Ada Cinta Dibalik Rasa | 35, Cerbung Tien Kumalasari

ADA CINTA DI BALIK RASA 35
(Tien Kumalasari)

Sementara itu Jatmiko masih merasa gelisah, karena Anjani belum juga tampak sadar. Rupanya lukanya lebih parah dari Nilam yang sudah lebih dulu tersadar, dan sekarang sedang diperiksa oleh dokter.

Raharjo yang kemudian terbangun, membuat Nilam dan Wijan terkejut, karena tidak menyangka sang ayah ada di ruang itu sejak semalam.

“Kok tiba-tiba Bapak ada di sini?” tanya Nilam.

“Kapan Bapak datang?”

“Sudah sejak semalam. Kamu tertidur, tampak letih, lalu bapak membiarkannya.”

“Mengapa tidak membangunkan Wijan, sehingga Bapak tidak sendirian?”

“Bapak memang tidak sendirian kan? Ada kamu, ada Nilam yang belum sadar waktu itu. Bapak sempat berbincang dengan dokter dan menanyakan keadaan kamu dan Anjani. Tapi tampaknya Anjani belum sadar.”

Wijan berdiri. Ia melangkah ke arah di mana Anjani terbaring, dan Jatmiko duduk dengan gelisah di sampingnya.

“Belum sadar?” tanya Wijan.

“Belum. Dokter akan memeriksanya.”

“Semoga keadaannya baik-baik saja.”

“Nilam sudah sadar kan? Aku mendengar kalian bicara, walau sangat pelan dan Nilam kedengarannya masih lemah.”

“Benar.”

Mereka duduk di sofa, ketika dokter datang, untuk memeriksa keadaan Anjani.

“Yang aku bingung, bagaimana cara mengatakan keadaan Anjani kepada pak Marjono. Entah Daniel mengatakan apa sebagai alasan kenapa Anjani belum pulang semalam,” kata Jatmiko.

Tiba-tiba dokter yang memeriksa Anjani mengatakan bahwa Anjani baik-baik saja. Jatmiko bergegas mendekatinya.

“Lihatlah, dia sudah sadar,” kata dokter.

Jatmiko mendekat, dan menggenggam tangan Anjani sambil berlinang air mata.

“Anjani,” bisik Jatmiko dengan suara bergetar.

“Aku kenapa?”

“Kamu ada di rumah sakit. Apa yang kamu rasakan?”

“Pusing sekali, pengin muntah,” bisiknya.

Jatmiko segera minta agar perawat membantu Anjani yang tampaknya ingin muntah.

Beberapa saat kemudian, Anjani sudah tampak lebih tenang. Dokter melarang Anjani tidur beralaskan bantal.

“Bapak bagaimana?” bisik Anjani khawatir.

“Itulah, aku sedang bingung mau menjawab apa.”

Seperti mendengar ungkapan Jatmiko, tiba-tiba ponsel Anjani berdering. Lagi-lagi Jatmiko yang menerimanya. Ia mengangkat ponselnya dengan dada berdebar.

“Ya, Daniel.”

“Pak Marjono menanyakan bagaimana kabar mbak Anjani, saya harus jawab apa lagi? Beliau minta agar saya menelpon lagi.”

“Semalam kamu mengatakan apa?”

“Saya mengatakan bahwa mbak Anjani menemani temannya yang sedang sakit. Tentu terasa aneh, kenapa kalau hanya menemani orang sakit, kemudian tidak bisa berbicara sendiri di telpon. Saya bingung harus mengatakan apa.”

Jatmiko saling pandang dengan Wijan, meminta bantuan untuk menjawab.

“Tidak usah berbohong. Biar aku datang menemui pak Marjono, dan mengajaknya ke rumah sakit,” tiba-tiba kata Raharjo.

“Bapak mau ke sana? Bagaimana kalau pak Marjono terkejut, kemudian berpengaruh pada jantungnya?”

“Biar saya bicara pada bapak,” kata Anjani tiba-tiba.

“Daniel, berikan ponselmu pada Bapak, Anjani akan bicara.”

“Syukurlah,” Daniel bernapas lega.

Ia memberikan ponselnya kepada Marjono, sementara dengan singkat Jatmiko mengatakan pada Anjani tentang apa yang dikatakan Daniel semalam.

“Bapak,” kata Anjani dengan menguatkan suaranya, agar tak terdengar seperti menahan sakit.

“Kamu kenapa tidak pulang? Bapak sangat khawatir.”

“Bapak, saya masih ada di rumah sakit. Tapi tidak apa-apa, semuanya baik-baik saja.”

Tiba-tiba Raharjo meminta ponsel yang dipegang Anjani, dan berbicara dengan Marjono.

“Pak, ini saya, Raharjo.”

“Oh, pak Raharjo, saya dengar nak Nilam kecelakaan, saya ikut prihatin.”

“Sebentar lagi saya akan datang menjemput pak Marjono, lalu mengajak Bapak ke rumah sakit. Apa pak Marjono mau?”

“Oh, begitu ya, ini masih sangat pagi. Saya akan mandi dulu, apa pak Raharjo mau menunggu?”

“Tentu saja. Saya juga mau pulang dulu dan mandi.”

“Baiklah, terima kasih banyak.”

Raharjo merasa lega. Ia yakin Marjono tak akan syok melihat keadaan Anjani. Semuanya tergantung bagaimana kita mengajaknya bicara.

Wijan dan Jatmiko merasa lega, ketika dokter mengatakan bahwa Anjani dan Nilam bisa segera dibawa ke ruang inap, karena keadaannya tidak berbahaya.

“Mas, apakah ibuku diberi tahu tentang kejadian ini?” tanya Nilam.

“Tidak. Pasti bu Suri mengira kamu menginap di rumah bapak.”

“Iya, benar. Baiklah, nanti saja aku akan menelponnya. Sebaiknya kamu pulang dulu bersama bapak, dan mandi,” kata Nilam yang tersipu karena Wijan menatapnya berbeda dari tatapan biasanya.

Seperti mimpi Nilam mengingat apa yang belum lama ini dikatakan Wijan. Benarkah Wijan mencintainya? Bukankah sejak dulu Wijan selalu mengatakan itu?

Menyayangi lebih dari seorang kekasih. Apakah arti ungkapan tadi, yang membuat hatinya berbunga-bunga, adalah berbeda?

“Aku bau acem ya?” kata Wijan sambil mencium ketiaknya.

“Asem dan apak,” goda Nilam.

Wijan mendekat dengan gemas, lalu berbisik ke telinganya.

“Apa kamu ingat apa yang aku katakan tadi?”

“Mas mengatakan apa?” tanyanya pelan.

“Tentang sebuah cinta,”

“Bukankah sejak dulu Mas selalu bilang begitu?”

“Ini ungkapan yang berbeda, setelah menyadari apa yang sebenarnya aku rasakan.”

“Aku tidak mengerti,” kata Nilam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, karena merasa geli napas Wijan seperti menghembus-hembus di telinganya.

“Aku mencintaimu_”

“Lebih dari seorang kekasih,” potong Nilam mengingatkan ungkapan Wijan ketika itu.

“Aku mencintaimu seperti seorang laki-laki mencintai kekasihnya.”

Nilam tidak menjawab. Ia memejamkan matanya, menikmati suasana hatinya yang tiba-tiba terasa hangat dan begitu indah. Seperti ada banyak gemerlap bintang, dan seperti ada banyak bunga bermekaran, lalu wanginya meresapi seluruh hati dan jiwanya. Ini bukan mimpi. Ini adalah impiannya yang menjadi nyata.

Wijan menatap wajah kepucatan yang memejamkan mata itu, dan melihat senyuman di mulutnya.

Wijan terkejut ketika tiba-tiba seseorang menepuk bahunya.

“Hei, apakah kamu akan terus berbisik-bisik dan melupakan keinginan akan pulang?” goda sang ayah.

“Iya Pak, tapi Wijan menunggu Nilam dipindahkan ke ruang rawat dulu, baru Wijan akan pulang.

“Baiklah, mana kunci mobil, biar Bardi mengambil mobilmu yang tertinggal.”

Wijan mengulurkan kunci mobil.

“Di dekat taman samping Balaikota.”

Raharjo mengangguk. Dihampirinya Nilam, lalu mengelus kepalanya lembut.

“Cepat sembuh, aku akan mengabari ibumu, nanti.”

“Terima kasih, Pak.”

*

“Miko, bagaimana keadaan mbak Nilam?”

“Sama seperti kamu, dia baik-baik saja.”

“Aku mengkhawatirkan bapak.”

“Pak Raharjo akan mengajaknya kemari. Aku percaya bapak tidak akan terpukul melihat keadaanmu.”

Anjani mengangguk. Ia agak heran, Jatmiko selalu menungguinya, sedangkan Wijan tidak. Hanya sebentar tadi menghampiri, dan bicara menanyakan keadaannya, lalu sudah pergi lagi.

Ia juga melihat tatapan yang berbeda dari Wijan. Barangkali karena sangat mengkhawatirkan keadaan Nilam.

Tapi Anjani senang, tidak harus terus menerus menatap Wijan yang selalu membuatnya rikuh dan sungkan. Sebaliknya dia senang, karena Jatmiko selalu ada di sampingnya.

“Miko, apa kamu tidak capek? Pulanglah, aku tidak apa-apa.”

“Nanti kalau bapak sudah datang, dan kamu sudah dipindahkan ke ruang rawat inap, aku baru mau pulang, mandi dan ganti pakaian.”

“Kamu tidak ke kantor?”

“Bukankah ini hari Minggu?”

“Oh, iya, aku lupa.”

“Apa lagi yang kamu lupakan? Bahwa akan ada aku selalu di dekat kamu?”

Anjani menatap Jatmiko dengan heran. Ketika mata mereka bertatapan, sepercik api memancar dari pandangan itu. Lalu Anjani mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ada debar aneh ketika mereka bertatapan.

“Anjani, kenapa kamu seperti malu-malu begitu? Apa belum pernah mengenalku?” goda Jatmiko.

“Kenapa kamu menatapku begitu?”

“Bagaimana aku menatapmu sih? Kamu tahu, tatapan mata adalah ungkapan isi hati.”

“Apa itu?”

“Ketika orang sedang marah, ketika orang sedang senang hati, ketika orang sedang bersedih, maka sepasang mata akan memantulkan apa yang ada pada perasaan mereka.”

“Lalu … “

“Lalu kamu mengartikan sebagai apa, tatapan mataku ini?”

“Nggak tahu.”

“Ya ampun, punya perasaan harus peka dong.”

“Mengapa kamu tidak mengatakan saja terus terang, apa artinya?”

“Bertahun-tahun aku mengenalmu, bahkan ketika kita masih kanak-kanak, lalu kita berpisah, dan aku merindukan untuk bisa bertemu denganmu. Lalu setelah bertemu, aku merasa sangat bahagia. Aku berpikir, kita adalah sahabat yang terus akan menjadi sahabat. Tapi rasa khawatir ketika kamu mendapat kecelakaan, menyadarkan aku bahwa aku bukan hanya menganggapmu sebagai sahabat.”

“Lalu … sebagai apa? Musuh?”

“Musuh dalam selimut,” lalu Jatmiko tertawa terbahak-bahak.

“Dasar otak mesum. Kenapa juga ungkapan itu membuat kamu tertawa? Musuh dalam selimut itu ungkapan, bahwa ternyata orang yang dekat dengan kita ternyata adalah musuh kita. Membenci kita, berbuat jahat kepada kita.”

“Terlalu jauh, pakai ungkapan segala. Yang terdekat itu berbeda, aku lebih suka yang nyata.”

“Nggak mau. Pikiranmu pasti ngeres.”

Jatmiko tertawa.

“Mau dilanjutkan tidak, perkataanku tadi? Bukan yang dalam selimut, yang sebelumnya, bahwa aku bukan menganggapmu sebagai sahabat.”

“Lanjutkan saja, aku pengin tahu.”

Tapi kemudian perawat datang, dan mempersiapkan Anjani dan Nilam untuk dipindahkan ke ruang rawat.

Rupanya sebelum pulang Raharjo sudah memesankan ruang rawat untuk mereka berdua, Anjani dan Nilam.

*

Pagi itu Daniel sudah melayani Marjono mandi, dan membelikan sarapan pagi seperti yang diinginkan Marjono. Nasi soto ayam langganan Anjani di dekat alun-alun. Dengan cekatan ia melayani Marjono, serta memberikan obat yang harus diminumnya di pagi hari.

“Nak Daniel, apa tidak apa-apa, nak Daniel tidak pulang sejak kemarin?”

“Tidak apa-apa Pak, lagian saya kan hidup sendirian, tidak ada yang menunggu ketika saya pergi bekerja atau kemana pun.”

“Nak Daniel belum berkeluarga?”

Daniel tersenyum, tersipu.

“Istri saya meninggal tiga tahun yang lalu, karena penyakit lupus yang dideritanya.”

“Oh, maaf kalau membuat nak Daniel jadi sedih.”

“Tidak apa-apa, memang demikian halnya, mau bagaimana lagi.”

“Saya ikut prihatin.”

“Terima kasih Pak.”

“Tidak mengira, kita sama-sama duda. Tapi saya duda tua, sedangkan nak Daniel duda keren,” canda Marjono, membuat Daniel tertawa.

“Bapak ganti baju dulu, sebelum pak Raharjo nyamperin kemari.”

“Iya, benar. Nak Daniel makan dulu juga, kok dari tadi diam saja. Sementara saya ganti baju sebentar,” kata Marjono sambil berdiri dan beranjak ke kamar.

Daniel mengangguk. Ia senang melayani Marjono yang baik, tidak banyak rewel, dan patuh meminum obatnya.

Sebenarnya Marjono sudah bisa melakukan apapun sendiri, tapi Wijan wanti-wanti waktu itu, agar Daniel melayani segala kebutuhannya dengan baik, dan menemaninya ketika Anjani sedang bekerja.

Daniel sudah membereskan meja makan, kemudian menemani Marjono yang sedang menunggu dijemput Raharjo.

*

Wijan meninggalkan Nilam ketika sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Suri datang terburu-buru ketika Raharjo mengabarinya pagi tadi. Ia segera menuju ke ruang Nilam, merangkulnya dan menangis sejadi-jadinya.

“Ternyata kamu kecelakaan. Mengapa tidak mengabari ibu? Ibu mengira kamu menginap di rumah pak Raharjo, jadi ibu tenang-tenang saja. Bagaimana rasanya, mana yang sakit? Pusing? Ini lukanya parahkah? Mengapa dibalut seperti ini?”

Pertanyaan Suri yang bertubi-tubi membuat Nilam tak bisa langsung menjawabnya. Lagipula ia juga hampir tak bisa bernapas karena Suri memeluknya sangat erat.

“Ibu … ibu, tenanglah, Nilam tidak apa-apa. Hanya sedikit luka,” kata Nilam yang juga berlinang air mata haru, melihat begitu besar perhatian Suri kepadanya.

“Bagaimana kamu bisa kecelakaan? Kamu tidak hati-hati ya?”

“Nilam dan Anjani menyeberang jalan, tidak melihat ada mobil melaju. Lalu kami terpelanting, kemudian tidak ingat apa-apa, lalu mas Wijan dan Jatmiko membawa saya ke rumah sakit.”

“Sekarang mana nak Jatmiko, mengapa tidak perhatian melihat kekasihnya terluka?”

“Ssst, ibu. Miko bukan kekasih Nilam. Malu kalau didengar orang.”

“Bukankah nak Jatmiko suka sama kamu? Ibu bisa melihat cara dia menatap kamu kok, mata orang tua tidak bisa salah.”

“Sejak kecelakaan itu, Miko menunggui Anjani dan tidak pernah meninggalkannya.”

“Tidak memperhatikan kamu?”

“Mas Wijan yang menunggui Nilam Bu. Dengar, jangan mengharapkan Miko lagi, Nilam mencintai mas Wijan, demikian juga mas Wijan.”

“Apa?”

Pembicaraan itu berhenti, ketika Raharjo muncul, bersama Marjono, diantarken oleh Daniel.

“Itu Bapak.”

“Syukurlah, bu Suri sudah sampai kemari,” kata Raharjo.

“Begitu pak Raharjo menelpon, saya langsung kemari. Semalam saya mengira Nilam tidur di rumah Bapak, tidak tahunya malah kecelakaan.”

“Bu Suri tidak perlu khawatir, Nilam sudah ditangani. Dia akan baik-baik saja.”

“Syukurlah Pak, saya hampir pingsan ketika Bapak mengabari, tadi.”

“Saya ikut prihatin, nak Nilam,” kata Marjono.

“Terima kasih Pak.”

“Anjani mana?”

Raharjo segera menggandeng Marjono.

“Mari kita temui Anjani Pak,” katanya.

Daniel yang terus mengikuti Marjono, ikut mendekat ke arah Nilam. Tapi tiba-tiba sebuah ingatan melintas di kepalanya. Ia merasa seperti pernah melihat wajah itu.

*

Besok lagi ya.

at March 06, 2024
Share
by Tien Kumalasari

diunggah Indarsih Weanind

Ada Cinta Dibalik Rasa | 35, Cerbung Tien Kumalasari

tags: cerbung, cerita bersambung, Tien Kumalasari, Kumalasari, Tien, Seni Budaya, Bahasa Indonesia, kisah, cerita,

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.