ADA CINTA DI BALIK RASA 42
(Tien Kumalasari)
Daniel mengendarai sepeda motornya menuju pulang. Sepanjang jalan dia memarahi dirinya sendiri yang tiba-tiba punya perasaan aneh terhadap Anjani. Dia tidak menyebutnya cinta, karena belum menyadarinya. Setiap hari ketemu dan berbincang, kenapa kemudian membuatnya memiliki perasaan itu.
Ketika sampai di rumahnya, ia segera meletakkan motornya di garasi kecil di samping yang hanya berisi satu-satunya kendaraan miliknya.
Dilihatnya Baskoro sedang membersihkan halaman dari daun-daun kering yang berserakan karena angin.
Baskoro menyambutnya sambil masih memegangi sapu lidi yang dipergunakannya bersih-bersih.
“Baru pulang Nak?”
“Hari sudah sore begini, mengapa Bapak menyapu halaman?”
“Tadi sudah saya bersihkan, tiba-tiba angin bertiup kencang sekali, lalu halaman kotor lagi. Jadi saya menyapunya lagi.”
“Kenapa harus sekarang, hari mulai gelap. Nanti Bapak kecapekan.”
“Tidak, hanya menyapu, mana bisa capek?”
Keduanya masuk ke dalam rumah. Daniel membersihkan diri dan berganti pakaian rumah, lalu duduk di ruang tengah. Baskoro menunggunya, dan sudah ada dua cangkir teh hangat terhidang. Beberapa hari setelah Baskoro ada di rumahnya, selalu saja Baskoro melakukannya.
Membuatkan minuman untuknya. Rumah juga kelihatan bersih. Daniel sudah melarangnya melakukan hal itu, tapi Baskoro tetap melakukannya. Ia merasa sungkan, hanya makan dan tidur. Ia juga sedang berpikir akan mengerjakan sesuatu agar tidak menjadi beban bagi Daniel.
Satu-satunya hal yang membuatnya bersedia tinggal di rumah Daniel, adalah karena Daniel menjanjikan akan sering bertemu Nugi. Ia juga tak ingin Nugi menganggapnya sebagai peminta-minta.
“Terima kasih ya Pak, selalu menyiapkan minuman hangat saat saya mau berangkat dan pulang.”
“Hanya menyiapkan minuman. Saya ingin berbuat lebih banyak, tapi apa. Saya sedang memikirkannya.”
“Jangan dipikirkan. Bapak sudah lelah. Waktunya beristirahat.”
“Mengapa begitu? Sekarang saya sudah merasa kuat, karena nak Daniel memberi saya tempat, makan dan minum yang cukup. Berbeda ketika saya masih kelayapan dijalanan.”
“Bapak ingin melakukan apa?” tanya Daniel sambil menyeruput minumannya.
“Sedang bapak pikirkan.”
“Apa saya bilang pada bu Suri, agar_”
“Tidak, saya tak ingin mengganggunya lagi. Dosa saya sudah terlalu banyak. Saya sudah melukainya. Saya bahkan tak berani menatap mukanya.”
“Nanti akan saya carikan pekerjaan untuk Bapak.”
“Benarkah? Tapi saya bekas narapidana. Mana ada yang mau mempekerjakan saya?”
“Barangkali tidak mudah, tapi pasti bisa. Saya akan mencoba mencarikannya.”
“Terima kasih ya Nak. Oh iya, tadi ada yang mengirim makanan. Nak Daniel selalu pesan makanan setiap hari?”
“Iya Pak, soalnya saya tidak sempat memasak. Hanya kalau libur, terkadang saya suka memasak sendiri.”
“Bagaimana kalau saya yang memasak?”
“Bapak bisa memasak?”
“Saya akan mencobanya. Tadi saya melihat buku resep masakan di dapur.”
“Iya Pak, saya sering memasak sendiri dengan mencoba-coba. Bapak ingin mencobanya? Nanti kita belanja yuk, melihat apa yang ingin Bapak masak.”
“Biar saya ambil, bukunya dulu,” kata Baskoro sambil beranjak. Tiba-tiba ia punya semangat untuk bisa melakukan sesuatu. Hal yang belum pernah dilakukannya, tapi dia ingin mencobanya. Bagaimanapun ia ingin menebus kesalahan di masa lalu, dengan melakukan hal-hal baik.
“Ini nak, coba, nak Daniel ingin masak apa?” kata Baskoro sambil mengulurkan bukunya ke arah Daniel.
“Bapak saja yang milih. Yang gampang-gampang saja. Tapi besok saya masuk pagi. Tidak bisa membantu.”
“Jangan khawatir, saya akan mencobanya. Bagaimana kalau semur kentang? Kelihatannya mudah. Sayurnya hanya kentang sama wortel, tapi ada dagingnya, bagaimana? Mahal ya.”
“Tidak apa-apa, setelah maghrib kita belanja ke supermarket.”
“Waduh, kenapa ke supermarket. Pasti mahal.”
“Sesekali Pak, untuk langkah awal. Kan ini sudah malam, pasar tradisional sudah tutup.”
“Saya masih punya sedikit uang, ini pemberian dari … dari … ibunya Nugi waktu saya sakit,” kata Baskoro yang ragu menyebut nama Suri.
“Jangan Pak, saya baru gajian, itu Bapak simpan saja. Sehabis maghrib, lalu makan makanan yang sudah saya pesan, baru berangkat.”
Baskoro mengangguk. Bedug Magrib sudah bertalu, saatnya mensucikan diri, membasuh noda dan bersujud kepadaNya.
Daniel berusaha mengendapkan perasaannya terhadap Anjani. Ia sadar sesadar-sadarnya bahwa itu tidak benar. Ia harus menapak jalan lurus yang akan lebih menenangkan jiwanya.
*
Malam itu Nugi rewel, mengajak ibunya ke rumah Daniel, karena ingin bertemu pak tua. Nugi mengatakan bahwa sudah berhari-hari pak tua tidak datang ke sekolahnya.
“Nugi, kamu belum selesai mengerjakan PR kamu kan?”
“Apa setelah selesai lalu boleh menemui pak Tua? Bukankah pak Tua sekarang tinggal di rumah om Daniel?”
“Tidak boleh Nugi, ini sudah malam.”
“Kalau begitu aku mau mengajak mbak Nilam,” katanya sambil berkari ke kamar Nilam.
“Mbak Nilam,” Nugi mengetuk pintunya. Lalu langsung membukanya.
“Ada apa?”
“Mbak, antarkan aku ke rumah om Daniel dong.”
“Ngapain ke sana?”
“Mau ketemu pak Tua. Bukankah dia sekarang tinggal di sana? Sudah lama pak Tua tidak datang ke sekolah Nugi, padahal sudah Nugi sisain roti untuk pak Tua.”
“Mulai sekarang tidak usah membawakan roti untuk pak Tua.”
“Memangnya kenapa?”
“Kalau pak Tua tidak datang, kamu kecewa kan?”
“Jangan-jangan pak Tua sakit.”
“Nugi, mbak dengar kamu belum selesai mengerjakan PR, kok sudah rewel ingin ke mana-mana?”
“Nanti kalau selesai, Mbak mau kan, mengajak Nugi ke rumah pak Tua?”
“Mbak Nilam sedang banyak pekerjaan. Lihat nih, ada banyak daftar tamu undangan yang harus mbak tulis, dan ini belum selesai.”
“Tapi aku ingin ketemu pak Tua.”
“Nugiii! Selesaikan dulu PR nya, Nak,” kata ibunya dari luar.
“Tuh, dipanggil ibu. Besok saja mbak telpon om Daniel, supaya menjemput Nugi pagi-pagi, jadi Nugi bisa ketemu pak Tua.”
“Benar?”
“Benar. Sekarang juga mbak mau telpon om Daniel. Sudah, sana diselesaikan dulu PR nya.
Nugi berlari keluar. Janji bahwa pagi-pagi akan ketemu pak tua sangat membuatnya senang. Entah kenapa, Nugi merasa kangen sekali pada pak tua. Barangkali karena ada ikatan darah, lalu mengikat batin-batin mereka.
“Nih, masih belum selesai, maunya yang macam-macam, kamu tuh,” gerutu Suri.
“Bu, bolehkah pak Tua tinggal di sini?”
“Apa?” Suri terlonjak kaget. Ia sama sekali tak ingin bertemu Baskoro lagi, kenapa tiba-tiba Nugi menginginkan hal itu?”
“Di rumah om Daniel sepi, kalau om Daniel bekerja, pak Tua tidak ada temannya.”
“Dari mana kamu tahu?”
“Waktu sepulang sekolah dijemput om Daniel, di rumah… pak Tua sendirian, karena om Daniel sudah mau berangkat bekerja.”
“Tidak apa-apa sendirian. Memangnya anak kecil, takut sendirian? Sudah, kerjakan, lalu makan, terus tidur.”
“Bu ….”
“Cepat Nugi, ibu siapkan makan malamnya dulu,” kata Suri sambil bangkit meninggalkan Nugi. Ia tak mau Nugi melanjutkan pembicaraan tentang pak tua.
*
Daniel datang menjemput Nugi, pagi-pagi sekali, karena dia juga harus dinas pagi. Kata bu Suri dan Nilam, semalam Nugi rewel ingin ketemu pak tua. Karenanya sebelum berangkat kerja, dia menjemput Nugi dan mengantarkan ke sekolah, setelah bertemu sebentar dengan pak Tua.
“Nugi, senang sekali melihatmu pagi ini, pekik Baskoro riang.
“Kenapa pak Tua lama sekali tidak datang ke sekolah Nugi?”
“Karena pak tua sekarang sudah tidak pernah ke mana-mana lagi. Jadi, kalau Nugi ingin bertemu, harus datang kemari.”
“Masih mau makan roti Nugi?” kata Nugi sambil memberikan sepotong roti bekalnya.
“Nanti Nugi lapar?”
“Ibu membawakan bekal lebih. Nugi yang minta, supaya bisa berbagi sama pak Tua.”
“Anak baik, terima kasih ya. Sekarang segera ke sekolah ya, nanti om Daniel juga akan langsung bekerja.”
“Pak Tua sendirian dong.”
“Tidak apa-apa, pak Tua mau memasak pagi ini.”
“Pak Tua bisa memasak?”
“Nani pak tua akan mengirimkan masakan pak Tua untuk Nugi.”
“Benar?”
“Tentu saja benar. Sudah. Berangkatlah ke sekolah.”
Nugi merangkul Baskoro sebentar, kemudian berlari ke arah Daniel yang masih nangkring di atas sepeda motornya. Tangan kecil itu melambai, ketika sepeda motor Daniel membawanya melaju.
Baskoro menatap mereka sampai menghilang di balik pagar, lalu Baskoro pergi ke arah dapur. Seperti janjinya ia akan memasak pagi itu. Ia menyiapkan semua bahan di meja dapur. Lalu kembali membaca resep yang ada dibuku.
“Sepertinya tidak sulit. Aku harus merebus dagingnya dulu. Lalu bumbu, ah .. hanya bawang merah, merica bubuk, pala bubuk. Tidak, aku harus merebus dagingnya dulu, lalu menyiapkan kentang sama wortelnya. Oh ya, pakai tomat juga.
Baskoro mengerjakan semuanya dengan riang. Menyenangkan punya pekerjaan ya, dan pekerjaan memasak adalah tantangan. Ia harus membuat Daniel suka dengan hasil kerjanya. Oh, ya, bagaimana kalau berjualan masakan?
Baskoro melanjutkan pekerjaannya sambil berangan-angan.
*
Sepulang dari sekolah, Nugi yang sudah kembali dijemput ojol langganan, berlari ke dalam rumah sambil berteriak memanggil ibunya.
“Ibu…. “
Langkah-langkah kaki kecilnya dan teriakannya, membuat Suri menghentikan kegiatannya.
“Ada apa, Nugi, kenapa berteriak-teriak?”
“Apakah pak Tua mengirimi Nugi masakan?”
“Iya, sudah ibu taruh di meja makan.”
“Nugi mau makan sekarang. Pak Tua masak apa?”
“Hei, cuci kaki tangan dulu dan ganti pakaian, baru makan.”
Nugi meleletkan lidahnya, lalu berlari ke kamar.
Siang tadi, memang ada ojol mengirimi serantang makanan, yang katanya untuk Nugi.
Suri menanyakan, dari siapa, katanya dari pak tua. Suri tak bisa menolaknya. Ia meletakkan masakan dalam rantang, yang berisi semur daging dan kentang, lalu menatanya di atas meja makan, bersama lauk masakannya sendiri.
Begitu siap dengan baju ganti, Nugi langsung duduk di kursi makan dan berteriak memanggil ibunya.
“Ibu, yang mana masakan pak Tua?”
Suri agak heran, Baskoro memasak? Tadi dia mengira Baskoro beli di warung, ternyata masakan sendiri?
Suri mendekat, membuka rantang yang masih hangat, kiriman pak tua.
“Ini Nugi, semur daging.”
“Nugi mau nyobain masakan pak Tua.”
Suri mengambilkan nasi di piring dan menyendokkan semur dengan kentang dan sepotong daging.
“Baunya enak … “ Nugi langsung menyendok semurnya, dan matanya berkejap-kejap.
“Enaknyaaaaa … ibu cobain deh, hmm… enak bener … Nugi suka … Nugi sukaa …”
“Nugi, kalau makan nggak bolek sambil ngomong begitu, apalagi teriak-teriak. Nanti makanannya menyembur keluar semua.”
“Ibu cobain dulu deh. Nanti Nugi mau nambah.”
Suri duduk di dekat Nugi. Rasa penasaran membuatnya kemudian menyendok semur ke dalam piringnya sendiri.
“Gimana Bu, enak kan? Enak nggak?”
Suri heran. Benarkah ini masakan Baskoro? Tanpa malu Suri megangguk. Sejak kapan Baskoro bisa memasak?
“Enak nggak Bu?” Nugi terus nyerocos karena sang ibu tidak segera menjawabnya.
“Iya, enak.”
“Tuh, kan … Nugi bilang apa. Kok bisa ya, pak Tua memasak enak? Besok Nugi mau dikirim masakan lagi. Ibu bilang sama pak Tua ya.”
“Ibu tidak tahu, apa pak Tua punya ponsel atau tidak. Nanti saja, Nugi sendiri pesen sama om Daniel. Tapi nunggu mbak Nilam, soalnya ibu tidak punya nomor kontaknya om Daniel. Kalau ibu menelpon itu, selalu pakai ponselnya mbak Nilam.”
“Oh, menunggu mbak Nilam ya. Pulangnya masih lama dong.”
“Ya tidak apa-apa dong, menunggu. Kok nggak sabaran begitu.”
“Ibu, Nugi mau nambah nasinya. Apakah semurnya masih ada?”
“Masih ada. Ini semua untuk Nugi, ibu hanya mengambil sedikit nih, lihat.”
“Sisanya buat makan malam Nugi ya.”
“Baiklah.”
Sambil menemani Nugi makan, Suri terus berpikir, benarkah Baskoro memasak sendiri masakan yang dikirimkan.
*
Malam hari itu Daniel juga merasakan masakan Baskoro. Dia terus berdecak kagum, bagaimana Baskoro bisa memasak seenak itu.
“Pak Baskoro hebat. Masakannya enak sekali.”
“Benarkah?”
“Saya tidak bohong. Ini luar biasa.”
“Padahal saya hanya membaca di buku resep masakan. Lalu saya rasakan, kurang garamkah, kurang kecapkah. Tadi saya juga mengirim untuk Nugi.”
“Oh ya?”
“Saya kan sudah berjanji.”
“Nugi pasti senang.”
“Besok mau dimasakin apa?”
“Besok pak Bas mau masak lagi?”
“Iya dong, setiap hari mau masak. Tapi yang gampang-gampang saja.”
“Bagaimana kalau soto?”
“Oh, bisa … bisa … saya akan mencobanya,” jawab Baskoro bersemangat.
“Kalau pak Baskoro bisa memasak seenak ini, saya punya gagasan yang bagus. Bagaimana kalau kita berjualan nasi soto?”
“Ahaa, saya sedang memikirkannya. Tapi kalau saya sendiri kan tidak punya modal?” kata Baskoro malu-malu.
“Saya akan menyewa kios kecil yang ada dipinggir jalan. Besok saya akan melihat-lihat. Kebetulan besok saya dinas sore.”
“Pasti mahal kalau harus menyewa. Bagaimana kalau dengan gerobag dorong saja. Lagian jangan terburu-buru, saya mencoba masak dulu, apa benar enak. Memalukan, berjualan makanan yang tidak enak.”
“Baiklah, besok pagi masak soto ya Pak. Nanti kita belanja apa?”
“Besok pagi saya ke pasar saja. Saya lihat dulu apa yang dibutuhkan.”
“Siap pak Bas, semoga ini adalah jalan menuju kehidupan yang lebih baik bagi kita, terutama pak Baskoro.”
Mata Baskoro berbinar. Benarkah dia akan menjadi pedagang soto? Kedengarannya aneh, tapi siapa tahu itulah jalan yang harus dilaluinya?”
*
Besok lagi ya.
at March 14, 2024
Share
by Tien Kumalasari
diunggah Indarsih Weanind
Ada Cinta Dibalik Rasa | 42, Cerbung Tien Kumalasari
tags: cerbung, cerita bersambung, Tien Kumalasari, Kumalasari, Tien, Seni Budaya, Bahasa Indonesia, kisah, cerita,