Bunga untuk Ibuku | 38, Cerbung Tien Kumalasari

BUNGA UNTUK IBUKU  38
(Tien Kumalasari)

Wijan kebingungan, ia memasuki kamar mandi, kosong, ia memanggil-manggil nama ‘ayahnya’, tak ada jawaban. Dengan gelisah dia bertanya kepada suster perawat, dan merekapun terkejut. Tak seorangpun melihat Bejo keluar dari kamarnya.

Semuanya panik, sementara Wijan memarahi para perawat dan penjaga yang ada di sekitar ruang rawat ‘ayahnya’ yang dianggapnya bekerja teledor.

Pak Rangga terkejut ketika mendapat telpon dari Wijan, yang mengatakan bahwa Bejo menghilang. Ia meninggalkan pekerjaannya dan langsung pergi ke rumah sakit.

Wijan sedang menyusuri jalanan bersama sopirnya, berusaha mendapatkan kembali ‘ayahnya’.
Wijan juga menelpon bibik, menanyakan, apakah ‘ayahnya’ pulang kerumah. Tapi bibik justru kebingungan mendengarnya.

“Tidak Mas, bapak tidak pulang ke rumah. Bagaimana dia bisa pergi seorang diri?” tanya bibik yang ikut panik.

“Aku sedang keluar tadi, bukankah aku juga pulang untuk mengambil baju ganti untuk bapak?”

Bibik menghela napas penuh sesal. Diam-diam dia menyalahkan Wijan yang dengan sembrono meninggalkan Bejo sendirian.

“Kabari aku kalau bapak pulang kemari ya Bik, dan jangan boleh pergi lagi.”
“Baiklah Mas.”

Pak Rangga juga kebingungan. Ia tak tahu harus bagaimana. Pihak rumah sakit sudah berusaha mencarinnya. Ia menelpon Wijan yang tampaknya juga sudah keluar untuk berusaha menemukan ‘ayahnya’.

Kemudian pak Rangga pun keluar dari rumah sakit itu, sambil menelpon Wijan setiap kali tiba di suatu tempat tanpa hasil.

Kemanakah perginya Bejo? Mengapa dia pergi?
*
 
Bejo berjalan tak tentu arah, dengan perasaan bingung.

Tadi Bejo terbangun tak lama setelah Wijan pergi. Ia bangkit dari ranjangnya, lalu duduk merenung disana,

“Kok aku jadi tidur di sini ya?
Biar aku ingat-ingat. Anak laki-laki bernama Wijan, dan orang yang katanya tangan kanan pak Raharjo, membujukku agar aku mau dibawanya berobat, lalu aku disarankan menginap sehari di sini untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Tapi aku bingung, kenapa bisa berada diruangan sebagus ini. Padahal semua biayanya nanti kan aku harus membayarnya. Mereka bilang tak apa-apa .. tak apa-apa .. itu kan kata mereka, bagaimana dengan aku yang nanti harus terbebani utang atas semua ini?

Aku hanya anak mbok Supi, tidak punya apa-apa selain gubug reyot dan tanaman sayur di belakang rumah, yang tidak begitu menjanjikan kecuali hanya cukup untuk membeli sebungkus nasi.

Alangkah berat beban hidupku kalau harus menanggung hutang begitu banyak yang entah berapa, aku juga belum tahu.

Yang jelas pasti mahal. Kenapa juga mereka memberikan kamar sebagus ini untuk aku?” gumamnya sambil mengamati ruangan rawat inap yang bukan main besar dan bagusnya.

Bejo bangkit dari tempat tidur. Bahkan pakaian yang dipakainya juga dapat pinjam dari pakaian yang katanya milik Raharjo.

“Lebih baik aku pergi saja dari sini, biarlah aku tak ingat apa-apa, asalkan hidupku tidak dibebani oleh hutang.”

Bejo bersiap mencopot bajunya, tapi diurungkannya.

“Lha kalau baju ini aku lepas, celana aku lepas, masa iya aku keluar dari rumah sakit ini dengan telanjang?”

Bejo mengurungkan niatnya melepas baju.

“Besok saja kalau aku sudah sampai di rumah, aku akan mengembalikan baju ini.”

Bejo beranjak keluar dari kamar. Ia melihat serombongan orang yang tampaknya selesai membezoek keluarganya, lalu ikut keluar bersama mereka.

Ia terus berjalan keluar dari halaman rumah sakit, menyusuri jalan dengan perasaan bingung.
Ia baru sadar bahwa tak mengantongi uang sepeserpun. Ia bingung bagaimana caranya bisa naik kendaraan untuk pulang, sementara ia tak memiliki uang.

Tapi ia tak menghentikan niatnya. Ia terus berjalan, lalu sampai di sebuah pasar. Biarpun hari sudah sore, tapi pasar itu masih ramai orang belanja.

Ketika melihat seorang ibu sedang menjinjing belanjaan keluar dari pintu pasar, Bejo beranjak menghampiri. Ibu itu menyeret sekarung besar yang tampaknya berisi beras, dan dua tas besar yang entah isinya apa.

“Bu, bolehkah saya bantu membawa belanjaan ibu?”

Wanita itu meletakkan sebuah bungkusan yang tampaknya berat.

“Oh, boleh Pak, terima kasih banyak. Soalnya aku juga belanja beras juga hari ini.”

“Bejo mengangkat dua bungkusan besar yang berat, sedangkan wanita itu membawa sebuah bungkusan lain yang tidak seberapa berat. Salah satu bungkusan yang harus dibawa Bejo adalah sekarung beras, kira-kira dua puluh lima kilo beratnya.

Bejo memanggul beras itu di pundaknya, sedangkan salah satu tangannya meraih bungkusan satunya, lalu mengikuti langkah wanita itu.

Wanita itu berhenti di pinggir jalan, Bejo meletakkan bawaannya di dekat wanita itu. Lalu dilihatnya wanita itu mengambil ponselnya.

“Saya baru memanggil taksi, nanti tolong diangkat ke dalam taksi sekalian ya Pak,” kata wanita itu sambil masih memegangi ponselnya, karena panggilannya ke taksi online belum tersambung.

“Baik Bu.”

Wanita itu adalah Suri, yang baru selesai belanja untuk kebutuhan dagangannya. Ia berangkat agak siang, sehingga tidak mengajak Nilam yang belum pulang dari sekiolah.

“Jauhkah rumah Ibu?”
“Lumayan jauh, Pak, agak di pinggiran kota. Tapi aku kalau belanja pasti kemari, soalnya harganya lebih murah kalau belinya banyak.

“Iya Bu,” kata Bejo menjawab asal. Ia sedang menghitung-hitung, apakah upah membawa belanjaan itu akan cukup untuk membayar ongkos pulang? Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, barangkali ada lagi orang yang keberatan membawa belanjaannya.

“Sampeyan rumahnya mana?” tanya Suri. Ia baru mengamati orang yang membantunya mengusung belanjaannya, ketika mengambil uang dari dompet untuk memberinya upah.

Suri agak heran, karena pakaian orang di depannya cukup bagus, bukan seperti pakaian tukang membawa belanjaan yang biasanya lusuh dan kotor.

“Jauh Bu, di kampung. Tapi kampungnya juga ada di kota lain.”
“O, kota mana?”
“Di Jawa Timur Bu, daerah Malang, tapi saya di desanya, bukan kota.”
“Itu jauh. Kok bekerjanya sampai jauh?”

Bejo kebingungan untuk menjawab. Ia melihat hari mulai sore. Wanita itu memberinya uang dua puluh ribu. Bejo mengucapkan terima kasih, tapi sebenarnya ia sedang menghitung-hitung.

Cukupkah uang itu untuk pulang? Pasti tidak. Ia menoleh kembali ke arah pasar. Barangkali ada lagi orang yang bisa ditolongnya, sehingga uangnya bisa bertambah.

“Sampeyan kelihatan bingung sih Pak.”

Bejo menunduk tersipu.

Sesungguhnya saya sedang mencari pekerjaan lagi, supaya mendapatkan uang untuk ongkos pulang,” katanya lirih.

“Kalau sore begini, sudah tidak begitu banyak orang belanja.”
Bejo terdiam.

Suri merasa kasihan, tampaknya laki-laki di depannya seperti orang kebingungan.

“Bagaimana kalau sampeyan mengantarkan saya sampai ke rumah, nanti saya tambah uangnya,” kata Suri tanpa ragu.

“Benarkah?” mata Bejo berbinar.
“Iya, nanti sampeyan bisa pulang dari sana. Rumah saya dekat pemberhentian bis. Justru kalau dari sini jauh, harus ganti angkot sampai dua kali.”

“Baiklah, saya mau Bu.”
“Bagus kalau begitu. Nama sampeyan siapa?”
“Saya Bejo.”

“Sebenarnya tadi dari mana? Kok pergi begitu jauh? Menengok cucu?”
Bejo tersipu.
“Saya belum menikah.”

“Oh, maaf,” kata Suri yang agak heran. Laki-laki yang sudah tidak lagi muda, tapi belum menikah? Bukankah orang kampung kebanyakan menikah muda?

Taksi yang dipanggil Suri sudah datang. Bejo membantu mengangkut lagi belanjaan Suri, dimasukkan ke dalam bagasi taksi.

“Ayo pak, duduklah di samping pak sopir,” kata Suri ketika barangnya sudah terbawa semua. Agak beruntung ketemu orang yang bisa menolongnya. Tadi dia belanja terlalu banyak, lupa bahwa sedang belanja sendirian.

*
Pak Rangga akhirnya ketemu Wijan di rumah Raharjo. Keduanya masih berharap, Bejo akan kembali ke rumah itu.

Wijan tak henti-henti menyesali kebodohannya, dengan meninggalkan Bejo sendirian. Bukankah apapun bisa terjadi saat tak ada yang menemani?

Apalagi sejak awal Bejo selalu merasa ragu dengan tindakannya yang memaksa Bejo untuk mau berobat. Mereka mengira setelah dibujuk-bujuk, Bejo akan mengikuti kemauannya, ternyata tidak.

Bibik yang menghidangkan minuman hangat juga tampak murung. Ia ingin mengomeli Wijan, tapi merasa kasihan melihat Wijan tertunduk lesu. Tampaknya anak muda itu juga menyesal telah meninggalkan ‘ayahnya’ sendirian.

“Mungkinkah pak Bejo pulang ke kampungnya?” tanya Wijan dengan suara letih.
“Apakah pak Bejo punya uang untuk pulang?”
“Tampaknya tidak.”
“Berarti dia masih berada di kota ini. Kemungkinan kembali ke rumah ini, memang ada. Jadi sebaiknya kita menunggu saja.”

“Saya sangat menyesal.”
“Sebenarnya apa yang membuatmu meninggalkan ‘ayah kamu’, Wijan?” tanya pak Rangga hati-hati, karena bagaimanapun juga Wijan pasti juga menyesalinya.

“Sebetulnya tadi siang, dalam perjalanan ke rumah sakit, saat Sardi menambah bahan bakar, saya melihat seorang gadis.”
“Gadis cantik yang sangat menarik?” ejek pak Rangga diantara rasa kesalnya.

“Gadis itu sangat mirip Nilam. Tampaknya dia sedang menunggu angkutan umum. Tapi ketika saya turun dan mencarinya, dia tiba-tiba sudah tak ada. Saya kembali ke mobil karena harus segera pergi ke rumah sakit.”

“Lalu kamu mencarinya lagi?”

“Ketika melihat bapak tertidur, saya bermaksud mencari gadis itu lagi. Maksud saya, karena tadi melihat gadis itu berseragam sekolah SMA, saya bermaksud mencari sekolahan di sekitar tempat itu, barangkali bisa menemukan Nilam. Tapi saya tidak menemukan sebuah sekolahpun di sekitar tempat itu. Entah gadis itu datang dari mana.”

“Bisa jadi kamu hanya berhalusinasi, karena kamu juga memikirkan Nilam.”

“Saya kira tidak. Itu seperti nyata. Benar-benar saya melihat gadis seperti Nilam. Barangkali mirip, tapi saya ingin mengetahui kebenarannya dengan menemukan sekolahnya. Dengan bertanya apakah ada nama Nilamsari di sekolah itu, saya yakin kalau itu adalah Nilam. Tapi ternyata tak ada sekolahan di sekitar tempat itu.”

“Berarti lumayan lama kamu meninggalkan bapak?” sesal pak Rangga.
“Saya juga masih mampir ke rumah untuk mengambil baju ganti untuk bapak,” Wijan menjawab sedih, Air matanya nyaris menetes keluar.

“Baiklah, yang bisa kita lakukan hanya menunggu. Kalau sampai besok bapak tidak kembali, kita akan melaporkannya pada polisi, meskipun barangkali pihak rumah sakit sudah melakukannya juga.”

Wijan mengangguk. Udara mulai meredup, senja telah hampir tiba. Langit diujung barat menampakkan warna kemerahan.

Wijan melangkah keluar halaman, berdiri di depan gerbang. Menunggu, sambil menepis kegelisahan yang tak berhasil dilakukannya. Ia seperti sedang menangkap ikan di sebuah sungai, kemudian ikan itu melesat pergi dan lenyap dari tangannya.

“Bapak, pulanglah … ” bisiknya lirih. Tak urung air mata itu juga meleleh membasahi pipinya. Rasa sesal benar-benar telah memukul dadanya hingga terasa sakit dan nyeri.

“Bapaaaak,” rintihnya.

Pak Rangga mendekat, menepuk bahunya lembut.

“Bapak pasti akan kembali,” bisiknya.
*

Di perjalanan pulang, Suri masih menanyakan kenapa Bejo pergi begitu jauh sehingga tak bisa pulang karena kehabisan bekal.

Tapi Bejo bingung untuk mengatakannya. Terlalu panjang kalau dia bercerita dari awal. Kisahnya sangat rumit, susah untuk diceritakan.

Melihat Bejo ragu, Suri tidak mendesaknya. Ia mengira, Bejo sedang mendapat masalah dalam kehidupannya. Jadi diapun diam, tak ingin memaksa Bejo untuk mengatakan apapun. Ia berjanji akan memberinya uang yang cukup untuk membawa Bejo pulang ke kampungnya.

“Ini sudah sore, saya ragu apakah nanti sampeyan masih bisa mendapat kendaraan.”

Bejo terdiam, banyak yang dipikirkannya. Kalaupun masih ada kendaraan,  cukupkah uangnya?

Tampaknya ia harus mencari uang lagi besok pagi. Tapi bagaimana dengan malam ini?

“Pak Bejo, nanti sampeyan menginap di rumah tetangga saya saja, baru besok melanjutkan perjalanan.”
“Tetangga Ibu?”

“Saya tidak bisa menerima sampeyan menginap di rumah, karena saya seorang janda, anak saya seorang gadis. Apa kata orang nanti, kalau saya membawa masuk laki-laki asing ke rumah saya.”

“Saya pergi saja Bu, saya bisa menginap di mana saja,” kata Bejo mengerti.
“Jangan. Sebentar lagi malam tiba. Nanti saya bilang ke tetangga, yang anaknya laki-laki. Dia baik, pasti mau menerima pak Bejo menginap di sana.”

“Saya jadi merepotkan.”
“Tidak apa-apa. Senang kalau saya bisa membantu.”

Taksinya sudah sampai di rumah kontrakan Suri. Bejo membaca sebuah tulisan, WARUNG AYAM PANGGANG NILAMSARI.

“O, rupanya ibu punya warung?”
“Baru mau buka Pak, ini juga lagi siap-siap,” kata Suri sambil turun.

Bejo mendahului turun, dan mengangkut semua belanjaan ke depan rumah.
Dari dalam tiba-tiba terdengar teriakan.

“Ibu sudah pulang? Kenapa tadi tidak menunggu Nilam pulang sih?”
“Kelamaan. Nggak apa-apa, ada yang membantu kok.”

Bejo menatap gadis yang keluar dari dalam rumah, lalu teringat pada bayangan atau khayalannya saat berdiri di gerbang rumah Raharjo. Mengapa gadis itu mirip dengan bayangannya waktu itu?

Nilam ingin membantu mengangkat bungkusan, karena karung berasnya pasti berat. Tapi ketika ia menatap laki-laki yang membantu ibunya, ia langsung berteriak.

“Bapaaaak?” Nilam menghambur memeluknya.
*
Besok lagi ya. bersambung
by Tien Kumalasari

Kissparry – Eswede Weanind

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.