi tidak bisa.”

Barno mengucapkannya dengan sebentar sebentar berhenti sambil mengusap air mata yang bercucuran.

“Saya tidak ingin membawa rahasia ini dalam kematian saya. Saya tidak takut mereka mengancam saya kalau saya membuka rahasia ini, dan saya sekarang berani mengatakannya.”

“Kamu diancam juga?”

“Kalau saya mengatakannya, maka mereka akan menghabisi keluarga saya.”

Pak Rangga menatap Barno dengan iba. Ia melihat penyesalan yang mendalam pada matanya.

“Jadi mereka menyuruh kamu menceburkan mobil ke jurang ketika sedang mengantarkan pak Raharjo, dan kamu menyelamatkan diri dengan meloncat ketika mobil itu terjun ke jurang?”

“Mereka mengajari saya berbuat itu, agar hanya pak Raharjo yang celaka. Saya menyesal, sungguh saya menyesal.”

“Baiklah, aku mengerti. Hal ini akan saya laporkan kepada polisi, kamu harus mau bersaksi ya, supaya hukuman kamu diperingan.”

“Saya akan melakukan apa saja. Kalau saya bebas dan Allah memperpanjang umur saya, saya akan mencari pak Raharjo sampai ketemu, walau hal itu tidak memungkinkan juga, pasti akan tetap saya jalani.”

Barno masih menangis ketika pak Rangga meninggalkannya.

Ia membawa bungkusan yang dibawa istri Barno, yang berisi uang, yang akan dijadikan salah satu bukti kejahatan Rusmi dan Baskoro di hadapan yang berwajib.

Ia juga meminta agar Barno diberi tempat yang lebih layak di rumah sakit itu, dan mendapat perawatan lebih maksimal, walau masih diperlakukan seperti seorang pesakitan. Pak Rangga membayar semuanya.

*

Hasti menumpang di rumah salah satu temannya, Rina. Agak kurang nyaman juga karena Rina menerimanya seperti hanya setengah hati. Maklum, Rina sudah bersuami, dan ketika Hasti datang, sang suami tampak terus menatap Hasti dengan pandangan aneh.Ia bahkan sering memergoki sang suami mencuri pandang kearah Hasti.

Itu sebabnya Rina kemudian menemui Hasti pada malam itu, ketika sang suami sedang keluar. Samuel, sang suami, sedang memenuhi undangan syukuran temannya yang bertunangan, tapi dia enggan untuk ikut bersamanya, dengan alasan harus menemani Hasti.

“Hasti, sebelumnya aku minta maaf. Bukan karena aku tak mau menolong kamu. Tapi … rasanya … aku,” Rina ragu-ragu mengatakannya.

“Kamu keberatan? Bagaimana kalau aku membayarnya? Tapi aku hanya punya sedikit uang yang diberikan ibuku. Tadinya aku bermaksud menggugurkan kandunganku, atas saran ibuku juga, tapi aku tidak tega melakukannya.”

“Tidak. Bukan karena uang. Kamu kan tahu, bahwa aku bersuami, jadi aku ingin menjaga agar tidak terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan.”

“Maksudmu … aku akan menggoda suami kamu?”

”Suamiku yang tergoda,” kata Rina, berterus terang. Ia adalah teman Hasti yang tadinya bersahabat dengannya.

“Rina, biarpun aku dulu mempunyai banyak pacar, aku bukan sejahat itu untuk menggoda suami kamu. Kamu kan sahabatku.”

Tapi Rina tidak percaya begitu saja. Hasti sangat cantik, kehamilan yang masih sangat muda, tidak mengurangi keindahan tubuhnya yang menawan. Suaminya seorang laki-laki normal, yang tampaknya selalu menatap Hasti dengan pandangan aneh. Itu membuat Rina curiga.

“Suamiku yang tergoda,” Rina mengulangi perkataannya.

Hasti menarik napas panjang. Tampaknya dia tak harus bertahan.

“Sekali lagi aku minta maaf. Menurut aku, kamu bisa menyewa sebuah kamar yang bisa kamu tinggali untuk sementara, selama ibu kamu masih marah. Pasti suatu saat kemarahan itu akan mereda, dan kamu akan diterimanya kembali. Masa sih seoang ibu akan begitu tega membiarkan anaknya sengsara?”

“Aku bukan anaknya,” katanya sedih.

Tiba-tiba Hasti merasa sendirian. Seorang sahabatpun keberatan menerimanya. Tapi Hasti bukan tak tahu diri. Ia segera masuk ke kamarnya dan mengemasi beberapa baju yang dibelinya sembarangan, karena saat dia keluar dari rumah, dia tak membawa apapun kecuali baju yang melekat pada tubuhnya.

Katika ia keluar dari kamar dengan membawa tas sederhana, Rina menegurnya.

“Hasti, kamu tidak harus pergi sekarang. Ini sudah malam. Besok pagi saja.”

“Tidak apa-apa, aku tak ingin mengganggu kamu lebih lama.”

“Hasti, apa kamu marah?”

“Tidak, aku tidak marah. Aku minta maaf karena telah mengganggu kamu selama beberapa hari ini,” katanya terus berlalu menuju ke arah luar rumah.

“Hasti, aku minta maaf, tunggu sebentar,” Rina membalikkan tubuhnya, dan keluar sambil memberikan sejumlah uang.

“Ini untuk sekedar membayar uang sewa kamarmu nanti. Lagi pula malam-malam begini kemana akan mencari rumah atau kamar untuk disewa?” katanya sambil mengulurkan uang yang baru saja diambilnya.

“Tidak usah, aku masih ada. Terima kasih banyak. Soal rumah, gampang, kan ada hotel yang buka disepanjang siang dan malam,” katanya sambil terus melangkah.

“Hasti, maafkan aku,” bisik Rina yang sebenarnya tidak tega mengusir sahabatnya. Itupun sebenarnya bukannya Rina ingin agar Hasti pergi malam itu.

*

Hasti melangkah perlahan, menembus kelamnya malam yang mulai larut. Ia tidak tahu ke mana harus mencari sebuah kamar yang bisa disewa. Hotel, pasti ada, tapi ia harus menghemat uang yang dibawanya.

Ia terus melangkah, dan terus merasakan kesendirian dalam hidupnya. Ibu angkat yang sebenarnya bibinya pun tega mengusirnya, apalagi Rina, yang hanya temannya.

Ia mulai menyusuri hari-hari yang dilaluinya. Dari sejak hidup melarat bersama ibunya, kemudian menjadi seorang nona terhormat di keluarga kaya, dimanja dan diberikan apa keinginannya, kemudian terjerumus ke dalam pergaulan bebas, kemudian jatuh cinta kepada laki-laki beristri yang juga kekasih ibunya, lalu ketika dia hamil, semua orang membuangnya.

Bahkan Baskoro yang diyakini adalah ayah dari bayi yang dikandungnya pun tak sudi mengulurkan tangannya untuk membantu.

Air mata bercucuran disepanjang langkahnya yang gontai karena lelah.

Hasti hampir roboh ketika sebuah mobil berhenti di sampingnya. Ia bahkan kemudian bertumpu pada mobil itu ketika ia tak kuat lagi menahan berat tubuhnya.

Seorang laki-laki keluar dari mobil itu, lalu ia segera meraih tubuh Hasti yang terkulai.

“Hasti. Kamu mau ke mana?”

Hasti menatap laki-laki yang menyangga tubuhnya, lalu ia berusaha mendorongnya.

“Lepaskan aku, biarkan aku pergi.”

“Kamu mau pergi ke mana?”

“Istrimu mengusir aku,” katanya lemah.

Laki-laki itu adalah Samuel, suami Rina. Tampaknya dia baru mau pulang, entah dari mana. Tapi Rina mencium bau alkohol dari mulutnya.

“Rina mengusir kamu?”

“Lepaskan aku, aku harus pegi.”

“Kamu jalan dari rumah aku sampai kemari? Ini jauh sekali. Pantas kamu tampak sangat lelah.”

“Lepaskan aku, biarkan aku pergi.”

Hasti meronta, dan berusaha melangkah pergi, tapi dia terhuyung dan nyaris jatuh, lalu lagi-lagi Samuel menangkapnya, dan kali itu ia menggendong tubuh Hasti, dibawanya masuk ke dalam mobil.

“Apa … yang kamu lakukan? Aku harus mencari penginapan, jangan kamu bawa aku ke rumah kamu. Rina tidak mau.”

“Aku carikan kamu penginapan. Ini sudah malam, hotel yang baik agak jauh dari tempat ini.”

“Aku tak kuat membayar hotel.”

“Aku yang akan membayarnya,” katanya sambil memutar kembali mobilnya ke arah yang berlawanan dari jalan pulang.

Hasti sangat lelah, ia tak kuasa mengatakan apapun, apalagi bergerak.

Samuel membawanya ke sebuah hotel, memesan kamar, lalu memapah Hasti ke dalam kamar itu.

Hasti terbaring lelah, Samuel memesan segelas coklat susu panas, yang segera diberikan kepada Hasti untuk segera meminumnya.

Hasti merasa lebih segar.

“Aku sudah membayarnya untuk kamu menginap selama tiga hari, sementara aku akan membantu mencarikan rumah yang bisa kamu tempati.”

“Aku berterima kasih karena kamu membantuku, tapi nanti aku akan mencari rumah itu sendiri, aku punya sedikit uang, jangan merepotkan kamu lagi.”

“Ya sudah, itu gampang, bisa dipikirkan nanti.”

“Sekarang kamu pulanglah, Rina menunggu kamu.”

Pulang? Samuel menatap Hasti tak berkedip. Sangat sayang meninggalkan perempuan secantik Hasti untuk tidak melakukan apapun.

Hasti terkejut ketika Samuel mendekatinya.

“Kamu sangat cantik.”

“Sam, apa yang kamu lakukan?”

“Sejak kedatangan kamu ke rumah aku, aku sudah menyukai kamu.”

Hasti mencium bau alkohol yang menyengat.

“Sam, ingat Rina. Aku tak mau menjadi penggoda, itu sebabnya aku pergi, karena tampaknya Rina juga mencurigai kamu.”

“Rina tidak akan tahu. Aku sudah lama mendengar tentang kamu,” katanya sambil berbaring begitu saja di samping Hasti.

“Jangan menolak aku, aku tahu siapa kamu.”

“Sam, aku sedang mengandung, jangan menganggu aku. Kamu sedang mabuk, Sam, sadarlah.”

“Ijinkanlah, walau hanya sekali saja.”

Dan teryata Hasti tak mampu menolaknya. Samuel yang mabuk tak bisa dihentikan. Dan menjelang pagi Samuel baru memasuki rumahnya.

Kalau malam itu Rina masih bisa menerima alasan yang dikemukakan Samuel atas kepulangannya yang menjelang pagi, tapi kemudian timbullah rasa curiga pada hari-hari selanjutnya.

*

Rusmi dan Baskoro sudah berhari-hari diam di rumah tanpa tahu harus berbuat apa. Rusmi sudah tahu bahwa dia tidak berhak menjadi pemilik perusahaan Raharjo.

Dia juga tidak bisa menjual aset-aset yang ada, termasuk mobil, baik yang dipakainya sendiri maupun yang tadinya dipakai Hasti, karena dia tidak tahu di mana Raharjo menyiman surat-suratnya.

Berhari-hari dia mengubrak abrik almari Raharjo, tapi tidak menemukan apa yang dicarinya.

“Kita harus punya usaha, agar bisa melanjutkan hidup kita,” kata Baskoro.

“Usaha apa?”

“Suri menjual ayam bakar dengan berkeliling, dan tampaknya berhasil,” kata Baskoro.

“Apa? Maksud kamu aku harus berjualan, berkeliling masuk dari rumah ke rumah, untuk menjajakan dagangan?”

“Bukan begitu. Aku hanya memberi contoh saja. Maksudku dengan usaha, kita bisa mendapatkan uang. Jangan melihat berkelilingnya, tapi usahanya itu. Pokoknya berjualan, kamu kan masih punya uang untuk modal? Nanti aku membantumu.”

“Kamu memang harus membantu. Tapi aku tidak bisa berjualan. Aku tidak punya bakat untuk berdagang.”

“Kalau begitu berikan saja uangnya, biar aku yang berusaha.”

“Uangku tidak seberapa. Mau usaha apa?”

“Kamu kan bisa menjual perhiasan kamu. Nanti kalau berhasil, kita bisa membelinya lagi.”

Rusmi tampak berpikir.

“Kalau kamu tidak mau, aku akan pergi dari sini saja. Mencari uang dengan caraku, entah bagaimana nanti.”

Ucapan Baskoro itu seperti sebuah ancaman. Rusmi yang sesungguhnya sudah jatuh cinta pada Baskoro, kemudian merasa takut kehilangan. Karena itu tak ada yang bisa dilakukan kecuali menuruti kata Baskoro. Ia mengumpulkan semua perhiasannya.

Baskoro tersenyum.

“Ini sangat bernilai. KIta bisa membuat usaha kecil-kecilan.”

“Baiklah, terserah kamu saja. Sekarang saja kita bawa ini ke toko emas.”

“Bagus, lebih cepat lebih baik. Tak ada yang bisa kita lakukan kecuali berusaha mencari uang sendiri.”

Hari itu juga, Rusmi dan Baskoro pergi untuk menjual perhiasan yang sudah dikumpulkan Rusmi. Tanpa mereka sadari sepasang mata mengawasi, kemudian mengikutinya.

*

Hari itu Bejo merasa sedih, karena simboknya tidak keluar dari bilik. Badannya panas, dan dia tidak mau makan apapun. Bejo sudah membelikannya obat di warung. Obat penurun panas dan masuk angin, karena mengira simboknya hanya masuk angin. Tapi ternyata panasnya tidak berkurang.

“Mbok, makanlah dulu buburnya.”

“Jo, simbok ini memang sudah tua. Sakit tidak apa-apa. Mati juga tidak apa-apa.”

“Mengapa simbok berkata begitu? Kalau Simbok mati, aku hidup sama siapa?”

“Sekarang kamu tahu, dulu simbok menyuruh kamu menikah dengan anaknya Sinah, kamu menolak. Kalau kamu sudah menikah, seandainya simbok mati sewaktu-waktu, kan kamu tidak sendirian?”

“Apa ada perempuan mau sama laki-laki miskin seperti Bejo?”

“Dulu kamu juga bilang begitu, sekarang masih saja bilang begitu.”

“Simbok makan dulu, lalu obatnya diminum lagi.”

“Obat apa, simbok nggak mau. Sekarang tolong ambilkan kaleng yang ada di bawah kolong ini,” kata simbok sambil menunjuk ke bawah.

Bejo membungkuk, menengok ke bawah, lalu melihat sebuah kaleng butut.

“Ini Mbok?”

“Di dalam kaleng itu ada sesuatu yang simbok temukan, bersamaan ketika kamu simbok temukan di pinggir kali itu.”

Simbok menyuruh Bejo membuka kalengnya.

“Keluarkan isinya. Itu tabungan simbok. Sisa uang dagangan setelah dibelikan makan untuk kita.”

Bejo mengeluarkan beberapa lembar uang yang ditaruh begitu saja di dalam kaleng. Bejo menghitung uangnya, ada dua ratusan ribu terdiri dari pecahan puluhan ribu sampai ribuan dan receh.

“Uang simbok banyak. Ini apa, Mbok?” Kata Bejo sambil memungut sebuah dompet kulit yang sudah lusuh dan kotor.

“Itu yang simbok temukan ketika simbok juga menemukan kamu. Tapi simbok yakin itu bukan punya kamu. Masa kamu punya uang sebanyak itu di dalam dompet? Simbok sudah menjemur semua isinya, tapi setelah kering lalu simbok masukkan lagi ke dalamnya,” kata simbok lirih, dan lemah.

Bejo mengeluarkan isi dompet itu. Banyak uang ratusan ribu yang kusut, tapi ada juga beberapa kartu yang nyaris hilang tulisannya.

Bejo terkejut. Ada sebuah getaran aneh ketika ia mengeluarkan isi dompet itu.

*

Besok lagi ya –bersambung

by Tien Kumalasari

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.