Ada Cinta Dibalik Rasa | 21, Cerbung Tien Kumalasari

ADA CINTA DI BALIK RASA 21
(Tien Kumalasari)

Dari dalam kamar tamu itu kemudian terdengar suara laki-laki terbatuk pelan, tapi jelas terdengar.

Estiana setengah berlari ingin menubruk suaminya, tapi Anjani menarik tangan ayahnya, mengajaknya masuk ke dalam kamar, kemudian menguncinya. Pemandangan yang barusan mereka lihat, membuat Anjani khawatir, kalau ayahnya terguncang dan berpengaruh pada jantungnya.

“Bapak istirahat saja, dan tidur,” kata Anjani menuntun ayahnya ke ranjang, kemudian melepaskan sepatuya.

Marjono menatap Anjani, tapi wajahnya tampak tenang.

“Anjani, bisakah kamu mengusir mereka dari rumah ini?”

“Akan Anjani lakukan Pak,” kata Anjani sambil meletakkan sepatu ayahnya di tempat biasa.

“Bilang pada Estiana bahwa aku akan menceraikan dia.”

“Ya, Anjani akan mengatakannya. Tapi Bapak tak apa-apa kan?”

“Aku sedang mencari jalan untuk menceraikan wanita itu sejak beberapa waktu yang lalu, dan sekarang jalan untuk itu ternyata ada. Lakukan dan suruh mereka segera pergi.”

Anjani mengangguk, merasa lega ketika melihat wajah ayahnya yang datar, seakan tak berpengaruh saat melihat pemandangan menjijikkan itu.

Ia segera keluar. Di depan kamar tamu, ia melihat Usman keluar sambil mengancingkan celananya, dan Estiana sudah merapikan bajunya, biarpun rambutnya masih awut-awutan.

“Anjani, maaf … aku_” kata Estiana yang kemudian dipenggal oleh Anjani.

“Silakan keluar dari rumah ini.” kata Anjani tandas.

“Aku minta maaf.”

“Pergi dan jangan pernah kembali lagi kemari.”

“Anjani, jangan marah, biar aku jelaskan semuanya,” kata Usman yang sudah merapikan pakaiannya yang tetap saja tampak kusut.

“Tidak ada yang harus dijelaskan. Sejak awal tidak ada apa-apa diantara kita, silakan pergi. Ini perintah dari ayahku.”

“Anjani, aku akan minta maaf pada ayahmu.”

“Pergi!! Bapak akan menceraikan kamu!” teriak Anjani. Ia seakan mendapat kesempatan untuk menumpahkan segala kekesalan yang menumpuk di dadanya, yang sudah ditahannya sejak lama. Tak ada rasa hormat untuk seorang ibu yang pikirannya penuh dipenuhi kotoran busuk.

“Nak Usman, ayo kita pergi.”

Usman adalah seorang pemilik perusahaan. Ia dihormati di mana-mana. Mendengar kata menghardik yang ditujukan kepadanya, biarpun dia bersalah, tapi ia tak mau menundukkan wajah, apalagi meminta maaf. Ia melangkah keluar tanpa mengenakan sepatunya lagi, bergegas ke mobilnya.

Estiana memegangi tangannya.

“Jangan meninggalkan saya,” pintanya dengan air mata berlinang.

Anjani menatap keduanya dengan tatapan jijik.

Tapi sebelum keluar, Estiana menoleh kepada Anjani.

“Biarkan aku mengambil barang-barangku.”

“Keluar saja dulu, aku yang akan melemparkan barang-barangmu sebentar lagi.”

Tapi Usman tetap melangkah pergi, kearah mobilnya.

Estiana yang merasa kehilangan pegangan, hanya punya satu harapan, yaitu mengikuti Usman. Ia bergegas mengikuti, dan masuk ke dalam mobil tanpa dipersilakan.

*

Di dalam mobil, beberapa saat mereka tak bicara. Mereka tak mengira kalau semuanya yang terjadi bukan seperti yang mereka inginkan. Niat ingin menjebak Anjani justru membuat keduanya terjebak dalam situasi yang tak bisa dihindari. Mereka merasa seperti orang kehausan dan mendapatkan semangkuk air sejuk yang diharapkan bisa mendinginkan gelegak aneh yang membuatnya terbakar. Barangkali Usman terkena pengaruh obat. Tapi Estiana merasa ikut terhanyut dalam situasi yang tak mungkin dihindari. Tentu saja, bukankah setan lebih lihai meniupkan aroma dosa yang nikmat untuk dijilat?

Estiana menghempaskan napas kasar.

“Bagaimana hal ini bisa terjadi?”

“Kamu yang melakukan kesalahan,” kesal Usman.

“Aku menyiapkan minuman itu untuk Anjani. Kamu mengapa meminumnya?”

Karena kejadian tak terduga itu, kemudian mereka hanya memanggil ‘aku’ dan ‘kamu’, seperti layaknya seorang kekasih. Tiba-tiba menjadi kekasih? Tapi tampaknya mereka bukan pasangan yang berbahagia.

“Aku tidak tahu minuman apa yang disuguhkan Anjani. Ia memberi aku minuman dalam gelas. Aku tidak tahu minuman apa itu.”

“Sebenarnya itu minuman untuk Anjani. Bagaimana bisa kamu yang meminumnya?”

“Siapa mengira itu minuman yang kamu siapkan untuk Anjani?”

Keduanya saling menyalahkan, dan tak ada ujung pangkal yang bisa menjadikan titik temu. Yang jelas mereka telah gagal.

“Kamu mau turun di mana?” tanya Usman pada akhirnya.

“Apa maksudmu? Tentu saja aku ikut kamu.”

“Apa?”

“Aku sudah diusir. Suami akan menceraikan aku. Aku tentu saja harus ikut kamu. Ini bukan kesalahanku semata.

Usman terdiam. Ia tidak suka perempuan yang duduk di sampingnya ini. Apa yang terjadi seperti sesuatu yang berada diluar akal sehatnya. Ia harus bertanggung jawab? Perempuan seperti Estiana tidak akan menjadi istri yang baik. Ia sudah tahu bagaimana sifat ibu tiri Anjani itu. Dia yang gila hartanya, bukan Anjani seperti ang dituduhkan Erma, anaknya.

“Mengapa diam?”

“Aku tidak bisa bertanggung jawab. Aku tidak menyukai kamu.”

“Bagaimana kamu bisa mengatakan hal semacam itu? Kamu harus bertanggung jawab.”

“Bertanggung jawab apa? Aku melakukannya setengah sadar dan itu karena ulahmu, sedangkan kamu menikmatinya.”

“Apa?”

“Bukankah kamu suka uang? Aku akan membayarmu, dan pergilah jauh-jauh dariku.”

“Aku tidak mau. Aku ikut kamu, pokoknya.”

Usman merasa pusing. Banyak masalah yang harus diselesaikannya, dan sekarang ditambah dengan masalah Estiana.

Akhirnya ia menghentikan mobil di halaman rumahnya, dan Estiana tetap mengikutinya masuk ke rumah, tak peduli Usman mengacuhkannya. Ia memang tak tahu malu.

*

Anjani sudah selesai memasukkan barang-barang Estiana ke dalam sebuah kopor besar, termasuk perhiasan-perhiasan yang disimpannya di dalam almari. Walaupun ia tahu dari mana perhiasan itu berasal, Anjani tak mau menahannya di dalam rumah. Rumah harus bersih dari barang-barangnya.

Anjani menarik kopor itu ke depan, tapi ia tak lagi melihat bayangan Estiana.

“Pasti mengikuti pak Usman. Biar aku letakkan di luar sini saja,” kata Anjani yang kemudian meninggalkan kopor itu di teras.

Ia masuk lagi ke kamar ayahnya, dan melihat sang ayah sudah berganti pakaian.

“Bapak tidak apa-apa?” tanya Anjani khawatir.

“Aku baik-baik saja. Aku merasa lega.”

“Kalau begitu saya akan membeli makanan dulu, tadi belum sempat memasak.”

Tapi ketika ia keluar, ia baru sadar kalau sepeda motornya masih tertinggal di rumah sakit. Tadi karena ayahnya sudah memanggil taksi untuk melihat rumah yang akan dibelinya, Anjani meninggalkan motornya, karena tak mungkin membiarkan ayahnya naik taksi sendiri.

Ia kembali masuk ke kamar.

“Pak, motor Anjani tertinggal di rumah sakit.”

“Oh, tadi kamu membawa motor?”

“Iya. Tidak apa-apa kan, kalau Bapak Anjani tinggal sebentar?”

“Kamu mau ke rumah sakit lagi?”

“Apa boleh buat. Masa dibiarkan motornya tertinggal di sana.”

“Ya sudah, ambil saja sekarang, hati-hati.”

“Anjani sekalian beli makan untuk kita. Rumah akan saya kunci dari luar ya Pak.”

Marjono mengangguk. Entah mengapa, ia merasa sangat lega, seperti keluar dari lorong gelap yang sangat panjang.

*

Anjani keluar dari halaman, bermaksud memanggil ojol saja, toh dia hanya sendirian. Tapi tiba-tiba sebuah mobil berhenti di hadapannya.

Anjani mundur, karena tampaknya mobil itu mau masuk ke halaman rumahnya. Ketika Anjani sedang bertanya-tanya dalam hati, salah satu penumpangnya turun.

Wijanarko?

Anjani tersenyum ketika Wijan menyalaminya dengan hangat. Agak tersipu ketika Wijan menggenggam tangannya erat, dan tak segera dilepas.

“Mm… mari masuk … “ akhirnya Anjani mempersilakannya masuk.

“Ada Bapak juga. Kami mau mengajak pak Marjono untuk ke notaris. Apa pak Marjono tidur?”

“Tidak, tadi sedang duduk di ruang tengah.”

“Kamu mau ke mana?”

“Mau … ke rumah sakit.”

“Lhoh, siapa lagi yang sakit?”

“Tidak ada, sepeda motor saya ketinggalan. Tapi silakan masuk dulu.”

Wijan memberi isyarat kepada Bardi agar terus memasukkan mobil ke halaman, sedangkan dia sendiri berjalan di samping Anjani.

“Setelah mengantarkan bapak dan pak Marjono, aku antarkan kamu mengambil sepeda motor.”

“Tidak, biar saya sendiri saja.”

“Jangan menolak, kita akan sama-sama jalan kok.”

Raharjo sudah turun dari mobil. Anjani mendekat dan mencium tangannya, kemudian bergegas mendahului masuk ke rumah.

Ia membuka pintu, membuat ayahnya terkejut.

“Kenapa kembali?”

“Ada tamu Pak,” kata Anjani yang kemudian mempersilakan Raharjo dan Wijan masuk ke dalam.

“Ini kan … pak Raharjo?”

Raharjo mengangguk. Mereka bersalaman sangat akrab, padahal baru sekali bertemu.

Dengan ramah Marjono mempersilakan tamunya duduk, sedangkan Anjani bergegas ke belakang untuk membuat minuman.

“Kami mau mengajak pak Marjono ke notaris sekalian, lalu saya akan melunasi kekurangannya.”

“Oh ya, saya pikir masih besok.”

“Sekalian sekarang saja, soalnya besok ada rapat penting di kantor.”

“Kalau begitu saya akan bersiap-siap dulu,” kata Marjono sambil berdiri, lalu bergegas masuk ke kamar.

Raharjo mengamati sekeliling ruangan, yang tampak bersih dan rapi. Biarpun mau membelinya, Raharjo tidak memerlukan melihat rumah dan seisinya. Ia hanya ingin membantu, apalagi ternyata Marjono adalah ayah dari calon karyawan di kantornya.

Ketika Anjani keluar dengan membawa beberapa cangkir teh, Wijan menatapnya tak berkedip. Kehadiran Anjani selalu membuatnya berdebar.

“Kok repot-repot, kami kan hanya sebentar,” kata Wijan sambil membantu meletakkan cangkir-cangkir di meja.

“Iya, Anjani, kami hanya menunggu pak Marjono untuk bersiap-siap,” sambung Raharjo.

“Tidak apa-apa, Pak, sekedar penghilang dahaga, udara siang panas sekali,” kata Anjani sambil berlalu ke depan, untuk memberikan juga secangkir teh untuk pak sopir.

“Pak, nanti setelah selesai dari notarisnya, Wijan mau mengantarkan Anjani ke rumah sakit.”

“Siapa yang sakit?”

“Tidak ada yang sakit, Anjani mau mengambil sepeda motornya yang tertinggal,” terang Wijan.

“Sebetulnya saya bisa sendiri, mengapa jadi merepotkan,” kata Anjani tersipu.

“Bagaimana bisa, kendaraan tertinggal di rumah sakit?” tanya Raharjo.

“Tadi bapak kontrol di rumah sakit. Setelah selesai, bapak memanggil taksi untuk membawa kami ke alamat rumah yang mau dibeli bapak, jadi sepeda motor saya masih tertinggal di sana.”

“O, begitu. Nggak apa-apa, nanti kami antarkan kamu ke rumah sakit.”

“Silakan diminum Pak.”

“Baiklah. Rupanya pak Marjono juga sudah selesai.”

Kedua tamunya minum, sementara Marjono sudah keluar dengan penampilan yang sudah rapi.

“Sebenarnya pak Marjono tidak usah terburu-buru mencari rumah. Tinggallah di sini selama Bapak suka, toh saya tidak ingin segera menempatinya,” kata Raharjo.

“Tidak apa-apa Pak. Kurang enak menempati rumah yang sudah bukan menjadi miliknya. Paling-paling saya hanya minta waktu sebulan untuk bebenah.”

“Ya sudah, terserah pak Marjono saja. Ayo berangkat sekarang,” kata Raharjo sambil berdiri.

Sebenarnya Raharjo sudah mengutus pak Wongso untuk mengurus semuanya, tapi Wijan meminta agar sang ayah berangkat sendiri bersama pak Marjono ke notaris. Alasannya agar lebih lancar. Mana Raharjo tahu, bahwa sebenarnya Wijan ingin bertemu Anjani?

*

Ketika semua urusan sudah selesai, Raharjo mengajak semuanya makan siang di sebuah restoran. Anjani bersyukur, karena sesungguhnya ayahnya juga harus segera makan siang. Anjani tidak lupa membawa obat untuk ayahnya, yang harus segera diminum setelah makan.

Setelah selesai makan, Bardi segera membawa mobilnya ke arah rumah sakit, seperti perintah majikannya.

Anjani tak bisa menolak karena Raharjo dan Wijan memaksanya.

Begitu sampai di depan rumah sakit, Anjani minta berhenti.

“Biar saya turun di sini saja.”

Bardipun menghentikan mobilnya seperti permintaan Anjani.

Tapi Anjani heran, ketika Wijan ikut-ikutan turun.

“Mas Wijan mau ke mana?”

“Aku akan menemani kamu mengambil sepeda motor,” kata Wijan enteng.

“Tt… tapi ….”

Sebelum Anjani selesai mengucapkan sesuatu, mobil Raharjo sudah berlalu.

Anjani menatap bingung.

“Pak Marjono akan diantar sampai di rumah. Kamu tidak usah khawatir.

“Mengapa pak Wijan mengikuti saya?”

“Jangan Pak dong, ini diluar kantor. Kamu ingin menganggap aku sudah ketuaan?”

Anjani tersenyum.

“Panggil aku mas Wijan.”

“Tapi ….”

“Jangan membantah. Ayo masuk, di mana motor kamu?”

“Nanti mas Wijan bagaimana pulangnya?”

“Gimana sih, kamu kan bawa motor? Aku ya ikut motor kamu dong.”

“Oh, tidak apa-apa naik motor?”

“Kamu ini aneh. Ayo cepat. Nanti kita jalan-jalan dulu ya,” kata Wijan enteng.

“Ap.. pa?”

*

Estiana duduk termangu di ruang tengah keluarga Usman. Matanya berbinar melihat barang-barang mewah yang terpampang di sekitar ruangan. Ada mimpi untuk menjadi orang kaya. Kalau bukan Anjani jalannya, mengapa bukan dirinya sendiri saja? Usman sudah menjamah dirinya, lebih dari segalanya. Mereka pasangan yang pantas. Bukankah Erma, anak Usman pernah mengatakan itu dan dia juga mendengarnya?”

Estiana mengelus rambutnya, dan bersandar di sofa yang mewah itu dan berusaha duduk dengan anggun.

Ketika pelayan mengeluarkan minuman dalam cangkir yang indah, Estiana hanya mengangguk dengan angkuh. Ia merasa sudah menjadi nyonya di rumah itu.

Tak lama kemudian Usman keluar dari dalam, dengan membawa sebuah amplop coklat yang tebal.

Ia meletakkan amplop itu didepan Estiana.

“Ini apa, Mas?” aduhai, ia sudah berani memanggil ‘mas’ dan merasa bahwa Usman adalah calon suaminya, bukan lagi calon menantunya.

“Ini uang. Terimalah. Imbalan atas yang telah aku lakukan tadi.”

“Apa? Aku tidak mau uang, aku mau menjadi istri mas Usman,” rengeknya, tetap tak tahu malu.

Tapi Usman menatapnya sinis.

*

Besok lagi ya.

Putar lagu nostalgia : 100 Lagu-Lagu Pop Nostalgia: Tonton Dengarkan Video Musik Disini dari YouTube Tanpa Jeda Iklan

at February 19, 2024
Share
by Tien Kumalasari

diunggah Indarsih Weanind

Ada Cinta Dibalik Rasa | 21, Cerbung Tien Kumalasari

tags: cerbung, cerita bersambung, Tien Kumalasari, Kumalasari, Tien, Seni Budaya, Bahasa Indonesia, kisah, cerita,

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.