Ada Cinta Dibalik Rasa | 08, Cerbung Tien Kumalasari

ADA CINTA DI BALIK RASA 08
(Tien Kumalasari)

Usman datang ke rumah Anjani, tak lama setelah Estiana menelponnya. Ia mengatakan bahwa Anjani tetap ingin kembali bekerja.

Tapi melihat sang ‘calon ayah mertua’ tampaknya mengijinkannya, Usman tak bisa apa-apa. Ia sudah berjanji akan bersabar, dan berusaha agar Anjani merasa bahwa dirinya penuh pengertian. Dengan begitu, lambat laun Anjani akan bisa menerimanya.

Lagi pula Anjani sudah berjanji, bahwa setelah ayahnya dioperasi, dia bersedia dinikahinya. Kalau hal itu sudah terjadi, akan sangat mudah baginya untuk mengendalikan Anjani. Melarangnya bekerja, melarangnya bergaul dengan teman-temannya, apalagi yang laki-laki. Usman akan bersabar, walau keinginannya sudah menggebu-gebu.

“Tidak apa-apa Bu, biarlah Anjani melakukan apa yang diinginkannya.”

“Tapi untuk apa dia bekerja, kalau sebentar lagi akan menjadi istri nak Usman? Apa nantinya kalau sudah menikah, nak Usman juga masih akan mengijinkan dia bekerja?”

“Itu bisa dipikirkan nanti Bu, biarlah kalau sekarang dia ingin bekerja.”

“Tapi berapa banyak gaji yang akan didapatnya? Mana mungkin cukup membiayai semua kebutuhan yang semakin banyak karena biarpun mas Marjono sudah pulang dari rumah sakit, tapi kan harus membeli obat dan obat-obat itu harganya mahal sekali,” keluh Estiana.

“Bu, kamu tidak pantas mengatakan semua keluhan itu di depan Pak Usman. Kalau memang tidak mampu membeli obat, ya sudah tidak usah saja. Aku sudah merasa sehat,” kata Marjono.

“Bagaimana bisa merasa sehat? Kan setiap obatnya habis harus kontrol terus?”

“Benar, tapi tidak usah mengeluh. Malu, ada pak Usman yang sudah selalu repot karena aku,” kesal pak Marjono.

Usman tersenyum. Betapapun banyaknya uang yang harus dikucurkan, ia tak akan keberatan, karena ia berharap Anjani bisa menjadi miliknya.

“Bapak dan Ibu tidak usah memikirkannya. Kalau membutuhkan sesuatu, bilang saja sama saya, jangan sungkan.”

“Pak Usman sudah banyak membantu. Saya merasa tidak enak,” ujar pak Marjono.

“Saya melakukannya, demi calon mertua saya, apa tidak boleh?”

“Tuh, Bapak mendengar sendiri kan, kita tidak usah sungkan kepada calon menantu, ya kan Nak?” kata Estiana lagi.

“Benar Bu, tidak usah sungkan, saya melakukannya demi calon mertua saya, supaya kelak kalau saya menikah dan duduk bersanding dengan Anjani, Bapak dan Ibu bisa mendampingi dalam keadaan sehat.”

Marjono menghela napas panjang. Dalam hati kecilnya agak tak setuju punya menantu yang seumuran dengan dirinya. Tapi jawaban Anjani bahwa dia suka, membuatnya terpaksa menerima kenyataan itu.

Usman segera minta pamit, karena sebenarnya kedatangannya hanyalah ingin mencegah keinginan Anjani. Tapi karena sudah terlanjur, dan ayahnya juga mengijinkan, Usman berusaha mau menerimanya. Belum saatnya terlalu mengekang Anjani, karena belum menjadi istrinya.

Estiana yang mengantarkan sampai ke dekat mobil, menghentikan Usman sebelum memasuki mobilnya.

“Ketika pulang dari rumah sakit kemarin, dokter memberinya resep lagi, saya yakin harganya mahal, dua atau tiga jutaan, seperti yang sudah-sudah.”

Estiana memang tak tahu malu. Padahal mereka tidak mendapatkan resep apapun, karena obatnya sudah diberi dari rumah sakit ketika pulang.

“Obatnya sudah diambil Bu?”

“Ya belum, saya sedang menghitung, apa uang saya masih cukup.”

“Resepnya mana, biar saya yang mengambilkan obatnya.”

“Oh, itu … anu … resepnya masih dibawa Jani, biar saya saja nanti yang mengambilnya, kalau uangnya sudah ada.”

Usman mengambil dompetnya, lalu memberikan setumpuk uang ratusan ribu kepada Estiana.

“Ini ada tiga jutaan Bu, kalau kurang, ibu bilang saja sama saya.”

“Ah, nggak usah Nak, jadi nggak enak merepotkan,” katanya sambil mendorong tangan Usman. Sudah jelas itu pura-pura, padahal dalam hati sangat mengharapkannya.

“Tidak apa-apa Bu, terima saja.”

Estiana menerima uangnya dengan pura-pura sungkan, padahal matanya berbinar-binar.

“Wah, bagaimana ini ya, kalau ayahnya Anjani tahu, pasti saya dimarahi.”

Usman hanya tersenyum, lalu masuk ke dalam mobilnya. Ia sudah tahu watak calon ibu mertuanya.

Esti melambaikan tangannya ketika mobil Usman berlalu. Dengan cepat ia memasukkan uangnya ke dalam saku.

Ketika ia memasuki rumah, dilihatnya Marjono masih duduk di ruang tamu.

“Aku heran, bagaimana Anjani suka kepada laki-laki seumuran bapaknya,” gumamnya pelan.

“Kok Bapak bilang begitu? Nak Usman itu orangnya baik, murah hati, uangnya banyak. Meskipun sudah tua juga masih kelihatan ganteng dan gagah kok. Kenapa Bapak heran, kalau Anjani suka sama dia?”

“Memang heran. Anjani itu kan muda, cantik, pintar, mengapa tidak memilih yang masih muda juga.”

“Mencari orang sebaik nak Usman itu tidak gampang. Mengapa harus memilih yang sama-sama muda, kalau nak Usman sudah memiliki kriteria yang diinginkan Jani? Bapak harus mendukungnya dong. Jangan memilih tua mudanya, tapi pikirkan kekayaannya.”

“Kekayaannya?”

“Bukan, maksudku … kebaikannya. Salah ngomong aku,” kata Estiana sambil berlalu, kemudian masuk ke dalam kamarnya, untuk menyimpan uang pemberian Usman ke dalam dompetnya, dengan wajah semringah cerah.

*

Anjani sudah sampai di kantor yang dimaksud. Kantor itu besar, halamannya luas dan asri. Seorang penjaga menanyakan maksud kedatangannya, dan mencatat nama dan alamatnya juga. Anjani dipersilakan masuk, dan menuju ke sebuah ruang seperti yang dikatakan satpam.

Tapi sebelum mengetuk pintunya, ia berpapasan dengan seorang pemuda ganteng. Anjani mengangguk, dan pemuda itu adalah Wijan, berhenti sejenak dan menatapnya kagum. Gadis ini sangat cantik, pikirnya.

“Mau ketemu siapa?” tanya Wijan sambil berhenti melangkah.

“Ini Mas, mau … melamar pekerjaan,” kata Anjani sambil menundukkan kepala, karena Wijan menatapnya tak berkedip.

“Oh … melamar ya, silakan masuk ke ruangan itu,” kata Wijan sambil menunjuk ke sebuah ruangan. Disitu tertulis, HRD. Anjani mengangguk, dan Wijan berlalu.

Sambil menuju ke arah mobil yang sudah menunggu, Wijan berpikir tentang gadis yang berpapasan dengannya tadi. Mata gadis itu bulat dan menawan.

“Haaa? Apa? Bukankah aku mengenalnya? Dia kan Anjani, yang pernah aku kenal saat kuliah dulu? Tampaknya ia tak lagi mengenali aku. Mungkin karena penampilanku yang berbeda. Waktu kuliah aku selalu berpakaian santai, dan sekarang aku memakai dasi, memakai jas pula. Tak heran kalau dia lupa. Tadi sekilas aku juga tidak mengenalinya. Jangan-jangan dia Anjani yang dicari Nilam. Matanya mirip Nilam,” gumamnya sambil memasuki mobil.

“Ada apa Mas?” tanya Barno yang mendengar Wijan bergumam tak jelas. Barno akan mengantarkan Wijan menemui seorang klien.

“Tidak, tadi itu … ada gadis melamar pekerjaan.”

“Wah, sampai kepikiran oleh mas Wijan, pasti dia cantik,” kata Barno sambil menjalankan mobilnya.

Wijan hanya tertawa pelan.

“Pak Barno ada-ada saja.”

“Memangnya butuh karyawan lagi Mas?”

“Iya, butuh satu lagi di bagian marketing. Sudah ada beberapa yang melamar.”

“Semoga yang diterima adalah yang cantik itu tadi,” goda pak Barno.

“Kenapa yang cantik? Yang pintar dong pak.”

“Cantik, pintar, bisa mengabdi, setia.”

“Lho, kok gitu, bukannya itu kriteria memilih istri?”

Pak Barno tertawa keras.

“Sesungguhnya saya tuh berharap, mas Wijan segera mendapatkan seorang istri.”

“Aah, ada-ada saja. Pak Barno sama bapak, sama saja. Selalu itu yang dibicarakan.”

“Tidak salah kalau pak Raharjo juga ingin segera punya menantu. Mas Wijan sudah dewasa, sudah menjadi pemimpin perusahaan, dan berarti sudah mapan. Segera dong, cari istri.”

“Doakan dong Pak, biar segera ketemu yang cocok.”

Tiba-tiba ponsel Wijan berdering. Dari Nilam.

“Ada apa?”

“Mas, aku tadi ke ruangan HRD, membuka-buka map lamaran, kok ada pelamar namanya Anjani.”

“Apa? Itu yang baru saja masuk? Aku tadi berpapasan sama dia.”

“Apa dia Anjani teman kuliah mas Wijan?”

“Tadi aku tidak mengenali dia, demikian juga dia. Tapi sekarang aku ingat, dia teman sekampus waktu kuliah. Aneh, sama-sama lupa. Baru setelah jalan bersama pak Barno aku ingat.”

“Jangan-jangan dia yang dicari Jatmiko.”

“Penasaran aku.”

“Kamu kok heboh sih, nama itu bisa saja sama. Ya sudah, aku hampir sampai, nanti saja ngomongnya.”

Wijan menutup ponselnya, dan berpikir tentang gadis yang baru saja ketemu dengannya. Benar teman sekampusnya. Wijan tersenyum, dan merasa bahwa Anjani temannya menjadi semakin cantik. Dulu mereka tidak mengenal dekat, hanya kenal karena sekampus saja.

*

Nilam membuka map berisi berkas lamaran atas nama Anjani. Menatap fotonya dan memperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Nilam juga mencatat nomor kontaknya.

“Saat wawancara, aku ingin mas Wijanlah yang mewawancarainya,” katanya pada Wijan ketika kakaknya itu sudah kembali.

“Kamu yakin, dia Anjani yang dicari Jatmiko?”

“Tidak begitu yakin sih, itu sebabnya aku ingin ketemu dia. Sekarang aku akan menelpon Jatmiko.”

“Kenapa buru-buru? Nanti kalau sudah jelas dia, kamu baru memberi tahu dia. Iya kalau iya, kalau bukan, dia pasti kecewa.

“Iya, benar. Tunggu besok saja. Aku sudah meminta agar besok dia dipanggil untuk wawancara.

“Baiklah, terserah kamu.”

“Bagaimana tadi, hasilnya?” tanya Nilam.

“Hasilnya baik, aku akan menghadap bapak sekarang.”

Nilam mengangguk, lalu melanjutkan pekerjaannya. Hatinya berdebar, membayangkan bisa bertemu dengan Anjani. Kalau benar, pasti Jatmiko akan senang.

*

Sore hari itu Anjani sedang menemani bapak dan ibunya minum secangkir teh hangat, dan cemilan. Ibunya sedang mencatat sesuatu di sebuah kertas.

“Kamu menulis apa?”

“Belanjaan untuk besok, banyak barang habis.”

“Itu, kamu juga menulis lipstik, lalu …apa lagi tuh… “

Esti duduk menjauh, ternyata sang suami yang duduk di sampingnya juga membaca apa yang ditulisnya.

“Semua barang yang habis, dan lipstikku juga habis. Ini kalau uangnya masih ada, sisa uang yang aku pegang tinggal sedikit,” kata Estiana sambil merengut.

“Kalau uangnya tidaik cukup, yang tidak perlu ya ditangguhkan dulu,” kata Marjono.

“Iya, aku tahu,” jawab Esti sambil merengut.

“Kalau obatku habis, tidak usah beli obat lagi saja. Aku sudah merasa lebih enak.”

“Itu gampang, nanti aku pikirkan,” kata Esti sambil melipat kertas catatannya, lalu dimasukkan ke dalam saku bajunya.

Tiba-tiba Anjani yang semula diam saja berteriak.

“Heii, besok aku ada panggilan wawancara.”

Wajahnya berseri.

“Baru wawancara, belum tentu diterima,” kata ibunya, sinis.

“Doakan yang terbaik dong Bu,” sungut Anjani.

“Semoga diterima, bapak akan mendoakan untuk kamu.”

“Terima kasih Pak,” kata Anjani riang. Ia segera beranjak ke kamarnya untuk mempersiapkan baju yang pantas untuk wawancara.

“Jangan lupa. Nanti nak Usman akan mengajak kamu makan malam,” kata ibunya.

Senyuman di bibir Anjani menghilang.

“Mengapa sering kali dia minta ditemani makan?” tanya Marjono.

“Memangnya aneh? Sepasang laki-laki dan perempuan makan bersama?”

“Terlalu sering, tampaknya kurang pantas,” kata Marjono yang tampaknya memang kurang senang anaknya akan diperistri Usman. Ia juga tak yakin Anjani senang. Ia melihat bagaimana wajah Anjani ketika mendengar ibunya berkata bahwa Usman akan mengajak makan malam. Kalau memang Anjani suka, pasti dia akan tersenyum, atau menunjukkan wajah suka. Tapi ia menangkap wajah muram dan cemberut yang diperlihatkan Anjani ketika mendengarnya.

*

Usman dan Anjani sedang duduk berhadapan di sebuah meja, di rumah makan. Agak malam Usman menjemputnya, karena katanya banyak urusan. Akhir-akhir ini Usman sangat sibuk, entah apa yang dilakukannya.

Tapi disaat senggang, Usman selalu menyempatkan dirinya mengajak Anjani jalan-jalan. Tak mampu Anjani menolaknya. Kecuali dipaksa oleh ibunya, ia juga tak ingin ayahnya melihat bahwa dia melakukannya dengan terpaksa.

Tapi walau wajah Anjani selalu masam, Usman dengan sabar menghadapinya.

“Tunggu saja nanti,” kata batinnya.

“Mengapa kamu makan hanya sedikit?”

“Tadi sudah makan, menemani bapak.”

“Baiklah, nanti kita bawa pulang saja untuk oleh-oleh, kan bisa dimakan besok pagi, untuk sarapan?”

“Terserah,” jawabnya ketus.

“Anjani, tadi aku beli sesuatu untuk kamu,” kata Usman sambil mengeluarkan sebuah kotak kecil. Anjani hanya meliriknya sekilas.

“Bukalah, kamu pasti suka.”

Anjani bergeming.

“Bapak jangan membelikan apapun untuk saya. Saya tidak mau.”

“Membelikan sesuatu untuk calon istri, tidak salah kan?”

“Saya tidak suka.”

“Buka dulu.”

Karena Anjani bergeming dan tidak mau membukanya, maka Usman membukanya, lalu disodorkan ke hadapan Anjani.

Anjani meliriknya, tapi dia tidak tertarik. Ada sebuah gelang dihiasi permata melingkar di kotak itu. Terkena cahaya lampu, gelang itu tampak berkedip-kedip.

“Bukankah gelang kamu hilang? Karena kamu tidak mau aku ajak untuk membeli, maka aku membelikannya, aku harap kamu suka.”

“Bukan gelang seperti ini yang hilang, jadi tolong bawa kembali,” kata Anjani sambil menyodorkan gelang itu ke arah Usman.

Tapi tiba-tiba ada dua orang laki-laki melewati meja mereka, dan salah satunya menyapa.

“Pak Usman?”

“Lhoh, pak Raharjo, kebetulan sekali kita bertemu di sini,” kata Usman sambil berdiri.

“Saya sedang menemani tamu saya makan malam, tapi sudah selesai,” kata Rajarjo sambil melirik ke arah gadis cantik di depan Usman.

“Oh, begitu. Tapi kenalkan dulu, ini calon istri saya,” kata Usman sambil menunjuk ke arah Anjani. Anjani tak bereaksi, tapi ia mengulurkan tangan ke arah Raharjo yang sudah mengulurkannya lebih dulu. Wajah Anjani kaku, dan Raharjo menangkap ketidak serasian pasangan itu.

*

Besok lagi ya. –bersambung–

at January 30, 2024
by Tien Kumalasari
Share

Ada Cinta Dibalik Rasa | 08, Cerbung Tien Kumalasari

tags: cerbung, cerita bersambung, Tien Kumalasari, Kumalasari, Tien, Seni Budaya, Bahasa Indonesia, kisah, cerita,

Tinggalkan Balasan

Eksplorasi konten lain dari Kissparry

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca

Eksplorasi konten lain dari Kissparry

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca