ADA CINTA DI BALIK RASA 16
(Tien Kumalasari)
Pak Wongso saling pandang dengan Raharjo. Hari gini, ada hantu? Membuat orang meninggal pula?
“Bagaimana Pak?” tanya pak Wongso.
“Sebenarnya saya tidak percaya hantu, tapi saya heran, kenapa ibunya itu justru seperti menghambat kemauan suaminya ya,” kata Raharjo sambil berbisik lirih.
“Bagaimana Pak. Kalau mau saya malah senang, bisa meninggalkan rumah berhantu ini. Tapi saya tidak mau berbohong. Saya tidak ingin pembeli rumah ini akan celaka nantinya.”
Pak Wongso menatap Raharjo, meminta pendapatnya.
“Bolehkah kami melihat-lihat berkeliling?” tanya Raharjo.
“Silakan saja, tapi jangan lama-lama dan jangan berisik, suami saya sedang tidur dan saya harus segera pergi, ada perlu,” kata Estiana sambil menampakkan wajah masam. Melihat hal itu, Raharjo segera mengurungkan niatnya.
“Pak Wongso, kita pulang saja dulu. Kita bicara nanti,” katanya pelan.
Pak Wongso mengangguk.
“Baik Bu, kalau begitu kami pamit dulu saja.”
“Lho, nggak jadi beli rumah?”
“Nanti gampang, Bu, sekarang kami pamit saja dulu,” katanya sambil membalikkan tubuhnya.
Estiana tersenyum senang. Ia merasa bisa membatalkan seorang pembeli. Tapi sebelum dia membalikkan tubuhnya untuk masuk ke rumah, tiba-tiba Marjono muncul.
“Tadi ada tamu siapa, Bu?”
“Tamu siapa? Nggak ada siapa-siapa kok.”
“Aku mendengar ada mobil masuk, dan kamu bicara dengan seseorang.”
“O, itu tadi, orang salah alamat. Nggak tahu kok masuk kemari.”
“Kalau ada orang mau melihat-lihat rumah ini, bilang sama aku,” kata Marjono sambil kembali masuk ke dalam.
“Enak aja, mau jual rumah, lalu hubungan sama nak Usman putus? Kok bisa-bisanya, mengira kalau budi baik bisa ditukar dengan uang. Huhh,” omelnya sambil masuk ke dalam.
“Pokoknya Anjani harus menikah sama nak Usman. Bisa kehilangan rejeki dong aku,” lanjutnya sambil menutup pintu.
*
Di dalam perjalanan kembali ke kantor, Raharjo mengutarakan keheranannya tentang rumah berhantu itu.
“Menurut pak Wongso, apa benar, apa yang dikatakan ibu itu tadi?”
“Tampaknya dia itu kan istrinya pak Marjono. Tapi kenapa ya, suaminya mau jual rumah, istrinya mengatakan rumahnya berhantu.”
“Menurut saya ada dua kemungkinan pak. Pertama, si istri tidak setuju rumahnya dijual, kedua si istri itu orang baik dengan mengatakan apa adanya, sehingga pembeli tidak kecewa setelah benar-benar membeli rumahnya.”
“Saya lebih percaya kepada kemungkinan pertama pak.”
“Bahwa sang istri tidak setuju rumahnya dijual?”
“Nah, saya juga berpendapat begitu. Soalnya tadi dia seperti melarang ketika kita mau melihat rumahnya, dengan alasan suaminya sedang sakit, dan dia buru-buru mau pergi.”
“Jadi bagaimana Pak?”
“Kalau saya sebenarnya kan tidak benar-benar butuh rumah, Pak. Maksud saya belum terlalu buru-buru. Tapi kan terketuk hati saya mendengar bahwa dia sangat butuh uang, sehingga rumahnya dijual murah. Maksud saya tidak usah ditawar lagi, karena rumah itu nantinya kan bisa dipakai Wijan atau Nilam, anak-anak saya.”
“Lalu sebaiknya bagaimana? Bapak akan membatalkan keinginan membeli rumah itu? Sayang sekali kalau begitu,” kata pak Wongso kecewa.
“Sebaiknya pak Wongso menghubungi pak… siapa itu … yang punya rumah?”
“Pak Marjono.”
“Nah, pak Wongso sebaiknya menghubungi pak Marjono lagi, dan menanyakan keseriusannya menjual rumahnya, mengingat sang istri tampaknya menakut-nakuti begitu.”
“Baiklah, nanti saya akan menghubungi lagi. Ini tadi katanya tidur, jadi mungkin sebentar lagi.”
“Baiklah, kabari saya, apapun hasilnya.”
“Baik.”
*
Ketika Nilam kembali ke kantor, dilihatnya Wijan sudah duduk di belakang meja kerjanya. Nilam menahan debar jantungnya. Entah mengapa, ketika menyadari bahwa cintanya bertepuk sebelah tangan, ia melihat Wijan seperti melihat orang asing.
Orang yang belum pernah dikenalnya dengan baik. Orang yang tidak pernah satu hati dalam melewati hari-hari di masa kecil mereka dengan segala ria-ceria. Bukan, yang di depannya bukan Wijan muda yang selalu merangkulnya saat air mata kesedihan menetes.
Yang tak pernah membiarkan peluhnya bercucuran saat bareng berboncengan ke sekolah. Bukan, itu adalah Wijan yang lain.
Wijan yang tidak mempedulikan perasaannya. Wijan yang tidak memahami bagaimana hatinya terluka mendengar pengakuannya.
“Nilam,” Wijan menyapa lebih dulu.
“Ya.” jawabnya sambil berhenti melangkah, berdiri menghadap atasannya.
“Kok sudah kembali?”
“Hanya makan. Harus selama apa?” lalu Nilam melanjutkan langkahnya, kemudian duduk di kursi kerjanya.
“Bagaimana tadi, senang?”
Bibir Nilam mengerucut. Ia merasa bahwa Wijan sedang mengejeknya.
“Ditanya kok diam saja sih?”
“Orang makan kok pertanyaannya senang atau tidak.”
“Maksudnya senang, makan bersama seseorang yang_”
“Jawabannya bukan senang atau tidak senang, tapi kenyang,” jawab Nilam sambil membuka laptopnya.
Wijan tertawa. Ia merasakan sikap aneh Nilam. Lalu tiba-tiba Wijan teringat kejadian sebelum waktu istirahat. Seperti mimpi rasanya ketika NIlam mengatakan bahwa dia mencintainya. Cinta?
Wijan sama sekali tidak mengira bahwa ada cinta dibalik rasa persaudaraan, di hati Nilam. Itu membuatnya sedih.
Sedih karena tidak bisa mengimbangi perasaan adik tirinya. Dan kesedihan itu sekarang dirasakannya, ketika melihat sikap Nilam yang seperti acuh tak acuh ketika memasuki ruangan.
“Nilam,” panggilnya pelan,
Nilam mengangkat wajahnya, menghentikan kesibukannya menjentikkan jari-jari cantiknya diatas deretan huruf dan angka yang berderet di depannya.
“Kamu marah?”
“Marah? Tidak ….” jawabnya sambil menggelengkan kepalanya.
“Aku minta maaf, ya.”
“Apa yang harus dimaafkan?” katanya sambil melanjutkan kegiatannya.
“Aku tak ingin membuat kamu kecewa. Kamu harus tahu, bahwa kakakmu ini sangat menyayangi kamu, lebih dari segalanya. Keinginanku adalah kebahagiaanmu. Sejak kecil kita selalu bersama-sama. Menjalani susah dan senang sambil saling menautkan tangan. Mengapa? Karena kamu adalah adikku. Kalau kemudian rasa sayang itu ada cinta dibaliknya, kamu tidak perlu berkecil hati seandainya cinta kamu tidak terbalas seperti yang kamu inginkan.”
Nilam mengusap air matanya yang kembali menitik.
“Tapi yang kamu harus yakin, bahwa aku akan selalu menyayangi kamu. Lebih dari cinta seorang kekasih. Kamu mengerti?”
Air mata Nilam bertambah deras. Ia memerlukan tissue, tapi entah mengapa, di atas mejanya, tissue itu tidak ada. Ia sedang bersiap berdiri untuk mengambilnya di meja di depan sofa, ketika tiba-tiba sebuah tangan menyapu wajahnya dengan selembar tissue.
“Aku tak tahan melihat kamu menangis. Jangan bersedih. Kamu begini cantik, pasti akan ada seorang pangeran gagah dan tampan yang akan membawamu terbang dengan kuda putihnya,” kata Wijan setengah bercanda.
Nilam mencoba tersenyum. Walaupun masam, tapi Nilam berhasil mengendapkan perasaan sakitnya. Wijan begitu baik, begitu mencintainya dengan tulus, lebih dari cinta seorang kekasih. Dan itu benar.
Kekasih bisa saja berkhianat lalu tiba-tiba meninggalkannya, tapi Wijan akan selalu ada di dekatnya, memberikan kasih sayang dan cinta yang indah, walau tak akan membawanya naik kuda putih yang bisa terbang di awang-awang.
*
Marjono sedang makan siang dengan ditemani Anjani, karena Estiana sedang pergi, entah ke mana. Anjani menceritakan kegembiraannya, karena dia akhirnya diterima bekerja, dan diijinkan mulai masuk kapan saja.
“Mengapa tidak langsung saja mulai bekerjanya?” tanya sang ayah.
“Tidak Pak, Anjani harus menunggu sampai Bapak selesai operasi. Anjani harus menemani Bapak sampai Bapak sehat kembali.”
“Lalu kamu menikah?”
Anjani tiba-tiba merasa takut. Ada sesuatu yang mengerikan dan akan dihadapinya setelah ayahnya sembuh.
“Bagaimana?” tanya ayahnya dengan pandangan penuh selidik.
“Bapak minum obatnya dulu ya?”
“Hei, pertanyaan bapak belum dijawab lho.”
“Bapak senang ya, kalau Anjani menikah, kemudian tidak ada lagi di samping Bapak?”
“Kok ganti bertanya? Itu bukan jawaban. Tapi baiklah, bapak harap kamu tidak membohongi bapak lagi. Bapak sudah tahu apa yang kamu rasakan kok,” kata Marjono sambil menyendokkan nasi pada suapan terakhir. Anjani menyodorkan obat yang harus diminum ayahnya.
Tapi sebelum Marjono meraih obatnya, ponselnya tiba-tiba berdering.
Anjani meraih ponsel itu dan diberikannya kepada sang ayah, sambil merasa heran melihat nomor asing yang terpampang pada panggilan itu.
“Ya pak Wongso, ini saya.”
“Pak Marjono sudah bangun?”
“Saya sudah selesai makan. Tidurnya sudah dari tadi.”
“Saya tadi datang ke rumah Bapak, tapi katanya Bapak tidur.”
“Ya, kalau siang saya menyempatkan tidur, walaupun hanya sebentar. Jadi pak Wongso tadi ke rumah?”
“Ya, Pak, bersama pak Raharjo, yang tadinya akan membeli rumah Bapak ini.”
“Apa maksud pak Wongso dengan ‘tadinya ingin membeli rumah ini’?”
“Soalnya ketika sampai di rumah, ada ibu-ibu yang sepertinya istri Bapak.”
“Jadi tadi ketemu istri saya?” tanya Marjono kesal, karena Estiana telah membohonginya tentang tamu yang tadi dia dengar suaranya.
“Iya, apa Bapak tidak diberi tahu?”
“Mm … mungkin dia lupa, sekarang keburu pergi.”
“Istri Bapak malah bilang bahwa rumah Bapak ada hantunya.”
“Apa?” Marjono membelalakkan matanya.
“Iya, Tadi ibu bilang begitu. Memangnya itu betul? Bahkan ada keluarga yang meninggal karena hantu itu?”
“Astaghfirullah. Pak Wongso jangan percaya pada apa yang dikatakan istri saya. Dia sebetulnya tidak setuju saya menjual rumah ini, tapi apa boleh buat, saya sangat membutuhkannya.”
“Jadi tidak ada hantu di rumah Bapak ya?”
Marjono tertawa.
“Jaman sekarang kok masih ada yang percaya hantu? Tidak ada Pak, rumah saya dijamin aman dan nyaman. Saya menjualnya juga karena terpaksa dan sangat membutuhkan.”
“Baiklah, kalau begitu saya akan menyampaikannya kepada pak Raharjo.”
“Apa tadinya pak Raharjo takut dengan cerita hantu itu?”
“Bukan takut. Pak Raharjo sudah mengira kalau istri Bapak mengatakan itu, pasti karena tidak setuju rumahnya dijual.”
“Tidak, jangan hiraukan dia. Saya tetap akan menjualnya, dan ini sangat mendesak. Sebagian saya butuhkan untuk biaya operasi jantung saya.”
“Oh, begitu? Baiklah. Pak Raharjo orang baik dan suka menolong. Semoga beliau segera bisa merealisasikan jual beli ini.”
“Bapak mau menjual rumah ini?” tanya Anjani begitu sang ayah meletakkan ponselnya.
“Ya. Ini satu-satunya jalan terbaik yang akan bapak lakukan. Nanti kita akan beli rumah sederhana dan kecil saja untuk tempat tinggal kita. Apa kamu keberatan?”
“Tidak. Apapun keinginan Bapak, saya hanya bisa ngikut. Bukankah saya putri Bapak?”
“Kecuali itu uangnya juga akan bapak berikan kepada pak Usman, sebanyak dia telah mengeluarkan uang untuk pengobatan bapak.”
“Benarkah?” mata Anjani berbinar. Ternyata ada jalan untuk terlepas dari belenggu utang budi itu.
“Kamu senang? Atau kamu kecewa?”
“Mengapa Bapak bilang begitu?”
“Kalau bapak tidak lagi berhutang sama pak Usman, bapak ingin kamu tidak usah lagi menjadi istrinya. Apa kamu kecewa?”
Anjani memeluk ayahnya dengan sangat erat.
“Bapak, aku bahagia,” isaknya.
“Nah, sekarang ketahuan kalau kamu berbohong pada bapak. Ya kan? Dulu kamu bilang suka, nyatanya tidak, bukan?”
“Bapak, maafkan Anjani. Bapak tahu, Anjani sangat menyayangi Bapak, dan Anjani tak ingin Bapak sedih kalau mengetahui bahwa Anjani terpaksa menjalaninya.”
“Baiklah, ada jalan terbaik untuk itu. Selama ini kita terbuai oleh semua kebaikan yang diberikannya, dan yang ternyata ada pamrihnya.”
“Syukurlah. Semoga penjualan rumah segera terrealisasi, dan Bapak akan sembuh.”
“Mengapa kamu tidak pernah mengusulkan untuk menjual rumah ini kalau memang kita membutuhkan biaya yang banyak?”
“Anjani pernah bilang begitu sama ibu, tapi ibu tidak setuju.”
“Benar, tentu saja ibumu tidak setuju. Dia tak mau kehilangan pak Usman,” gumam Marjono sambil meraih obat yang sejak tadi belum jadi diminumnya.
*
Raharjo sedang bertelpon dengan pak Wongso, ketika Wijan memasuki ruangannya.
“Tidak Pak, saya sudah cukup melihat dari luarnya saja, karena pada dasarnya saya sebenarnya hanya ingin membantu. Baiklah, segera saja pak Wongso urus semuanya, saya tinggal tanda tangan saja. Baiklah, segera, kalau memang itu sangat dibutuhkan. Oh ya? Operasi jantung? Semoga berhasil baik. Ya, akan saya urus segera pembayarannya sebagian dulu, sisanya setelah surat-suratnya selesai. Terima kasih pak Wongso.”
“Bapak jadi membeli rumah itu?” tanya Wijan.
“Jadi, pemilik rumah membutuhkan biaya karena akan segera menjalani operasi jantung. Tampaknya dia sudah kehabisan dana, atau entahlah, bapak hanya ingin membantu.”
“Syukurlah, senang bisa membantu orang ya Pak.”
“Sangat bahagia. Kamu juga harus begitu. Kekayaan yang kamu miliki bukan untuk kesenangan diri. Kalau kamu bisa berbagi untuk sesama, itulah bahagia.”
“Baik. Siap laksanakan. Sekarang Wijan minta Bapak ikut memeriksa proposal ini, kalau Bapak setuju, saya tinggal menjalankan.”
*
Usman terkejut ketika siang hari itu Estiana mendatangi kantornya. Estiana mengatakan bahwa keadaan sangat mendesak, dan Usman harus segera memikirkannya.
“Jadi pak Marjono bermaksud menjual rumah untuk mengembalikan uang yang sudah saya keluarkan?”
“Itulah, maka saya memerlukan datang kemari, Nak. Supaya nak Usman juga ikut memikirkan. Bukankah nak Usman ingin sekali memperistri Anjani?”
“Saya sudah sangat mencintainya Bu, saya tidak ingin kehilangan dia.”
“Kalau begitu, nak Usman harus menerima apa yang ada dalam pemikiran saya.”
“Apa itu? Menolak menerima uangnya?”
Estiana membisikkan sesuatu ke telinga Usman, lalu Usman tertawa terbahak-bahak.
*
Besok lagi ya.
at February 12, 2024
Share
by Tien Kumalasari
diunggah Indarsih Weanind
Ada Cinta Dibalik Rasa | 16, Cerbung Tien Kumalasari
tags: cerbung, cerita bersambung, Tien Kumalasari, Kumalasari, Tien, Seni Budaya, Bahasa Indonesia, kisah, cerita,