Taburan Mawar Cinta | Cerpen buah karya Hari B Mardikantoro, dosen Universitas Negeri Semarang.
Gelap sudah hampir menyentuh malam. Sisa hujan sejak siang tadi menambah aroma malam yang menegas. Aku masih bersimpuh di pusara makam anak wedokku. Ya, anak wedokku baru saja diantar ke tempat baru, tempat keabadian yang sama sekali tidak aku bayangkan secepat ini menjemput.
Aku masih belum berniat meninggalkannya. Kasihan anakku sendirian dengan tumpukan tanah merah yang masih basah dan penuh taburan bunga mawar berwarna-warni.
Orang-orang masih saja memandangiku, entah apa yang mereka pikirkan dan rasakan. Sementara teman-teman anakku masih saja menundukkan kepala dengan air bening yang masih saja menetes dari kelopak mata mereka.
Aku juga tidak bisa menduga apa yang tengah mereka pikirkan. Namun aku yakin mereka semua sangat kehilangan, kehilangan sesuatu yang teramat dekat. Aku masih tergugu.
Bukan menyesali apa yang baru saja terjadi, melainkan membayangkan berpisah dari anak wedokku selamanya adalah penderitaan yang tak akan berujung.
Ya, anak satu-satunya yang kumiliki ternyata lebih dicintai oleh Tuhan daripada cintaku padanya atau apakah Tuhan meragukan cintaku pada anakku? Pertanyaan-pertanyaan itu berseliweran mengimpitku.
Kepalaku seakan diikat tali tambang dan kemudian ditarik ke sanakemari. Pusing.

Malam-malam dokter memanggilku. Ya, malam yang masih belum menuntaskan gerimis, aku berbegas dengan langkah kupercepat walaupun sebenarnya jaraknya juga hanya beberapa langkah dari kamar tempat anakku dirawat. Kusalami dokter dengan ragu. Dia mempersilakan aku duduk. Namun aku tidak segera duduk.
Kupandangi dokter itu lekat-lekat karena kutahu akan ada informasi penting yang akan dia sampaikan. “Dokter memanggil saya?” tanyaku memastikan. Dokter itu belum menjawab.
Justru helaan napas panjang yang keluar. Aku makin gemetar.
“Dok, saya ayah pasien bernama Tusning,” sengaja kukeraskan suaraku. “Silakan duduk, Pak.” Aku duduk dengan ragu-ragu.
Belum duduk, tetapi pantatku rasanya panas. Sebenarnya aku tak ingin duduk, tapi karena dokter memintaku kembali untuk duduk, maka kuturuti.
“Betul Bapak keluarga pasien bernama Tusning?”
Aku merasa peranyaan itu tidak perlu kujawab. Toh dokter itu sudah tahu.
Aku hanya menganggukkan kepala supaya dokter itu puas.
“Begini, Pak…,” dokter itu melanjutkan.
Pandangannya lurus menatapku. “Ada sesuatu terjadi pada anak saya, Dok?”
“Begini, Pak,” ulangnya lagi. “Dari hasil laboratorium, anak Bapak terkena leukemia,” kata dokter itu meyakinkan.
Aku terenyak. Badanku tiba-tiba gemetar.
Pandanganku lurus menatap dokter itu lekat-lekat. Barangkali dokter itu tahu.
Ia pun berusaha membuang pandangan ke arah lain. Beberapa menit kami saling diam, memainkan angan kami masing-masing. “Barangkali Dokter salah menganalisis,” sanggahku masih dengan badan gemetar.
“Ya semoga,” tukas dokter mengambang seakan tahu keresahanku. “Namun biasanya hasil laboratorium tidak pernah keliru,” ujar dokter setengah baya itu meyakinkan.
Aku terdiam dan tetap terdiam. Ya, Tuhan, cobaan apa yang tengah Kautimpakan kepadaku?
Apakah selama ini aku kurang mengimani-Mu?
Apakah aku punya dosa besar, sehingga hukuman itu tertuju padaku? Pikiran itu berkelebat dan berkecamuk dalam pikiranku. Ada air bening perlahanlahan mengalir pelan di pipiku. Makin lama kian menderas.
Aku pun tak tahu bagaimana menyampaikan kabar ini kepada istri dan anakku. Aku membayangkan, mereka pasti akan syok.
Kumasuki kamar tempat anakku dirawat pelanpelan. Sengaja aku berjalan berjingkat supaya tidak menimbulkan suara berlebihan. Kulihat dia sudah tidur. Tidur dalam sakit. Napasnya teratur.
Badannya memang agak kurus dibandingkan dengan sebelum sakit. Kasihan anakku. Jujur, aku pun sebenarnya siap menggantikan sakit anakku.
Biarlah aku saja yang berbaring sambil menghitung detak jam di ruang perawatan rumah sakit. Biarlah anakku menikmati masa remaja yang tentu indah.
Istriku juga sudah tidur di sofa yang membujur di sebelah tempat tidur anakku. Barangkali dia kelelahan dan aku tahu pasti juga kurang tidur.
Kudekati anakku perlahan. Kutempelkan tanganku di keningnya. Panas.
Aku cium keningnya sambil kubisikkan, “Bapak sangat mencintaimu.”
Kupandangi anakku lekat-lekat.
Tiba-tiba ada rasa sakit menusuk-nusuk hatiku. Perih, perih sekali. Apa yang harus kukatakan pada anakku tentang penyakitnya?
Dia hanya tahu masuk rumah sakit karena penyakit tifus. Itu hasil laboratorium sebelum aku bawa dia ke rumah sakit ini.
Aku merasa tak kuat memandang anakku lama-lama. Wajahnya yang ayu selalu tersenyum, meski dalam tidur dan sakit. “Kamu tidak layak menderita seperti ini,” batinku memberontak.
Namun aku bisa apa? Dalam hitungan detik, aku sudah duduk termangu di tikar di bawah tempat tidur anakku. Tiba-tiba air mataku sudah tak bisa kubendung lagi.
Mengalir deras. Aku tergugu. Aku lantas membayangkan betapa menderita anakku dalam proses pengobatan nanti. Keluar-masuk rumah sakit itu pasti, padahal seminggu lagi ada USBN dan berikutnya UNBK yang sudah menunggu.
Dan, anakku selalu bersemangat ketika membicarakan kedua ujian itu sebagai pintu mengapai cita-cita sebagai dokter gigi.
Semalaman aku nyaris tidak bisa tidur. Mulut dan hatiku selalu merapalkan doa-doa untuk kesembuhan anak wedokku. Sampai pagi.
Karena penyakitnya itu, anakku lantas dirujuk ke rumah sakit lebih besar, rumah sakit pusat yang katanya berperalatan lebih lengkap dan lebih modern. Juga dokternya lebih ahli. Aku manut saja. Semua pasti demi kesembuhan anakku.
Apa pun akan aku lakukan demi anak semata wayang yang sangat aku cintai. Kalau perlu ditukar sekalian aku pun siap. Biarlah aku yang menderita, tapi anakku jangan.