Halal bi Halal
Halal bi halal lebih umum dilaksanakan secara berkelompok dalam suatu tempat tertentu, namum sebagian orang Jawa akan mengatakan halal bi halal atau balal saat silaturahmi pada saat hari raya Idul Fitri (lebaran).
Contoh percakapan ringkas.
“Mau ke mana kamu mas Din sekeluarga kok rombongan bawa motor”
“Ya… ini mau balal (halal bi halal) ke Njolegi (Mojolegi), mumpung mudik”

Inilah halal bihalal yang dilakasnakan secara terbatas, dan kalau secara umum biasanyanya dilaksanakan di auditorium, gedung, atau ditanah lapang (lapangan) dengan tenda sebagai atapnya.
Konon, tradisi halal bi halal mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I (lahir 8 Apri 1725), yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa.
Untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah shalat Idul Fithri diadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana.
Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam dengan istilah halal bi halal.
Kemudian instansi-instansi pemerintah/swasta juga mengadakan halal bi halal, yang pesertanya meliputi warga masyarakat dari berbagai pemeluk agama.

Namun istilah ‘halalbihalal’ lahir ketika Indonesia nyaris mengalami disintegerasi.
Dikutip dari situs www.nu.or.id yang ditulis salah satu pengurus NU K.H Masdar Farid Mas’udi, tahun 1948 menjadi salah satu tahun terberat bagi bangsa Indonesia.
Tiga tahun setelah menyatakan diri lepas dari penjajahan, situasi politik tak kunjung kondusif. Indonesia dilanda gejala disintegerasi bangsa.
Elite politik saling bertengkar, tidak mau duduk semeja berbicara solusi. Saling serang dan saling melancarkan propaganda.
Di sisi lain, aksi pemberontakan belum juga habis. DI/TII di Jawa Barat dan PKI di Madiun, misalnya.
Di pertengahan bulan Ramadhan, Presiden ketika itu, Ir Soekarno berpikir bagaimana menyelesaikan masalah itu.
Ia kemudian memanggil K.H Wahab Chasbullah ke Istana untuk meminta pendapat.
K.H Wahab pun menyarankan Bung Karno untuk menggelar acara silaturahim antarelite politik. Sebab, Hari Raya Idul Fitri tinggal menghitung hari.
K.H Wahab berpendapat, umat Islam disunahkan bersilaturahim pada Hari Raya Idul Fitri.
Bung Karno sepakat dengan substansi usul itu. Namun, ia kurang ‘sreg’ dengan judul ‘silaturahim’.
Bagi Bung Karno, istilah itu terlalu biasa. Harus dicari istilah lain agar pertemuan itu menjadi momentum dan mengena bagi para elite yang hadir.
K.H Wahab kemudian menceritakan sebuah alur pemikiran yang menjadi kunci ke penemuan istilah ‘halalbihalal’.
Pemikiran itu diawali dengan situasi di mana elite politik tidak mau bersatu karena saling merasa diri benar dan orang lain salah.
Dalam Islam, saling menyalahkan adalah dosa. Di sisi lain, dosa adalah haram hukumnya.
Nah, supaya elite politik lepas dari dosa (haram), maka satu sama lain harus dihalalkan.
Mereka harus duduk satu meja dan bicara satu sama lain. Saling memaafkan, saling menghalalkan.
‘Thalabu halal bi thariqin halal’. Artinya, mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan (memaafkan).
Alur pemikiran itu kemudian membawa K.H Wahab pada sebuah istilah yang hingga saat ini dikenal luas di Indonesia, halalbihalal.
Usul itu diterima dengan baik oleh Bung Karno. Saat Idul Fitri tiba, ia mengundang seluruh tokoh politik ke Istana untuk mengikuti acara halalbihalal.
Untuk pertama kalinya semenjak perbedaan pendapat di antara mereka muncul, para elite politik yang berbeda-beda itu duduk di satu meja dan momen tersebut dinilai babak baru menyusun kekuatan dan persatuan bangsa.
Sejak saat itu, acara tatap muka, berbincang-bincang serta saling bersalam-salaman tersebut diikuti oleh instansi pemerintah hingga masyarakat luas hingga saat ini.
Kalimat halal bi halal memang pas dikalangan orang Jawa, bukan hanya maaf memaafkan akan tetapi juga saling meng-halal-kan.
Bagaimana sebaiknya maaf memaafkan itu?
Sesuai ajaran agama Islam, untuk maaf memaafkan tidak harus menunggu hari raya (lebaran), tetapi minta maaf dan memberi maaf harus dilakukan setiap saat dan setiap waktu sesuai dengan kebutuhan. Sehingga kita harus mudah meminta maaf juga mudah memberi maaf.
Balal di kalangan orang Jawa
Orang Jawa biasa mengatakan sesuatu dengan diringkas, misal Kambil Loro atau Kerambil Loro disebutnya dengan Mbiloro, demikian pula Halal bi Halal juga disebutnya Balal, kamipun sering menyebutnya balal apabila kami lakukan hanya silaturrahmi ke beberapa tujuan untuk silaturahmi saat lebaran. “Saya akan balal ke pakdhe Kromo, siapa yang ikut?”, contohnya.

Ditempat silaturahmi atau halal bihalal atau balal telah disiapkan aneka makanan kecil dan minuman, bahkan untuk tempat saudara (agak jauh) telah disiapkan pula makan besar yang biasanya berupa lontong atau kupat, atau kalau di desa dulu makan yang disiapkan yaitu kebanyakan soto, karena lontong opor biasanyanya sudah ada di rumah masing-masing.
Berbahagialah orang-orang yang bisa mudik, dan berbahagia pula orang-orang yang kedatangan pemudik, disana akan terjadi silaturahmi, dan terjadilah halal bi halal atau balal (dalam lingkup kecil). Meskipun terkadang biaya mudik cukup besar, yang dikumpulkan dari tabungan berbulan-bulan hingga bertahun-tahun, apabila penghasilan dirantau hanya biasa-biasa saja. Untuk yang berpenghasilan banyak, mungkin bisa mudik setahun sekali.
Mudik bukan hanya ajang silaturahmi dan halal bihalal, yang lebih penting dari adalah untuk menengok orang tua, sanak saudara, kerabat, tetangga lama, dengan bertatap muka secara langsung, maka tali persaudaraan akan semakin rekat dan akrab. Karena kalau tidak ada kunjungan dan bertemu langsung, bisa jadi suatu ketika sewaktu berada di luar kota dan bertemu di jalan atau suatu acara tidak saling menyapa karena sudah lupa wajah saudaranya tersebut.
Tradisi Kupatan (Bodho Kupat)

Meskipun ada yang merayakan kupatan (bodho kupat), namun biasanya sudah ada yang membuat kupat saat lebaran, termasuk kissparry (Semarang) juga sudah menyajikan kupat dan lontong saat lebaran. Kupat atau lontong di makan dengan sayur opor atau sambel goreng, terasa nikmat sekali, boleh dicampur keduanya.

Ternyata tradisi kupat di Sragen dimakan bersama sambel pecel dan krupuk, makan sambil lesehan, wah… katanya juga enak banget.

Bodho kupat atau kupatan juga ada dikalangan orang Jawa, kupatan biasanya dilaksanakan tujuh hari setelah hari raya lebaran.
Kupat adalah terbuat dari anyaman janur kuning/hijau umumnya berbentuk persegi empat, namun bisa dibuat macam-macam bentuk misalnya gunung, dan setelah janur dianyam kemudian dimasuki beras kira-kira setengah dari besarnya kupat, kemudian direbus hingga beras mengembang memenuhi besarnya anyaman janur, kurang lebih 3 jam hingga 5 jam di rebus, dan setelah masak jadilah kupat.
Saat bodho kupat yang disajikan bukan kupat dan lontong tetapi biasanya kupat dan lepet.
Masyarakat jawa mempercayai bahwa sunan Kalijaga adalah orang yang berjasa dalam hal mentradisikan kupat beserta makna filosofis yang terkandung dalam makanan khas ini.
Secara filosofis, makanan khas “Kupat” ini memiliki banyak makna. Di antara makna itu adalah :
a. Kata “kupat” berasal dari bahasa jawa “ngaku lepat” (mengakui kesalahan). Ini suatu isyarat bahwa kita sebagai manusia biasa pasti pernah melakukan kesalahan kepada sesama.
Maka dengan budaya kupatan setahun sekali ini kita diingatkan agar sama-sama mengakui kesalahan kita masing-masing, kemudian rela untuk saling memaafkan.
b. Bungkus kupat yang terbuat dari janur (sejatine nur), ini melambangkan kondisi umat muslim setelah mendapatkan pencerahan cahaya selama bulan suci Ramadan secara pribadi-pribadi mereka kembali kepada kesucian/jati diri manusia (fitrah insaniyah) yang bersih dari noda serta bebas dari dosa.
c. Isi kupat yang bahannya hanya berupa segenggam beras, namun karena butir-butir beras tadi sama menyatu dalam seluruh slongsong janur dan rela direbus sampai masak, maka jadilah sebuah menu makanan yang mengenyangkan dan enak dimakan.
Ini satu simbol persamaan dan kebersamaan persatuan dan kesatuan. Dan yang demikian itu merupakan sebuah pesan moral agar kita sama-sama rela saling menjalin persatuan dan kesatuan dengan sesama muslim dan seluruh bangsa.
Semoga bermanfaat.
Diolah dari berbagai sumber
Kissparry
editor Eswedewea
Referensi:
- https://en.wikipedia.org/wiki/Mudik
- https://id.wikipedia.org/wiki/Mudik
- https://kissparry.wordpress.com/2017/02/18/pengertian-forum-silaturahmi-keluarga-forturga-kissparry/
- https://almanhaj.or.id/3158-menyingkap-keabsahan-halal-bi-halal.html
- http://nasional.kompas.com/read/2017/06/28/10085501/sejarah.halalbihalal