ADA CINTA DI BALIK RASA 27
(Tien Kumalasari)
Anjani terkejut, ketika sosok yang semula meringkuk di bawah kolong itu tiba-tiba berdiri. Tentu saja dia amat mengenalnya. Dia Estiana.
“Ibu? Apa yang ibu lakukan?”
“Anjani, tolonglah aku. Aku dicari-cari polisi, aku tidak mau masuk penjara. Biarkan aku bersembunyi di sini,” katanya menghiba, sambil matanya berlinang-linang.
Anjani tertegun.
“Kenapa ibu dicari-cari polisi? Ibu melakukan kejahatan apa lagi?”
“Gara-gara anak Usman keparat itu.”
“Ada apa dengan dia?”
“Kamu tidak merasa bahwa yang membuat kamu dijebak Erma adalah karena obat tidur yang dia berikan dalam minumanmu?”
Anjani tidak terkejut karena sudah menduganya. Jadi memang benar, Erma memang memasukkan obat tidur ke dalam minuman yang diberikan padanya, kemarin.
“Bagaimana ibu tahu?”
“Sebenarnya … sebenarnya … ibu ikut andil dalam kejahatan itu. Maafkan ibu.”
“Ibu melakukan apa?”
“Erma bertanya, apa yang bisa menaklukkan kamu supaya bisa menjadi istri ayahnya. Aku sebenarnya menolak mengatakan apapun, aku ini … bagaimanapun pernah menjadi ibumu. Dan rasa sayang itu masih ada.”
Anjani ingin mencibir ketika mendengar ucapan Estiana. Tapi budi halusnya melarang hal itu. Ia hanya mendengarkan.
“Tapi Estiana mengancam akan membunuhku kalau aku tak mau membantu.”
“Apa yang kemudian ibu katakan?”
“Aku hanya menyuruhnya menemui kamu dan merayunya, di saat kamu sedang menunggui ayahmu di rumah sakit ini ketika menjalani operasi.”
“Yang memberikan obat tidur dalam minuman?”
“Bukan aku … bukan aku … “ Estiana menggoyang-goyangkan kedua belah tangannya sebagai pertanda dia menolak anggapan Anjani.
“Jadi ….”
“Jadi itu akal-akalan Erma sendiri. Tapi kepada polisi dia memfitnah aku, katanya akulah yang mengusulkan kejahatan itu. Karenanya aku dicari-cari polisi.”
Anjani menghela napas kesal.
“Tolong lindungilah aku, biarkan aku bersembunyi di sini. Tadi aku masuk kemari karena mengaku bahwa aku adalah istri pak Marjono. Tolong aku, Anjani.”
“Tahukah ibu, bahwa melindungi sebuah kejahatan adalah sama dengan pelaku kejahatan itu sendiri?”
“Kamu cukup tidak mengatakan kepada siapapun tentang keberadaan aku, Anjani, aku tidak akan membuat kamu terlibat.”
“Lagi pula kalau ibu merasa tidak melakukan kesalahan, kenapa takut? Ibu tinggal bilang kepada polisi bahwa ibu tidak melakukan kejahatan yang mereka tuduhkan. Beres kan?”
“Tidak semudah itu Jani, Erma pintar sekali bicara. Bagaimanapun, kamu harus menolong ibu, Jani. Biarkan ibu bersembunyi di sini.”
“Maaf Bu, saya tidak bisa. Jangan melibatkan saya dalam perkara yang menyangkut kejahatan. Tetap saja saya akan terlibat, karena ibu berada di sini sedangkan sayapun ada di sini.”
“Anjani, tolong,” kali ini Estiana menangis. Anjani kebingungan. Separuh hatinya tidak sampai hati melihat orang menangis, tapi separuhnya lagi ia tak ingin melindungi. Pikirannya mulai meronce kejadian demi kejadian yang dialaminya, dan ia tak percaya bahwa Estiana tak terlibat.
Tiba-tiba seorang perawat mengetuk pintu, lalu masuk begitu saja.
“Mbak Anjani, oh … ada tamu siapa ini?”
“Saya istri pak Marjono,” sahut Estiana tanpa malu.
“Pak Marjono sudah bangun, dan ingin bicara dengan mbak Anjani.”
“Anjani, kamu pergilah, biarkan aku di kamar saja. Bebenah kamar ini,” kata Estiana yang tak ingin perawat itu mencurigainya.
Anjani segera beranjak keluar, bergegas pergi ke ruang di mana sang ayah masih dalam tahap observasi.
“Mengapa ibu tidak mau menemui suaminya?” tanya perawat dalam melangkah mengiringi Anjani.
Anjani mengangkat bahu, dan perawat itu merasa heran atas sikap Anjani. Tapi ia tak mau bertanya lebih jauh.
Anjani menemui sang ayah yang sudah tampak lebih segar.
“Bapak, apa kabar Bapak hari ini?” tanya Anjani yang langsung mencium kedua pipi sang ayah.
“Bapak bisa hidup lebih lama, ternyata,” kata Marjono lirih.
Anjani menggenggam tangan sang ayah erat-erat, sambil tersenyum.
“Tentu saja, Bapak akan lebih lama menemani Anjani. Selalulah sehat, Bapak,” kata Anjani dengan mata berkaca-kaca.
“Kata dokter, kalau sehari ini keadaan bapak stabil, besok bapak bisa pindah ke ruang rawat inap. Kamu sudah memesannya?”
Anjani mengangguk, tapi ada perasaan mengganjal. Bagaimana kalau Estiana masih ada di sana? Anjani tak ingin perasaan sang ayah terganggu oleh hal-hal yang tidak disukainya.
“Tidak usah kamar yang terlalu mewah. Yang biasa saja, kan?”
“Iya, Bapak jangan khawatir.”
“Kamu tidak pulang sejak kemarin?”
“Tidak Pak, tapi Jani tidak sendiri. Ada yang menemani.”
“Siapa?”
“Sore harinya, pak Raharjo memerlukan datang kemari bersama pak Wijan.”
“Oh ya, aku tidak bertemu beliau.”
“Bapak belum sadar waktu itu.”
“Kamu sudah mengucapkan terima kasih atas perhatiannya yang besar itu, Jani?”
“Sudah Pak, malah pak Wijan menemani Jani semalaman.”
”Semalaman?”
“Pak Wijan tidur di ruang tunggu, semantara saya ada di ruang rawat yang sudah Jani pesan untuk Bapak.”
“Kasihan sekali, mengapa tidak kamu suruh pulang saja? Mana tidur di ruang tunggu. Nggak pantas buat orang sekelas pak Wijan.”
“Anjani sudah melarangnya, dia nekat.”
“Ya sudah, kalau kamu mau pulang dulu, barangkali untuk ganti baju dan mandi.”
“Anjani sudah membawa beberapa baju ganti, dan juga sudah mandi.”
“Ya sudah. Tapi istirahatlah, jangan terlalu capek.”
“Iya. Bapak ingin apa? Nanti Jani siapkan.”
“Tidak. Bapak hanya ingin memastikan bahwa kamu baik-baik saja.”
Anjani tersenyum. Harusnya dia yang memastikan bahwa ayahnya baik-baik saja. Malah sang ayah yang mengkhawatirkan keadaannya.
“Bapak istirahat dulu, kalau membutuhkan sesuatu, Anjani ada di luar.”
“Baiklah. Tapi tunggu dulu, tolong kamu telpon pak Winadi, pemilik rumah yang rumahnya ingin bapak beli.”
“Bapak jangan memikirkan itu dulu. Tunggu sampai Bapak benar-benar sehat.”
“Bapak hanya ingin mengingatkan, bahwa bapak jadi membelinya. Kamu kan sudah mencatat nomornya? Bapak khawatir, karena waktu itu ada orang lain yang menginginkannya.”
“Baiklah. Anjani akan menelponnya. Tapi Bapak jangan memikirkan apapun. Bapak harus merasa tenang, nyaman, sehingga segera sehat.”
“Iya, bapak mengerti. Sudah, sana, segera hubungi pak Winadi.”
Anjani keluar, dan batinnya kembali merasa gelisah. Ia ingin mengambil ponsel yang tertinggal di kamar, tapi enggan melangkah ke sana. Ia tak ingin bertemu bekas ibu tirinya. Ya, bekas bukan? Soalnya sang ayah sudah menyatakan ingin menceraikannya, dan itu berarti talak bagi Estiana.
Ia duduk dengan gelisah, dan bingung apa yang harus dilakukannya. Padahal dia mendapat perintah dari ayahnya untuk segera mengabari pak Winadi tentang rumah itu.
Ketika dia sedang bimbang itu, tiba-tiba Jatmiko datang. Wajah Anjani langsung berseri. Jatmiko pasti bisa menolongnya.
“Kok sudah cantik. Sudah mandi ya?”
Anjani tersipu mendengar pujian Jatmiko. Siapa sih yang tidak senang dibilang cantik?
“Apa benar, aku cantik?”
“Kamu adalah gadis yang amat cantik. Bukan hanya wajahmu, tapi juga hatimu.”
“Pagi-pagi ngegombal.”
“Nggak apa-apa, ngegombal sama adik sendiri,” kata Jatmiko.
Senyuman manis Anjani berubah menjadi senyuman tipis, seperti sebuah senyuman terpaksa. Ada rasa kecewa ketika Jatmiko ternyata hanya menganggapnya sebagai adik sendiri. Lalu Anjani merasa kesal kepada perasaannya. Lalu dirinya menginginkan dianggap sebagai apa? Kekasih? Ya Tuhan, itu adalah mimpinya. Tapi bagaimana dengan Jatmiko?
“Hei, kenapa melongo? Ini, aku bawakan sarapan untuk kamu. Kamu pasti belum makan. Ya kan? Aku dari kantor tadi, karyawan pada kumpul-kumpul di sana, memikirkan nasib mereka kalau perusahaan ditutup. Lalu aku kepikiran kamu, yang pastinya belum makan pagi ini. Maka aku lalu beli nasi gudeg. Ayo kita makan bersama, aku juga belum sarapan.”
“Oh, iya. Kamu baik sekali Miko.”
“Tentu saja. Semalam aku memikirkan kamu. Jam berapa mas Wijan pulang?”
“Tadi pagi setelah subuh.”
“Apa? Baru pagi tadi mas Wijan pulang?”
Perawat itu bercerita pelan, tapi sambil napasnya terengah-engah. Dan ternyata Marjono mendengarnya.
“Iya. Nggak enak juga sebenarnya, tapi dia memaksa.”
Besok lagi ya
“Tampaknya dia suka sama kamu.”
“Aish, macam-macam kamu nih. Tunggu dulu sebelum membuka bungkusan makan pagi ini. Aku sedang bingung nih.”
“Ada apa?
“Di ruang yang nantinya akan dipakai untuk ruang inap bapak, ada bu Estiana di sana.”
“Apa? Estiana ibu tiri kamu?”
“Bekas ibu tiri aku.”
“Di kantor tadi sedang ribut membicarakan Erma dan Estiana. Erma sudah ditahan, dan sekarang polisi sedang mencari Estiana. Jadi dia ada di sini?”
“Dia bilang sedang dikejar-kejar polisi, dan mau bersembunyi di sini. Aku tak mau terlibat, aku bingung harus bagaimana.”
“Kenapa bingung? Aku mau menelpon polisi sekarang juga, mengatakan bahwa Estiana ada di sini. Karena dia, maka kamu hampir saja diperkosa Usman si tua bangka itu.” geram Jatmiko yang segera mengambil ponselnya.
Anjani bersyukur, ada yang menemaninya dan ada yang membukakan jalan keluar agar Estiana bisa pergi dari kamar rawat ayahnya. Kalau sampai ayahnya tahu Estiana ada di situ, entah bagaimana nanti perasaannya. Anjani tentu saja tidak ingin hal itu terjadi.
Jatmiko sudah selesai menelpon. Tidak lama lagi polisi akan datang untuk menangkapnya.
“Ayo sarapan dulu, lihat, wajahmu sudah pucat pasi.”
“Ada-ada saja. Masa wajahku pucat?” kesal Anjani.
Erma meringkuk di sebuah ruang tahanan. Ia tak mengira bisa ditangkap bersama ayahnya. Tadinya ia duduk di depan. Membiarkan ayahnya bersenang senang dengan Anjani yang dirasa sudah ‘dilumpuhkan’ sehingga ayahnya bisa berbuat sesuka hatinya.
Tapi ketika ia senyum senyum sendirian membayangkan keberhasilannya, tiba-tiba sebuah mobil polisi datang, dan ada juga mobil yang lain. Ia mengenal mobil itu, tapi Anjani tiba-tiba ketakutan.
Ia memikul sebuah dosa setelah membubuhkan obat tidur ke dalam minuman Anjani. Apakah begitu cepat polisi mengetahuinya? Dari mana mereka tahu? Erma yang ketakutan, kemudian berusaha berlari. Karena itulah polisi segera mengejar dan menangkapnya.
Ia berteriak-teriak sambil meronta-ronta.
“Mengapa aku ditangkap? Aku hanya membubuhkan obat tidur, tidak bermaksud membunuhnya. Aku ingin ayahku senang karena menyukai gadis itu. Lepaskan, aku tidak bermaksud jahat kan?”
Polisi yang semula tidak ingin menangkap Erma, jadi tahu bahwa Erma telah melakukan sebuah kesalahan. Ia mengakuinya sendiri, dan itulah sebabnya dia ikut diringkus bersama ayahnya.
Tak terima dirinya yang ditahan, Erma menyeret Estiana yang sudah mengajarinya berbuat kejahatan. Itulah sebabnya polisi juga mencari Estiana.
Kelak akan ada dua perkara kejahatan yang akan ditangani polisi, bukan hanya kejahatan Usman yang telah lama diincar yang berwajib, tapi juga kejahatan Erma yang diakuinya sendiri tanpa sengaja.
Sungguh Erma tidak tahu menahu ayahnya ditangkap karena apa. Sejauh ini dia masih menganggap bahwa ayahnya ditahan karena tuduhan perkosaan atas diri Anjani atas akal-akalan dia, dan tentu saja Estiana harus terlibat karena dia yang sebenarnya telah memberikan obat tidur itu.
Entah dari mana dia mendapatkannya, soalnya tidak mudah mendapatkan obat-obat semacam itu secara legal.
Erma terus menunggu berita tertangkapnya Estiana. Perempuan itu tidak mempunyai tempat tinggal tetap, entah di mana dia bersembunyi.
Tapi ternyata nasib-nasib para durjana sudah sampai pada sebuah titik, di mana tanaman kejahatan sudah harus diunduhnya.
Hari itu juga polisi mendatangi rumah sakit, dan dengan cepat bisa menangkap Estiana yang merasa nyaman bisa menemukan tempat yang dikiranya aman.
“Begitu ditangkap dan di seret keluar, ia bisa melihat Anjani dan Jatmiko, dan berteriak-teriak marak sambil menuding ke arah Anjani.
“Dasar anak tak tahu diri. Tega kamu mengkhianati aku! Tega kamu pada orang yang bertahun-tahun merawatmu! Perempuan jahat! Kejam! Tak punya belas kasihan! Aku benci kamu, Anjani ! Aku benci!!””
Suara teriakan yang semakin menjauh itu menarik perhatian para pengunjung rumah sakit. Tapi polisi sudah menyeretnya pergi, dan memasuki mobil tahanan yang sudah disiapkannya.
Anjani menarik napas lega, walaupun meras kesal karena dimaki-maki oleh bekas ibu tirinya.
“Biar dia merasakan akibatnya. Kamu hampir celaka karena dia.”
“Tuhan berkenan melindungi aku. Alhamdulillah,” gumam Anjani.
“Aku akan segera ke kantor polisi juga. Kejahatan atas kamu juga harus aku laporkan, supaya semuanya menjadi jelas. Dan kamu akan menjadi saksi atas kejahatan mereka.”
“Aku berharap semuanya segera terselesaikan. Aku tak ingin bapak mengetahui semuanya. Selama ini tak ada hal buruk yang aku katakan pada bapak. Aku tak ingin bapak merasa tertekan dan berakibat buruk pada penyakitnya.
Di dalam ruangan observasi, seorang perawat baru saja masuk dengan napas terengah-engah. Salah satu yang menunggu di dalam bertanya.
“Kamu kenapa?”
“Ya ampun mbak, ada perempuan bersembunyi di ruang rawat pak Marjono, yang tadinya mengaku istri pak Marjono. Tapi kemudian ditangkap polisi, lalu berteriak-teriak memaki mbak Anjani. Aduh, aku hampir ditabrak olehnya tadi, habis dia bermaksud lari dari kejaran polisi.”
at February 26, 2024
Share
by Tien Kumalasari
diunggah Indarsih Weanind
Ada Cinta Dibalik Rasa | 27, Cerbung Tien Kumalasari
tags: cerbung, cerita bersambung, Tien Kumalasari, Kumalasari, Tien, Seni Budaya, Bahasa Indonesia, kisah, cerita,