ADA CINTA DIBALIK RASA 07
(Tien Kumalasari)
Nilam duduk menjauh dari Jatmiko. Ia belum mengatakan apa-apa, Jatmiko sudah berbicara menuruti kata hatinya.
“Kamu tidak usah membohongiku, Anjani.”
“Heeiii, bangunlah, kamu sedang bermimpi,” kata Nilam agak keras.
“Ini mimpi? Bisa bertemu denganmu adalah mimpi? Anjani, aku tak mengira kamu begitu cantik setelah dewasa. Mengapa kamu mempermainkan aku dengan pura-pura menjadi Nilam?”
“Ya Tuhan, kamu nerocos seenak perut kamu, dengar dulu penjelasanku. Aku Nilam, bukan Anjani.”
“Kamu berganti nama?”
“Aduuh, tahu begini aku tadi nggak usah berhenti saja. Persetan dengan kantung berisi gelang itu,” sungut Nilam.
“Anjani, mengapa begitu? Kamu kecewa bertemu aku? Menurutmu aku bagaimana? Jelek? Kusut? Bukankah aku sekarang ganteng? Memang sih, aku belum menjadi orang yang kaya raya. Mobil itupun bukan punyaku, tapi aku berharap kita masih bersahabat.”
“Bisakah kamu berhenti ngomong? Biarkan aku bicara dulu, supaya kamu mengerti duduk persoalannya, dan tidak ngawur memanggil nama orang,” Kata Nilam kesal.
Jatmiko tersenyum. Nilam menatapnya dan berpikir, bahwa laki-laki dihadapannya ini sedang tebar pesona. Tak urung hati Nilam berdebar. Dia memang ganteng. Lalu Nilam menghela napas panjang untuk menata perasaannya.
“Mau ngomong apa? Baiklah kalau kamu kecewa, yang penting aku puas bisa menemukan kamu kembali,” Jatmiko masih nerocos.
“Bisakah kamu diam? Atau lebih baik aku pergi saja?”
“Hei, jangan begitu. Baiklah, silakan ngomong. Tapi diam-diam aku suka melihat matamu yang bulat seperti rembulan.”
Nilam berdiri dengan kesal.
“Eh, jangan, duduklah kembali. Baik. Aku akan menutup mulutku. Bicaralah.”
Nilam kembali duduk dengan mulut cemberut.
“Kalau aku tidak menganggap ini sesuatu yang penting, aku tak akan mau meladenimu. Toh sebenarnya ini bukan urusanku…. stop, jangan bicara dulu,” kata Nilam ketika melihat mulut Jatmiko nyaris membuka suara.
“Aku sedang berada di sebuah rumah sakit, karena adikku dirawat di sana. Ketika aku mau keluar, aku menemukan kantung ini yang ketika aku buka, ternyata berisi gelang seperti yang pernah kamu tunjukkan padaku. Aku bingung harus bagaimana. Aku yakin ini milik Anjani, tapi entah di mana dia berada. Barangkali dia sakit, tapi aku belum menanyakannya ke rumah sakit apakah ada pasien bernama Anjani berobat di sana. Aku ingin memberitahu kamu, tapi aku tak pernah tahu di mana rumah kamu dan di mana kamu bekerja. Itu sebabnya aku berhenti di sini, untuk menyerahkan gelang ini pada kamu, ketika aku melihat kamu.”
Jatmiko melongo, jadi dia salah lagi? Di genggamnya gelang itu dengan perasaan linglung.
“Ya Tuhan, aku salah lagi dan menganggap kamu tetap Anjani. Maaf ya,” kata Jatmiko dengan wajah muram.
“Tidak apa-apa. Aku mengerti,” kata Nilam sambil berdiri.
“Sebenarnya ini bukan urusan aku. Aku hanya penasaran ketika kamu keliru menganggap aku Anjani, sehingga ingin sekali aku bisa bertemu dengan gadis itu. Tapi sudahlah, aku sudah menyerahkannya sama kamu, terserah bagaimana kamu akan mencarinya. Barangkali kamu bisa memulai dari rumah sakit itu,” lanjut Nilam sambil berdiri.
“Baiklah, terima kasih kamu peduli dengan gelang ini. Bolehkah kita bertukar nomor kontak? Siapa tahu aku membutuhkan bantuan kamu tentang Anjani, atau kamu menemukannya lebih dulu karena adik kamu juga ada di rumah sakit itu.”
“Baiklah, tidak apa-apa.”
Setelah bertukar nomor, keduanya berpisah. Nilam langsung ke rumah sakit, setelah mengatakan di rumah sakit mana ia menemukan gelang mote itu.
Tapi Jatmiko yang penasaran, kemudian juga mengikutinya. Benar kata Nilam, ia harus bertanya ke rumah sakit itu, apakah ada pasien bernama Anjani.
*
Tapi dengan kecewa Jatmiko menemukan jawaban, bahwa tak ada pasien bernama Anjani, baik yang rawat inap, maupun yang hanya memeriksakan kesehatannya.
“Berarti hanya membezoek seseorang yang sakit, atau mengantarkan entah siapa, tapi yang jelas bukan dia yang sakit. Dan ini membuat aku lebih bingung lagi,” gumam Jatmiko pelan.
Jatmiko duduk merenung di lobi rumah sakit itu. Ia tahu Anjani ada dikota ini, tapi tak tahu di mana dia berada. Seperti sudah dekat, tapi ia tak bisa menjangkaunya.
“Berarti Anjani juga membawa gelang ini ke mana-mana, seperti juga aku. Lalu ia tak sadar kantung berisi gelang ini terjatuh. Pasti dia bingung mencari-carinya,” Jatmiko masih bergumam lirih. Dan ada perasaan senang ketika menyadari bahwa Anjani juga membawa gelang itu ke mana-mana. Berarti dia juga berharap bisa bertemu dengannya.
“Anjani, di mana kamu?” lirihnya.
Lalu Jatmiko mengirim pesan singkat kepada Nilam, dan mengatakan bahwa Anjani tidak menjadi pasien di rumah sakit itu.
Nilam merasa kasihan. Ketika mereka berpisah setelah ketemu di pinggir jalan itu, ia melihat wajah Jatmiko sangat memelas. Pasti ia lebih sedih lagi ketika tidak menemukan jejak Anjani di rumah sakit ini.
“Kamu sudah pulang?”
“Aku masih di lobi. Ya sudah, aku mau pulang sekarang. Tapi aku ingin membezoek adik kamu dulu, di mana ruangnya?” kata Jatmiko ketika kembali mengirim pesan.
Lalu Jatmiko menuju ke kamar yang ditunjukkan Nilam. Ia sudah pernah bertemu ibu Nilam, jadi kalau dia datang menjenguk, tidak merasa sungkan.
Dan Suri memang menerima kedatangan Jatmiko dengan ramah.
“Tidak menyangka, bisa ketemu nak Jatmiko lagi. Dari mana nak Jatmiko tahu kalau kami sedang ada di sini?”
“Tadi ketemu Nilam, Bu.”
“O. Iya? Terima kasih mau menengok adik Nilam.”
Jatmiko mendekati ranjang, dan menyalami Nugi.”
“Adik ganteng sakit apa?”
Nugi menatap laki-laki yang masih memegangi tangannya.
“Mas, pacarnya mbak Nilam?” celotehnya mengejutkan, bukannya menjawab pertanyaan Jatmiko.
Nilam melotot memandangi adiknya, tapi Jatmiko tersenyum senang.
“Bolehkah aku menjadi pacar kakak kamu?”
“Mbak Nilam suka nggak? Masnya ini ganteng,” katanya sambil menatap kakaknya.
“Diam. Anak kecil ngomongin pacar,” gerutu Nilam sambil memelototi adiknya.
“Aku suka mas ganteng.”
“Namaku Jatmiko, adik ganteng, kamu siapa?” tanya Jatmiko.
“Aku Nugi.”
“Nugi cepat sembuh ya.”
Nugi mengangguk, sore ini ia merasa lebih enak, badannya tidak sepanas kemarin. Hanya masih sedikit lemas.
Jatmiko hanya sebentar, karena sepulang dari kantor langsung ke rumah sakit.
Suri mengucapkan terima kasih, dan menganggap Jatmiko laki-laki yang baik.
Setelah Jatmiko pulang, Suri menatap anak gadisnya.
“Dia laki-laki baik. Ibu senang kalau kalian berjodoh,” katanya pelan
“Ibu ini ngomong apa sih?”
“Apa kamu tidak menyukai dia?”
“Tidak,” kata Nilam tandas.
“Nilam, apa kekurangannya nak Jatmiko itu? Ganteng, baik.”
“Dia juga tidak menyukai Nilam. Kenapa ibu selalu mengatakan itu?”
“Masa sih? Ibu lihat cara dia menatap kamu. Tampaknya dia suka. Mana mungkin laki-laki tidak suka pada anak gadis ibu yang cantik ini?”
“Ibu ada-ada saja.”
“Benar kan?”
“Dia sudah punya pacar, Bu.”
“Masa? Kenapa dia begitu menaruh perhatian sama kamu. Dia bela-belain datang kemari untuk menjenguk Nugi. Itu tandanya dia mencari perhatian kamu.”
“Ibu ngarang ah. Dia kesini juga karena mencari pacarnya.”
“Nanti Nilam ceritain, sekarang Nilam mau mandi dulu, setelah itu Nilam nggantiin ibu menunggui Nugi, lalu ibu boleh pulang, istirahat.”
Suri mengangguk, tapi tak terima pada jawaban Nilam. Ia tetap menganggap bahwa Jatmiko menyukai Nilam.
*
Anjani sedang menunggui ayahnya di siang hari itu. Kata dokter, hari itu ayahnya boleh pulang dulu, setelah jadwal operasi ditentukan. Anjani melihat sang ayah sudah lebih segar, walau badannya tampak masih kurus setelah selama beberapa tahun keluar masuk rumah sakit.
Anjani berharap, setelah operasi nanti ayahnya akan benar-benar sehat. Anjani hanya punya ayahnya. Ia tak sanggup hidup tanpa ayahnya di saat seperti ini. Pengorbanannya adalah demi kesehatan sang ayah. Ia bersedia menjadi istri Usman karena ayahnya, bukan hanya karena tekanan dari ibu tirinya.
Karena kesibukannya, Usman hanya menyuruh sopir untuk menjemput ‘calon mertuanya’ yang akan pulang hari ini. Anjani bernapas lega. Pertemuan dengan Usman selalu membuat dadanya sesak dan perutnya terasa mual. Sudah lama terjadi, dan selalu saja begitu.
“Katanya pak Usman mau menjemput?”
“Tidak, dia sibuk. Tapi ada sopirnya,” kata Anjani sambil mengemasi barang-barang ayahnya sebelum kepulangannya.
“Berapa banyak uang yang harus dibayar Pak Usman untuk sakitku ini?”
“Bapak tidak usah memikirkannya. Bapak harus senang, dan tidak banyak pikiran, supaya Bapak tetap sehat. Ya kan?”
“Apa kita menunggu ibumu?”
“Tidak, ibu bilang akan menunggu di rumah.”
“Baiklah, kemarin dia juga sudah kemari.”
Setelah memastikan bahwa semua pembayaran sudah beres, Anjani memapah sang ayah menuju mobil yang sudah menunggu.
Dalam perjalanan pulang, Anjani terus memikirkan semua kebutuhan yang dicukupi semuanya oleh Usman. Ia merasa kesal telah resign dari kantor tempatnya bekerja, karena desakan ibunya, dengan alasan harus menunggui ayahnya saat dirawat.
Tapi setelah ayahnya pulang, kemudian ia bermaksud kembali bekerja. Tak enak kalau semuanya tergantung Usman. Bukankah dia sebenarnya bukan anggauta keluarganya? Hanya karena menginginkan dirinya maka Usman mau melakukan semuanya. Tapi menjadi beban sangat membuatnya tidak nyaman. Karena itulah dia bermaksud kembali bekerja.
*
Ketika di rumah, disaat makan malam, Anjani mengutarakan maksudnya untuk kembali bekerja. Sang ibu, dengan tatapan tidak senang, menentangnya.
“Mengapa harus bekerja? Bukankah pak Usman sudah memenuhi semua kebutuhan kamu?”
“Pak Usman bukan siapa-siapa kita, mengapa harus selalu bergantung padanya?”
“Anjani, apa kamu lupa bahwa pak Usman telah banyak mengeluarkan uang demi ayah kamu ini? Dia tidak akan keberatan melakukan, karena kamu akan menjadi istrinya.”
“Baru akan, dan belum. Saya tidak ingin selalu menjadi beban. Tidak enak rasanya kalau selalu menggantungkan semuanya dari dia. Hal-hal sepele yang kita butuhkan, ada baiknya kita mencukupinya sendiri. Karena itulah Anjani ingin bekerja.”
“Anjani benar. Dia sekolah tinggi, untuk apa ilmu yang didapat kalau hanya duduk santai di rumah?” sambung sang ayah.
“Dia tidak santai, kan ayahnya sedang sakit?”
“Aku tidak apa-apa. Biarkan Anjani bekerja, kalau dia menginginkannya. Pensiunku tidak cukup, dan Anjani pasti menginginkan sesuatu juga. Pasti dia senang kalau bisa membeli apa yang dia inginkan, dengan hasil keringatnya sendiri.”
“Kalau begitu Anjani harus minta ijin pak Usman dulu,” sungut sang ibu yang ketakutan, kalau Anjani punya uang, maka tidak ada alasan lagi baginya untuk meminta uang kepada Usman, seperti yang dilakukannya selama ini. Dasar tak tahu malu.
“Mengapa harus minta ijin kepada dia? Dia itu orang lain,” kesal Anjani.
“Apa katamu? Apa kamu lupa bahwa kita sudah mendapatkan banyak perhatian dari dia? Apa salahnya kamu meminta ijin agar dia merasa dihargai?”
“Tidak Bu, kalau Anjani ingin bekerja lagi, biarkan dia bekerja, kebaikan pak Usman bukan berarti harus mengikatnya. Toh dia belum menjadi suaminya.”
“Terima kasih Pak. Anjani senang Bapak bisa mengerti,” kata Anjani sambil memeluk ayahnya.
“Kamu sudah banyak berkorban untuk bapak, lakukan apa yang kamu inginkan,” kata sang ayah lembut, tanpa peduli pada wajah istrinya yang masam.
Anjani senang. Malam itu juga dia mempersiapkan semua berkas untuk melamar pekerjaan. Lalu ia mencari cari nama perusahaan yang sekiranya membutuhkan karyawan.
Sebenarnya ia ingin kembali ke perusahaan di mana dulu dia bekerja, tapi ternyata sudah ada yang menggantikannya. Anjani menyesal tergesa keluar dari sana.
Ada satu … perusahaan otomotif, ah … yang dicari adalah sarjana tehnik, yang berpengalaman di bidangnya … tentu bukan ini … lalu ada lagi … tidak sesuai dengan pendidikannya, marketing? Tidak … tapi apa salahnya mencoba? Bukan harus menjadi sekretaris, yang penting dia harus bekerja.
Pagi hari itu, setelah membantu ibunya membuat sarapan dan melayani ayahnya serta menyiapkan obat yang harus diminumnya, Anjani berkemas untuk mencari pekerjaan. Ia sudah mempersiapkan semuanya.
“Kamu nekat?” tanya sang ibu dengan wajah muram.
“Maaf, Bu. Ini jalan terbaik untuk mencari uang. Biar sedikit, bisa meringankan beban keluarga kan?”
“Aku akan menelpon pak Usman.”
“Bu, jangan terlalu bergantung pada pak Usman. Kalau kita sudah lama menjadi bebannya, bukan berarti kita lalu sepenuhnya bergantung pada dia. Anjani benar, biarkan dia melakukannya.”
Anjani sudah bersiap, lalu berpamit kepada sang ayah dan juga ibu tirinya.
“Semoga berhasil,” kata sang ayah, sedangkan ibunya hanya mengangguk dengan wajah masam.
Anjani mengambil sepeda motornya, ia sudah mantap akan bekerja. Ia melihat kembali alamat yang sudah dicatatnya. Perusahaan Batik Raharjo Sentosa, Jl, Kapten Pattimura.
Anjani mengayuh sepeda motornya dengan bersemangat.
*
Besok lagi ya. –bersambung–
at January 29, 2024
by Tien Kumalasari
Ada Cinta Dibalik Rasa | 07, Cerbung Tien Kumalasari
tags: cerbung, cerita bersambung, Tien Kumalasari, Kumalasari, Tien, Seni Budaya, Bahasa Indonesia, kisah, cerita,