BUNGA UNTUK IBUKU 36
(Tien Kumalasari)
Pak Rangga menatap Wijan tak mengerti. Wijan mengedipkan sebelah matanya, sementara bibik sudah membuka pintu gerbang, langsung menuju rumah.
“Pak Rangga, ini adalah pak Bejo namanya. Saya akan membawanya ke dokter karena pak Bejo hilang ingatan.”
Melihat sikap Wijan, pak Rangga segera mengerti.
Wijan mengajak semuanya memasuki halaman. Bibik sudah membuka pintu rumah. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, dan kemudian langsung ke belakang untuk mengambil sapu. Rumah itu begitu kotor dan berdebu.
“Mas Wijan, duduk di teras saja dulu, biarkan saya membersihkan ruangan dalam sebentar.”
“Baiklah.”
Lalu Wijan mempersilakan ‘tamu-tamunya’ duduk sementara di teras.
Kecuali membersihkan ruang tamu, bibik juga membersihkan kamar tamu. Ia tak akan mengijinkan tuan Bejo memasuki kamarnya semula, karena berbau mesum dan kotor. Ia harus membersihkannya sampai tak terlihat bekas perbuatan terkutuk itu ada.
Pak Rangga masih bingung. Melihat penampilan Bejo, dan penolakannya ketika dipanggil Raharjo, belum sepenuhnya bisa dimengerti.
Sekali lagi Wijan mengedipkan matanya, pak Rangga merasa ada sesuatu yang pasti akan dikatakan Wijan, tapi belum sekarang. Karenanya pak Rangga memilih menanyakan keadaan Wijan selama ini.
“Saya baik-baik saja Pak. Saya pergi karena ibu Rusmi mengusir saya. Tapi saya kemudian fokus melanjutkan sekolah saya, setelah mencari bapak tidak ketemu. Saya sudah hampir kuliah. Tahun ini saya akan mulai kuliah.”
“Anak baik. Aku berusaha menghubungi kamu, tapi nomor kamu tidak pernah aktif. Padahal banyak kejadian yang seharusnya kamu mengetahuinya.”
“Saya tidak ingin kembali kemari, karena tidak ingin bertemu ibu Rusmi lagi. Jadi saya mengganti nomor saya. Bapak memberi saya bekal untuk melanjutkan kuliah sebelum kecelakaan itu terjadi.”
Bibik keluar dengan membawa baki berisi tiga gelas susu coklat panas.
“Silakan Pak, kebetulan di dapur masih ada susu coklat, dan saya lihat masih bagus.”
“Terima kasih, Bik,” kata Wijan.
“Saya sudah membersihkan kamar tamu, kalau bapak Bejo mau beristirahat.”
“Pak, minumlah dulu, setelah ini Bapak mandi dan berganti pakaian,” kata Wijan kepada Bejo.
“Tapi saya tidak membawa baju Nak, biar saya tetap memakai baju ini saja.”
“Jangan Pak, itu sudah kotor karena seharian Bapak tidak ganti baju. Di kamar banyak baju ganti, Bapak bisa memakainya.”
“Mana bisa memakai baju yang bukan milik saya.”
Wijan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bejo tampak sangat lugu dan belum sadar siapa sebenarnya dirinya.
“Pak, baju itu saya pinjamkan untuk Bapak. Pinjam itu kan boleh sih Pak. Nanti Bapak bisa mengembalikannya. Ayo di minum dulu, bibik sudah membuatkannya untuk kita,” kata Wijan sambil mendahului menyeruput minumannya.
Bejo meraih gelasnya dengan ragu, tapi kemudian dia meminumnya juga, karena dia juga sebenarnya merasa haus, bahkan lapar.
Kemudian dia menurut, ketika Wijan mengajaknya memasuki kamar dan memintanya mandi. Rupanya bibik sudah menyiapkan semuanya, dari alat mandi, handuk dan baju ganti milik Raharjo.
Wijan menunjukkan kamar mandinya, dan dengan heran dia melihat, bahwa Bejo tidak merasa canggung melihat kamar mandi mewah di ruangan itu.
Ia mendekati bathtup, lalu mematikan air hangat yang mengucur.
“Aku tidak biasa mandi dengan air hangat. Aku dan simbok selalu mandi dengan air dingin.,” katanya.
Wijan tersenyum. Pak Bejo anaknya simbok bisa mematikan keran air hangat dan menggantinya dengan air dingin. Dari mana simbok mengajarkannya?
“Keluarlah Nak, biar saya mandi dulu.”
“Baiklah Pak, nanti baju ganti Bapak sudah ada di atas meja.”
“Terima kasih Nak, maaf kalau saya merepotkan, bahkan harus memakai baju pemilik rumah.”
“Tidak apa-apa. Anggap seperti di rumah Bapak sendiri,” kata Wijan sambil menutupkan pintunya setelah keluar.
Wijan keluar, dan melihat bibik sudah menceritakan sekilas tentang pertemuannya dengan Bejo, yang diyakininya sebagai pak Raharjo, dan sedang menderita lupa ingatan.
“Bagus sekali kalian berhasil membujuknya untuk pulang,” kata pak Rangga.
“Sebenarnya tidak mudah Pak, tapi saya dan bibik terus membujuknya, dan akhirnya berhasil. Saya bermaksud membawanya ke rumah sakit besok, untuk menangani amnesia yang dideritanya.”
“Lakukan yang terbaik untuk Bapak. Ada mobil Bapak di sini, nanti aku akan mengirimkan sopir untuk mengantarkan kamu dan bapak, yang pastinya membutuhkannya untuk pulang pergi ke rumah sakit,” kata pak Rangga yang kemudian menelpon sopir perusahaan agar besok langsung datang ke kantor lebih pagi, untuk mengambil kunci mobil, lalu kerumah pak Raharjo untuk mengantarkan Wijan dan pak Bejo ke rumah sakit.
“Terima kasih Pak.”
“Kamu tidak usah memikirkan apapun. Semua biaya adalah urusan saya, karena saya bertanggung jawab untuk mengurus aset perusahaan serta menjaganya. Semua itu milik kamu juga.”
Wijan hanya bisa mengangguk haru.
Ketika Bejo keluar setelah mandi, semuanya melihat pak Raharjo lah yang muncul, karena dia memakai baju pak Raharjo.
“Bapak sudah bersih dan cakep.”
“Ini baju pak Raharjo, kenapa sangat pas di badan saya,” kata Bejo dengan tersipu.
“Itu namanya jodoh.”
“Tapi Nak Wijan belum memperkenalkan aku dengan bapak ini,” katanya sambil menunjuk ke arah pak Rangga.
“Oh iya Pak, soalnya tadi Bapak masih kelihatan capek dan agak bingung. Baiklah, ini namanya pak Rangga. Dia tangan kanan bapak saya di perusahaan.”
Pak Rangga mengulurkan tangannya, Bejo menyambutnya.
“Saya Bejo, dari kampung. Ibu saya namanya mbok Supini, meninggal belum lama ini,” kata Bejo memperkenalkan dirinya dengan lengkap.
Pak Rangga tersenyum. Menepuk punggung tangan Bejo dengan hangat.
“Anggap ini rumah sendiri ya Pak, dan saya harap Bapak bersedia menuruti apa yang dikatakan Wijan.”
“Besok saya akan membawa Bapak bercukur lebih dulu. Rambut Bapak sudah panjang.”
Bejo tersenyum tersipu.
“Simbok pernah mengajak saya potong rambut di pasar, sudah lama. Sekarang sudah agak panjang lagi.”
“Besok dipotong lagi, setelah itu kita ke rumah sakit, ya Pak.”
“Tapi sudah saya katakan tadi, saya tidak punya uang. Harusnya saya menjual sayur besok pagi untuk mendapat uang,” katanya terus terang, membuat pak Rangga dan Wijan tertunduk sedih.
“Bapak tidak perlu memikirkan uang. Nanti kalau Bapak sudah bisa kembali untuk menjual sayuran, Bapak bisa mengumpulkan uangnya sedikit demi sedikit untuk menggantinya,” kata pak Rangga untuk menghilangkan perasaan sungkan yang terus saja ada di hati Bejo.
“Itu benar, saya pasti akan menggantinya,” kata Bejo bersemangat.
“Saya sudah pesan makanan untuk makan malam, Setelah itu, pak Bejo boleh beristirahat,” kata pak Rangga.
Bejo tersipu, sesungguhnya dia memang lapar.
*
Hari itu Wijan begitu bersemangat. Ia menyuruh bibik yang tanpa sengaja kembali lagi mengabdi ke rumah itu. Agak enggan sebenarnya ia harus memakai baju Rusmi yang tertinggal. Ia hanya memakai satu dua baju harian yang tidak menyolok. Lalu menyingkirkan yang lainnya dan memasukkannya ke dalam sebuah kardus.
Tapi ia berjanji, kalau ada waktu akan pulang sebentar untuk mengambil baju-bajunya. Ia sangat mencintai keluarga Raharjo, sehingga tanpa ragu dia bersedia kembali mengabdi.
Ia menyiapkan makan pagi setelah Wijan memberinya uang. Membeli yang sudah matang saja. Nasi pecel tumbang dan goreng ayam, semuanya di warung yang buka pagi hari. Ketika menatanya di meja makan, dia melihat Bejo sudah bangun, lalu tanpa canggung duduk di ruang makan.
Bejo merasa aneh, serasa begitu familiar dengan ruangan-ruangan yang ada di rumah itu. Begitu melihat Bejo duduk, bibik benar-benar seperti melihat tuan majikannya telah kembali. Ia tersenyum cerah sambil menyajikan dua gelas coklat susu seperti biasanya.
“Bu Bibik,” demikian ia memanggil.
Bibik berhenti, menunggu apa yang akan dikatakannya.
“Saya kok seperti melihat keseharian saya di rumah simbok. Apakah di sini ada singkong rebus?”
Bibik tertegun.
“Pak, nanti kalau saya ke pasar, saya akan membeli singkong dan akan merebusnya buat Bapak. Sekarang ini adanya roti bakar, sudah saya siapkan,” kata bibik sambil beranjak ke belakang dan kembali dengan sepiring roti bakar.
Bejo menatap piring kecil di depannya, memegangnya dan mengamatinya. Saat itulah Wijan keluar dari kamarnya, sudah mandi dan rapi.
“Bapak sudah bangun? Apa semalam tidur dengan nyenyak?” tanya Wijan sambil duduk di depan Bejo.
“Begitu bangun saya bingung. Ingin ke kebun memetik sayuran, ternyata semuanya sudah berbeda.”
Wijan tertawa.
“Sekarang rumah Bapak di sini, bukan di kampung yang ada kebun sayurnya.”
Bejo mengerutkan keningnya.
“Mana bisa begitu, Nak. Saya harus merawat peninggalan simbok. Kalau saya keenakan di sini, simbok pasti akan kecewa, menganggap saya anak yang tidak berbakti. Saya tidak mau,” kata Bejo yang terkadang ber ‘saya’, terkadang ber ‘aku’ kalau bicara dengan Wijan.
Wijan tertawa.
“Bapak jangan khawatir. Kalau nanti ingatan Bapak sudah kembali, Bapak boleh merawat kebun simbok lagi.”
Bejo tampak mengangguk.
“Bapak sudah mandi?”
“Saya selalu mandi begitu bangun pagi.”
“Baiklah. Setelah sarapan, kita pergi. Tapi menunggu sopir yang dikirimkan pak Rangga datang ya.”
“Apa? Sopir? Maksudnya apa harus menunggu sopir? Apakah Nak Wijan menyewa angkutan umum?”
“Tidak Pak, kita nanti naik mobilnya bapak saya.”
Bejo mengerutkan keningnya.
“Kasihan benar, pak Raharjo. Orangnya berada entah di mana, tapi barang-barangnya kita pakai semua. Termasuk baju ini.”
Wijan tertawa.
“Itu tidak masalah, bapak saya suka bersahabat dengan orang baik, dan pak Bejo adalah orang baik itu. Sekarang ayo kita sarapan saja. Begitu sopirnya datang, saya akan mengantarkan Bapak ke tukang cukur, langsung ke rumah sakit.”
Bejo mengelus rambutnya.
“Jangan membuat hutangku semakin banyak.”
“Tenang saja Pak, di sini semuanya murah. Hutang Bapak tidak akan banyak.”
Bejo meneguk minumannya dengan nikmat.
“Bik, tolong siapkan baju untuk pak Bejo, dia harus berganti baju untuk saya ajak keluar setelah sarapan,” katanya kepada bibik.
Bibik mengangguk. Dengan bersemangat dia pergi ke kamar pak Raharjo, dan menyiapkan baju untuk Bejo. Agak merasa aneh juga si bibik, meminjamkan baju kepada yang punya. Gimana sih? Pikir bibik sambil menepuk jidatnya.
Wijan dan Bejo menikmati makan pagi yang disiapkan bibik. Bejo juga tidak tampak canggung ketika makan dengan sendok dan garpu.
Wijan yakin, masalah ingatan itu akan membuat semuanya menjadi terang, karena kebiasaan di rumah itu, Bejo seperti sudah mengenalnya dengan baik.
“Bagaimana kalau saya memakai baju dan celana yang saya pakai ini saja? Ini sudah sangat bagus.”
“Tidak bisa Pak, ini pakaian rumahan, dan sudah Bapak pakai sejak semalam. Ketika keluar, Bapak harus berganti baju dengan yang lebik baik.”
“Orang kaya terlalu banyak aturan,” omel Bejo sambil melanjutkan makannya.
Tak lama setelah makan, sopir yang dikirimkan pak Rangga telah datang. Ia harus memanasi mobil Raharjo yang dikeluarkan dari garasi, karena lama tidak dipakai. Itu bukan mobil yang dipakai Raharjo sebelumnya, karena mobilnya sudah rusak berat. Ia mengambil salah satu mobil yang ada, yang biasanya dipakai Hasti. Tapi ia harus mencuci dan membersihkannya terlebih dulu.
“Ketika mereka mau berangkat, bibik mendekati Wijan dan berbisik pelan.
“Mas, kamar bapak sebelumnya akan saya bersihkan, kalau perlu mas Wijan memanggil tukang untuk mengecat kembali, dan merubah tatanan kamarnya. Bibik sendiri merasa jijik melihat kamar itu. Berbau mesum.”
“Baiklah Bik, sebaiknya begitu. Sekarang saya mau pergi dulu. Bibik boleh belanja untuk makan siang nanti. Bapak harus terbiasa dengan suasana rumah ini dan kesehariannya, barangkali bisa membantu mengingatkan kembali masa lalunya.”
“Baik, Mas.”
Tapi kemudian bibik berpikir, kalau kamar Raharjo dirubah, barangkali Bejo tidak akan mengenali kamarnya yang dulu.
Jadi bibik hanya membersikannya dengan sangat bersih, membuang seprei yang masih terpasang, menggantinya dengan yang baru, mengepel lantainya berkali-kali, mengelap semuanya sampai berkilat-kilat.
“Kalau masuk ke ruangan ini, pak Bejo pasti segera mengingat bahwa ini adalah kamarnya. Semuanya diganti, tapi tatanan tidak berubah.”
*

Hari itu sepulang sekolah, Nilam sedang menunggu angkutan umum yang akan membawanya pulang ke rumah ibu angkatnya.
Ia pulang agak pagi karena gurunya rapat atau entah ada keperluan apa.
Angkutan yang ditunggunya belum lewat, tapi tiba-tiba ia melihat sebuah mobil melaju, dan berhenti di sebuah pom bensin yang berada tak jauh di tempatnya berdiri.
Nilam terkejut karena mengenali mobil itu.
“Itu kan mobil mbak Hasti,” pekiknya tertahan.
Nilam ketakutan. Bayangan bahwa Hasti akan menyeretnya pulang kembali terlintas di benaknya. Serta merta Nilam berlari menjauhi tempat itu, menyelinap diantara toko-toko, berbelok ke jalan kecil di dekatnya.
Tapi Wijan melihat gerakan aneh seorang gadis yang membuatnya curiga. Ia merasa mengenal gadis itu. Ia segera turun dan bergegas menuju ke arah dimana gadis itu semula berdiri.
*
Besok lagi ya. — bersambung —
by Tien Kumalasari