#isolasicoronaseries
Episode 7
TRAGIKOMEDI HASIL SWAB
Ah, ngomongin swab kok gemes-gemes gimanaaa gitu. Tahu swab kan? Itu salah satu cara untuk mengambil sekresi baik dari tenggorokan atau nasofaring, yaitu hidung bagian atas.
Aku cerita proses swab Aku aja ya, yaitu lewat hidung.
Prosesnya menggunakan semacam cotton bud, cuma batangnya lebih panjang. Kita diminta tiduran dengan kepala mendongak, dan ‘cotton bud’ dimasukkan ke hidung jauh ke atas, diputar 8-10 kali untuk mendapatkan lendir yang ada di sana.
Lendir inilah yang akan dianalisa dengan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction). PCR intinya adalah pemeriksaan untuk mencocokkan DNA atau RNA yang dipunyai virus. Ibaratnya seperti tes DNA, tapi untuk virus di tubuh kita.
Proses laboratoriumnya memakan waktu 3-4 hari. Itu normalnya. Tapi hari gini, saat ribuan hasil swab harus dianalisa, bisa dibayangkan antriannya? Sampai capai ati nungguin hasilnya…hiks.
Saat masuk IGD di RS Pasarminggu, semua gejala covid aku punya: panas tinggi di atas 38, batuk, sesak nafas, hasil thorax berkabut – ciri pneumonia. Lengkap.
Belum lagi komorbid kondisi bawaan yang biasanya memburuk seiring serangan virus, seperti diabetes melitus dan hipertensi. Aku punya semua itu. Plussss, ini plus-nya. Rontgen juga menunjukkan kalau ada pembengkakan jantung. Kurang lengkap apa coba.
Wis, Langsung rawat inap. Tidak ada persiapan apa-apa. Boro-boro baju, tanganku hanya menjinjing sebotol air. Anakku yang tidak boleh nungguin karena ruangan berupa karantina, langsung pulang. Baru paginya ia kirimkan supply baju dll.
Ok, balik ke swab.
Sejak masuk kamar, aku berharap segera di swab. Biar muncul kepastian positif atau negatif Corona. Tapi yang ada, hari pertama, dua pasien sekamarku di swab, Aku tidak.
Saat pindah ke lantai 10, hari berikutnya, selang 3 hari kemudian, lagi, dua pasien di ruanganku di swab, aku tidak. Gondok lah. Dan sudah aku ceritakan kan ngamukku di tulisan sebelumnya kan?
Nah hari kelima, barulah aku di swab 1.
“Hasilnya berapa lama mas?”
“Paling dua – tiga hari, Bu.”
Ok, kita tunggu lah.
Empat hari kemudian yang ada kami seruangan di swab semua. Jadi teman-teman se kamarku sudah diswab 3 kali dan aku dua kali.
Sehari, dua hari, tiga hari berikutnya, salah satu pasien sebut namanya Lydia dinyatakan negatif, dan boleh pulang. Sementara aku dan Ria, pasien lainnya belum ada hasil swab.
Sehari setelahnya, Ria dapat vonis kalau dirinya positif Corona dan dipindahkan ke lantai 8, dijadikan satu dengan pasien lain yang sudah positif.
Lha aku?
Hari itu aku tidak mendapatkan jawaban, juga hari ke 9 dan 10. Dhuh, katanya 3-4 hari. Ini sudah hari ke 10, mana hasilnya???
Kepengen rasanya gedruk-gedruk kakiku saking gemas, tapi kok ya tidak lucu. Mosok rambut kepala sudah putih semua begini, akan berlaku kayak anak kecil yang diambil mainannya sih?
Jadi lah, nunggu lagi.
Eh, tapi jelang siang hari itu, aku yang intens texting dengan teman kuliah seangkatan dapat ide bagus. Ide dia dong, bukan ideku. Sayang dia tidak mau disebutkan namanya.
Mendengar kasusku, dia berinisiatif menghubungi Brigjen Pol Dr. Musyafak, sekarang jadi Wabendum PP Kagama dan Sekjen PP Kagama Ari Dwipayana.
Lho, apa hubungan keduanya dengan kasus Corona? “Beliau berdua itu masuk Satgas Covid-19 Kagama, Nin.”
Aku sempat melongo. Baru tahu kalau Kagama punya gugus satuan tugas khusus untuk menanggulangi bencana non alam ini..!
Keren.
“Aku akan minta tolong ke Pak Musyafak untuk melacak hasil swabmu. Beliau semestinya punya jalur ke situ. Kasih aku waktu.”
“Ok, semoga ada hasilnya,”
“Berdoa saja, at least kita sudah berusaha mencari tahu,” ujar temanku itu.
Tidak sampai satu jam, dia mengabari kalau Pak Mus, memang punya koneksi, dan akan mencari tahu posisi data swabku.
Termasuk akan kontak kepala rumah sakit tempatku rawat inap, karena beliau mengenalnya dengan baik.
Secercah harapan membuncah. Aku harap-harap cemas.
Jelang Maghrib, tiba-tiba seorang dokter muda masuk diringi satu perawat.
“Bu, ibu ada keluhan (sakit) kah?”
“Tidak, dok. Rasanya aku sudah membaik. Aku tidak sesak nafas lagi dan merasa sehat.”
“Baik Bu. Karena tidak ada keluhan, dan hasil swab ibu negatif, bisa jadi ibu segera pulang. Tapi aku masih harus mengkonsultasikannya dengan dokter yang menangani ibu,” ujarnya sambil ke luar ruangan bareng suster.
Tak lama suster masuk lagi.
“Bu, sudah boleh pulang. Yang jemput diminta bawa fotocopy KTP, Kartu Keluarga, dan meterai 6.000 ya.”
Huwaaa, boleh pulang..!!!
“Boleh pulang sekarang sus?”
“Iya. Anak ibu yang jemput? Diminta datang saja setelah isya.”
Baiklah. Aku lantas menghubungi temanku.
“Bro, terimakasih. Pak Mus rupanya sudah berhasil melacak hasil swab aku. Hasilnya negatif nih. Barusan ada dokter datang, ngabari kalau aku boleh pulang. Sampaikan maturnuwunku ke beliau ya. Lemah teles, Gusti Allah yang mbales.”
“Yess, melu seneng, Nin. Segera akan aku sampaikan ke beliau.”
Jadilah.
Aku segera berkoordinasi dengan anakku, Rengga, minta jemput setelah isya. Skenarionya, meski dia jemput, tapi aku akan pulang dengan taksi. Akibat PSBB kan nggak boleh boncengan motor tuh. Senjata dia cuma motor.
Anakku yang di rumah, Sekar, kuminta menyiapkan ember dengan deterjen di kamar mandi, juga handuk dan baju ganti.
Jadi nanti secepat aku masuk rumah, tanpa menyentuh apa-apa, langsung menuju kamar mandi dengan semua bontotan baju gantiku dari rumah sakit, agar bisa aku cuci semuanya dengan detergent.
“Aku sediakan det*l juga deh, jadi ibu nanti bisa mandi pakai itu,” kata Sekar.
Deal…!! Dan aku bergegas menata bajuku, memasukkannya ke tas plastik besar yang disediakan suster. Semua barangku termasuk tas harus masuk ke situ.
Selesai? TIDAAAAKKK..!!!
Tiba-tiba salah satu suster mengetuk pintuku. Dari balik kaca, dia bertanya berapa nomor WA-ku. Aku jawab lah. Dan dia berlalu.
Aku kembali duduk di tempat tidur saat anakku texting, protes kalau katanya kepulanganku dibatalkan.
Apa???????
HP-ku berdering. Aku angkat. Suara suster terdengan di ujung sana.
“Ibu, rupanya ada salah baca tentang hasil swab. Ibu dinyatakan positif, dan masih harus isolasi lagi.”
Hatiku langsung mencelos, berusaha mencerna sikon yang baru masuk ke benakku. Mau nangis rasanya. Harapan hanya diberikan untukku 15 menit saja..!
Sejenak termangu. Ya Allah, apa mauMu?
Seribu pertanyaan aku ajukan kepadaNya. Perasaanku meruyak sangat tak jelas, antara mau nangis, tapi juga mau tertawa.
Situasi ini pasti akan seru kalau dipaparkan di panggung. Tragis, tapi juga komikal. Hidup rupanya sedang bermain-main denganku, dan aku pun tersenyum.
Ikhlas.
Gusti sang pemberi hidup, mengharuskanku menjalani isolasi lagi. Dia tidak ingin anak-anakku terpapar virus ini…
*Kutarik nafas panjang*
Ya Allah. Terimakasih sudah bersendau-gurau denganku hari ini. Aku tahu, semua kuasa-Mu.
Hanya kepadaMu aku menyembah. Hanya kepadaMu aku minta pertolongan.
#isolasicoronaseries
Episode 8
NGOMAH
Kalian tahu ngomah?
Itu, kondisi di mana kita sudah nyaman di satu tempat. Feel like home. Itulah ngomah.
Di ruang isolasi setelah beberapa hari, akhirnya aku juga membiasakan diri.
Bisa bayangkan kan ruang isolasi?
Ruang tertutup, dikunci bahkan. Pada kasus Corona ini, masuknya suster dan tenaga medis lainnya terjadwal.
Di sini adalah jam 05.00 – 11.00 – 17.00 dan 23.00 WIB. Empat kali sehari, untuk supply makanan, obat, ukur tensi dan suhu tubuh. Selebihnya mereka tidak bisa masuk sembarangan karena keterbatas APD (Alat Pelindung Diri).
Bahkan misalnya pasien yang sudah menggunakan Pampers dan BAB pun, baru akan mendapatkan bantuan pada jam yang sudah ditentukan.
Pada saat masuk, sesak nafasku parah. Dua hari aku di ventolin, dan menggunakan selang oksigen sepanjang waktu.
Masih boleh turun dari tempat tidur untuk ke kamar mandi. Tentu sambil nyangking botol infus karena jarumnya sudah tertanam di nadi tangan.
Hari pertama tidak mudah. Kalau aku bergerak terlalu cepat, nafas langsung ngos-ngosan. Ngunyah makanan terlalu bersemangat, juga langsung engap.
Padahal aku ini orangnya sak-sek, trengginas, serba cepat, dan mau semua selesai dalam waktu singkat. Eh sekarang kudu serba lambat. Menyiksa banget.
Mosok aku disuruh jadi kungkang alias sloth, yang bergerak sangaaaat lamban. Tapi itulah yang terjadi.
Hari ketiga, nafas mulai mulai ada perubahan. Ventolin masih diberikan pagi hari, tapi selang oksigen sudah tidak kupakai seharian.
Sesak nafas tak lagi memburu, hanya sesekali saja datang dan langsung kuraih oksigen. Kupakai sebentaran saja. Setelah nafas membaik, kulepas lagi.
Selebihnya aku jadi punya waktu untuk eksplorasi sekitarku. Berkenalan lebih intens dengan dua orang pasien lain, sebut saja Ria dan Lydia. Tentang mereka, nanti aku tulis di bagian lain.
Aku juga sudah bisa ganti baju sendiri. Ini bukan persoalan mudah karena keterikatanku dengan infus. Kantong infus harus masuk duluan di lengan baju.
Misal infus di tangan kanan, ya dia harus masuk dulu dari dalam bagian baju, keluar di lengan kanan, baru tangan kita mengikuti.
Pernah lho, aku masukin kantong infus itu ke lengan kanan, lupa kalau infus sudah dipindah ke sebelah kiri..! Asli ngakak sendiri.
Hari keempat, sudah tak tahan rasanya untuk segera mandi. Tapi lagi, mikir panjang karena tangan ‘terikat’ infus. Hm, boleh basah tidak ya?
Karena mau tidak mau, jarum yang nempel di tangan pasti basah kena air. Tapi saking badan sudah tidak nyaman empat hari nggak mandi, nekat lah aku. Mandi. Basah-basahlah.
Aku keramas 3 kali, sabunan 3 kali. Biarin, karena aku tahu bakalan repot banget kalau setiap hari mandi. Lagian, ruangan berAC kan, aku tidak berkeringat terlalu banyak, jadi mandi dua hari sekali rasanya cukup. Juga irit ganti baju. Aku hitung anakku hanya mengirim 8 baju ganti, tepatnya daster, sesuai permintaanku.
Seiring waktu, menipis juga baju ganti. Jadi mikir, bagaimana caranya ya? Bisa sih minta anakku kirim baju bersih dan membawa pulang baju kotor.
Tapi kan kasihan, jarak ke rumah sakit lumayan. Belum lagi aku dengar dia juga sedang flu. Mana baju kotor nanti harus dicuci dengan treatment khusus.
Akhirnya aku putuskan untuk mencuci baju dan celana dalamku sendiri. Tidak semua baju kotorlah. Aku pilihin baju yang ringan, biar nanti mudah kering. Aku kumpulkan ada tiga yang begini. Cuci lah, pakai sabun mandi.
Kudu hati-hati supaya jarum infus tetap pada tempatnya. Jadi maklumi saja kalau tidak bersih-bersih amat. Yang penting bau keringat bablas.
Cucian aku gantung di tempat handuk, yang tersedia di kamar mandi. Nunggu hingga tetesnya habis. Setelah itu baru baju aku angin-anginkan di gantungan infus. Habis mau jemur kan nggak bisa tho.
Kalau aku perhatikan kok kayak pedagang pasar Tanah Abang ya. Baju digantung-gantung. Untung di sini kagak ada yang beli… nyengir..
Begitu deh. Kita ini diberi kemampuan beradaptasi. Kelangsungan hidup dipengaruhi oleh seberapa struggle kita mengelola kesulitan dan rintangan.
Jadi, apapun hambatan di depan, sebaiknya segera dicari solusi. Gunakan energi untuk menyelesaikan masalah, bukan mencarinya.
Jadi, aku mulai ngomah. Dan itu memberikan kontribusi ketenangan batinku. Feel like home.
Dan kita bisa lebih pasrah menerima keterbatasan yang ada.
Selamat pagi teman. Semoga hidupmu dimudahkan Gusti Allah.
Semoga bermanfaat.
Kissparry