Ada Cinta Dibalik Rasa | 37, Cerbung Tien Kumalasari

ADA CINTA DI BALIK RASA 37
(Tien Kumalasari)

Nilam urung masuk ke ruang rawat Anjani. Ia ingat Baskoro yang ketemu ayahnya kemudian lari menjauh, lalu ada narapidana dirawat di rumah sakit ini.
Apakah sebenarnya Baskoro ingin menjenguk narapidana itu?
Saudaranya, teman sekamar waktu di penjara, atau ….

Nilam berdebar. Ada bayangan melintas. Ibunya. Apa ibunya masih dikurung di penjara, kemudian sakit, kemudian … dirawat di sini?

Nilam mencari-cari, di mana kira-kira narapidana itu di rawat. Rasanya tak mungkin di ruangan VIP. Ia ada di ruangan itu, dan polisi yang dilihat terus berjalan ke arah belakang. Nilam melangkah ke sana. Pasti kelihatan dong, kalau ada ruangan yang dijaga polisi.

Ia terus mencari-cari. Ia tak ingin bertanya-tanya dulu, takutnya ia dianggap ada hubungan dengan narapidana itu. Ya kalau kasusnya kasus biasa. Kalau kasus narkoba? Waduh, bisa-bisa dia dianggap terlibat.

Nilam terus mencari-cari dan akhirnya dia melihat dua orang polisi berjaga di depan pintu sebuah ruangan.

Nilam ingin bertanya, tapi lagi-lagi dia ragu. Ia ingin kembali saja, dan mencari cara lain untuk bertanya. Tiba-tiba ia melihat laki-laki kumuh itu. Ia sedang menuju ke arah polisi yang berjaga. Nilam berdiri di tengah-tengah lorong, menghalangi laki-laki yang sedang berjalan. Nilam langsung menegurnya ketika sudah dekat.

“Pak Baskoro?”

Laki-laki itu tertegun. Ia ingat wajah itu, yang pernah memberi uang di luar sebuah rumah makan, dan memberi lagi ketika ia melintas di depan bekas kantornya. Ia juga sudah pernah mengenalnya ketika ia masih menjadi gadis kecil. Baskoro tak ingin lagi melarikan diri.

Ia menganggap perbuatannya sia-sia. Ia hanya merasa malu menjadi seorang peminta-minta. Tapi rasanya semua itu hanya akan sia-sia. Ia yakin semua orang akan mengenalnya. Dikasihani atau disyukuri, ia tak ingin lagi peduli.

“Pak Baskoro?” sapa Nilam lagi, ketika melihat Baskoro berdiri diam tak bersuara.

“Kamu … “

“Saya Nilam. Mengapa Bapak selalu melarikan diri?”

Baskoro menundukkan wajahnya.

“Saya … malu.”

“Mengapa harus malu?”

Baskoro tak bisa menjawabnya. Sebenarnya ia malu karena menjadi bekas narapidana, atau malu karena menjadi peminta-minta? Ia pun tak bisa menjawabnya. Ia hanya merasa malu.

“Maaf, biarkan saya lewat,” katanya pelan.

“Bapak tahu, siapa yang sakit?”

Baskoro baru sadar, bahwa Nilam adalah anak Rusmi, kekasihnya yang sama-sama meringkuk di penjara karena kejahatan yang mereka lakukan.

“Rusmi,” jawabnya lirih.

“Rusmi? Bukankah itu ibu saya?” kata Nilam, agak keras.

Baskoro mengangguk.

“Sakit apa ibu?”

“Kanker paru-paru, sudah parah, dokter mengatakan ia tak akan bisa bertahan,” jawab Baskoro sedih.

“Saya ingin ikut menjenguk ibu,” kata Nilam.

Baskoro mengangguk, ia melangkah ke depan kamar. Polisi mengijinkan Baskoro masuk, karena sudah tahu siapa Baskoro, yang setiap hari mengunjungi narapidana itu.

Perlahan Nilam memasuki ruangan, didepannya Baskoro melangkah pelan. Nilam menatap sosok kurus kering yang terbaring diam sambil memejamkan mata. Wajahnya pucat, selang-selang yang entah untuk apa, terhubung di tubuhnya. Napasnya lemah, turun naik dan tampak tersengal.

Baskoro mendekat, berdiri di samping ranjang. Nilam mengikutinya. Hatinya teriris sakit. Bagaimanapun perempuan tak berdaya itu pernah menjadi ibunya selama bertahun-tahun. Bahwa kemudian kelakuan buruknya membuat Nilam kehilangan rasa cinta kepada sang ibu, itu sudah dilupakannya.

Rusmi sudah menebusnya, dan teramat mahal. Nilam mendekat, memegangi sebelah tangannya, yang tinggal tulang terbalut kulit. Kecantikan yang dulu amat dibanggakannya, lenyap tak bersisa. Wajahnya kusam keriput, tak ada cahaya kehidupan di sana.

Air mata Nilam menitik.

“Rusmi …,” Baskoro berbisik. Tubuh itu bergeming.

Baskoro merasa ngilu di sekujur tubuhnya. Perempuan yang pernah menghanyutkannya dalam kemewahan dan kenikmatan, tak akan pernah dilupakannya. Bahkan mereka saling menguatkan ketika sama-sama di penjara.

Tapi suasana tak nyaman di penjara, makanan yang tidak nyaman dimakan seperti saat harta masih mengungkungnya, juga tempat tidur yang lembab, membuat kesehatan Rusmi terganggu. Ia sering terbatuk-batuk, ditambah kesedihan dan kesengsaraan yang dirasakannya, lalu didiagnose kanker paru-paru.

Ia bahkan tak sempat melihat saat Baskoro dibebaskan setelah mendapat remisi berkali-kali, karena saat itu ia meringkuk di kamar penjara karena sakitnya. Karena semakin parah, Rusmi harus dirawat di rumah sakit. Tak ada yang menjanjikannya kehidupan, karena sakitnya yang sudah parah.

“Rusmi …,” kali ini Baskoro memanggilnya lebih keras, bersamaan dengan isak Nilam yang terdengar menyayat.

Wajah kusam itu membuka matanya, seperti nyala lilin yang meredup. Mata kuyu itu menatap heran, seorang gadis cantik yang berdiri di samping Baskoro.

“Ibu, apakah ibu ingat Nilam, anak ibu?” isak Nilam.

“Ni … lam … “

“Aku Nilam, mengapa menjadi seperti ini?” Nilam menahan isaknya.

“Mana … Hasti …”

“Mbak Hasti ….”

Mulut Nilam tersekat. Ingatan delapan tahun lebih tentang Hasti yang melahirkan dalam keadaan sakit parah, melintas. Menambah nyeri di hatinya.

“Mbak Hasti sudah meninggal, delapan tahun yang lalu.”

Mata kuyu itu terbelalak, lalu meredup.

“Su … dah … meninggal? Senangnya … aku akan segera bertemu dia … Hasti … ibu akan menemani kamu …” bisiknya, hampir tak terdengar.

“Mbak Hasti meninggal setelah melahirkan … “

“Ooh, iya, aku ingat dia hamil, mana bayi itu?”

“Dirawat oleh seseorang yang amat baik … sekarang sudah sekolah … dan pintar.”

Mata cekung itu berkaca-kaca. Ia ingat ketika Hasti diketahui hamil, lalu dia mengusirnya.

Rusmi mengusap air matanya dengan punggung tangannya.

“Sesungguhnya … kalian itu bukan anak kandungku, aku mandul ….”

Nilam pernah mendengar Hasti mengatakannya.

“Bapak dan ibumu miskin, ketika meninggal … aku mengambil Hasti yang sudah besar, dan kamu yang baru berumur lima tahunan. Aku merawatnya seperti dulu kamu merasakannya.”

Nilam mengusap lagi air matanya.

“Ada lagi seorang laki-laki, kakak kamu … yang dirawat oleh seorang guru, dan dibawa pergi dari kota ini. Entah di mana sekarang dia berada.”

“Kakak laki-laki?”

Rusmi tampak terengah-engah.

“Jangan terlalu lama mengajaknya bicara,” Baskoro mengingatkan.

Tapi Rusmi kemudian mengangkat tangannya.

“Biarkan saja, aku sudah ber … temu Nilam, dan mengatakan semuanya, hidupku … akan segera berakhir …” napas Rusmi semakin tersengal. Baskoro memanggil perawat, lalu menghubungi dokter.

“Bas … tany … tanyakan.. di mana … anak Hasti… buk ..kankah itu … darah daging … mu?”

Dokter datang, bertepatan ketika terdengar peluit panjang di alat yang terpasang, yang menandakan bahwa kehidupan telah berakhir.

Dokter berusaha memacu jantungnya, tapi takdir tak bisa diingkari.

“Innalilahi wa inna ilaihi roji’un, “ kata dokter penuh prihatin, lalu Nilam menubruk tubuh wanita kurus kering itu sambil menangis.

Baskoro menarik Nilam agar menjauh.

“Tangismu akan menghalangi perjalanannya,” kata Baskoro yang tampak berduka.

Nilam berlari keluar, dan menangis tersedu di sebuah bangku.

*

Barno memasuki ruangan Raharjo dengan tergopoh-gopoh, membuat Raharjo terkejut.

“Pak … Pak,” terengah napas Barno.

“Saya tadi melihat pak Baskoro, Pak.”

“Oh ya, di mana?”

“Di rumah sakit, ketika saya mengantarkan makanan untuk mbak Nilam.”

“Yang mengantarkan tadi kamu? Biasanya Bardi.”

“Bardi sedang mengantar bagian keuangan ke bank, lalu saya menggantikannya, karena bibik ingin segera mengirimkan makanannya.”

“Aku juga pernah ketemu dia, tapi begitu melihatku, dia langsung lari.”

“Aku dan Wijan belum sempat ke rumah sakit hari ini. Apa Nilam memesan sesuatu?”

“Saya malah tidak ketemu mbak Nilam, tadi.”

“Barno, kamu mengatarkan makanan dari bibik, tapi kamu tidak ketemu Nilam?”

“Iya pak, perawat mengatakan bahwa mbak Nilam sedang berjalan-jalan di sekitar rumah sakit. Lalu saya taruh saja makanannya di meja, lalu saya pergi setelah berpesan pada perawat jaga.”

“Anak itu .. begitu merasa kuat, langsung saja berjalan-jalan seenaknya. Bilang Wijan, suruh segera ke rumah sakit.”

“Baik Pak,” kata Barno sambil kemudian berlalu.

Raharjo meraih ponselnya, mencoba menelpon Nilam. Beruntung Nilam mengantongi ponselnya ketika keluar dari kamarnya, tadi.

“Bapak?”

“Kamu di mana?”

“Di rumah sakit.”

“Iya, bapak tahu, tapi tadi Barno mengantarkan makanan dari bibik untuk kamu. Tapi dia tidak melihat kamu.”

“Iya Pak, Nilam sedang berjalan-jalan. Capek tiduran terus.”

“Kamu jangan tergesa-gesa berjalan-jalan seenak kamu. Kamu itu belum sehat benar,” tegur Raharjo tak senang.

“Saya sudah pamit sama suster, hanya sebentar. Tapi apa Bapak tahu, ibu Rusmi dirawat di rumah sakit ini. Itu sebabnya Bapak pernah melihat pak Baskoro.”

“Apa? Rusmi sakit?”

“Sekarang sudah meninggal. Baru saja.”

“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.”

“Banyak cerita yang sebelumnya tidak saya duga,” kata Nilam sedih.

“Wijan akan segera kemari, bapak sudah memintanya. Suruh dia mengurus pemakamannya dengan layak.”

“Baik, Pak.”

*

Suri terkejut mendengar kabar bahwa Rusmi meninggal di Rumah Sakit yang sama dengan Rumah Sakit di mana Nilam dirawat.

Ia juga merasa iba mendengar bahwa laki-laki kumuh itu ternyata memang Baskoro, yang saat Nilam cerita, mereka belum yakin bahwa dia adalah benar-benar Baskoro.

“Mereka menebusnya dengan sangat mahal,” gumam Suri pelan.

“Apanya yang mahal Bu?” tanya Nugi tiba-tiba yang heran mendengar gumam ibunya.

Suri menatap Nugi dengan penuh kasih.

“Bukankah kita tidak boleh membeli sesuatu kalau sesuatu itu dinilai mahal? Apalagi sangat mahal. Bukankah memaksakan kehendak itu tidak baik? Beli yang kita mampu membelinya. Ya kan, Bu?”

Suri tersenyum. Sebuah petuah yang baik, ternyata didengar dan dirasakan Nugi dengan sangat baik pula. Tapi rupanya Nugi salah sangka. Nugi mengira dirinya akan membeli sesuatu yang harganya sangat mahal.

“Tidak Nugi, ibu tidak akan membeli sesuatu yang kita tidak bisa menjangkaunya.”

“Tadi Ibu akan membeli apa?”

Suri sedang berpikir, bagaimana menjelaskan semuanya kepada Nugi. Baru saja Rusmi meninggal, dan Rusmi itu adalah ibu Hasti, yang ibu kandung Nugi.

Berarti masih terhitung nenek Nugi. Tapi kalau ia mengatakannya, ceritanya pasti akan sangat panjang. Dan Nugi akan terkejut mendengarnya. Tidak, Nugi belum cukup umur untuk mendengar cerita penuh nestapa dari orang-orang yang termasuk keluarganya.

Suri mengelus kepala Nugi dengan lembut.

“Ibu tidak akan beli apapun.”

“Tadi ibu bilang sangat mahal.”

“Ya, ada barang yang sangat mahal, tapi ibu tidak bermaksud membelinya.”

“Kapan mbak Nilam boleh pulang ke rumah?” Nugi mengalihkan pembicaraan.

“Nanti menunggu dokter mengijinkannya. Kamu sudah kangen ya, dengan mbak Nilam?”

“Kangen banget, Bu. Habis Nugi tidak pernah boleh melihat mbak Nilam di Rumah Sakit. Mbak Nilam itu galak, tapi sangat sayang pada Nugi.”

“Nugi juga sayang pada mbak Nilam?”

“Nugi sayang mbak Nilam, sayang Ibu.”

Suri tersenyum bahagia. Ia menemukan buah hati yang sangat baik, yang pintar, yang penuh kasih sayang. Adakah kebahagiaan melebihinya?

“Anak kecil itu tidak boleh masuk ke Rumah Sakit. Kecuali kalau sedang sakit.”

“Nugi kan sudah besar.”

“Yang boleh masuk itu, kalau umurnya sudah dua belas tahun ke atas. Nugi umur berapa, coba?”

“Delapan tahun.”

“Nah, itu sebabnya Nugi tidak boleh ikut ke Rumah Sakit.”

“Ibu mau pergi ke mana, siang-siang begini?” tanya Nugi yang melihat ibunya berdandan.”

“Ada kerabat yang meninggal, ibu akan melayat sebentar.”

“Anak kecil tidak boleh ikut juga?”

“Tidak boleh, Nugi. Nugi di rumah saja, istirahat, kemudian belajar. Ibu tidak akan lama.”

*

Rusmi akan dimakamkan sore hari itu juga. Wijan sudah mengatur semuanya, sesuai dengan arahan ayahnya. Mereka adalah keluarga baik, yang tidak pernah menyimpan dendam biarpun orang sudah menjahatinya.

Karena mereka percaya, bahwa yang menanam akan menuai, dan semua sudah diatur dari Atas Sana. Manusia tidak berhak menghakimi sesama. Karena itu, ketika Rusmi akan dimakamkan, tak ada wajah-wajah benci diantara keluarga Raharjo yang pernah disakitinya.

Mereka bahkan mengatur pemakaman Rusmi dengan sangat baik.

Marjono yang datang ke Rumah Sakit dengan diantar Daniel, heran melihat keluarga Raharjo ikut berperan dalam pemakaman seorang narapidana.

“Daniel, coba lihat, siapa sebenarnya yang meninggal itu, aku melihat keluarga pak Raharjo juga pergi ke arah kamar mayat.”

Daniel mengangguk. Ia bertemu sejawatnya dan menanyakan siapa yang meninggal. Ia terkejut ketika temannya mengatakan bahwa yang meninggal adalah seorang narapidana bernama Rusmi. Daniel merasa mengenal nama itu.

“Rusmi?”

“Tepatnya, Rusmini.”

Tapi Daniel menepiskan angannya tentang wanita yang dikenalnya bernama Rusmini. Hanya saja, setelah bertemu gadis bernama Nilam, timbul keinginan Daniel untuk mencari kebenaran atas dugaannya. Itulah mengapa nama Rusmini kemudian mengusik hatinya.

Memang sih, nama itu kan banyak yang sama. Tapi ia sedang bertanya-tanya tentang sosok wanita itu.

Daniel bergegas ke ruang mayat. Beruntung mayat Rusmi belum dimasukkan ke dalam peti. Daniel mendekat. Wajah kurus kering tampak, dan hati Daniel berdegup kencang.

Memang jauh dari angan-angannya tentang Rusmini yang diharapkannya segera ditemukan. Soalnya Rusmini dulu wajahnya cantik, dan sekarang tampak kurus.

“Apakah Ibu adalah bulikku?” bisiknya pelan.

Saat itu Nilam tidak jauh dari sana mendekati Daniel.

“Kamu mengenalnya?”

Daniel menatap Nilam. Pikirannya lari ke mana-mana. Ketemu sebuah nama yang dikenalnya, lalu ketemu lagi wanita meninggal yang namanya juga dikenalnya. Apakah ini sebuah kebetulan yang diberikan Allah yang akan mempertemukan keluarga yang tercerai berai?

*

bersambung —

at March 08, 2024
Share
by Tien Kumalasari

diunggah Indarsih Weanind

Ada Cinta Dibalik Rasa | 37, Cerbung Tien Kumalasari

tags: cerbung, cerita bersambung, Tien Kumalasari, Kumalasari, Tien, Seni Budaya, Bahasa Indonesia, kisah, cerita,

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.