ADA CINTA DIBALIK RASA 06
(Tien Kumalasari)
Nilam tak melihat ada orang di lobi itu, kecuali beberapa orang yang baru datang, tapi tak terlihat seperti orang yang sedang mencari sesuatu. Nilam menyimpan kantung kecil itu di dalam tasnya, kemudian masuk ke dalam mobil karena Barno sudah menunggu.
“Pulang, Mbak?”
“Tidak, kita ke apotek terdekat. Aku harus membeli obat untuk Nugi.”
“Baik.”
Barno membawa mobilnya keluar halaman rumah sakit, sementara Nilam mengeluarkan lagi kantung yang tadi ditemukannya.
“Sepertinya bukan barang berharga. Hanya gelang dari mote hitam. Tapi tampaknya ini barang berharga bagi pemiliknya,” gumam Nilam pelan.
“Mbak mengatakan apa?” tanya Barno yang mengira Nilam mengajaknya bicara.
“Ini lho Pak, saya menemukan barang ini di lobi tadi.”
“Iya, saya melihat ketika mbak Nilam mengambil sesuatu. Perhiasan?”
“Gelang mote, ukurannya kecil, masuk ke tangan saya saja tidak bisa.”
“Berarti milik anak kecil.”
“Sepertinya hanya gelang mote, hampir tidak berharga karena mote bukan barang yang mahal. Tapi ini sangat berharga bagi pemiliknya.”
“Dari mana Mbak tahu bahwa itu berharga bagi pemiliknya? Mote hitam, bukan mutiara kan?” kata Barno ketika melirik pada benda yang dipegang Nilam.
“Kalau tidak berharga, tidak mungkin dibungkus dengan kantung beludru ini. Sepertinya sesuatu yang disimpannya dengan hati-hati, berharap jangan sampai hilang. Tapi ternyata barang ini jatuh. Pemiliknya pasti kebingungan.”
“Serahkan saja pada satpam rumah sakit, barangkali ada yang mencarinya.”
Nilam mengangguk, tapi dalam hati dia ingin bertemu dengan pemilik gelang ini. Ia hampir yakin bahwa gelang ini adalah milik Anjani.
Ia masih ingat gelang serupa yang ditunjukkan Jatmiko kepadanya. Tapi bungkusnya beludru warna biru, sedangkan yang ditemukannya, beludru warna merah hati. Pasti mereka inilah sahabat masa kecil yang terpisah.
Sungguh aneh, mereka ada disuatu tempat yang sama, kota yang sama, tapi tidak saling bertemu.
Lalu Nilam menyesal ketika tidak menanyakan di mana alamat Jatmiko. Bahkan dia juga tidak bertanya tentang pekerjaannya dan di mana kantornya.
“Seandainya aku tahu di mana Jatmiko berada,” gumamnya penuh sesal. Barno tak menyahut, karena sekarang dia tahu bahwa Nilam tidak sedang mengajaknya bicara.
“Apakah gadis bernama Anjani itu sedang sakit?” gumamnya lagi.
“Itu apotek Mbak, kita ke sana?” kata Barno sambil menunjuk tulisan apotek di depannya.
“Ya, ke situ saja, barangkali obatnya ada.”
Nilam turun ketika Barno menghentikan mobilnya di depan apotek. Tapi tak lama kemudian Nilam kembali ke mobil, sementara Barno ingin memarkir mobilnya ke tempat yang lebih nyaman, bukan di depan apotek, dimana banyak mobil diparkir di sana.
“Sudah Mbak?” tanya Barno heran ketika melihat Nilam kembali masuk ke dalam mobil.
“Cari apotek lain, di situ tidak ada. Katanya memang sedang kosong pabrik.”
Mobil itu meluncur lagi, mencari apotek lain.
“Kata petugasnya tadi, barangkali ada apotek yang masih punya stoknya, jadi kita harus mencarinya.”
Barno mencari apotek yang lain, dan baru ketemu apotek yang masih punya, justru apotek kecil yang tidak begitu ramai. Nilam merasa lega.
Sambil menunggu obatnya, Nilam kembali menimang gelang mote itu.
“Anjani, bukankah ini milikmu? Di mana kamu berada?” gumamnya dalam hati.
Pertemuannya dengan Jatmiko yang mengira dirinya adalah Anjani, membuat Nilam sangat penasaran, dan ingin melihat seperti apa gadis yang bernama Anjani itu.
Tentu Jatmiko tidak begitu yakin juga, karena waktu itu mereka masih kanak-kanak, dan sekarang pastinya sudah dewasa. Tapi yang membuat Nilam heran, Jatmiko begitu yakin bahwa dirinya adalah Anjani, karena matanya sama.
Nilam menghela napas.
Nilam tak melanjutkan lamunannya, karena petugas sudah selesai menyiapkan obat yang dibelinya.
*
Anjani sangat kesal, karena Usman siang itu menjemputnya di rumah sakit, hanya untuk menemaninya makan. Ketika duduk di rumah makan itu, seperti yang sudah, Anjani tampak tak berselera. Ia memesan sup ayam dan memakannya hanya beberapa sendok. Sup yang panas itu membuatnya berkeringat.
Anjani membuka tasnya bermaksud mencari tissue. Sebenarnya ada tissue di mejanya, tapi Anjani enggan meraihnya karena tissue itu terletak di dekat Usman.
Ketika meraih tissue itu, Anjani baru sadar bahwa ada yang hilang dari sana. Kantung berisi gelangnya. Ia mencari-carinya, memilahkan isinya, tapi kantung itu tak diketemukannya. Yang ada justru kunci rumahnya, karena tersangkut pada ujung ruisleting tasnya.
Ia lupa menutupkannya, dan kemungkinannya kantung itu terjatuh ketika ia mau masuk ke dalam mobil. Mungkin juga ketika ia mau masuk, tas itu agak miring dan kantungnya jatuh. Anjani gelisah, dan Usman melihatnya.
“Kamu mencari apa? Kamu tidak akan membayar makanan ini bukan?”
“Mencari gelang.”
“Gelang kamu hilang? Ya sudah, nanti kita beli lagi setelah makan. Tapi mampir dulu ke kantor, karena ada yang lupa aku kerjakan.
“Tidak … tidak. Saya tidak mau. Itu bukan gelang sembarangan.”
“Berapapun harganya pasti aku beli. Kamu tidak percaya? Apa gelang itu penuh bertahtakan berlian? Harganya ber ratus-ratus juta? Apa yang enggak untuk kamu, Jani. Kamu tidak pernah mempercayai aku. Aku sungguh bisa membelikannya, jadi jangan risaukan gelang kamu yang hilang itu.”
Tapi Anjani tidak tertarik. Ia hanya mau gelang itu kembali. Benda itu adalah satu-satunya yang akan menjadi perantara pertemuannya dengan Jatmiko.
Apakah hilangnya gelang itu menjadi pertanda bahwa dirinya tak akan bisa bertemu Jatmiko lagi selamanya? Anjani merasa sedih. Ia ingat waktu di kamar ayahnya, Usman mengajaknya makan, dan dia takut menolak karena khawatir sang ayah akan melihat bahwa dia mau bersama Usman karena terpaksa.
Jadi ia ikut, dan meraih tasnya begitu saja, tanpa sadar tas itu belum tertutup. Ia lupa tadi mengambil apa, sehingga lupa menutupkannya. Karena itukah gelang itu terjatuh? Atau jangan-jangan jatuh di rumah dan dia tidak merasakannya?
“Anjani, sayang, kamu tidak dengar bahwa aku akan membelikanmu yang lebih bagus? Kamu boleh memilihnya, bahkan kalau perlu bukan hanya gelang, cincin? Aku sudah mempersiapkan cincin untuk pernikahan kita, tapi kalau kamu masih mau, kita akan membeli lagi yang kamu suka.”
Anjani selalu merasa mual setiap kali mendengar perkataan Usman.
“Sudahlah, jangan sedih. Ayo kita pergi, mampir ke kantor sebentar, lalu membeli gelang untukmu.”
“Hentikan. Dan jangan memaksa saya. Saya tidak ingin apapun dari Bapak. Gelang itu tak tergantikan, bahkan dengan hiasan sejuta permata sekalipun,” ucapnya tandas.
Usman terpana. Anjani bukan gadis yang gila harta seperti ibunya. Dia tidak tertarik dengan sejuta permata yang membuat semua perempuan tergila-gila. Itu membuatnya semakin menyayanginya. Dia perempuan yang tepat untuk menjadi pendampingnya. Begitu cantik, sempurna. Anjani berbeda dengan ibu tirinya yang selalu berbinar-binar setiap kali menerima uang darinya.
Usman tidak menyayanginya karena nafsu, dia sungguh jatuh hati pada Anjani. Dia gadis yang berbeda. Karena itulah dia akan bersabar sampai Anjani benar-benar suka padanya.
“Baiklah, aku tidak akan memaksa. Kamu mau pulang ke rumah, atau kembali ke rumah sakit? Tapi rumahmu sedang kosong. Ibu tirimu sedang asyik berbelanja,” kata Usman dengan senyuman merendahkan.
“Antarkan saya pulang dulu.”
Usman mengangguk, lalu meletakkan sejumlah uang di meja, kemudian mengantarkan Anjani pulang.
*
Anjani membuka pintu rumahnya, kosong, ibunya tak di rumah, seperti Usman mengatakannya. Rupanya Usman sudah tahu bahwa uang yang diberikannya tidak semuanya untuk biaya pengobatan suaminya.
Anjani tak peduli, toh ia tak bisa berbuat apa-apa untuk melarangnya.
Ia duduk di ruang tengah dan menumpahkan semua isi tasnya, tapi kantung gelang itu benar-benar tak ada di dalamnya. Ia selalu membawanya kemana-mana, dan berharap bisa bertemu Jatmiko, lalu menunjukkan gelang itu sebagai tanda bahwa mereka adalah sahabat masa kecil.
Anjani mengambil sapu. Ia menyapu seluruh rumah, siapa tahu kantung itu terjatuh saat masih di rumah. Ia juga menyapu kamarnya, dan juga memasuki kamar ibunya. Kolong-kolong .. semua kemungkinan yang bisa menyembunyikan kantung disapunya. Tapi tiba-tiba matanya terpaku pada sesuatu di atas meja rias ibunya. Sebuah kotak perhiasan. Anjani meraihnya, lalu membukanya, dan matanya terbelalak. Berbagai perhiasan menumpuk di kotak itu. Gelang, cincin leontin, anting-anting.
“Ya Allah, katanya tak lagi memiliki apapun yang bisa dijual untuk biaya pengobatan suaminya, nyatanya dia memiliki perhiasan begini banyak. Tapi tampaknya itu semua barang baru. Bukan main ibu tiriku ini. Memang sih dulu semuanya habis. Tapi mana pantas uang pemberian orang lain dibelanjakan barang-barang ini sementara suaminya terbaring sakit dan membutuhkan biaya. Oh ya, dia sudah menjual aku untuk digantikan dengan barang-barang yang disukainya, dengan alasan biaya rumah sakit.”
Anjani mengusap air matanya, dan menutup kembali kotak perhiasan itu. Tapi sebelum selesai ia menutupkannya, tiba-tiba ibunya muncul di kamarnya. Matanya melotot marah ketika melihat Anjani menjamah kotak perhiasan itu.
“Apa yang kamu lakukan?” pekiknya geram, sambil meletakkan beberapa paper bag di depan almari. Entah apa saja yang dibelinya.
“Maaf Bu, saya tadi sedang membersihkan kamar Ibu.”
“Kamu mau mencuri perhiasan itu?”
“Astaghfirullah Bu, saya tidak pernah mengambil barang yang bukan milik saya.”
“Apa yang terpikir oleh kamu setelah melihat isinya?”
“Saya … saya … tidak membukanya, hanya membersihkan mejanya,” jawab Anjani berbohong.
“Ya sudah, keluarlah. Kamar ini tidak perlu kamu bersihkan, biar aku sendiri melakukannya,” hardiknya.
Anjani meraih sapu yang tergeletak dilantai, lalu keluar dari kamar.
*
Sore hari itu Raharjo dan Wijan membezoek Nugi di rumah sakit, bersamaan dengan kembalinya Nilam setelah membeli obat. Ia menyerahkan obat itu kepada perawat, lalu menemui ayah dan kakaknya.
“Kamu dari mana?”
“Dari beli obat untuk Nugi, Pak. Susah carinya, dimana-mana kosong. Katanya memang kosong pabrik.”
“Jadi belum dapat, obatnya?”
“Akhirnya dapat, tapi setelah muter-muter. Kebetulan ada yang masih punya.”
“Alhamdulillah.”
“Nugi baik-baik saja kok, pasti segera sembuh,” kata Raharjo sambil menepuk-nepuk tangan Nugi.
“Sudah tidak panas,” kata Wijan sambil memberikan sekotak coklat kepada Nugi.
Nugi segera mendekap kotak itu.
“Eit, jangan dulu dimakan coklatnya. Harus bertanya kepada pak dokter, bolehkah makan coklat?” kata ibunya.
Nugi merengut.
“Nggak enak jadi orang sakit,” keluhnya, membuat semua orang tertawa.
“Makanya, jangan sakit,” kata Nilam.
Raharjo memerintahkan kepada Wijan agar menitipkan sejumlah uang ke pihak rumah sakit untuk biaya pengobatan Nugi. Wijan segera keluar dari ruangan untuk melaksanakan perintah ayahnya. Nilam mengikutinya.
“Mas Wijan mau ke mana?”
“Bapak minta agar semua biaya untuk pengobatan Nugi dan selama dirawat, aku yang menyelesaikannya.”
“Biar aku saja, aku kan punya uang.”
“Tidak. Ini bapak yang minta, jadi jangan menolaknya. Aku akan menitipkannya dulu, kalau ada yang kurang, biar mereka menghubungi aku.”
“Ya sudah, nanti aku mengucapkan terima kasih pada bapak.”
“Kalau Nugi masih harus ditungguin, kamu nggak usah masuk kerja dulu.”
“Nggak apa-apa, nanti aku bisa gantian sama ibu. Ibu sudah bilang begitu tadi.”
“Ya sudah kalau begitu. Lagian tampaknya Nugi juga tidak begitu rewel.”
“Dia itu hanya takut disuntik. Tapi setelah dijalani juga tidak apa-apa.”
“Anak pintar.”
“Mas, aku beri tahu ya, tadi aku menemukan gelang.”
“Gelang emas? Punya siapa?”
“Bukan gelang emas, tapi gelang seperti yang diperlihatkan Jatmiko waktu itu. Sama persis.”
“Kalau begitu, gelang itu milik Anjani dong.”
“Benar, aku juga mengira begitu.”
“Di mana kamu menemukannya?”
“Di lobi rumah sakit, tadi.”
“Berarti Anjani sakit?”
“Atau sedang mengunjungi kerabatnya, atau entahlah. Harusnya aku beri tahu hal ini pada Jatmiko.”
“Benar. Jatmiko harus tahu.”
“Sayangnya aku tidak tahu di mana Jatmiko berada.”
“Kamu nggak menanyakan di mana alamatnya?”
“Sayangnya tidak.”
“Yaaah, buntu deh. Kemana kamu harus mencari Anjani. Lagi pula untuk apa kamu mengurusinya. Tidak ada hubungannya sama kamu kan?”
“Entahlah, tapi aku ingin melihat Anjani. Semirip apa aku sama dia.”
“Nggak mirip kok. Hanya matanya bulat seperti mata kamu. Lainnya berbeda.”
“Apa dia secantik aku?”
“Iihh, siapa bilang kamu cantik?” ledek Wijan.
“Aaaaa, mas Wijan!” pekik Nilam sambil memukul lengan Wijan. Wijan hanya terkekeh, lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang administrasi.
*
Siang hari itu Nilam mengendarai sepeda motornya dari kantor ke arah rumah sakit. Ketika di perempatan jalan, lampu merah sedang menyala, jadi Nilam terpaksa berhenti.
Tiba-tiba seseorang di dalam mobil membuka jendela kaca mobilnya, dan berteriak.
“Nilam!!”
Nilam menoleh, dan melihat Jatmiko ada di dalam mobil.
Ketika lampu sudah berwarna hijau, Nilam membawa motornya ke seberang perempatan dan berhenti di tempat yang aman. Jatmiko mengikutinya, lalu memarkir mobilnya di dekat motor Nilam.
Nilam menunggu Jamiko turun, kemudian keduanya duduk di bangku taman yang ada ditepi jalan itu.
“Mau ke mana?”
Nilam tidak menjawab. Ia mengambil kantong beludru dan ditunjukkannya kepada Jatmiko. Jatmiko membuka kantung itu dan berteriak.
“Aku sudah tahu, kamu memang Anjani.”
Nilam melongo.
*
Besok lagi ya. –bersambung–
at January 27, 2024
by Tien Kumalasari
Kissparry