Melati | Cerbung 02 Tien Kumalasari

Melati 01
(Tien Kumalasari)

Malam itu hujan kembali mengguyur dengan deras. Kilat yang menyambar memasuki rumah melalui kaca jendela yang kordennya sedikit tersingkap. Guntur yang bersahutan, menambah suasana menjadi mencekam. Melati menjenguk ke dalam kamar ibunya, yang tampak berbaring membelakangi pintu.

Khawatir tak mendengar saat ibunya memanggil, maka Melati menggelar kasur tipis di kamar ibunya, lalu berbaring di sana.

Melati hampir terlelap, ketika tiba-tiba mendengar suara isak tangis. Melati bangkit, menatap ke arah ranjang ibunya, dan melihat sang ibu masih tertidur menghadap tembok. Dari mana datangnya isak itu?

Melati terus membuka kupingnya, memang di kamar itu isak terdengar. Melati berdiri, dan melihat pundak sang ibu bergerak-gerak. Melati terkejut. Rupanya Karti memang sedang menangis. Melati naik ke atas ranjang, menyentuh lengan ibunya.

“Ibu. Apakah ibu menangis?”

Karti diam, tapi pundak itu tak lagi tampak bergerak. Isak itu juga tak lagi terdengar. Rupanya ketika merasa Melati menyentuhnya, ia segera menghentikan tangisnya. Sebenarnya dia tak sadar kalau tangisnya bisa terdengar oleh Melati.

“Ibu … “

Karti membalikkan tubuhnya, pipi yang pucat itu basah oleh air mata. Melati mengusapnya dengan perasaan cemas.

“Ibu kenapa? Apa ibu merasa sakit?”

“Tidak … tidak … aku baik-baik saja.”

“Mengapa ibu menangis?”

“Ya Tuhan, aku sampai menangis?”

“Ibu memang menangis, apa yang ibu pikirkan?”

“Rupanya aku bermimpi, Mel.”

“Bermimpi, sampai menangis seperti itu, mimpi apa sih Bu?”

“Ketemu ayahmu, ibu marah-marah karena dia masih saja suka berjudi. Tapi ayahmu melukai ibu, menyakiti ibu, sampai-sampai ibu menangis karena kesakitan,” kata Karti berbohong. Ia sedang memikirkan tuan Harjo yang menagih utang suaminya. Hal yang tak pernah dibayangkannya. Sebanyak itu pula. Bagaimana ia bisa mengembalikannya? Karti sedih sekali, bingung tak tahu harus berbuat apa. Karenanya dia menangis. Tak disangka Melati mendengarnya. Tapi Karti tak ingin anak gadisnya mendengar semua itu. Melati masih sangat muda, jangan sampai terbebani oleh derita yang ditinggalkan oleh ayahnya.

“Ya ampun, ibu hanya bermimpi?”

“Tidurlah, kenapa kamu ada di kamar ibu?”

“Hujan sangat deras, Melati khawatir, kalau ibu membutuhkan sesuatu dan memanggil Melati, Melati tak bisa mendengarnya. Karenanya Melati tidur di sini saja.”

“Tidurlah di sebelah ibu saja, di lantai kan dingin.”

“Itu kasur Bu, tidak akan membuat Melati kedinginan. Sekarang ibu kembali tidur saja. Lupakan mimpi itu. Kan hanya mimpi? Mana mungkin bapak akan memerahi ibu lagi?”

Karti tersenyum tipis, terpaksa menerbitkan senyum agar Melati menjadi tenang. Lalu dia kembali memejamkan matanya, berusaha tidur dengan melupakan beban yang menindihnya.


Pagi sekali Melati telah bangun. Ia menjerang air untuk membuat minuman hangat, kemudian mengepel lantai teras yang basah akibat hujan deras semalam. Setelah itu dia kembali melanjutkan bersih-bersih rumah.

Ketika semuanya sudah selesai, Melati membawa secangkir teh hangat untuk ibunya, ke dalam kamar. Tapi dilihatnya ibunya sudah duduk di tepi ranjang.

“Ibu sudah bangun?”

“Bawa minumannya keluar, ibu minum di ruang tengah saja,” katanya sambil turun dari atas pembaringan.

“Ibu benar-benar ingin duduk di sana?”

“Iya, aku merasa sehat, kenapa kamu kelihatan risau?”

Melati membawa minuman itu ke ruang tengah, di mana kemudian ibunya duduk.

“Ibu saya belikan sarapan dulu ya, ibu mau makan apa?”

“Masih agak gelap, ini jam berapa?”

“Baru jam enam Bu, agak gelap karena mendung.”

“Pagi-pagi sudah mendung,” gumam ibunya sambil menghirup minumannya.

“Memang lagi musimnya Bu. Sekarang ibu mau sarapan apa? Nasi liwet, nasi gudeg, nasi lauk macam-macam itu.”

“Terserah kamu saja.”

“Oh iya, ada yang jual timlo dekat perempatan. Mau ya? Biar nanti bisa untuk makan siang juga.”

“Jauh kah?”

“Tidak, sebelum perempatan, kiri jalan. Melati jalan saja kok, nggak naik sepeda.”

“Nanti keburu kamu masuk kerja.”

“Tidak. Masih keburu kok. Sebentar ya Bu,” kata Melati sambil menuju kebelakang untuk mengambil rantang. Lebih baik bawa rantang, daripada dibungkus plastik, nanti harus melepas plastiknya, takut tumpah juga.

“Ibu kalau ingin mandi, sudah Melati siapkan air panas. Tinggal menuang saja di ember. Tapi jangan lama-lama, nanti keburu dingin,” pesan Melati sebelum berangkat.

“Ya,” Karti hanya menjawab singkat.

Ketika Melati berangkat, hati Karti masih diliputi perasaan bingung. Ke mana dia harus mencari uang. Mau pinjam pada siapa, apa ada orang mau percaya kalau dirinya yang hanya penjahit kok mau pinjam uang lima puluh juta lebih. Mungkin dengan bunganya bisa enam puluh juta lebih.

Air mata Karti kembali menetes.

“Kamu itu Pak, ketika hidup menyusahkan aku, menindas aku, memeras aku, hanya untuk berjudi dan mabuk-mabukan. Setelah kamu mati pun, masih juga menyiksa aku seperti ini,” gumamnya sambil berkali-kali mengusap air matanya. Ia sembunyikan semuanya, jangan sampai Melati tahu penderitaannya itu.

Karti bangkit, ia harus membuat wajahnya bersih dari sembab akibat terlalu banyak menangis. Ia menuju ke kamar mandi, menuang air panas ke dalam ember, ditambahinya air dingin secukupnya.

Karti mandi cukup lama. Sambil mandi pun air matanya masih bercucuran.

Ia menghentikan tangisnya ketika mendengar Melati mengetuk pintu.

“Ibu masih mandi? Jangan lama-lama, nanti masuk angin lagi.”

“Iya, ibu sudah selesai.”

Karti membasuh wajahnya berkali-kali, berharap Melati tak melihat bekas tangisnya.

Ketika ia berganti baju, Melati langsung mandi setelah berpesan kepada ibunya bahwa sarapan sudah disiapkan di meja makan.

Karti merasa lega. Ia menambal wajahnya dengan sedikit bedak, lalu memakai kaca mata yang biasa dipakai saat dia menjahit agar tak begitu kentara wajah sembabnya.

Karena terburu-buru, Melati tidak begitu peduli pada wajah sembab ibunya. Ia sarapan dengan terburu-buru, kemudian meletakkan piring kotornya di dapur.

“Bu, nanti kalau ibu selesai makan, taruh saja piringnya di dapur, biar nanti Melati yang mencucinya,” pesannya sebelum berangkat kerja.

“Iya.”

“Nanti siang kalau ibu butuh sesuatu, bisa menelpon Melati. Kalau tidak apa-apa, Melati akan pulang sore.”

“Iya Mel, tidak apa-apa. Nanti kalau mau makan siang, ibu panasin sendiri sisa timlonya. Kamu beli banyak, tadi.”

Melati hanya mengangguk, kemudian segera mengambil sepedanya, menyiapkan jas hujannya, kemudian berlalu.

Karti menyuap sarapannya, dengan terpaksa, karena ia harus minum obat setelah makan. Rasanya perut tidak merasa lapar, karena dihantui oleh waktu seminggu yang diberikan lintah darat itu kepadanya.

Ia menopang kepalanya dengan kedua belah tangannya. Memutar otaknya sampai puyeng, dan tidak menemukan jalannya.

Tiba-tiba ia teringat sertifikat rumah yang disimpannya di dalam almari. Rumah ini adalah peninggalan orang tuanya, dan diatas namakan dirinya.

Karti bangkit penuh semangat, kembali memasuki kamar, dan membongkar almari kecil yang ada di samping tempat tidurnya.

Karti duduk di lantai, satu demi satu lembaran-lembaran kertas dikeluarkannya. Isinya adalah ijazah kelulusan dirinya sampai lulus SMA, dan ijazah Melati dari SD sampai lulus SMK. Tapi dia tidak menemukan yang dicari. Seritikat rumah … sertifikat rumah … mana dia?

Keringat dingin mengalir di dahinya.

“Aku yakin menyimpannya di sini. Apa aku lupa?”

Karti berdiri, menuju almari pakaiannya. Membuka-buka, bahkan terlihat seperti mengobrak-abrik, karena dia mengeluarkan tumpukan pakaian dan meletakkan begitu saja di lantai.

“Tidak ada?”

“Di mana … di mana … di mana ….”

Seperti orang linglung Karti mencari ke setiap tempat yang kemungkinan bisa dipergunakan untuk menyimpan. Tapi dia tidak menemukan apa yang dicarinya.

“Pasti dia telah mengambilnya diam-diam, dan menggadaikannya,” pekiknya sambil menjerit.

Karti ambruk di lantai, bersandar pada meja yang ada di ruang tengah. Ia belum sempat merapikan kembali barang-barang yang berserakan akibat pencariannya yang tanpa hasil.

“Mengapa kamu tega Pak? Kamu meninggalkan aib dan sengsara dalam hidupku. Apa salahku Pak? Aku melayanimu dengan baik, menjadi istri penurut, bahkan mengabulkan setiap permintaan kamu. Hasil aku menjahit, hasil Melati bekerja sudah kami relakan demi membuat kamu tidak mengamuk dan merusak semua barang. Lalu sekarang … mengapa kamu ternyata juga mencuri sertifikat rumahku? Kemana kamu menggadaikannya? Kemana??” Karti menjerit-jerit. Sendirian, tanpa teman. Nelangsa dihimpit papa yang bertubi tubi. Ketenteraman yang didapat setelah suaminya meninggal, ternyata bukanlah ketenteraman yang sebenarnya. Masih ada siksaan dari sang suami yang ditinggalkan tanpa disadari sebelumnya.

Siksa hutang yang menggunung. Siksa kehilangan benda berharga peninggalan orang tuanya.

“Ya Allah, tolong hambamu ini …. “ akhirnya dia merintih letih, lalu terkulai lemah di lantai.


Melati sedang melayani pemesan katering yang sedang memilih-milih menu. Dengan manis dan ramah dia melakukannya. Selalu begitu. Oleh manager perusahaan, dia dipilih menjadi penerima pesanan, karena banyak pelanggan yang memuji cara dia melayani.

Beberapa saat lamanya pemesan itu memilih, kemudian dia sudah menentukan pilihannya, yang segera dicatat oleh Melati.

“Yang paket nomor satu ya Bu, untuk berapa porsi?”

“Untuk seribu porsi ya, tolong dihitung, nanti kabari saya lewat ponsel saya yang sudah mbak catat, segera saya bayar semuanya.”

“Baik bu, untuk tanggal 30 bulan Mei ya Bu.”

“Ya benar. Segera kabari saya. Maaf saya sedang terburu-buru.”

“Baik Bu, akan segera saya kerjakan.”

Sebelum Melati duduk kembali, datang seorang wanita cantik.

“Selamat siang.”

“Selamat siang Mbak.”

“Saya ingin memesan masakan, untuk selamatan tujuh bulanan. Bisakah?”

Melati melirik ke arah perut wanita cantik itu, lalu tersenyum sambil mengangguk.

“Bisa Mbak, tentu saja bisa. Ini ada daftar menu dan harganya, lalu apa saja yang akan Mbak pilih. Soalnya ada yang minta lengkap ada yang hanya untuk acaranya saja.”

“Oh, bagusnya, ini wayang siapa?”

“Ini lukisan Batara Kamajaya dan Dewi Kamaratih. Keduanya adalah gambaran dari seorang laki-laki rupawan, dan puteri yang cantik jelita. Ini semua hanyalah tradisi Jawa Mbak. Bukan untuk apa-apa. Setiap ibu atau orang tua yang akan memiliki putra atau putri, pasti berharap sang anak berwajah cantik, atau tampan. Dan ini semua hanyalah sebuah keinginan yang digambarkan dalam sebuah lukisan pada sepasang cengkir gading. Maaf, saya kurang begitu mengerti secara luas mengenai tradisi mitoni ini. Tapi ini ada buku panduannya, Mbak boleh baca dulu, akan memakainya atau tidak, karena tidak semua orang menyukai tradisi ini, padahal ini juga merupakan warisan budaya yang adi luhung. Silakan Mbak,” kata Melati sambil menyerahkan sebuah buku bergambar wanita cantik dengan disiram air bersama bunga-bunga.

“Wouw … tapi saya tidak akan sempat bisa membacanya sampai selesai, lagi pula saya juga harus berbincang dulu dengan suami dan ibu saya. Jadi, bolehkah saya membawa pulang buku ini? Ini kartu nama saya.”

“Oh boleh, silakan dibawa saja, kami menunggu kabar dari Mbak. Di sini melayani semua kebutuhan untuk upacara apa saja.”

“Baiklah, saya akan mengabari secepatnya,” wanita cantik itu melangkah pergi. Melati membaca kartu nama yang ditinggalkannya.

“Nilamsari, Wakil Direktur Perusahaan Batik?”

Melati tiba-tiba teringat, pernah katering tempatnya bekerja melayani acara pernikahan Nilamsari dan seseorang yang dia lupa namanya. Sebuah perhelatan yang meriah. Dia juga teringat ketika pada waktu itu bertabrakan dengan laki-laki tampan yang menyebabkan kuah yang dibawanya tumpah. Beruntung bukan kuah panas. Lalu dia juga teringat, ketika pria itu membangunkannya, dan menariknya ke tempat perias, dan memerintahkan untuk memberikan ganti untuk pakaiannya yang kotor. Wajah laki-laki itu tiba-tiba melintas begitu saja. Suaranya yang lembut ketika menanyakan namanya, kembali terngiang di telinganya.

“Siapa manamu?”

“Ya ampun, dalam keadaan kacau kaena baju basah dan kuah tumpah, sempat-sempatnya dia menanyakan namaku,” kata Melati sambil tersenyum-senyum sendiri.

Tapi ingatan itu kemudian ditepiskannya. Laki-laki ganteng, bermata teduh, berucap lembut, mengapa harus dipikirkannya? Melati tak akan pernah mimpi akan bertemu dia lagi. Laki-laki itu kan kerabat pemilik hajatan, yang pastinya orang yang mahakaya, siapakah dirinya ini, yang hanyalah seorang pegawai catering?

Melati menghentikan lamunannya, ketika seorang teman mendekatinya.

“Melati, ada yang mencarimu.”

“Siapa?”

“Katanya tetangga rumah. Dia bilang, ibumu pingsan.”

“Apaa?”

Gemetar Melati meninggalkan pekerjaannya, menghambur keluar menemui orang yang katanya tetangganya.


Besok lagi ya.

at March 19, 2024
Share

Tinggalkan Balasan

Eksplorasi konten lain dari Kissparry

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca

Eksplorasi konten lain dari Kissparry

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca