BUNGA UNTUK IBUKU 40
(Tien Kumalasari)
Nilam menatap wajah ‘ayahnya’ dengan mulut manyun. Bejo membalas tatapan itu dengan tersenyum tipis. Sungguh Bejo merasa heran, mulut yang mengerucut bak pantat ayam itu seperti sangat dikenalnya.
Tatapan manja dan menggemaskan, seperti tak asing baginya. Karenanya Bejo menatapnya dengan sedikit gemas. Ingin ia menjewer kupingnya karena sikap itu seperti menunjukkan bahwa gadis kitu bawel, ngeyel dan rewel.
Bejo memegangi keningnya yang berdenyut. Ia heran, setiap kali ia mengingat sesuatu, maka kepalanya terasa pusing.
“Ayo kita berangkat,” kata Nilam yang tak canggung menggandeng tangan Bejo.
Bejo pun menurut.
“Ibu nggak ikut?”
“Kamu saja, biar ibu pesankan taksi, supaya langsung mengantarkan kamu sampai ke tujuan. Mana alamat persisnya? Atau, kamu pesan sendiri saja, ibu nggak bisa nulis alamatnya, takut keliru,” kata Suri sambil mengulurkan ponselnya.
Nilam menerima ponsel itu, sambil mempersilakan Bejo duduk kembali.
“Bapak duduk dulu ya, biar Nilam memesan taksi.”
Bejo kembali duduk. Entah mengapa dia tak banyak membantah pada perkataan Nilam, kecuali satu, mengajaknya kembali ke rumah sakit. Ia sungguh ketakutan akan biaya pengobatannya.
Nilam sudah selesai memesan taksi. Ditatapnya ‘sang ayah’ yang seperti orang linglung, lalu rasa iba itu kembali merayapi hatinya.
“Sungguh kasihan bapak, mengapa menjadi seperti ini,” kata batinnya sedih, sambil terus menatapnya.
“Nilam, itu taksinya sudah datang,” kata Suri ketika melihat taksi berhenti di depan warung. Suri juga bersiap membuka warungnya hari itu, karenanya dia tak ingin ikut. Lagipula itu masalah keluarga mereka.
“Tunggu, pak Bejo dari kemarin tidak menggunakan alas kaki,” kata Suri yang kemudian masuk ke dalam rumah, lalu kembali dengan membawakan sandal kulit miliknya, yang memang agak kebesaran, sehingga tidak pernah dipakai.
“Pakailah Pak,” katanya sambil meletakkan sandal itu di dekat kaki Bejo.
“Orang kampung biasa kemana-mana tanpa alas kaki.”
“Tapi ini bukan di kampung, ayo pakailah,” kata Nilam sambil memegang kaki ‘ayahnya’ lalu memaksa memakaikannya.
“Agak kekecilan, tapi tidak apa-apa.”
Nilam kembali menggandeng tangan ayahnya, lalu mengajaknya masuk ke dalam taksi. Tapi ketika Nilam mau masuk, Suri mendekatinya.
“Nilam, apakah setelah bertemu keluargamu, kamu akan meninggalkan ibu?”
Nilam baru merasa, bahwa ibunya ternyata memikirkan perpisahan dengan dirinya. Ia merangkul Suri dan berbisik lembut.
“Nilam akan tetap menjadi anak ibu.”
Suri melepaskan pelukan itu, dan tersenyum senang.
“Ibu tak akan kehilangan aku,” lanjut Nilam sambil masuk ke dalam taksi. Sebelum menutup pintunya, ia melihat Suri menghapus air matanya. Nilam mengacungkan jempolnya, lalu menutupkan pintunya.
Suri menghela napas lega. Janji bahwa Nilam tak akan meninggalkannya, membuatnya sangat bahagia. Hal paling menyedihkan ialah ketika ia nanti merasa sendirian.
Pagi-pagi sekali Wijan telah bangun, walaupun semalaman ia hampir tak mampu memejamkan mata. Kegelisahan tentang ayahnya membuatnya tak bersemangat.
Ia duduk sendirian di ruang tengah, meneguk coklat susu yang dihidangkan bibik, lalu matanya menatap ke sudut ruangan, dimana dia meletakkan sepatu ayahnya yang telah genap sepasang.
Apa yang terpikir oleh sang ayah ketika melihat sepasang sepatu itu? Lalu Wijan mengambil sepatu itu, lalu diletakkan dipangkuannya.
“Mas Wijan, sarapan dulu, bibik sudah masak pagi-pagi sekali. Takutnya mas Wijan akan pergi sebelum sarapan,” kata bibik yang merasa batinnya teriris juga melihat Wijan memangku sepasang sepatu ayahnya.
“Iya Bik. Apa pak Supri sudah bangun?”
“Sudah, malah dia sudah sarapan di dapur.”
“Baiklah.”
Wijan meletakkan kembali sepatu itu di tempatnya semula, lalu beranjak ke ruang makan. Sepiring besar nasi goreng sudah terhidang di atas meja, dengan telur ceplok kesukaannya.
Bibik mengambilkan piring, dan menyendokkan nasi ke piring majikan muda kesayangannya.
“Terima kasih, Bik.”
“Makan yang banyak Mas,” kata bibik sambil beranjak ke depan, karena ia mendengar suara mobil memasuki halaman.
“Pasti pak Rangga. Ajak sekalian makan, Bik,” perintah Wijan ketika bibik berlalu.
Bibik berdiri di teras, menunggu siapa yang datang. Tapi kemudian jeritnya terdengar memekakkan telinga.
“Mbak Nilaaaam!!”
Wijan meletakkan sendok berisi nasi yang nyaris masuk ke mulutnya. Apakah aku bermimpi? Pikirnya.
Wijan beranjak dari kursi dan bergegas ke depan. Ia hampir melonjak kegirangan melihat Nilam, bahkan dia tidak sendiri.
“Bapaaaak? Nilam?” Wijan merangkul keduanya dalam satu pelukan. Mereka bertangisan, kecuali Bejo yang kemudian melepaskan pelukan itu perlahan.
Ada rasa kesal ketika anak muda ganteng itu selalu menyebutnya bapak. Tapi tidak, bukan hanya dia, bahkan Nilam juga selalu memanggilnya bapak.
“Dimana kalian bertemu?”
“Ceritanya panjang, biarkan aku masuk. Bibik, aku kangen sama bibik,” kata Nilam yang kemudian merangkul bibik.
“MBak Nilam, akhirnya pulang ke rumah ini,” kata bibik menahan tangis.
“Ayo, masuklah,” Wijan menarik tangan ‘ayahnya’ yang agak ogah-ogahan menuruti kemauannya.
“Ayo Bapak, ini rumah Bapak,” kata Nilam yang menarik tangan satunya.
“Aku sudah bilang_” kata Bejo yang kemudian dipotong oleh Nilam.
“Bapak masuk dulu, dengarkan Nilam bercerita,” kata Nilam yang selalu berhasil membujuk Bejo.
Bejo menurut, bahkan ketika Nilam mengajaknya duduk.
“Ya Allah, terima kasih,” bisik Wijan berkali-kali.
“Aku kangen sama Mas Wijan. Aku kabur dari rumah untuk mencari mas Wijan, tapi tidak ketemu.”
“Mbak Nilam, bagaimana kalau ceritanya di ruang makan saja. Tadi mas Wijan baru mau sarapan, lalu mendengar mbak Nilam datang, belum jadi, deh.”
“Benarkah? Tadi aku sudah sarapan, tapi aku kangen masakan Bibik. Ayo, kita makan lagi, Bapak.”
“Aku sudah kenyang.”
“Sedikit tidak apa-apa, biar bibik seneng, ya kan Bik?”
“Benar, Bapak harus ngicipin masakan bibik.”
Lagi-lagi Nilam menarik tangan ‘ayahnya’, dan ‘sang ayah’ juga tak sanggup menolaknya.
Wijan tersenyum melihat ‘ayahnya’ akhirnya berdiri dan mengikuti Nilam ke ruang makan.
“Bagaimana kamu bisa membujuk bapak?” tanya Wijan.
“Bapak kan sayang sama Nilam. Ya kan Pak?”
Bejo hanya tersenyum tipis. Bagaimana gadis manja ini bisa menguasai hatinya?
“Bibik masak apa? Hm … mencium baunya, sepertinya nasi goreng nih.”
“Iya Mbak, hanya nasi goreng sama telur ceplok, bibik belum sempat belanja.”
“Enak nih, ayo Pak, Nilam ambilkan ya?”
Bejo cemberut karena dia merasa sudah sarapan, tapi Nilam memaksa mengambilkan nasi goreng di piringnya.
“Sedikit saja, nanti perutku bisa meledak,” kata Bejo.
Dan Nilam tertawa terbahak-bahak.
“Bapak bisa lucu juga ya. Ya sudah, makan saja, nanti kalau tidak habis, biar nasinya Nilam habiskan,” kata Nilam yang sangat bersemangat menyendok nasi gorengnya.
“Masih seperti dulu masakan bibik,” kata Nilam.
“Ceritakan semuanya, bagaimana kamu pergi dari rumah, lalu tinggal di mana, dan apakah benar kemarin kamu berdiri di dekat pom bensin Tipes, memakai seragam sekolah SMA?”
“Oh, bagaimana Mas bisa tahu? Nilam baru dari rumah teman untuk meminjam buku.”
“Sekolah kamu bukan di sekitar daerah itu?”
“Bukan. Itu dekat rumah teman. Kok Mas tahu sih.”
“Aku turun dari mobil karena melihat kamu, tapi kamu tiba-tiba lenyap.”
“Aku melihat mobil mbak Hasti, lalu ketakutan, dan aku sembunyi,” katanya enteng.
“Astaga. Yang memakai mobil mbak Hasti itu aku,” kata Wijan sambil memelototi adiknya. Kesal karena mencari tidak ketemu.
“Oh, ya ampuun. Itu mas Wijan? Tahu begitu aku tidak sembunyi.”
“Dasar anak nakal. Sekarang cerita dari awal, tidak apa-apa cerita sambil makan, asalkan makanan kamu tidak menyembur keluar,” ledek Wijan.
Nilampun bercerita, yang terkadang disertai tangis ketika cerita itu sampai ke bagian yang memilukan, membuat yang mendengar ikut trenyuh.
Bejo yang mendengarkan juga terbawa oleh suasana. Tak terasa, nasi goreng yang katanya kebanyakan itu sudah habis disantapnya.
Selalu timbul rasa yang aneh setiap kali melihat Nilam menitikkan air mata. Ia terus mendengarkan semua cerita dengan seksama.
“Banyak yang terjadi setelah bapak pergi,” kata Wijan yang masih terbawa sedih.
Lalu keduanya menatap Bejo yang tampak sangat memperhatikan cerita Nilam.
“Sekarang bapak sudah kembali, hanya saja bapak sakit,”
Kata Nilam sambil menatap ‘ayahnya’.
“Maksudnya aku?” tanya Bejo sambil menunjuk ke arah dadanya.
“Iya, siapa lagi kalau bukan Bapak,” seru Nilam.
“Mengapa Bapak kemarin lari dari rumah sakit?”
“Kalian tidak pernah mengerti, bagaimana rasanya menjadi orang miskin seperti aku,” katanya sambil beranjak berdiri.
Wijan mengikutinya, demikian juga Nilam. Mereka takut Bejo kembali kabur.
“Duduk di sini dulu Pak,” kata Wijan.
“Mengapa Bapak mengira bahwa bapak orang miskin? Dulu Bapak pernah bilang, bahwa miskin harta itu lebih mulia daripada miskin jiwanya. Apa Bapak mengingatnya?” lanjut Wijan.
“Aku mau pulang saja, simbok menitipkan sesuatu pada saya. Kebun sayurnya,” katanya lirih.
“Baiklah, Bapak boleh pulang, tapi harus berobat dulu.”
“Kalian masih menganggap aku ini ayah kalian?” kata Bejo kesal.
Wijan tiba-tiba berdiri, lalu mengambil sepasang sepatu yang tadi diletakkannya.
“Pak, lihatlah. Ini sepatu Bapak. Yang satu dipakai Bapak ketika ditemukan simbok, yang satu ini Wijan temukan ketika Wijan mencari Bapak dan tidak ketemu. Sama kan?”
“Aku tidak merasa memakai sepatu itu.” Bejo bersikeras tidak merasa memiliki sepatu itu, karena simbok mengatakan bahwa dia menemukan sepatu sebelah, lalu dikenakannya.
“Aku juga menemukan sepatu itu, mana mungkin aku punya sepatu sebagus itu?”
“Ya mungkin lah Pak, karena Bapak itu adalah pengusaha kaya,” kata Nilam yang merasa kesal karena kekerasan hati ‘ayahnya’.
“Aduh ….” Bejo memegangi kepalanya, kemudian berdiri tiba-tiba.
“Biarkan aku pergi.”
“Jangan Pak, dengar, dari kemarin Bapak belum berganti pakaian. Sebaiknya Bapak ganti baju dulu kalau mau pergi.”
“Ganti baju yang dari kampungku itu kan? Baiklah, mana baju itu, sehingga aku tidak usah meminjam baju orang lain.”
“Baju Bapak yang dari kampung itu sudah dibuang sama bibik,” kata Wijan.
“Apa? Lancang sekali kalian. Itu kan bajuku? Bagaimana dia berani membuangnya? Dibuang di mana? Coba ambil lagi, aku akan memakainya lagi.”
“Sudah dibuang oleh tukang sampah Pak, kan sudah kemarin?”
“Tidak mau, aku mau bajuku sendiri. Tolong cari, biar jelek, itu baju pemberian simbok yang aku sayangi. Aku tidak mau baju itu dibuang.”
Wijan dan Nilam, apalagi bibik, merasa sedih melihat Bejo marah-marah gara-gara baju itu sudah dibuangnya.
“Bapak … kalau Bapak mau baju ganti, di sini ada kok, biar bibik ambilkan,” kata Nilam, dan tanpa disuruh bibik sudah beranjak ke kamar untuk mengambil baju.
“Tidak mau. Yang kalian berikan itu baju orang lain bukan? Aku tidak mau.”
“Itu baju Bapak. Bapak hanya lupa. Itu bukan baju orang lain.”
“Omong kosong apa itu? Kalian itu kehilangan orang tua, dan dengan ngawur kalian menganggap orang yang wajahnya mirip untuk kalian jadikan penggantinya.”
Bejo masih tetap berdiri, tampaknya menunggu baju bututnya dikembalikan. Matanya menatap tajam kepada semua orang.
Wijan dan Nilam tahu, itu wajah ayahnya saat sedang marah, tapi si empunya wajah sendiri tidak mau mengakuinya. Sedangkan karena baju saja Bejo tidak mau mengalah, bagaimana mereka akan memaksanya pergi ke rumah sakit? Wijan masuk ke dalam kamarnya, menelpon pak Rangga.
Pak Rangga yang waktu itu akan menelpon polisi, terkejut ketika Wijan mengatakan Raharjo sudah diketemukan.
“Baiklah Wijan, aku akan segera ke sana.”
“Tapi saat ini bapak sedang marah-marah, gara-gara baju bututnya sudah dibuang bibik.”
“Bukankah sudah digantikan dengan baju pak Raharjo?”
“Dia tidak mau, pokoknya dia merasa bahwa baju itu pemberian simbok dan harus dikembalikan. Kami malah dibilang lancang oleh bapak.”
“Waduh, bagaimana ya. Ya sudah, aku ke rumah kamu dulu saja, kita akan sama-sama membujuknya. Barangkali kalau diajak ke kantor, lalu ketemu sama karyawan-nya, dan melihat-lihat kantornya, beliau akan ingat.”
“Ya Pak, segala cara harus kita lakukan, terutama membujuk bapak supaya mau berobat.”
“Aku ke sana sekarang,” kata pak Rangga menutup pembicaraan itu.
Ketika Wijan keluar dari kamar, dilihatnya Bejo masih marah-marah, terutama mengomeli bibik.
“Di mana kamu membuang bajuku? Di mana?”
“Ya di tempat sampah pak. Di sana, sudah dibuang oleh tukang angkut sampah, kan sudah kemarin,” jawab bibik takut-takut.
Tapi kemudian Bejo membalikkan tubuhnya, menuju ke tempat sampah yang ditunjukkan bibik. Letaknya di luar gerbang.
Wijan berlari mengejarnya. Tapi tiba-tiba ketika Bejo sampai di pintu gerbang, sebuah mobil masuk. Itu mobil pak Rangga, yang terlambat mengeremnya.
Bejo terkapar di tanah.
Besok lagi ya, –bersambung–
by Tien Kumalasari