BUNGA UNTUK IBUKU 32 (Tien Kumalasari)
Bejo merasa kesal. Menurut simboknya, ia harus mengantarkan dompet beserta isinya itu kepada pemiliknya. Tapi ketika ia menemukan alamatnya, orangnya tidak ada. Bejo agak kepikiran tentang perkataan tukang sampah tadi. Pak Raharjo kecelakaan, sudah beberapa bulan tidak ketemu? Jangan-jangan … jangan-jangan …
Bejo beristirahat dibawah sebuah pohon. Ia teringat perkataan simboknya, bahwa ia menemukan dompet itu ketika menemukan dirinya hanyut dipinggir sungai?
“Apa berarti pak Raharjo kecelakaan di sungai itu, lalu dompetnya jatuh, kemudian ditemukan simboknya? Tapi mengapa, seorang kaya, sampai kecelakaan di sungai? Lagi-lagi Bejo merasa pusing. Ia menyandarkan kepalanya di batang pohon besar, dimana dirinya berlindung. Ia memejamkan matanya. Ia bahkan tak ingat kalau waktu itu dia sedang memancing, lalu hanyut, dan ditemukan simboknya di pinggir sungai. Apakah ada orang lain yang hanyut bersamanya? Dan orang itu adalah pak Raharjo?
Lagi-lagi kepala Bejo terasa semakin berdenyut. Semakin dia berpikir, semakin kepalanya terasa pusing. Pusing yang amat sangat. Satu-satunya jalan adalah mengendapkan pikirannya, melepaskan semua yang dipikirkannya. Tidur.
*

Hari itu adalah hari Minggu. Nilam bersikeras ikut ibu angkat, menjajakan ayam panggang berkeliling kota. Suri sudah melarangnya, tapi Nilam tidak mau mendengarnya. Gadis itu merasa bahwa ibu angkatnya bekerja sangat keras, bahkan demi dirinya, demi membiayai sekolahnya.
Nilam anak yang baik, ia ingin ikut merasakan bagaimana susahnya mencari rupiah demi rupiah, demi mencukupi segala kebutuhan.
Siang hari itu, setelah dagangannya habis, Suri mengajak Nilam makan di sebuah warung. Merasa bosan setiap hari makan ayam, Suri kemudian membeli dua bungkus nasi untuk dimakan di rumah.
Lalu mereka mencari angkot yang akan membawanya ke rumah sewa mereka.
Tiba-tiba Nilam melihat Bejo tidur bersandar pada sebatang pohon. Pakaiannya yang kumal, dan wajahnya yang kusam, membuatnya mengira bahwa laki-laki itu adalah pengemis.
“Bu, nasi Nilam akan Nilam berikan kepada pengemis itu, boleh kan?”
Suri menatap laki-laki yang tertidur nyenyak itu dengan perasaan iba.
“Boleh saja, berikan punya ibu sekalian. Lauknya kering, pasti bisa dimakan sampai nanti sore,” kata Suri.
“Tambahkan juga minuman yang ibu bawa ini,” lanjut Suri sambil memberikan minuman botol.
Nilam mendekati Bejo, tapi tak ingin membangunkannya. Ia meletakkan keresek berisi dua bungkus nasi dipangkuannya, bersama sebotol minuman.
Terkesiap Nilam menatap laki-laki yang sedang tertidur itu. Ia menatapnya tak berkedip.
“Nilam, ayo cepat, kita harus segera sampai di pemberhentian angkot, jangan sampai harus menunggu angkot berikutnya.”
Nilam mengikuti ibu angkatnya yang sudah berjalan lebih dulu, tapi sesekali menoleh ke arah belakang.
“Kamu itu kenapa?”
“Laki-laki itu, sangat mirip bapak,” katanya sendu.
“Kamu itu ada-ada saja. Dia kan pengemis, masa bapakmu jadi pengemis.”
“Dia kan tidak mengemis Bu, hanya tampak seperti seorang papa yang sedang kelelahan di jalan,” tiba-tiba Nilam tak rela laki-laki yang ditemuinya disebut pengemis.
“Iya, tapi masa ayahmu berpenampilan seperti itu.”
“Wajahnya sangat mirip.”
“Di dunia ini, banyak orang yang wajahnya mirip. Lagipula kamu pasti sedang merindukan ayah kamu, jadi melihat laki-laki tadi jadi seperti mirip ayah kamu.”
“Bapak seorang yang baik, dan sangat sayang pada Nilam,” katanya lirih, sambil berlinang air mata.
“Berdoalah agar ayahmu segera diketemukan.”
“Benarkah bapak belum diketemukan? Aku ingin sekali lewat di depan rumah bapak, siapa tahu bapak sudah pulang.”
“Nilam, beberapa hari yang lalu ibu lewat di depan rumah itu, gerbangnya digembok. Satpam yang biasanya berjaga juga tidak kelihatan. Kata orang yang kebetulan ibu tanya, pak Raharjo belum diketemukan, dan beberapa hari yang lalu, bu Raharjo ditangkap polisi bersama selingkuhannya, siapa lagi kalau bukan Baskoro. Syukurin.” lalu Suri menutup mulutnya, ketika sadar bahwa bu Raharjo adalah ibu Nilam.
“Maaf, Nilam.”
Bagaimanapun ada rasa sakit di hati Nilam. Dia mengira, Rusmi adalah ibu kandungnya, karena ketika dipungut, dia masih bayi.
Nilam menggelengkan kepalanya, ada sedih yang menusuk dadanya. Suri yang mengerti bagaimana perasaan Nilam, kemudian merangkulnya.
“Dunia terus berputar, demikian juga perjalanan hidup manusia. Kamu harus mulai mengerti, ada saatnya menanam, ada saatnya mengunduh,” katanya lembut.
Nilam menyandarkan kepalanya dibahu ibu angkatnya.
Pembicaraan itu berhenti, karena angkot yang ditunggu sudah berhenti. Keduanya segera naik menuju pulang.
*
Rina kesal melihat tingkah suaminya akhir-akhir ini. Alasan lembur tak henti-hentinya, setiap kali pulang larut malam. Hal itu terjadi sejak Hasti pergi dari rumahnya. R
asa curiga di hati Rina, membuatnya kemudian memata-matai sang suami di dekat kantornya, untuk melihat apakah benar suaminya lembur, atau pergi ke tempat lain sepulang kerja.
Rina masih berada di dalam taksi yang dicarternya, ia mengawasi setiap karyawan yang keluar dari area kantor. Dan tiba-tiba dia melihat mobil suaminya keluar. Ia segera memerintahkan si tukang taksi agar mengikutinya.
Rina kemudian menelpon suaminya.
“Ya, Rin, ada apa?”
“Mas masih di kantor?”
“Iya, masih.”
Tuh kan, bohong dia. Kata batin Rina.
“Nanti Mas pulang jam berapa?” berusaha tegar, Rina melanjutkan pertanyaan untuk memancing kebohongan berikutnya.
“Belum tahu Rin, perusahaan sedang banyak pekerjaan nih, jadi berhari-hari aku harus lembur. Kalau kamu lapar, makan saja dulu, biasanya kalau lembur disediakan makan dari kantor kok.”
Rina menahan air matanya. Bagaimanapun, kebohongan itu menyakitkan.
“Kamu sabar ya Rin, semua ini mas lakukan demi kamu juga. Kalau aku tidak ikut dalam kesibukan kantor yang sedang seperti ini, bisa-bisa aku dianggap tidak loyal, dan itu mempengaruhi kredibilitasku di kantor.”
“Ya sudah Mas, aku hanya ingin tahu saja.”
Rina menutup ponselnya, masih berusaha tegar, agar pengemudi taksi tidak mendengar isaknya. Malu kan?
*
Mobil Samuel berhenti disebuah rumah mungil, agak di pinggiran kota, lalu masuk ke halaman. Rina minta agar taksinya berhenti, agak jauh dari pagar masuk ke halaman rumah itu.
Ia berjalan keluar dari dalam taksi, dan berjalan perlahan mendekati pagar.
Darahnya kemudian terasa mendidih ketika melihat seseorang keluar dari pintu rumah, menyambut suaminya dengan sebuah pelukan hangat.
“Kurangajar!! Hasti? Benar-benar perempuan murahan!”
Keduanya masuk ke dalam rumah sambil terus berpelukan. Rina menekan didih darahnya, berjalan memasuki halaman, dan tanpa permisi langsung masuk ke dalam rumah.
“O, disini rupanya lemburnya?” teriak Rina penuh amarah.
Hasti dan Samuel terkejut. Melepaskan tangan mereka yang masih saling peluk, bahkan bertambah erat karena berada di dalam rumah. Sebelum pelukan itu berlanjut ke adegan yang lain, Rina sudah menghentikannya.
“Rina?” Samuel terhenyak.
“Perempuan jahanam itu membuatmu lembur setiap hari? Lembur apa yang kalian lakukan di sini? Aku akan membunuhmu!”
Rina tiba-tiba menubruk Hasti dan menjambak rambutnya, membuat Hasti berteriak kesakitan. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba tangan Rina sudah memegang sebilah pisau.
“Rina, hentikan!” teriak Samuel.
“Kamu ingin membelanya? Aku akan membunuh jahanam ini dengan tanganku.”
Rina memiliki tubuh lebih besar dan sangat kuat. Dengan rambut masih digenggam ditangan Rina, Hasti tak mampu melawannya, kecuali kedua kakinya menyepak-nyepak. Rina terus menjambaknya, lalu tangan satunya mengarahkan belati itu pada wajahnya.
“Rina ! Hentikan. Baiklah, aku minta maaf. Lepaskan dia.!” teriak Samuel yang ketakutan melihat belati di depan wajah Hasti.
“Maaf? Begitu gampang meminta maaf setelah apa yang kamu lakukan? Baiklah, sekarang juga usir perempuan tempat kamu lembur setiap malam ini. Usir dari rumah ini, sebelum aku membunuhnya.
“Baiklah, tolong lepaskan aku, aku mau pergi sekarang juga. Tolong Rina, aku minta maaf. Lepaskan aku, biarkan aku pergi.”
Rina mendorong tubuh Hasti sehingga hampir jatuh tertelungkup. Samuel ingin menangkapnya, tapi Rina menghalanginya.
“Cepat kemasi barang-barang kamu, dan pergi.”
Tak ada yang bisa dilakukan Hasti kecuali masuk ke dalam kamar dan mengemasi semua barangnya. Baju-baju yang dibelikan Samuel, dan semuanya, dimasukkan ke dalam kopor. Rupanya Samuel juga membelikannya sebuah kopor. Tapi ketika Hasti ingin mengambil ponselnya, Rina merebutnya kasar.
“Untuk apa ponsel ini? Menghubungi lagi suami aku, dan mengencaninya di tempat lain?”
Rina membanting ponsel itu sehingga hancur berkeping-keping.
Hasti keluar dari kamar sambil menarik kopornya, lalu melangkah keluar rumah dengan air mata bercucuran.
Samuel menatapnya tanpa berani melakukan apa-apa.
“Laki-laki busuk. Besok aku laporkan kelakuan kamu ke kantor, lalu kita urus perceraian kita,” kata Rina tandas.
“Rina, jangan begitu. Aku hanya khilaf, aku minta maaf.”
“Tidak ada maaf untuk laki-laki pecundang seperti kamu.”
Samuel terduduk lemas, sesal yang menyakitkan.
*
Bejo terbangun ketika remang terasa di sekelilingnya. Ia bangkit, tapi terkejut melihat sesuatu di pangkuannya.
Ada bungkusan yang ketika dibukanya berisi nasi beserta lauknya. Dan sebotol minuman. Siapa memberinya? Bejo menoleh ke kiri dan ke kanan, tak ada siapapun. Tiba-tiba Bejo teringat sebuah mimpi ketika dia terlelap.
Ada seorang gadis cantik menarik-narik tangannya, dan memanggilnya bapak. Ahaa… aku menjadi bapak? Bejo teringat perkataan simbok sebelum meninggal, yang berharap dia segera mencari istri.
Tapi dia bermimpi tentang seorang anak, gadis yang cantik dan menawan. Bejo mengusap wajahnya, lalu rasa lapar mengganggunya. Sambil mengucapkan terima kasih entah kepada siapa, dia melahap nasi berlauk lele goreng itu.
Hari semakin gelap ketika Bejo kemudian bangkit. Ia harus kembali ke desanya, tapi kemudian dia teringat sebuah rumah bagus milik Raharjo.
Ia merasa aneh ketika tanpa sadar kakinya melangkah kembali ke sana. Ia sudah berjalan jauh, tapi dia merasa tidak berbelok ke mana-mana ketika meninggalkan rumah itu. Jadi dengan gampang ia menemukanya kembali.
Hari sudah gelap ketika itu. Ada lampu di teras rumah, Bejo menatapnya tak berkedip. Ia melihat seorang gadis dan seorang anak muda sedang bercanda di sana. Gadis itu adalah gadis seperti yang hadir dalam mimpinya.
Berarti rumah itu sudah ada penghuninya. Bejo berdiri di depan gerbang, tapi gerbang itu masih digembok. Ia menatap lagi ke arah teras rumah, tapi bayangan gadis dan anak muda itu lenyap begitu saja. Bejo mengerjap-ngerjapkan matanya.
Benar-benar hanya rumah yang senyap. Canda itu tak lagi tampak, hanya kesunyian yang mencekam. Bejo merasa dirinya sakit. Sakit jiwa. Lalu kepalanya kembali pusing. Ia duduk mengelesot di depan gerbang, menyandarkan kepalanya di sana.
Banyak hal yang membuatnya bingung. Tapi setiap kali pikirannya meraba-raba, mengingat apa yang sebenarnya terjadi, kepalanya menjadi berdenyut pusing. Hanya satu yang bisa menghilangkan rasa pusing itu, tidur.
*
Hasti berjalan tak tentu arah sambil menarik kopor. Air matanya mengalir, menyesali kelemahannya sehingga membuatnya lebih menderita. Ketika bertemu Samuel, awalnya dia masih mengingat bahwa Samuel adalah suami sahabatnya.
Tapi rayuan Samuel, iming-iming uang dan pertolongan saat dia tak memiliki tempat untuk berteduh, membuatnya terlena. Lalu apa yang didapatnya? Ia kembali terlunta-lunta. Siapa lagi yang diharapkan bisa membantunya? Ia memiliki sedikit uang, tapi bisakah dia terus bertahan. Ia ingin menjual ponselnya, tapi Rina menghancurkan ponsel itu menjadi kepingan-kepingan tak berguna.
Hasti merasa kesal, tapi dia juga menyesal. Bersama Samuel dia hanya mendapat beberapa potong baju, uang dan penginapan untuk beberapa hari. Bagaimana kelanjutan hidupnya? Ia merasa didalam perutnya ada mahluk yang harus dilindungi dan dilahirkannya. Ia tak ingin membuangnya seperti saran ibunya. Ibu angkatnya yang ternyata jahat.
Malam itu dia bermalam di sebuah stasiun kereta, pura-pura menjadi penumpang yang sedang menunggu, sehingga dia bisa tidur dengan lebih tenang.
Pagi harinya, dia keluar dari stasiun itu, untuk mencari rumah sewa yang sederhana.
“Aku harus mencari pekerjaan, entah pekerjaan apa, asalkan bisa menyambung hidupku.”
Hasti keluar dari kamar yang disewanya, hanya sebuah kamar, yang kamar mandinya hanya satu, untuk lima orang penyewa. Ia sedang mengantre untuk mandi, ketika seseorang menyapanya.
“Orang baru ya?”
Hasti menatapnya, ia seorang perempuan cantik dengan dandanan menyolok, berbicara dengan aksen yang bukan seperti orang jawa, dan bersikap genit.
“Iya, Mbak.”
“Kerja di mana?”
“Baru mau mencari Mbak.”
“Mau kerja apa?”
“Apa saja, asalkan bisa untuk menyambung hidup.”
”Aku bisa membantu kamu.”
“Benarkah?
“Benar. Kamu cantik, pasti gampang mendapatkan pelanggan.”
Hasti terkejut mendengar kata ‘pelanggan’.
“Pelanggan apa ya?”
“Pekerjaan ringan, tapi banyak suka. Laki-laki suka wajah cantik dan seksi seperti kamu. Kalau mau, nanti malam ikut aku. Kamu akan dengan mudah mendapatkan uang. Mau?”
Hasti bukan orang bodoh. Ia pasti tahu apa yang dimaksud wanita genit itu. Tapi Hasti tidak tertarik. Apa yang pernah dialaminya adalah sebuah pengalaman buruk yang menyakitkan. Ia akan bertobat.
“Bagaimana? Kamu akan cepat kaya lhoh.”
“Maaf, Mbak, saya tidak tertarik.”
Wanita itu tampak tersinggung, tapi ketika ingin mengucapkan sesuatu, wanita itu sudah mendapat giliran memasuki kamar mandi. Hasti merasa lega. Ia kembali masuk ke kamarnya, tak berharap ketemu wanita itu lagi.
Tapi pada malam harinya, ia mendengar kamarnya diketuk orang. Hasti tak ingin membukanya, tapi ketukan itu terus berlanjut. Hasti terpaksa membuka sedikit pintu kamarnya, tapi ia terkejut melihat siapa yang datang.
*
Besok lagi ya. -bersambung-
by Tien Kumalasari
diunggah oleh Eswede Weanind