Nilai-nilai KEPATRIAN yang cukup banyak dibaca di blog ini dan hampir setiap hari ada yang membaca adalah GEMATI, dan SUMELEH SAKDERMO NGLAKONI.
Namun tentang GEMI, NASTITI, NGATI-ATI juga sudah mulai dilirik pembaca dari tahun 2017 rata-rata 1 pembaca, kemudian meningkat 2018 rata-rata 4 pembaca, dan 2019 rata-rata 12 pembaca perhari. Cukat Trengginas Mitayani juga mulai dibaca banyak kalangan rerata 1, 5, dan 10. Untuk Gemati rata-rata yang baca perhari ada 16 orang.
Sehingga tepat kalau Enam Nilai Kepatrian ini untuk Gerakan Perekan Nasional menjadi Panduan Membangun Jiwa Korsa bagi Kader PATRI, ataupun kita semua warga masyarakat Indonesia.
Inilah selengkapnya Gerakan Perekat Nasional, ENAM NILAI KEPATRIAN
(Panduan Membangun Jiwa Korsa Bagi Kader PATRI)
- RASA SENASIB, gerakan penyadaran untuk menguatkan rasa peduli, peka, penuh perhatian (empati), saling menyayangi, menasihati, melindungi, menghormati, dan saling membantu dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi saudaranya, sesama keluarga besar Transmigran.
- GEMATI, gerakan penyadaran untuk meningkatkan kecintaan dalam melestarikan, melindungi, menjaga keberlanjutan, menghargai, dan merawat potensi sumberdaya milik sendiri maupun umum yang telah diberikan Allah, Tuhan Yang Maha Pemurah.
- GEMI, NASTITI, NGATI-ATI, gerakan penyadaran untuk menguatkan sifat berhemat, cermat, tekun, bersahaja dan waspada dalam menjalani kehidupan.
- GOTONG ROYONG, gerakan penyadaran untuk menguatkan solidaritas, rasa saling tolong menolong, berbagi peran, dan bekerja sama dalam menyelesaikan urusan bersama. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.
- CUKAT, TRENGGINAS, MITAYANI, gerakan penyadaran untuk selalu bertindak cepat, tepat, cekatan, penuh semangat, motivasi berprestasi, bertanggungjawab, terampil, dan profesional dalam menjalankan amanah.
- SUMELEH, gerakan penyadaran untuk menjalankan amanah dan pekerjaan dengan penuh keikhlasan, sabar, syukur, rendah hati, sekuat tenaga, tegar, tidak memaksakan kehendak, serta dapat mengukur kapasitas diri.
Setiap menjalankan urusan dan menghadapi masalah, Kader PATRI senantiasa mohon dan bersandar (tawakal) kepada ketentuan Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa. Manusia hanya berusaha, Allah yang menentukan.
X.bata, 28.02.2019
@hasprabu

INILAH 6 NILAI KEPATRIAN
Pada umumnya warga transmigran adalah kaum marginal, baik dari segi ekonomi, pendidikan, dan status sosial.
Tetapi yang sangat mengherankan, mereka yang masuk kelompok marginal itu dikemudian hari bisa menurunkan anak keturunan yang hebat. Bahkan tanpa disadari, karyanya berhasil mendorong keberhasilan suatu daerah.
Misalnya, memajukan pertanian, melahirkan desa, kecamatan, dan 104 kabupaten/kota baru di luar Jawa. Lebih dahsyat lagi, ada 2 provinsi yang kelahirannya didukung Transmigran. Sulawesi Barat dan Kalimantan Utara.
Melalui penelusuran psikohistoris, ditemukan nilai keunggulan yang dimiliki warga transmigran itu.
Belajar dari pengalaman hidup orang tua transmigran masa lalu, bagaimana mereka mengatasi masalahnya, PATRI dapat merangkum inti sari NILAI KEPATRIAN sebagai berikut:
(Mundut lan sinau saking kahanan duk ing uni, kadospundi para tiyang sepuhipun transmigran saget ngentasi sedaya ruwet renteging panguripan, dipun saring inti sari NILAI KEPATRIAN inggih punika):
01. RASA SENASIB,
02. GEMATI,
03. GEMI, NASTITI, NGATI-ATI,
04. GOTONG ROYONG,
05. CUKAT, TRENGGINAS, MITAYANI
06. SUMELEH.
Adapun uraian untuk masing2 nilai Kepatrian itu dapat disimak penjelasan sebagai berikut:
NILAI KEPATRIAN-1
RASA SENASIB
Kita barangkali ada yang masih ingat kalimat: “Ora sanak orang kadang, yen mati melu kelangan”. Arti sederhananya, walaupun bukan atau tidak ada hubungan persaudaraan, tetapi kalau mereka mati (bisa diartikan mengalami kesusahan, penderitaan, sakit, dll) kita ikut merasakan sakitnya atau merasa kehilangan.
Perasaan itu akan timbul dengan sendirinya ketika sekelompok orang tinggal dalam suatu keadaan yang sama. Jika kita lama tinggal bersama teman di asrama, pesantren, penjara, dan permukiman transmigrasi (kimtrans), maka akan mendorong munculnya perasaan senasib.
Terlebih di Kimtrans. Karena di kimtrans warga tinggal bertahun2, dalam kondisi yang sama, dan bahkan saling membangun persaudaraan melalui perkawinan.
Jika tinggal di asrama dan penjara yang tidak sampai berlanjut beranak pinak saja melahirkan sikap rasa senasib, apalagi selama bertahun2 tinggal di kimtrans.
Dampak dari rasa senasib adalah kian pedulinya hati, kian lembutnya perasaan, dan kian tajamnya kepekaan.
Karena itu, normalnya sesama transmigran dan anak keturunannya tidak akan tega dan tidak akan membiarkan jika ada anggotanya yang mengalami musibah. Dalam bahasa keren, disebut solidaritas sosial.
Hasil sikap senasib sepenanggungan ini bisa melahirkan energi dahsyat. Ini terbukti. Ketika PATRI dideklarasikan tahun 2004, dari berbagai provinsi datang suka rela. Padahal awalnya tidak saling kenal.
Energi positif itu terus mengalir hingga sekarang. Diantaranya berbentuk lahirnya Pokja Lahan, Pokja Pendidikan, paguyuban seni, dan berbagai aktivitas lainnya di daerah-daerah.
Jika rasa senasib sepenanggungan ini belum terbersit dalam hati kita, kita patut segera mawas diri. Ada apa dengan kita?…
NILAI KEPATRIAN-2.
GEMATI
Walaupun jarang disebut dalam pembicaraan sehari-lagi, ketika ada yang mengucapkan kata “Gemati”, alam sadar kita langsung “nyambung”. Itu menunjukkan, bahwa kita pernah melihat, mendengar, atau mengalami sifat yang berkaitan dengan kata GEMATI.
Ini buktinya, ada yang mengatakan: “Aku ngerti sih, faham. Tapi bahasa Indonesiane opo yo sing pas?
Perhatiaaan banget pokoke, sing banget-bangetlah. Sayang bangetlah yo ngono ikulah artine.. hehehe”
Ada juga yang lebih rinci menjelaskan: “Gemati itu sikap sayang kepada suatu barang, orang, hewan, tanaman, dan sebagainya.
Dimana sifat sayang tersebut dibarengi dengan sikap mau dan mampu memelihara, melindungi, menempatkan pada tempatnya, dan bahkan mampu mendidik/memelihara hingga dewasa dan bermanfaat atau barang jadi.
Contoh dalam bentuk kalimat: “Walah.. gematine si Adin ngingu pitik, pitike akeh endoge akeh jan untung bener.”
Ungkapan lain: “Hmm..senenge ndelok mbak Sartini, gemati momong adike. Dadi ibuke wis ora susah maneh nyambi nyambut gawe…”
Ada juga: “Wah hebat Mas Sigit, gemati banget tandur semangka, saben dina di sirami, disemprot, diwolak-walik, dipageri. Saben esuk sore ditiliki tekan panen. Dadi panene kasil lan akeh”…..!
Walaupun sesama petani, warga transmigran lebih mempunyai sifat gemati. Misalnya, ketika punya cangkul, cangkulnya dirawat baik2. Setelah macul, dibersihkan dan disimpan.
Dapat hadiah sarung, sarungnya dirawat. Dicuci dengan sabun klerak, distrika, disimpan dan diberi kapur barus. Mengapa demikian gematinya?
Kita semua tahu. Permukiman transmigrasi umumnya jauh dari pertokoan dan keramaian. Jadi, jika transmigran ingin punya cangkul, maka harus pergi ke kota.
Harga cangkulnya mungkin hanya Rp 50.000. Tapi ongkos belinya bisa Rp 200.000. Karena itu, ketika mempunyai barang, harus diawet-awet, dirawat, agar berguna dalam waktu lama.
Punya mug (cangkir alumunium) bocor, daripada dibuang, ditambal saja dengan patri. Bisa digunakan lagi..
Demikian orang tua kita mengajarkan kepada kita. Sehingga ketika kita beli barang, diberi amanah, mendapat jabatan, tambah kenalan, dan lainnya, jadi gemati.
Termasuk gemati kepada Rumah PATRI. Kalau bukan kita yang gemati, mau kesiapa lagi..?
NILAI KEPATRIAN-3:
GEMI, NASTITI, NGATI-ATI
Bagi kita yang waktu kecilnya ikut Pramuka, mungkin masih ada yang ingat Tri Satya dan Dasa Darma.
Dalam salah satu Dasa Darma ada kalimat: “Hemat, Cermat, dan Bersahaja”. Kalimat ini cukup mirip untuk menggambarkan buah dari sifat Gemi, Nastiti, dan Ngati-ati.
Pada umumnya transmigran dan anaknya bisa berhasil karena Allah memberinya sifat “Gemi, nastiti, dan ngati-ati” itu. Mari kita kupas satu persatu.
Gemi artinya hemat. Suatu sikap selalu bersyukur atas rizki yang diterimanya. Contohnya, ketika panen tiba (panen padi, jagung, palawija, dll).
Seberapapun hasil panen itu, tidak akan dihabiskan untuk dimakan. Sebagian panenan, misal jagung yang tongkolnya bagus, disimpan di “pogo” untuk persiapan bibit tanam berikutnya.
Tongkol dan biji yang tidak seragam dipisah untuk dimakan sehari-hari. Tongkol lainnya dipipil dan dijual. Uangnya dikirimkan ke kota, untuk anaknya yang sedang “ngenger” sambil sekolah.
Adapun Nastiti artinya cermat. Kata nastiti hampir sama dengan gemati. Kalau gemati cermat dalam menjaga dan memelihara agar barangnya lebih awet, maka nastiti cermat dalam menghitung penghasilan, agar tidak sampai thekor. Syukur-syukur bisa menabung.
Terakhir, Ngati-ati artinya berhati-hati. Mengingat bahwa di kimtrans semuanya serba baru.
Rumah, tetangga, kebiasaan, tempat, dan suasana baru, maka mereka berusaha berhati-hati dalam segala hal. Misalnya, dalam tutur sapa sangat dijaga, agar tidak menyinggung perasaan. Tidak asal bicara kalau tidak tahu dan tidak diminta.
Semoga ketiga kata bernilai itu masih dan tetap diamalkan anak keturunannya.
Sehingga dimanapun kita berada insya Allah kehadiran kita menyebabkan lingkungan kita terasa nyaman dan tenteram (ayem tentrem).
Apakah Rumah PATRI kita sudah begitu?…
NILAI KEPATRIAN-4:
GOTONG ROYONG
Gotong royong termasuk kata yang sering kita dengar. Gotong royong tampaknya berasal dari kata “digotong reroyongan”, diangkat ramai-ramai.
Gotong royong biasanya dekat dengan istilah kerjasama tanpa upah, seperti kerja bakti, gugur gunung, arisan tenaga, dan sambatan.
Pada saat transmigran, khususnya transmigran umum (TU) memasuki permukiman (Kimtrans), merasa terkejut.
Subhanallah, melihat ladang seluas 2 Ha. Bagaimana lahan yang masih hutan sekunder seluas itu digarapnya sendiri.
Bukan hanya ladang, tapi juga beberapa fasilitas penting belum tersedia atau belum dapat digunakan.
Misalnya, sumur gali yang ada hanya sedalam beberapa meter saja. Sehingga untuk keluar air, harus didalamkan lagi.
Termasuk fasilitas bangunan sekolah. Ada beberapa bangunan kosong yang “bongkor”. Hampir tertutup oleh ilalang dan belukar, karena lama tidak digunakan. Jalan menuju ke Balai pertemuan sudah tertutup belukar, dan lain-lain.
Dalam keadaan seperti itu, maka kata dan senjata yang paling tepat adalah melakukan “gotong royong”. Kepala rombongan keliling Kimtrans, mengumumkan kerja bakti. Akhirnya, dengan kerjasama itu semua kesulitan diatasi bersama-sama.
Karena model kerjasama berupa kerja bakti atau gotong royong itu terjadi berulang-ulang dan bertahun-tahun, jadilah gotong menjadi nilai kearifan lokal di kimtrans.
Sejak pagi mereka para pria dewasa menuju titik kumpul yang telah disepakati. Ibu-ibunya menyusul kemudian sambil mengantarkan kopi di ceret/teko, dan sedikit makanan.
Cara itu bahkan menjadi embrio kegiatan berikutnya. Arisan tenaga pada saat tanam palawija, gotong royong membuat kandang kambing, sambatan saat memasang atap rumah, dan iuran saat tetangganya ada acara sunatan.
Termasuk pula pada saat ini, mengatasi kasus lahan transmigran. Jika diselesaikan secara gotong royong, akan terasa ringan.
Demikian pula, gotong royong mengumpulkan suara; agar calon yang mewakili aspirasi transmigran berhasil….
Allah Akbar…..
Hiii keren…
Hmm…indahnya gotong royong…
NILAI KEPATRIAN-5:
CUKAT, TRENGGINAS, MITAYANI
Jika dimasa sulit, misalnya saat gagal panen, huru-hara, bencana alam, dan ketika orang-orang disekitarnya sudah “pasrah bongkokan” (menyerah, ambruk), tetapi ada sebagian orang yang masih bisa bertahan hidup.
Jika ketika jalan keluar seperti telah tertutup dan tinggal menunggu “kematian”, sementara masih ada orang yang tampak tegar, itu dapat diperkirakan bahwa diantara mereka ada orang yang memiliki sifat CUKAT, TRENGGINAS, dan MITAYANI.
Ketiga kata ini memang hampir jarang dijadikan ucapan sehari-hari. Walaupun kata itu berasal dari bahasa Jawa, tapi jarang diucapkan. Sehingga diantara kita jarang mendengarnya. Bahkan orang yang mempunyai sifat itu juga sulit mendefinisikan dirinya sendiri.
Dalam Bahasa Jawa, CUKAT bermakna cepat atau cekatan. TRENGGINAS bermakna terampil. Adapun MITAYANI bermakna dapat diandalkan.
Licin seperti belut, lincah seperti tupai. Kalau dalam pewayangan, sifat itu dimiliki Si Wanara Seta, Hanoman. Kera putih andalan Prabu Ramawijaya saat menyerang Dasamuka Raja Alengka.
Sifat itu, seperti nilai Kepatrian sebelumnya, terbentuk karena tuntutan alam yang dialami orang tua transmigran. Terutama transmigran dimasa lalu.
Beratnya perjuangan dan tuntutan hidup yang dihadapi, mendorong lahirnya kreatifitas mengatasi kesulitan.
Diantara mereka berpikir dan berusaha keras agar persoalannya dapat diatasi. Baik persoalan berkaitan dengan kekurangan makanan, ancaman binatang buas, maupun paceklik yang berkepanjangan.
Satu sama lain saling berupaya, dan ternyata ada yang berhasil. Maka, keberhasilan menemukan solusi itu menjadi puncak2 prestasi.
Upaya mengatasi permasalahan itu kemudian menyebar atau ditularkan, dan dijadikan nilai yang “diugemi” masyarakat.
Sehingga ketika ada persoalan yang mirip, masyarakat itu sudah punya solusinya. Solusi itu sering dimunculkan dalam ungkapan kalimat “belajar dari pengalaman”.
Agar ungkapan tiga kata itu tidak hilang dari perbendaharaan kata kita, sudah selayaknya kita melestarikan nilai itu.
Melestarikannya tidak cukup dengan mengingatnya, tetapi yang terpenting mengembangkan nilai yang terkandung dalam arti kata itu, dalam realitas problematika kekinian.
Pelatihan agar melahirkan ketrampilan hidup perlu dilakukan. Karena nilai itu masih sangat relevan. Kader yang handal umumnya lahir dari masa sulit.
Dia terbukti mampu mengatasi masalah. Dengan sikap tegar, tanpa menunggu disuruh-suruh, memimpin kelompoknya keluar dari kesulitan.
Allah Akbar.
NILAI KEPATRIAN-6
SUMELEH, SAKDERMO NGLAKONI
Sumeleh berasal dari akar kata seleh. Artinya taruh, letakkan, sandar. Setelah menjadi Sumeleh, artinya Patuh dan Bersandar, atau menyandarkan diri hanya kepada Allah Yang Maha Esa.
Sikap ini biasanya menjadi pilihan dan “urutan penghabisan”. Ketika segala upaya, ikhtiar, dan nafas terakhir sudah di ujung tenggorokan, namun tidak ada tanda-tanda terwujudnya harapan.
Beban hidup teramat berat untuk diangkat, segala doa dan upaya sudah ditempuh. Maka, sebagai hambaNya yang hanya mampu berusaha, menyerahkan seluruh persoalan yang tidak mampu diselesaikan, kepada Sang Maha Pencipta, Allah Yang Maha Kuasa. Manusia hanya sekedar menjalankan fungsinya, atau sakdermo nglakoni.
Orang tua transmigran sangat memahami konsep “Sumeleh, sakdermo nglakoni” ini. Mereka menyadari, keberhasilan dan kegagalan dalam menjalani hidup sebagai transmigran semata-mata karena karunia Allah.
Sehingga ketika sukses, tidak membuatnya lupa diri. Sebaliknya, ketika gagal dan terpuruk, tidak menjadikannya putus asa.
Hadapi kenyataan hidup itu dengan Sumeleh, karena manusia sakdermo nglakoni. Menyandarkan diri hanya kepada Allah.
Manusia hanya melakukan apa yang sudah digariskan Sang Maha Pencipta.
Pengalaman suka duka, pahit getir, dan kenyangnya makan asam garam kehidupan di permukiman transmigrasi melahirkan sikap SUMELEH ini.
Dalam perwujudannya, sikap mereka saat menghadapi cobaan, ujian, dan musibah yaitu :
- Sabar. Mereka meyakini, dengan datangnya musibah itu Allah sedang menguji kesabarannya. Dan hanya kepada Allah saja bermohon agar mampu bersabar dalam menerima musibah itu.
- Ikhlas. Mereka meyakini, dengan adanya musibah itu Allah akan meninggikan derajat/kemuliaannya. Karena itu mereka ikhlas menerimanya.
- Syukur. Mereka meyakini, dengan adanya musibah itu Allah sedang menghapus dosa-dosanya.
Demikianlah sikap transmigran yang disarikan menjadi 6 (enam) Nilai Kepatrian yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu:
- Rasa senasib,
- Gemati,
- Gemi, nastiti, ngati-ati,
- Gotong royong,
- Cukat, trengginas, mitayani, dan
- Sumeleh, sak derma nglakoni.
Semoga tulisan ini bermanfaat. Bukan hanya untuk transmigran tetapi seluruh masyarakat tentang makna-makna kata diatas.
Sebagai wujud rasa syukur kepada Allah yang telah memilihkan garis hidup kita sebagai keluarga besar transmigran Indonesia, sudah selayaknya kita sekuat tenaga untuk dapat meneladaninya. Tammat.
Aamiin
@Hasprabu
Diunggah oleh Lik Kasjo (Muba Sumsel)
Editor Kissparry.