Bunga untuk Ibuku | 39, Cerbung Tien Kumalasari

BUNGA UNTUK IBUKU 39

(Tien Kumalasari)

Bejo tertegun. Ia mendorong tubuh gadis kecil itu perlahan. Ia heran, di mana-mana orang mengira dia adalah orang lain. Siapa pula bapak gadis ini?

Nilam kaget, tak mengira ‘sang ayah’ mendorong tubuhnya. Mata teduh yang biasanya memancarkan kasih sayang, tak terlihat di sana. Mulutnya sama sekali tidak menerbitkan sebuah senyuman. Sidikitpun tidak.

“Bapak?” lirihnya. Ia mengira sang ayah marah karena dia pergi dari rumah, lalu membencinya. Air mata Nilam merebak.

“Nona cantik, aku bukan bapakmu.” kaya Bejo pelan.

“Bukan? Baju ini aku mengigatnya, wajah ini, suara ini, adalah milik Bapak. Kenapa Bapak berkata begitu? Apakah Bapak marah padaku?” jawab Nilam sedih, sementara Suri menatap adegan itu dengan heran.

“Aku ini orang dusun bernama Bejo, dan belum pernah menikah. Baju yang aku pakai ini bukan milikku. Seseorang meminjamkannya padaku. Ini baju milik pak Raharjo.”

Nilam mundur selangkah. Ia terus mengawasi laki-laki setengah tua yang berdiri di hadapannya. Tak percaya rasanya kalau dia bukan ayahnya.

Ia juga menyebut nama Raharjo. Siapa yang meminjamkan baju ayahnya kepada laki-laki yang mengaku bernama Bejo ini?

“Percayalah padaku Nak.”

“Ayahku bernama Raharjo, bagaimana Bapak mengenalnya?”

“Kalau ayahmu bernama Raharjo, apa kamu saudaranya Wijanarko?”

Nilam terhenyak. Ia kembali mendekati Bejo dan memegang tangannya.

“Ya, dia kakakku, bagaimana Bapak mengenalnya? Jadi Bapak juga tahu di mana dia sekarang berada?”

Bejo menghela napas. Dia urung menceritakan semuanya. Kalau gadis kecil itu bertemu Wijan, pasti mengatakan dirinya berada di mana. Bagaimana kalau dia dipaksa kembali ke rumah sakit? Tidak, Bejo tidak mau.

“Pak, Bapak tahu di mana kakak saya? Sudah berbulan-bulan saya mencarinya.”

Bejo diam membisu. Banyak yang dipikirkannya.

Suri yang semula berdiri menyaksikan, merasa bahwa laki-laki itu mengalami suatu kejadian yang sangat rumit untuk diuraikan.

“Baiklah, tampaknya ada yang perlu dibicarakan, sebaiknya pak Bejo duduk dulu di sini. Nilam, ajak pak Bejo duduk, biar ibu buatkan minuman,” kata Suri sambil beranjak ke belakang.

“Duduklah Pak. Mengapa Bapak kelihatan bingung? Saya tidak percaya bahwa Bapak bernama Bejo. Apa Bapak sedang menyamar menjadi orang lain untuk sebuah tujuan tertentu?” kata Nilam sambil duduk di depan Bejo. Matanya tak lepas dari wajah Bejo yang justru tampak semakin bingung.

‘Saya … menyamar … untuk apa? Seandainya benar saya bernama Raharjo, seorang pengusaha yang kaya raya, pasti saya tidak tinggal di desa, memetik sayuran untuk sesuap nasi, mau bepergian tidak bingung mencari uang dengan menjadi kuli pasar. Apakah itu juga karena saya sedang menyamar? Tidak, saya anaknya mbok Supi, janda miskin yang tidak punya apa-apa.”

Nilam mengusap air matanya. Ia seribu persen yakin bahwa laki-laki itu adalah ayah angkatnya yang sangat menyayangi dan disayanginya.

“Pak, maukah Bapak menceritakan, apa yang terjadi sehingga Bapak bisa menjadi kuli angkut belanjaan di pasar? Di mana Bapak tinggal? Di mana pula ketemu mas Wijan. Saya sangat merindukan dia. Katakan di mana dia.” Nilam benar-benar menangis terisak-isak.

Suri keluar dengan membawa segelas kopi manis dan meletakkannya di meja.

Silakan diminum pak Bejo.

“Bagaimana ibu bisa bertemu dia?” tanya Nilam kepada ibu angkatnya.

“Ibu membawa belanjaan keluar dari pasar, menyeret karung beras karena berat, lalu pak Bejo ini mendekat, ingin membantu. Ibu senang. Ia membantu mengangkut, sampai taksi yang ibu panggil datang, Tapi akhirnya ibu ajak dia pulang, kecuali bisa membantu mengangkut belanjaan dari taksi, dia juga kebingungan mau pulang ke kampungnya yang jauh. Ibu bilang kalau rumah ibu dekat dengan pemberhentian bis. Itu sebabnya dia sampai kemari. Kalau benar dia adalah pak Raharjo, berarti Allah swt. yang telah menuntun perjalanan ini, sehingga kamu bisa bertemu ayahmu.”

“Bukan, saya bukan ayahnya. Saya hanya mirip ayahnya.”

“Maukah Bapak menceritakan mengapa Bapak sampai di kota ini dan bertemu dengan kakak saya? Saya mohon katakanlah. Keluarga kami sedang tercerai berai. Saya sangat merindukan ayah dan kakak saya itu,” kata Nilam yang belum berhenti terisak.

Bejo menatap Nilam dengan iba. Air mata yang menetes membuat hatinya bagai teriris. Ingin rasanya ia memeluknya agar gadis itu terhibur, tapi Bejo merasa tak pantas melakukannya.

“Katakan Pak,” Nilam memohon. Sangat penting baginya mengetahui di mana Wijan berada, dan menguak rahasia Bejo yang diyakini adalah ayahnya.

Bejo tak ingin mengatakannya, tapi wajah imut yang sedang mengalirkan air mata itu membuatnya tak berdaya. Kalau dia memaksanya kembali ke rumah sakit, dia akan menjawab dengan berbagai alasan yang nanti akan dipikirkannya.

“Tolong ceritakan saja Pak, kasihan Nilam. Siapa tahu, kalau ada kesulitan yang dialami pak Bejo, kami akan bisa membantu,” sela Suri yang kemudian ikut duduk diantara mereka.

“Tapi tolong minum dulu kopinya Pak,” sambung Suri.

Bejo menark napas panjang. Kemudian dia meraih gelas kopinya yang masih hangat, lalu meneguknya perlahan.

Setelah itu dengan perlahan dia menceritakan pertemuannya dengan Wijan, saat tiba-tiba datang ke gubug simbok, lalu mengira dia adalah ayahnya, sampai kemudian Wijan membawanya ke kota, dan pagi harinya membawanya ke dokter, karena dirinya sakit ingatan.

“Saya kabur dari rumah sakit, karena tidak ingin berhutang. Mereka bilang, kalau saya tidak mau berobat gratis, maka saya bisa menggantinya kelak, kalau sudah punya uang. Saya ditempatkan di sebuah kamar yang sangat mewah. Saya yakin biaya berobat itu menjadi semakin mahal. Mana saya bisa menggantinya, sedangkan saya hanya penjual sayur rumahan yang hasilnya hanya cukup untuk membeli sebungkus nasi? Tapi saya bingung karena tidak memiliki sepeser uangpun untuk pulang. Dalam pelarian itu saya bertemu ibu ini, yang kemudian memberi saya upah atas pekerjaan membawakan belanjaannya.”

“Jadi sebenarnya Bapak ini sakit ingatan?” mata Nilam berbinar, keyakinannya semakin kuat, bahwa Bejo adalah ayahnya yang hilang ingatan. Pasti Wijan juga sudah mengetahui dan meyakini hal ini.

“Jadi sekarang mas Wijan sudah ada di rumah?” tanya Nilam bersemangat.

“Saya kira begitu, karena tadinya saya juga menginap di sana sehari.”

“Bu, aku ingin pulang ke rumah dulu,” kata Nilam kepada ibu angkatnya.

“Nilam, sekarang sudah malam, lebih baik besok saja. Kamu ingat nomor kontak kakakmu?”

“Tidak Bu,” kata Nilam dengan bibir mengerucut.

“Sayang sekali, kalau ingat, kamu bisa menelponnya memakai ponsel ibu. Ya sudah, sekarang sudah malam, biarkan pak Bejo istirahat di kamarmu, kamu tidur sama ibu. Tapi kita harus makan malam dulu.”

“Nilam sudah menyiapkan makan malam, akan saya tambahkan piring untuk pak Bejo,” kata Nilam sambil beranjak ke belakang.

Bejo diam saja. Ia tak tahu harus ke mana, dan sebaiknya memang ia beristirahat dulu di rumah ini. Lagi pula dia memang lapar, karena sejak lari dari rumah sakit dia belum makan sesuatu.

Dengan keyakinan bahwa Bejo adalah ayah Nilam yang hilang ingatan, Suri mengijinkan Bejo menginap di rumahnya, di kamar Nilam.

*

Bunga Mawar Pink (Koleksi Iin Weanind 20190406)

Malam hari itu Wijan mengajak Supri ke Jogya, untuk mengambil beberapa baju dan yang penting adalah sepatu sebelah yang disimpannya di rumah kostnya.

Dari Supri lah Wijan tahu bahwa orang yang mencelakakan ayahnya adalah Barno, sopir perusahaan yang melakukannya karena perintah Baskoro dan Rusmi, ibu tirinya. Tapi kemudian dia merasa kasihan kepada Barno, yang kabarnya menyesali perbuatannya, sehingga mau berterus terang tentang hal busuk yang telah dilakukan oleh ibu tirinya dan selingkuhannya tersebut.

“Jadi mereka sekarang masih ditahan polisi ya Pak?”

“Iya Mas, kasusnya masih menunggu disidangkan. Kabarnya, pak Rangga sudah menyerahkan bukti uang yang diberikan oleh bu Raharjo kepada Barno, tapi oleh Barno diserahkan kepada pak Rangga.”

“Saya juga membawa bukti, sepatu bapak, dompet bapak, yang ditemukan di tepi sungai ketika bapak ditolong oleh seorang wanita tua.”

“Syukurlah Mas, akhirnya sebuah kejahatan akan terkuak. Para karyawan kantor sangat prihatin atas kejadian itu, karena pak Raharjo adalah pemilik perusahaan yang baik kepada semua orang. Kalau sedang di luar, beliau tidak membedakan antara atasan dan bawahan.”

“Sayang sekali bapak kemudian pergi lagi. Tampaknya bapak takut dengan biaya pengobatannya, mengira bahwa dia benar-benar harus menggantinya. Padahal tadinya saya bilang nanti bapak bisa membayarnya, hanya untuk meyakinkan bapak bahwa dia tidak akan berobat dengan cuma-cuma, soalnya kalau gratis dia kan tidak mau. Saya jadi bingung sekarang Pak.”

“Mas Wijan harus percaya, bahwa Allah pasti akan menolong orang yang baik. Kalau pak Raharjo pergi lagi, paling-paling dia pulang ke rumahnya, atau tempat yang diyakini sebagai rumahnya,” kata Supri yang sudah tahu ceritanya dari pak Rangga.

“Amiin, semoga begitu. Pak Supri nggak capek ya, seharian mengantar saya muter-muter?”

“Ya tidak Mas, ini kan tugas demi atasan saya juga.”

“Nanti saya hanya akan mengambil beberapa baju dan sepatu bapak yang saya temukan hanya sebelah, barangkali bisa mengingatkan bapak tentang masa lalunya.”

“Saya ikut mendoakan Mas.”

“Terima kasih Pak Supri.”

Memang Wijan hanya ingin mengambil beberapa barang, soalnya nanti toh dia akan kembali ke Jogya untuk mengurus kuliahnya, karena sejak mengetahui bahwa dia diterima, dia belum menindak lanjuti penerimaan atas dirinya itu.

Tengah malam Wijan dan Supri baru sampai di rumah kembali. Dengan bersemangat dia menyatukan kedua sepatu yang ditemukannya dan yang dipakai Bejo hanya sebelah.

“Memang pasangannya,” teriak bibik ketika melihatnya.

“Semoga bapak bisa mengingatnya setelah kembali. Tapi mungkinkah bapak akan kembali kemari?” kata Wijan sedih.

“Kalaupun tidak kembali kemari, pasti juga kembali ke rumahnya sana. Kita bisa menjemputnya lagi kan mas?” kata bibik menghibur, walau sebenarnya dia sendiri juga ragu-ragu.

“Iya Bik.”

“Sekarang Mas Wijan istirahat dulu, dan makan. Makanan itu sudah bibik siapkan sejak siang, bibik akan menghangatkannya lagi.”

“Baiklah Bik, berikan juga untuk pak Supri.”

“Ya Mas, setelah makan, Mas Wijan harus beristirahat.”

“Besok pagi aku akan mencari bapak lagi.”

“Mungkin sudah pulang Mas. Kalau mencari ya langsung ke rumah simboknya saja.”

“Tapi kan bapak tidak memiliki uang untuk pulang Bik.”

“Iya juga ya, Ya sudah, soal itu dipikirkan besok pagi saja Mas, soalnya Mas Wijan harus beristirahat, nanti kacapekan, lalu jatuh sakit. Kalau sakit tidak bisa mencari bapak lagi.”

Wijan mengangguk. Ia menunggu bibik menghangatkan makanan, sambil terus memikirkan langkah apa yang akan dilakukannya esok hari.

*

Nilam tak bisa tidur malam itu. Ia gelisah memikirkan ayahnya yang belum bisa mengingat apapun, lebih-lebih tentang jati dirinya.

“Nilam, mengapa dari tadi seperti orang gelisah begitu?” tegur Suri.

“Nilam sedih, bapak menjadi seperti itu.”

“Mungkin karena kecelakaan itu yang membuat pak Raharjo hilang ingatan. Tapi kamu tidak perlu khawatir, kalau dokter yang menangani, pasti pak Raharjo bisa kembali mengingat semuanya.”

“Iya Bu.”

“Sekarang tenangkan hatimu, dan tidurlah, jangan memikirkan apapun. Nanti kalau sudah ketemu kakak kamu, pasti dia akan melakukan hal terbaik untuk ayahnya juga. Kamu kan tidak sendirian.”

“Bagaimana kalau bapak tidak mau pergi bersama kita?”

“Nanti kita akan membujuknya. Sudah, sekarang tidurlah,” kata Suri sambil mengelus kepala Nilam.

Karena merasa nyaman, maka akhirnya Nilam juga tertidur pulas.

*

Tapi pagi hari itu, seperti dugaan Nilam, Bejo menolak untuk ikut, membuat Nilam kembali menangis.

“Sebaiknya saya tidak usah ikut. Bukankah kamu sudah tahu di mana rumah ayahmu? Pergilah, saya akan melanjutkan perjalanan pulang.”

“Bapak tidak boleh begitu. Bukankah Bapak merasa sakit karena tidak ingat masa lalu Bapak? Apa Bapak tidak ingin sembuh?”

“Saya ingin, tapi biarlah saya mengumpulkan uang dulu untuk biayanya.”

“Bapak, satu hal yang Bapak harus yakin, Bapak itu adalah pak Raharjo, ayah saya yang hilang ingatan. Kalaupun Bapak berobat, pasti mas Wijan akan menyelesaikan semua biayanya.”

“Saya ini Bejo, anaknya mbok Supi, kalau kalian nekat, kalian akan menyesal, menjadikan seorang dusun sebagai pemilik perusahaan besar.”

Nilam benar-benar menangis, ia bahkan bersimpuh di bawah kaki Bejo yang kekeuh tak mau pergi, bahkan dia siap untuk meninggalkan rumah sebelum Nilam mengajaknya.

“Pak, hari ini Nilam bolos sekolah karena ingin bertemu mas Wijan. Kalau Bapak tidak mau menemani Nilam, Nilam akan terus menangis menggerung-gerung,” ancam Nilam sambil memegangi kaki Bejo. Nilam tahu, ayahnya tak pernah tahan melihat orang menangis di depannya.

Dan tangis itu benar, luluh hati Bejo melihat Nilam ngelesot dibawahnya sambil menangis dan memegangi kakinya.

“Baiklah, aku ikut bersamamu.”

“Benarkah?” Nilam menghapus air matanya.

“Tapi aku tidak mau dibawa berobat. Setelah sampai di rumah pak Raharjo, aku akan langsung pergi.”

*

Besok lagi ya. — bersambung

by Tien Kumalasari

Kissparry – Eswede Weanind

Bonus Album Nostalgia oleh Kissparry

Silakan diputar tanpa iklan — terima kasih

Untuk mengetahui judul atau lagu selanjutnya atau sebelumnya silakan klik garis tiga panah kecil di sudut kanan atas layar video

Semoga terhibur

Eswede Weanind (Suwardi

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.