Bunga untuk Ibuku | 42, Cerbung Tien Kumalasari

BUNGA UNTUK IBUKU 42
(Tien Kumalasari)

Hasti duduk di sebuah bangku di warung itu, lalu memesan nasi ayam panggang dan segelas teh hangat. Ada dua orang lain yang sedang makan, tapi ia tak begitu memperhatikannya. Ia merasa sangat letih, dan juga lapar.

Keringat membasah di dahinya, dan lehernya. Ia menyapunya dengan tissue yang tersedia di meja di depannya.

“Silakan Nak,” Suri menyajikan pesanan Hasti. Suri merasa iba karena wanita di depannya tampak sangat letih.

“Kelihatannya sangat lelah Nak,” sapanya ramah.

“Iya Bu,” jawab Hasti sambil meraih gelas, meneguknya beberapa teguk, lalu meraih piring makanannya, dan menyantapnya dengan lahap.

“Enak sekali ayam bakarnya,” katanya pelan.

“Iya Nak, di sini juga menerima pesanan lho, barangkali ada acara arisan, atau apa, bisa pesan di sini.”

Arisan? Ia bahkan tak punya teman untuk berkumpul. Hari-harinya adalah hari yang sepi, tanpa ada siapapun di sampingnya.

Ia tak pernah pergi ke mana-mana, kecuali keluar sebentar untuk membeli makanan. Itupun kalau ia merasa lapar. Kalau masih bisa ditahannya, lebih baik ia tak usah membeli apapun. Ia harus berhemat karena ketika melahirkan nanti ia pasti membutuhkan banyak biaya.

Siapa yang akan memberinya uang? Ia bukan wanita yang suka bekerja karena pada awalnya ia hidup dengan kekayaan ayah tirinya, yang memanjakannya dengan kesenangan dan kemewahan. Apa yang harus dia kerjakan?

Bersih-bersih rumah, memasak, belanja, ada pembantu yang melakukannya. Itu sebabnya ketika ia sedang menjalani hidup kekurangan, ia tak tahu harus melakukan apa, sementara mencari pekerjaan tidak berhasil karena tak ada yang mau menerima karyawan hamil. Lalu apa?

“Nak, makan kok sambil melamun?” sapa Suri yang melihatnya dari kejauhan.

Hasti terkejut. Tak sadar kalau lamunannya membuat tangannya berhenti menyendokkan makanan.

“Iya Bu,” katanya sambil menyendok kembali makanannya.

“Rumahnya di mana? Jauh ya, saya kok belum pernah melihat Nak ini.”

“Jalan Nangka Bu.”

“Lhoh, itu kan jauh. Dari mengunjungi saudara di sini?”

“Bukan Bu, sesungguhnya saya tadi salah jalan.”

“Salah jalan bagaimana Nak?”

“Saya menumpang angkutan yang salah.”

“Owalah….”

“Jadi saya nanti harus mencegat angkutan lagi.”

“Halte bis nya dekat dari sini. Tapi hati-hati, Nak kan sedang hamil.”

“Iya Bu, terima kasih. Saya juga sudah tahu haltenya, hanya di depan gang itu, kan?”

Hasti menatap sang pemilik warung yang sibuk melayani pembeli yang lain. Ada yang pesan ayam utuh untuk diambil besok pagi, jumlahnya tiga ekor.

Suri menerimanya dengan senang.

Tiba-tiba terpikirkan oleh Hasti, seandainya dia bisa membantu-bantu di warung itu, setidaknya dia tak perlu memikirkan makan. Masa iya si tukang warung tidak mau memberikan sepiring makan saja kepada orang yang membantunya.

“Apakah Ibu sendirian saja? Tak ada pembantu?”

“Iya Nak, sendirian. Yang membantu adalah anak saya, sepulang dari sekolah.”

“Bagaimana kalau … “ Hasti ragu-ragu mengatakannya.

“Kenapa Nak?”

“Ibu membutuhkan pembantu, tidak?”

“Pembantu?”

“Barangkali … kalau Ibu membutuhkan, saya bisa kok.”

“Benarkah? Tidak keberatan, sementara Nak … eh siapa sih nama Nak ini? Nggak enak bicara nggak tahu namanya.”

“Saya Hasti Bu.”

“Nak Hasti, apa tidak keberatan, sementara nak Hasti sedang mengandung?”

“Anak saya tidak terlalu rewel sejak awal kehamilan. Saya pikir saya bisa mencoba mengajaknya bekerja.”

“Maaf, suami Nak Hasti … mmm … “ Suri agak sungkan melanjutkannya.

“Suami saya … pergi sama perempuan lain,” jawab Hasti sekenanya.

“Ya ampun, itu sama dengan suami ibu ini. Laki-laki memang begitu, kalau melihat ada yang lebih baik, lalu dengan gampang berpaling. Ah, sudahlah, saya tak mau membicarakannya. Kalau ingat, luka hati akan kembali terasa sakit.”

“Iya Bu.”

“Nak Hasti serius, ingin bekerja?”

“Kalau boleh. Saya hanya ingin bisa makan saja. Kasihan anak saya kalau saya kelaparan.”

Suri merasa iba mendengar penuturan Hasti.

“Baiklah Nak, Nak Hasti boleh membantu di sini. Tapi gajinya tidak besar, ini kan warung kecil.”

“Tidak apa-apa Bu, asalkan bisa makan, cukup bagi saya.”

“Kapan Nak Hasti akan mulai? Kalau mau tidur di sini juga boleh, nanti bisa sekamar dengan anak saya.”

“Saya akan pulang dulu. Mengambil baju ganti dan lain-lain,” jawab Hasti dengan mata berbinar. Ia merasa akan bisa menjalani hidupnya dengan lebih baik. Paling tidak, ia bisa makan sehari tiga kali. Bukan demi dirinya, tapi demi anak yang dikandungnya.

“Iya Nak, mau mulai kapan, terserah Nak Hasti.”

Hasti mengangguk dengan tersenyum senang.

Setelah makan, Hasti merasa ingin buang air kecil. Ia berdiri dan minta ijin pemilik warung untuk pergi ke kamar mandi.

“Bu, bolehkah saya numpang ke kamar kecil?”

“Boleh dong Nak, silakan, mari saya antarkan,” kata Suri ramah, lalu mengajaknya ke ruang belakang, kemudian ditinggalkannya karena ia melihat ada pembeli.

Hasti sudah selesai dari kamar mandi, hendak kembali ke arah warung yang ada di depan.

Di ruang tengah, Hasti melihat sebuah foto berbingkai. Terbelalak dia menatapnya. Itu kan foto Nilam? Lalu ia baru ingat, nama warungnya adalah Nilamsari. Itu kan nama adiknya?

Hasti berhenti dengan kaki gemetar. Mengapa Nilam ada di sini? Nilam yang tadi dilihatnya ada di rumah sakit, tapi ia memilih melarikan diri karena tak ingin bertemu?

Tiba-tiba Suri masuk, barangkali khawatir pelanggannya kenapa-kenapa, karena ke kamar kecilnya kok lama sekali. Ia heran ketika melihat Hasti mengamati foto Nilam berlama-lama.

“Itu anak saya, Nilam. Cantik kan?” kata Suri dengan bangga.

Hasti menoleh, tak ingin pemilik warung mengetahui hubungannya dengan Nilam.

“Ini, putri ibu?”

“Iya, namanya Nilamsari. Nak Hasti kan tahu, nama warung ibu, Nilamsari? Itu saya ambil dari nama anak saya ini,” kata Suri dengan riang.

Hasti mengangguk dengan perasaan yang tak bisa dibayangkan. Sedih, malu, atau entahlah. Sebaiknya dia segera pergi.

Ia tak tahu apa yang dilakukan Nilam di rumah sakit, dan dia tak ingin menanyakannya. Yang dia inginkan adalah segera pergi, sebelum gadis itu pulang. Ia juga mengurungkan niatnya untuk bekerja di warung itu. Apa boleh buat. Tapi ia tak mengatakan apapun.

“Berapa semuanya Bu?” tanyanya sambil membuka dompetnya.

“Dengan minumnya, hanya dua puluh lima ribu, Nak.”

Hasti segera membayarnya, lalu pergi dengan tergesa-gesa. Sungguh ia tak ingin bertemu adiknya itu. Ia malu dengan keadaannya. Tak tahu harus menjawab apa seandainya nanti Nilam bertanya. Hidupnya yang tak karuan membuatnya tak mampu bercerita kepada siapapun juga, tentang apa yang telah terjadi.

Tapi ia heran, bagaimana Nilam bisa menjadi anak si tukang warung itu? Dan tukang warung itu begitu bangga ketika menyebut namanya. Apakah dia kerabat ibunya? Tapi mengapa dia tak pernah mengenal sebelumnya? Ah, entahlah.

Hasti tak ingin memikirkannya. Angkot yang ditunggunya sudah datang, lebih baik ia segera sampai di rumah dan membaringkan tubuhnya yang lelah. Bukan hanya tubuhnya, tapi juga jiwanya.

*

Bunga Mawar Merah (Lokasi KarangRayung, Foto Iin Weanind)

Di rumah sakit, Pak Rangga sedang bercerita tentang perusahaannya, dan didengar Raharjo dengan kepala mengangguk angguk. Banyak yang bisa diterimanya, membuat pak Rangga senang.

Tapi kemudian perawat mengatakan bahwa menurut dokter, Raharjo sudah bisa dipindahkan ke ruang rawat.

Raharjo di dorong ke ruang yang semula ditinggalkannya untuk melarikan diri. Tapi ia tak merasa harus menyangkal atas ruangan itu. Ia sakit ingatan. Itu didengarnya dari dokter yang pertama kali berbicara dengannya setelah sadar. Jadi ia harus dirawat.

Setelah berada di ruangan itu, baik Wijan, Nilam maupun pak Raharjo bisa berbincang dengan lebih menyenangkan. Mereka bahagia karena Raharjo telah sadar yang sesungguhnya sadar, bahwa dia bukan Bejo, bahwa dia adalah Raharjo.

“Bapak ingat Bejo?” pertanyaan itu sepertinya pernah dilontarkan Wijan saat ayahnya masih berada di ruang UGD, dan Raharjo belum menjawabnya.

Raharjo tersenyum.

“Bejo itu kan anaknya simbok?” tiba-tiba Raharjo menjawabnya dengan mata meredup. Ada hal menyedihkan yang diingatnya. Meninggalnya simbok. Raharjo menghela napas panjang.

“Simbok sudah meninggal. Dia menyelamatkan nyawaku,” lirih Raharjo mengatakannya. Sepertinya meninggalnya simbok menyiratkan kesedihan di hati Raharjo. Bukan main senangnya pak Rangga dan Wijan, juga Nilam. Ingatan Raharjo semakin membaik, tapi tidak melupakan orang yang telah menolongnya.

“Kamu sudah menjadi perjaka tampan,” kata Raharjo yang ingin menghempaskan rasa sedihnya dengan menatap anaknya.

Wijan mencium tangan ayahnya.

“Kalau Nilam… ? sela Nilam yang iri melihat kakaknya dipuji. Mulutnya mengerucut, seperti biasa kalau dia sedang kesal. Raharjo menatap Nilam, dan wajahnya berbinar.

“Kamu gadis nakal,” Raharjo bahkan bisa menggoda.

Nilam memukul tangan ayahnya pelan. Bibirnya yang mengerucut membuat Raharjo tersenyum lebar.

“Kamu anak bapak yang paling cantik,”

Mulut yang semula seperti pantat ayam itu kemudian melebar, membentuk senyuman manis yang menawan.

“Terima kasih Pak,” katanya sambil merangkul ayahnya.

“Manja!”

Nilam menoleh dan melihat Wijan mengganggunya. Tapi Nilam tak peduli. Ia begitu bahagia menemukan kembali ayahnya.

*

Malam harinya, setelah pertemuan itu, Nilam pamit pulang, karena besok dia harus sekolah. Wijan mengantarkannya sampai ke rumah. Ia juga ingin bertemu ibu angkat Nilam yang telah merawat dan menyekolahkannya, dan pastinya juga ingin mengucapkan terima kasih. Supri mengantarkannya.

*

“Sebetulnya dia tidak punya anak seorangpun?” tanya Wijan dalam perjalanan.

“Aku belum bercerita tentang ibu angkatku itu? Pasti Mas Wijan akan terkejut kalau aku mengatakannya.

“Memangnya kenapa?”

“Dia itu, bekas istrinya si cambang yang menjijikkan itu.” Dan Wijan memang benar-benar terkejut.

“Istri pak Baskoro?”

“Hm-emh. Tapi dia sudah menggugat cerai dari suaminya itu, yang katanya ditahan polisi.”

“Aku sungguh tidak percaya. Suaminya merusak rumah tangga ayahku, istrinya menolong putri ayahku ….”

“Bekas istri,” kata Nilam yang tidak terima ibu angkatnya masih disebut istri si cambang itu.

“Ya.”

“Kasihan. Ibuku bukan hanya ingin membunuh bapak, tapi juga merusak rumah tangga orang. Padahal ibu Suri orangnya baik sekali. Banyak yang dilakukannya untuk aku. Menolongku, mengajak pulang ke rumah, merawat dan menyekolahkan aku. Itu sangat luar biasa bukan?”

“Aku harus mengucapkan terima kasih atas semua kebaikannya.”

“Ya, tentu saja.”

“Nanti kamu akan pulang ke rumah bukan?”

“Rumah mana? Kalau aku pulang, ya pulang ke rumah ibu Suri.”

“Bukan ke rumah bapak? Nanti bapak mencari kamu.”

“Aku tidak bisa meninggalkan ibu Suri yang sangat menyayangi aku. Bahkan nama warungnya menggunakan namaku lhoh. Tentang bapak, aku akan sering datang ke sana. Aku tak ingin menyakiti ibu dengan meninggalkannya. Aku sudah berjanji untuk kembali.”

Wijan mengangguk mengerti.

*

Suri sangat senang melihat Nilam pulang, yang tadinya dikhawatirkan bahwa dirinya akan kehilangan Nilam setelah dia bertemu dengan keluarganya.

Ia juga senang melihat sikap Wijan yang sangat santun dan mengucapkan terima kasih bertubi-tubi kepada dirinya yang telah melindungi dan menyayangi Nilam bagai anak yang dilahirkannya sendiri.

“Saya menyayangi Nilam, tanpa mengingat bagaimana kelakuan ibunya yang telah menghancurkan rumah tangga saya. Karena Nilam adalah gadis yang baik dan pintar, sedangkan saya seorang wanita yang tidak bisa mengandung seorang anakpun. Saya sudah ketakutan kalau nanti Nilam akan meninggalkan saya. Alangkah sepi hidup saya tanpa dia,” kata Suri sambil merengkuh Nilam ke dalam pelukannya.

“Nilam kan sudah berjanji, bahwa Nilam akan tetap menjadi anak ibu?”

“Jadi kamu rela hidup di rumah sederhana dan hanya menyewa ini, sementara kamu memiliki keluarga yang kaya raya dan memiliki segalanya?”

“Hidup ini bukan tergantung dari sederhananya hidup yang kita jalani, atau kemewahan yang mengguyur kehidupan kita, tapi tergantung pada jiwa bersih dan rasa syukur karena nikmat yang diberikan oleh Allah kepada kita. Karena ketika bersyukur, maka hidup ini akan begitu indah.”

Suri menatap Nilam tak berkedip. Bagaimana gadis kecil ini bisa mengucapkan kata-kata bijak seperti itu?

“Ibu jangan mengira saya pintar dan luar biasa. Saya hanya menirukan sebagian ungkapan yang pernah dikatakan mas Wijan. Jadi kalau ibu mau memuji, mas Wijanlah yang berhak menerimanya,” kata Nilam sambil tak pernah melepaskan pelukannya kepada ibu angkatnya.

“Kalian anak-anak yang luar biasa baiknya, dan aku bangga memiliki salah satu diantaranya, yaitu kamu, Nilam.”

“Saya juga bersyukur, Nilam ada bersama seorang wanita yang baik dan berbudi seperti ibu,” sambung Wijan.

“Tidak Nak, ibu ini sama juga dengan ibu-ibu lainnya, tak ada yang lebih. Jadi jangan berlebihan memuji ibu.”

Suri menjamu Wijan dengan ayam panggang buatannya, dan mereka makan bersama dengan perasaan bahagia.

Ketika Wijan pulang, Suri juga membawakan satu ekor ayam panggang yang ditatanya di sebuah tempat makan yang bagus.

*

Pak Raharjo diperbolehkan pulang sehari setelahnya, ketika hasil pemeriksaan kesehatannya dinyatakan baik secara menyeluruh.

Bibik sangat berbahagia melihat sang tuan majikan sudah kembali dalam keadaan sehat dan mengingat semuanya.

Ketika bibik berpamit akan pulang untuk mengambil pakaiannya, Raharjo melarangnya, dan memilih untuk memberikan sejumlah uang kepada bibik, agar membeli saja baju baru sebanyak yang diinginkannya.

Bibik sangat berterima kasih, karena dia tidak suka memakai baju bekas Rusmi yang masih tertinggal. Ia bahkan memberikan baju-baju Rusmi kepada orang-orang tak mampu dan yang membutuhkannya, atas perintah Raharjo.

Bibik sangat bersemangat melakukannya. Jangan sampai ada sesuatupun milik Rusmi dan laki-laki berjanggut itu yang tertinggal di rumah keluarga Raharjo. Menjijikkan, kata Bibik.

Di hari Minggu, Raharjo memerintahkan Wijan untuk menjemput Nilam. Ia belum ingin menemui Suri untuk berterima kasih, karena ada yang harus dilakukannya.

“Bapak mau mengajak ke mana? Jalan-jalan?” tanya Nilam riang.

“Ya, jalan-jalan.”

“Horeee, ke mana?”

“Mengunjungi seseorang yang sangat berarti bagi bapak. Tapi kita mampir dulu ke toko bunga.”

“O, Bapak sedang jatuh cinta, dan ingin memperkenalkan seseorang kepada kita untuk_”

Belum selesai Nilam berucap, Wijan membungkam mulut adiknya.

“Lancang,” desisnya di telinga sang adik.

*

Besok lagi ya. –bersambung–

by Tien Kumalasari

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.