Ada Cinta Dibalik Rasa | 26, Cerbung Tien Kumalasari

ADA CINTA DI BALIK RASA 26
(Tien Kumalasari)

Anjani terpana mendengar perkataan Wijan. Benarkah dia berkata tentang cinta? Apa maksudnya? Sementara Wijan menatap tajam kearahnya sambil tersenyum yang membuatnya berdebar. Anjani mengalihkan pandangan ke arah lain. Perasaan aneh berkecamuk di dalam hatinya.

“Kamu kaget?”

Anjani menoleh ke arah Wijan. Senyumnya masih seperti tadi. Ini bukan senyuman biasa. Ini bukan pandangan biasa. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Wijan mengatakan cinta? Pertanyaan itu terulang dan kembali terulang dibenaknya.

Tampilkan Pos

“Anjani, aku serius,” kata Wijan dengan tandas.

“Meng … apa … eh … maksudnya … adalah … “ Anjani sangat gugup. Bibirnya gemetar. Ia belum pernah mendengar seorang laki-laki mengucapkan cinta. Bahkan dari laki-laki yang diharapkannya. Apaa? Siapa laki-laki yang diharapkannya? Wajah Anjani bersemu merah. Dia memarahi dirinya sendiri karena wajah Jatmiko membayang tiba-tiba. Apakah dia mencintai Jatmiko?

“Maksudnya adalah bahwa aku, Wijanarko, mencintai kamu,” kepalang tanggung Wijan mengatakannya dengan gamblang. Tak peduli situasi dan tempat tidak mendukung. Wijan menyesal, mengira tak dianggap romantis. Harusnya ia berlutut dihadapan gadis yang dicintainya, menyerahkan seikat bunga, atau sekotak cincin bermata berlian. Aduhai. Lalu Wijan menepuk jidatnya, membuat Anjani terheran-heran. Wajah Wijan tampak lucu. Tapi Anjani tak sempat tertawa. Bahkan tersenyumpun tidak. Pernyataan cinta yang terang-terangan membuat tangannya bergetar. Bahkan bukan hanya tangannya, tubuhnya, hatinyapun juga.

Apakah dia harus menerima pernyataan laki-laki tampan dan mapan dan baik hati ini? Kalau menolak, bagaimana kalau kemudian Wijan marah, lalu dirinya tidak jadi diterima bekerja? Kalau menerima, apakah benar bahwa dia bisa menerima? Wajah Jatmiko kembali melintas.

Anjani sedikit kesal. Jatmiko memang perhatian padanya. Tapi ada perasaan iri ketika melihat cara Jatmiko menatap Nilam. Dia bahkan tidak mau tinggal untuk menemani, justru mengantarkan Nilam yang sudah jelas-jelas bisa pulang bersama ayahnya.

“Apa kamu menolaknya?” suara Wijan mengandung perasaan khawatir. Ia melihat kegelisahan di wajah Anjani.

“Apa karena Jatmiko?” tapi ungkapan ini tak diucapkannya. Wijan hanya membatin, mengingat kedekatan Anjani dengan Jatmiko, sejak mereka masih kanak-kanak.

“Mas Wijan, saya … saya … belum bisa menjawabnya,” akhirnya kata Anjani pelan.

Wijan mengerti. Dia mengungkapkan perasaan bukan pada tempatnya. Bukan pada situasinya.

“Maafkan aku. Aku terlalu terburu-buru. Soalnya tadi aku harus mengatakannya, sebagai alasan mengapa aku bersedia bersusah payah menemani kamu di sini.”

Anjani mengangguk. Ia merasa lega bisa terlepas sementara dari sesuatu yang membuatnya gelisah. Wijan tidak mengecewakan. Apa sih yang kurang dari seorang Wijanarko? Barangkali seribu gadis akan bertekuk lutut dihadapannya ketika Wijan mengatakan cinta. Tapi ada seseorang yang tiba-tiba mengganggu pikirannya, dengan pertanyaan-pertanyaan tentang perasaannya.

“Baiklah, tenang saja, dan lupakan. Oh ya, apakah kamu lapar?” Mengapa semuanya tak terpikirkan olehnya? Bahkan ketika sejak siang sampai sore, dia tidak memikirkannya.

Anjani mengangguk tersipu. Ia memang lapar.

“Di sini ada kantin, ayo kita makan,” kata Wijan yang segera berdiri. Anjani mengikutinya.


Jatmiko mengantarkan Nilam ke rumahnya, yang juga rumah ibu angkatnya. Nilam ingin agar Jatmiko menurunkannya saja, tapi Jatmiko memaksa harus bertemu ibunya.

“Aku harus menyerahkan kamu kepada ibu, supaya jelas kamu pulang dengan siapa. Nanti aku dikira melepaskan kamu di jalan begitu saja, nanti bagaimana ibumu memandang aku? Dikira aku nggak sopan kan?”

“Lebay,” NIlam mencibir, tapi ia membiarkan Jatmiko mengikutinya. Entah mengapa, ia merasa nyaman berada di dekat Jatmiko. Apakah karena dia menganggap Jatmiko bisa mengobati hatinya yang patah? Jatmiko seperti juga Wijan, terkadang kocak, tapi sangat perhatian. Nilam kemudian mencela perasaannya sendiri. Apa yang dipikirkannya? Apa dia mulai tertarik pada Jatmiko? Terkadang Jatmiko itu nekat dan menjengkelkan. Tapi ada hal yang menarik, ia tak mau mengalah ketika ia menginginkan sesuatu. Seperti ketika Nilam melarangnya masuk ke rumah, ia tetap saja ingin masuk, hanya ingin bertemu ibunya, menyerahkan anaknya kembali dalam keadaan utuh.

Nilam tersenyum. Tapi senyum itu hilang ketika ia mengingat Anjani. Bukankah Jatmiko dekat dengan Anjani? Kalau sekarang dia tertarik pada Jatmiko, ia pasti akan kembali kecewa, dan lagi-lagi karena Anjani.

Nilam melangkah masuk ke rumah dengan lesu.

“Eh, nak Jatmiko? Bagaimana kalian bisa bersama-sama?”

“Dia nekat ingin mengantarkan Nilam,” jawab Nilam sambil terus masuk ke dalam rumah.

“Kami dari rumah sakit, lalu saya antarkan Nilam pulang, karena sudah hampir malam.”

“Oh, siapa yang sakit?”

“Ayah Anjani operasi jantung hari ini.”

“Anjani itu … oh ya, Nilam pernah menceritakan, dia teman masa kecil nak Jatmiko itu kan? Ayahnya sakit jantung?”

“Iya, dioperasi hari ini. Kami dari rumah sakit.”

“Oh, ya sudah. Duduk dulu, ibu buatkan minum,” kata Suri langsung berdiri.

“Jatmiko hanya mengantar kok bu,” kata Nilam yang tidak berharap duduk berlama-lama dengan Jatmiko.

“Eh, biar sebentar juga harus minum dulu,” kata Suri dari arah belakang.

Jatmiko tersenyum senang.

“Kenapa sih, kamu ingin aku segera pulang? Apa aku tidak menyenangkan?” Katanya sambil memegangi kerah bajunya dengan gaya sombong.

“Aku itu nggak enak lho, kamu justru mengantarkan aku, tidak menemani Anjani di rumah sakit. Bukankah dia butuh teman?”

“Sudah ada mas Wijan menemani dia, nanti aku malah dikira mengganggu.”

“Apa? Memangnya mereka sedang pacaran?” kata Nilam yang sebenarnya hatinya terasa teriris ketika mengucapkan itu.

“Aku berharap mereka jadian.”

Nilam menatap Jatmiko sambil mengerutkan keningnya.

“Kamu tidak cemburu?”

Jatmiko tertawa.

“Mengapa cemburu? Anjani berhak bahagia, dan mas Wijan laki-laki yang tepat untuk dia.”

Nilam terdiam. Bahkan Jatmiko berharap Wijan berbahagia bersama Anjani?

“Kamu serius? Apa kamu tidak mencintai Anjani?”

“Aku menyayangi dia, tapi tidak mencintai. Kami bagaikan saudara yang lama terpisah. Saling merindukan, tapi rindu yang berbeda. Anjani itu sahabat aku. Kami saling menyayangi. Sayangnya sepasang kakak beradik.”

Nilam terdiam, entah apa yang dirasakannya. Senang? Entahlah. Yang jelas dia sudah tahu bahwa Jatmiko tidak mencintai Anjani seperti cinta seorang laki-laki kepada kekasihnya.

Dengan demikian Wijan akan bahagia karena Anjani tidak memiliki siapapun untuk bersaing dengan dirinya.

Nilam menekan perasaan sakit yang masih tersisa, walau dia sudah berusaha mengendapkannya.

Suri mengeluarkan nampan berisi dua cangkir teh, diletakkannya di meja dengan senyuman mengambang.

“Minumlah, dan jangan tergesa pulang. Ibu punya pisang goreng yang masih hangat. Tunggu sebentar, “ kata Suri yang langsung masuk ke dalam lagi.

Jatmiko mengangkat kedua belah tangannya, tanda tak berdaya menolak. Nilam mengerucutkan bibirnya.

“Sepeda motor kamu ada di kantor? Atau tadi tidak bekerja sambil membawa sepeda motor?”

“Aku bawa, masih di kantor.”

“Kamu itu seorang pejabat tinggi di kantor kamu, mengapa pulang dan pergi selalu naik sepeda motor?”

“Memangnya kenapa kalau aku mengendarai sepeda motor?”

“Tidak apa-apa, aku hanya mengatakan tentang gaya hidup seorang pejabat dengan orang biasa, yang pastinya berbeda.”

“Aku merasa biasa-biasa saja. Ayahku pemilik perusahaan besar, walau bukan ayah kandung, sedangkan ibuku pemilik sebuah warung makan, walaupun bukan ibu kandung juga. Aku menjalani hidup sederhana, sejak aku masih kanak-kanak. Mas Wijan yang mengajari aku.”

Jatmiko mengangguk kagum.

“Kok nggak diminum sih nak? Ayo, minumlah, ini pisang gorengnya, dinikmati sampai habis ya,” kata Suri ramah.

Ketika Nugi ikut keluar mengikuti ibunya, sang ibu segera menariknya masuk. Ia tahu Nugi pasti akan menggoda kakaknya.

Nilam tersenyum dan memeletkan lidahnya ketika melihat Nugi masuk ke dalam dengan kecewa.

“Minum, dan nikmatilah pisang gorengnya,” kata Suri sebelum berlalu.

“Terima kasih Bu.”

“Besok aku samperin kamu, jadi tidak usah naik taksi ke kantor,” kata Jatmiko sambil meneguk minumannya.

“Bukankah kamu juga harus bekerja?”

“Perusahaan sedang carut marut. Barangkali juga akan ditutup. Entahlah, aku di bagian pemasaran sudah membuat laporan dan menyerahkan tanggung jawabku sebelum pergi keluar kota.”

“Kemungkinan besar kamu akan kehilangan pekerjaan?”

“Aku sudah tahu sejak beberapa saat lalu, bahwa perusahaan tidak sehat. Banyak liku-liku dilakukan pak Usman demi sesuatu yang pastinya diharapkan akan menguntungkannya. Aku sudah bersiap-siap dan sudah mendapat pekerjaan baru. Bulan depan aku sudah bekerja di perusahaan lain.”

“Syukurlah. Aku ikut senang.”

Keduanya berbincang sambil menikmati pisang goreng hangat yang disuguhkan Suri. Nilam bahkan tak lagi merasa cangggung berbincang dengan Jatmiko yang tadinya selalu membuatnya kesal.


Pagi hari ketika Raharjo baru saja bangun, ia melihat taksi berhenti, dan Wijan turun dari dalamnya. Raharjo geleng-geleng kepala. Rupanya anak laki-lakinya benar-benar mencintai gadis bernama Anjani itu.

“Bapak kok sudah bangun?” tanya Wijan sambil mendekat.

“Sejak subuh bapak sudah bangun. Kamu subuhan di mana?”

“Di rumah sakit.”

“Bagaimana pak Marjono?”

“Keadaannya stabil. Semalam sudah sadar, dan berbincang sebentar dengan Anjani, karena dokter memang melarangnya banyak bicara. Tapi secara menyeluruh, keadaannya baik.”

“Syukurlah. Sekarang kamu mandi, bibik sudah menyiapkan minuman untuk kita di ruang tengah.

Wijan mengangguk. Ia masuk ke dalam, diikuti sang ayah yang kemudian duduk di ruang tengah.

Bibik keluar sambil membawa sepiring sukun goreng.

“Ini apa?” tanya Raharjo.

“Sukun goreng pak, kemarin bibik membelinya di pasar.”

“ Baunya gurih.”

“Iya, rasanya juga gurih. Asin, tapi ada manis-manisnya sedikit.”

“Terima kasih ya Bik.”

“Mas Wijan baru pulang?”

“Iya, sedang mandi rupanya. Semalam dia di rumah sakit.”

“Rupanya mas Wijan jatuh cinta beneran kali ini,” gumam bibik sambil berdiri.

“Iya. Tidak seperti yang aku harapkan. Tadinya aku ingin menjodohkannya dengan Nilam. Ternyata Wijan menyukai gadis lain.”

“Iya Pak, tadinya bibik juga berharap begitu. Mereka pasangan yang sangat serasi. Satunya cantik, satunya ganteng. Mereka sudah akrab sejak masih kanak-kanak.”

“Tapi Wijan menyayanginya sebagai kakak. Tidak mau dijodohkan.”

“Ya sudah Pak, sebagai orang tua kan Bapak hanya bisa merestui, yang penting mas Wijan tidak salah jalan.”

“Iya Bik, aku percaya, Wijan mengerti, mana yang baik dan mana yang buruk.”

“Mas Wijan anak baik, pasti dia tahu apa yang harus dilakukannya.”

“Hayo… ngomongin aku … “ teriak Wijan yang muncul dari dalam kamarnya.

“Ngomongin yang baik-baik kok Mas,” kata bibik, kemudian berlalu.

“Kok cepet mandinya?” kata Raharjo.

“Kalau kelamaan takut ketiduran di kamar mandi Pak, habis merasa segar.”

“Kalau kamu lelah, tidak usah ke kantor dulu. Biar Nilam menggantikan tugas kamu.”

“Nggak Pak, kasihan Nilam. Nggak apa-apa, tadi di rumah sakit juga tidur sebentar.”

“Tidur di mana?”

“Di bangku tunggu.”

“Bagaimana dengan Anjani?”

“Dia tidur di kamar yang akan dipakai ayahnya setelah keluar dari ruang observasi.”

Wijan menghirup minuman yang disajikan bibik, lalu mencomot sepotong sukun goreng yang masih hangat.

“Ini makanan kesukaan Wijan.”

Raharjo ikut mencomotnya.

“Enak.”

“Memang enak.”

“Sekarang bapak mau bertanya. Apa kamu serius mencintai gadis itu?”

“Maksud Bapak, Anjani?”

“Ya, Anjani. Kalian belum lama berkenalan. Terkadang apa yang dibayangkan bisa luput dari kenyataan.”

“Benar, tapi Wijan sudah mengatakan pada Anjani bahwa Wijan mencintai dia.”

“Bagus. Dia menyambutnya?”

“Tidak.”

Wijan menggeleng dengan lesu.

Raharjo mengerutkan keningnya.

“Jadi kamu ditolak?”

“Entahlah, barangkali memerlukan waktu untuk dia menjawabnya. Situasi memang belum memungkinkan. Anjani masih dalam keadaan prihatin, sebelum ayahnya benar-benar dinyatakan sembuh.”

“Kamu benar. Sekarang ini belum saatnya. Kamu harus bersabar.”

Raharjo berdiri.

“Bapak mau mandi dulu. Habiskan sukunnya,” kata Raharjo sambil menjauh.

Wijan tersenyum. Bukannya menyomot sukun, dia malah merebahkan tubuhnya di sofa.


Anjani sudah terbangun sejak tadi. Ia juga mendengar ketika Wijan melongok ke dalam dan berpamit mau pulang dulu. Mereka tidak bertemu muka, karena Wijan takut melihat Anjani masih ada di tempat tidur.

Sudah sejah subuh Anjani terbangun, dan dia sudah mandi. Ia harus keluar dan melihat keadaan ayahnya seperti apa. Setelah membereskan ranjang dan pakaian yang bekas dipakainya, Anjani bergegas mau keluar.

Tapi dibawah kolong ia melihat seseorang meringkuk di sana.

Anjani hampir menjerit, ketika orang itu keluar dari sana dan menatapnya dengan pandangan mohon belas kasihan.


Besok lagi ya.

at February 24, 2024
Share
by Tien Kumalasari

diunggah Indarsih Weanind

Ada Cinta Dibalik Rasa | 26, Cerbung Tien Kumalasari

tags: cerbung, cerita bersambung, Tien Kumalasari, Kumalasari, Tien, Seni Budaya, Bahasa Indonesia, kisah, cerita,

Tinggalkan Balasan

Eksplorasi konten lain dari Kissparry

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca

Eksplorasi konten lain dari Kissparry

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca