Bunga untuk Ibuku | 37, Cerbung Tien Kumalasari

BUNGA UNTUK IBUKU  37
(Tien Kumalasari)

Wijan sudah sampai di tempat gadis itu berdiri, tapi yang dicarinya tak tampak lagi bayangannya. Wijan mencari ke sana kemari, tanpa hasil.

“Tadi seperti Nilam. Tapi benarkah Nilam? Ia memakai seragam sekolah SMA. Aduh, mengapa tiba-tiba dia pergi? Apakah hanya bayanganku saja? Apakah karena aku selalu mengingatnya, lalu menganggap gadis itu Nilam?” gumam Wijan dengan wajah kecewa. Ada perasaan ragu. Benarkah Nilam melanjutkan sekolah, lalu sudah SMA?

Sekali lagi dia mengamati sekeliling tempat itu, tapi bayangan gadis itu benar-benar lenyap bagai ditelan bumi. Wijan kembali ke arah mobilnya, yang sudah selesai mengisi bahan bakar.

Rasa sedih menggumpal dalam benaknya. Ia sungguh berharap yang dilihatnya tadi adalah Nilam. Tapi angan-angan itu kabur oleh keraguan yang kemudian melintas.

“Mas Wijan mencari siapa, tadi?” tanya Sardi, sang sopir.

“Itu tadi … gadis itu, seperti adik saya. Tapi barangkali juga bukan.”

“Nak Wijan punya adik?” tiba-tiba Bejo yang semula diam ikut bertanya.

“Punya Pak, sebenarnya adik tiri, tapi saya sangat menyayangi dia. Demikian juga dia, juga sangat menyayangi saya,” jawab Wijan sedih.

“Kita ke mana sekarang Mas?” tanya Sardi.

“Langsung ke rumah sakit Pak.”

Wijan kemudian terdiam. Bayangan gadis yang semula berdiri di tepi jalan itu terus melintas di benaknya. Ketika sang ayah sudah ketemu, walaupun masih hilang ingatan, kemudian dia harus memikirkan Nilam. Kemana gerangan adik tirinya yang manja itu berada?

“Ke mana perginya adik Nak Wijan?” tanya Bejo lagi.

“Entahlah Pak, setelah bapak mengalami kecelakaan, keluarga ini menjadi tak karuan. Banyak hal yang terjadi, bahkan yang saya tidak tahu, karena saya pergi lebih dulu,” kata Wijan sedih.

“Nak Wijan jangan sedih. Saya akan ikut berdoa, agar ayah Nak Wijan segera kembali, dan adik Nak Wijan juga bisa ditemukan,” kata Bejo, prihatin.

Wijan yang duduk di samping Bejo kemudian merapatkan duduknya, lalu memegang tangan Bejo. Kehangatan menyusuri hatinya, seperti menemukan sebuah permata berharga yang lama hilang.

Bejo menatapnya iba. Seperti merasakan kesedihan yang sama, tapi Bejo tak sadar, kenapa kesedihan juga ikut merayapi hatinya. Ia menepuk tangan Wijan, seakan ingin menghibur anak muda itu dari kesedihannya.

Air mata Wijan meleleh, segera dihapusnya.

“Jangan sedih,” sekali lagi Bejo mengatakannya. Air mata itu terasa seperti pisau mengiris hatinya. Ada kedekatan yang tak disadarinya. Ada ikatan yang terasa seperti bayang-bayang semu, susah untuk ditangkapnya.

Mobil sudah berhenti di rumah sakit. Ketika keduanya melangkah masuk, pak Rangga menyambut kedatangannya.

“Pak Rangga sudah lama?”

“Tidak, baru saja, ayo segera mendaftar. Katanya sambil tersenyum senang. Ia benar-benar melihat sosok atasannya yang gagah dan selalu bersikap lembut. Tapi ia tak banyak berkata-kata, takut membuat Bejo semakin bingung.

*

Bunga Mawar Pink (koleksi Iin Weanind 20190406)

Nilam keluar dari persembunyiannya, ketika melihat mobil yang diyakininya sebagai mobil kakaknya, sudah tak lagi kelihatan. Sebenarnya Nilam tadi mampir ke rumah temannya yang rumahnya tak jauh dari tempat itu. Ada buku yang ingin dipinjamnya dari temannya itu.

Nilam kemudian kembali mencegat angkutan yang akan membawanya ke rumah. Kalau saja dia tahu bahwa Wijan sedang mencari-carinya saat itu, pasti dia akan sangat berbahagia.

Ketika sampai di rumah, dilihatnya sang ibu angkat sedang membenahi tempat yang akan dijadikan warung ayam bakar. Nilam senang sekali.

Ia sesungguhnya merasa kasihan melihat ibu angkatnya setiap hari menjajakan ayam panggang itu berkeliling. Terkadang sampai jauh, hampir ke daerah lain. Tapi dengan membuka warung di rumah, Suri, ibu angkatnya, tak harus capek berkeliling.

“Ibu, sudah siapkah warungnya?” tanya Nilam sambil meletakkan tas sekolahnya di bangku yang ada di dekatnya.

“Sudah hampir jadi, tinggal menata bangku, barangkali ada yang mau makan di sini. Kok kamu sudah pulang?”

“Iya, pulang pagi, gurunya ada rapat.”

“Oh, ya sudah. Ganti pakaianmu, dan makan.”

“Aku nanti mau membantu ibu benah-benah.”

“Iya, tapi makan dulu, ibu tadi sudah masak sayur bening dan tahu terik.”

“Hm, enak tuh. Tapi Nilam mau ganti baju dulu,” kata Nilam sambil beranjak ke arah kamarnya.

Suri tersenyum. Ia benar-benar menikmati hidup dengan seorang anak yang amat berbakti dan pintar. Kecuali itu ia juga cantik. Suri tak menyangka akan menemukan hidup sebahagia itu.

Ketika keduanya duduk menikmati makan siang mereka, Nilam menceritakan tentang mobil Hasti yang dilihatnya.

“Belum-belum kamu sudah lari dan sembunyi, bukankah banyak sekali mobil yang sama? Modelnya, warnanya.”

“Tapi plat nomornya kan tidak ada yang sama. Nilam ingat banget nomor mobilnya mbak Hasti.”

“Memangnya kenapa kalau ketemu kakak kamu?”

“Nggak mau dong Bu, nanti Nilam bisa diajak pulang.”

“Tapi menurut yang ibu dengar ketika melewati rumah keluarga Raharjo, rumah itu kosong. Berarti dia tidak tinggal di sana lagi. Ibu kamu ditangkap polisi bersama selingkuhannya, eh, maaf aku mengatakannya lagi,” kata Suri yang takut Nilam sedih mendengarnya. Tapi wajah Nilam datar saja.

Sekilas Nilam ingat, sepertinya Hasti mengatakan bahwa mereka bukan anak kandung ibu Rusmi. Hanya saja dia lupa bagaimana ceritanya. Itulah sebabnya, ikatan diantara dirinya dan sang ibu terasa tidak begitu kental. Apalagi sang ibu tidak terlalu memberinya kasih sayang dengan tingkah laku seorang ibu, kecuali hanya memanjakannya dengan kemewahan.

“Maaf Nilam, kamu jangan sedih mendengarnya lagi. Dulu ibu pernah mengatakan itu ya. Maaf.”

“Ibu tidak usah minta maaf. Bukankah kata ibu, ada saatnya menanam dan ada saatnya mengunduh?”

Suri tersenyum prihatin. Anak angkatnya benar-benar sudah kehilangan keluarganya. Sudah sepantasnya kalau dia menyayanginya seperti anak kandung sendiri.

“Nilam, apa kamu tahu, ibu ini sangat menyayangi Nilam.”

“Iya Bu, Nilam tahu. Nilam juga sangat menyayangi ibu,” kata Nilam dengan mata berkaca-kaca.

Suri meraih bahunya, meletakkan kepala Nilam di dadanya.

“Ibu bahagia memiliki kamu.”

“Aku kehilangan keluarga, tapi menemukan Ibu sebagai penggantinya. Aku juga bahagia, Bu.”

“Ya sudah, habiskan nasinya, dan istirahat.”

“Nilam mau membantu ibu benah-benah.”

“Apa yang mau dibantu? Ibu sudah selesai, tinggal memasang tulisan di atas warung. Kamu tahu ibu namakan apa warung itu? Ahaa, kamu belum melihat spanduk yang ibu buat ya?”

“Belum Bu, ibu sudah memasangnya?”

“Belum, baru mau minta tolong tetangga. Soalnya harus memanjat.”

“Biar aku saja Bu,” Nilam bersemangat.

“Eeh, jangan. Kamu itu lho.”

“Memangnya tulisannya apa?”

“Nanti lihatlah sendiri.”

Karena ingin segera melihatnya, Nilam buru-buru menyelesaikan makan siangnya, kemudian berlari ke arah depan. Ia melihat lipatan kain di atas kursi, lalu dibukanya. Nilam terbelalak membacanya, kemudian terkekeh senang.

‘WARUNG AYAM PANGGANG NILAMSARI’

“Ibu, itu kan nama Nilam?”

“Memang iya. Bagus kan?”

“Kenapa tidak memakai nama Ibu saja? SURI HASTUTI. Bagus kan?”

“Tidak Nilam. Dengan adanya kamu, ibu seperti mendapat keberkahan. Dagangan ibu semakin laris dan sekarang bahkan bisa membuka warung di rumah. Itu karena adanya kamu.”

“Ibu ada-ada saja. Kenapa karena Nilam? Memang ibu bekerja keras, jadinya usaha ibu semakin maju. Masa karena Nilam.”

“Memang iya, ibu bekerja keras. Tapi dengan adanya kamu, ibu jadi lebih bersemangat. Sudahlah, jangan protes. Biar saja warung ayam panggang Nilamsari. Itu sangat bagus.”

Nilam tersenyum sambil merangkul ibu angkatnya.

*

Bejo sudah diperiksa, tapi untuk pemeriksaan secara menyeluruh, Bejo harus dirawat, paling tidak sampai keesokan harinya. Wijan dan pak Rangga tidak keberatan. Mereka memilihkan kamar terbaik untuk Bejo, yang kebingungan karena harus tidur di sebuah kamar mewah dengan perlengkapan serba lengkap.

“Mengapa saya harus tidur di sini?”

“Hanya sampai besok Pak, nanti saya menemani Bapak.”

“Repot sekali, dan ini kamar bagus, pasti harus bayar mahal kan? Saya tidak mau, nanti saya keberatan membayarnya. Saya hanya berjualan sayur yang harus saya petik di kebun, bagaimana bisa membayar hutang saya? Sampai saya menjadi kakek-kakek belum tentu bisa lunas,” keluh Bejo sambil duduk di tepi pembaringan.

Wijan menahan senyumnya. Bejo masih menganggap bahwa semua biaya yang dibutuhkan adalah hutangnya. Karena itulah dia mau diajak berobat.

“Pak, kamar ini diberikan kepada semua orang yang harus dirawat, harganya sama, tidak mahal,” kata Wijan.

“Bapak juga tidak perlu tergesa-gesa membayarnya, yang penting Bapak segera bisa sembuh dari sakit ingatan. Bukankah sedih tidak bisa mengingat masa lalu Bapak?” sambung pak Rangga.

Bejo diam. Tampaknya dua orang didepannya ini akan memaksakan kehendak. Wajahnya menjadi muram.

“Pak, bersabar ya. Bapak akan diperiksa lebih cermat. Hanya sehari saja, besok sudah boleh pulang.”

“Apakah besok saya sudah bisa mengingat kembali semuanya?”

Wijan saling pandang dengan pak Rangga.

“Kalau Bapak menurut apa kata dokter, Bapak akan sembuh lebih cepat,” kata Wijan sambil duduk di depan Bejo.

Bejo terdiam, tapi ia tampak tak puas dengan jawaban Wijan maupun pak Rangga.

*

Siang hari itu, setelah makan siang, Bejo merasa sangat mengantuk. Tak lama kemudian ia tertidur. Barangkali karena obat yang diminumnya.

Pak Rangga pamit untuk ke kantor, dan berjanji akan kembali sepulang dari kantor, karena banyak yang harus diurusnya.

Wijan yang duduk termangu di sofa, tiba-tiba teringat gadis yang tadi dilihatnya. Ia masih sangat penasaran, karena gadis itu benar-benar mirip Nilam.

“Apakah Nilam bisa melanjutkan sekolah? Lalu dia bersama siapa? Apakah ada kerabatnya yang mau menerima Nilam dan menyekolahkannya? Memang kalau dihitung-hitung, seandainya melanjutkan sekolah, Nilam pasti sudah SMA,” gumam Wijan.

Tiba-tiba Wijan ingin sekali melacak keberadaan gadis yang dikira Nilam, dari tempat dimana tadi dia melihatnya.

“Tadi tampaknya dia pulang sekolah, berarti ada sekolahan di sekitar tempat itu,” gumamnya sambil bangkit. Ia melirik ke arah Bejo yang masih terlelap, kemudian dia keluar dari ruangan. Ia ingin mencari sekolahan di sekitar ia melihat gadis itu. Dari situ pasti dia bisa menemukan Nilam, atau gadis yang dikira Nilam.

Wijan memanggil sopir yang tadi mengantarnya.

“Pulang Mas?”

Tidak, ke tempat di sekitar POM bensin yang tadi kamu mengisi bahan bakar.”

Wijan menelusuri daerah sekitar POM bensin itu, tapi ia tak menemukan sekolahan di sekitarnya.

“Di mana ya, gadis itu sekolah? Rupanya di tempat ini tak ada sekolahan.”

Wijan menyuruh Sardi, sang sopir, agar menyusuri jalan kecil di dekat ia melihat gadis itu, Sudah jauh mereka berjalan, tapi tetap saja tak ditemukannya sekolahan.

Wijan sangat kecewa. Tapi kemudian dia mengajak Sardi pulang.

Tadi dia tidak mengira bahwa Bejo harus dirawat, sehingga tak membawa baju ganti untuknya. Jadi ia memerlukan pulang dulu ke rumah.

Ketika memasuki rumah, dilihatnya bibik sedang menata masakan di ruang makan.

“Bibik sudah selesai masak?”

“Sudah mas, saya hanya masak sup dan menggoreng ayam, cari yang gampang, soalnya tadi saya membersihkan kamar bapak. Coba Mas Wijan lihat, kamar bapak sudah saya bersihkan semuanya, hanya tatanannya belum saya rubah, untuk membantu pak Bejo mengingat masa lalunya.”

“Baiklah, ayo ke kamar bapak, sekalian bibik siapkan baju ganti untuk bapak, soalnya bapak harus dirawat.

“Oh, iya Mas. Baiklah.”

Keduanya menuju kamar Raharjo. Wijan merasa puas, kamar itu sudah bersih dan berkilau, alas kasur sudah diganti, dan semuanya tampak bagus. Tapi memang bibik tidak merubah letak almari dan lain-lain, untuk membantu mengingatkan tuan majikannya akan kamar yang pernah ditempatinya.

“Bagus Bik, semoga kalau bapak pulang akan segera mengingat semuanya.”

“Ini baju bapak, sudah saya masukkan ke dalam tas.”

“Iya Bik, terima kasih. Aku harus segera kembali ke rumah sakit, takutnya bapak terbangun dan bingung karena tidak melihat aku di sana.”

“Mas Wijan tidak makan dulu?”

“Nanti saja Bik, aku harus buru-buru nih, sudah cukup lama meninggalkan bapak.”

“Ya sudah Mas, daripada nanti pak Bejo bingung mencari Mas Wijan.”

“Iya Bik. Kalau saatnya makan, bibik makan saja dulu, nanti aku gampang.”

“Iya Mas, biar saya bawakan bajunya ke mobil.”

*

Wijan bergegas masuk ke rumah sakit, sambil menenteng tas yang dibawakan bibik. Ia memasuki kamar dengan hati-hati, khawatir kalau ‘ayahnya’ terbangun karena suara langkah kakinya.

Wijan berjingkat masuk, lalu meletakkan tas yang dibawanya di meja.

Ia bermaksud mendekati ranjang ‘ayahnya’, tapi dengan terkejut, dia melihat bahwa ranjang itu kosong.

“Bapaaak,” Wijan berteriak.

*

Besok lagi ya –bersambung-

by Tien Kumalasari

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.