Bakso Kumis di Kota Lumpia ini juga sangat dikenal, yang dahulu teletak Pujasera Kagok sekarang disebelah baratnya, tepatnya sebelah kanan Hotel Grand Edge Semarang Candi.
Bakso Pak Kumis Kagok Sultan Agung ini sudah beberapa kali saya kunjungi, baik bersama keluarga atau bersama teman-teman, sepertinya sih bakso ini juga membuka beberapa gerai di Semarang, saya pernah menjumpai saat di Plasa Simpang Lima.
Kunjungan kali ini bersama teman di kepengurusan Badko TPQ Kecamatan Candisari dan Banyumanik.
Kota Lumpia adalah merupakan sebutan lain dari pada Kota Semarang dari sisi hiburan dan wisata, karena Kota Semarang terkenal dengan oleh-oleh khas berupa lumpia Semarang.

Saat sampai lokasi karena jaraknya dekat dengan tempat tinggal, kurang dari 1 km kearah atas, tepatnya kalau di Google Map tertera 950 m, ternyata bakso sudah disiapkan di meja saji.
Saya dapat undangan dari teman, “assalamu’alaikum, ada waktu sebentar untuk makan siang bersama di Bakso Kumis, nanti saat rehat”, bunyi suara telepon saat saya angkat.
“Kebetulan saya WfH (work from home) jadi insya Allah bisa, Bakso Kumis ya….” aku balas telepon yang masuk.
“Oke…. nanti saya kabari”, katanya dan menutup telepon dengan salam..
“Ya…, ada apa kita disini, ” sudah ditutup salam tapi aku nanya ada apa, masalahnya kan jam kerja. meskipun saat waktu istirahat makan.
“O…. hanya klarifikasi data yang kemarin njenengan bikin”, katanya
“oke…. siap….”, wa’alaikumsalam
Yang menerlpon ini keseharian di SMPN 5 Semarang (Kagok), o…ya… Kagok sekarang menjadi Wonotingal, dia cukup jalan kaki dari kantornya.
Dan, kebetulan aku pas WfH jadi saya bisa memenuhi undangannya. Seandainya saya WfO, paling-paling yah maaf saya nggak bisa, koordinasi per telepon saja.

Sebelum ngobrol serius, dimulailah perbincangan ringan, dengan Ustadz H Dimyati berkopyah hijau.
“Wah kemarin dari mana tadz, fotonya di area pegunungan petualang”, tanyaku
“Oo.. kemarin itu acara jalan-jalan di neng Mbah Marijan”, katanya
“Acara apa”, tanyaku lagi.
“Yah… acara bersenang-senang atau rekreasi saja sama teman-teman”, jelasnya
“ya… berarti saya kasih komen diganbar jika sudah pernah kemari nggak salah, karena saya sudah beberapa kali jejak petualang di Lereng Merapi ini”, saya memberikan jawaban sekaligus mengakhiri perbincangan ringan ini.
Lereng Merapi itu memang masyarakat sekitar bahkan secara umum menyebutnya Mbah Marijan, sang juru kunci yang ikut tewas atas keganasan Merapi.
Setelah perbicangan ringan kemudian kearah diskusi lebih serius tapi santai, karena hanya menyangkut data TPQ yang berizin, yang saya perkirakan untuk persiapan pembuatan kalender 2021, ternyata juga untuk kelengkapan data.
Acara makan pun selesai.
oleh Eswede Weanind
editor Kissparry