Bunga untuk Ibuku | 20, Cerbung Tien Kumalasari

BUNGA UNTUK IBUKU 20
(Tien Kumalasari)

 Rusmi menatap Hasti, dan keduanya tersenyum senang. Tak mengira semuanya menjadi semudah ini.

“Ibu sungguh pintar,” kata Hasti sebelum beranjak pergi.

“Aku selalu berhasil. Dulu berhasil memikatnya, lalu sekarang aku berhasil menyingkirkannya. Aku sekarang adalah nyonya pengusaha yang kaya raya,” katanya kemudian tertawa-tawa seperti orang tidak waras.

Bunga Melati

Bibik yang ada di dapur menatapnya miris. Ia menangisi nasib yang menimpa tuan majikannya, tapi dia juga menangisi majikan muda yang terusir dengan semena-mena. Diam-diam bibik bersiap-siap akan meninggalkan keluarga itu. Tak ada yang bisa membuatnya betah mengabdi pada manusia-manusia jahat seperti Rusmi dan Hasti. Ia menyiapkan makan untuk siang harinya, dan bersiap pergi setelahnya.

Tapi ketika ia memasuki kamar Nilam, dilihatnya gadis itu tergolek lemah. Ketika melihatnya, Nilam segera melambaikan tangannya.

“Bibik, mas Wijan mana?” tanyanya lemah.

Hati bibik bagai teriris. Nilam sedang sakit, ia tak sampai hati mengatakan yang terjadi sebenarnya.

“Mbak Nilam sedang sakit, harus banyak istirahat.”

“Aku sedang memanggil dokter, tolong bibik temani Nilam, aku mau pergi sebentar,” kata Rusmi yang tiba-tiba sudah memasuki kamar anaknya.

Bibik ingin mengatakan bahwa dia akan segera pergi, tapi tak sampai hati meninggalkan Nilam yang sedang sakit, dan pasti akan sedih kalau mengetahui Wijan sudah pergi karena diusir oleh ibunya.

Oleh karena itu bibik hanya diam, duduk di tepi pembaringan, sambil memijit-mijit kaki Nilam.

“Mas Wijan mana?”

Lagi-lagi bibik tak berani berterus terang. Karenanya dia kemudian berbohong.

“Pergi ke sekolah.”

“Bukankah ini hari libur?”

Bibik terkejut, ada penanggalan merah di kalender yang terpampang di meja belajar Nilam. Hari ini memang hari libur, entah libur untuk hari besar apa.

“Oh, iya. Barangkali sedang beli sesuatu. Sekarang Mbak Nilam makan ya, bibik ambilkan.”

“Aku nggak suka bubur.”

“Akan bibik ambilkan nasi. Tadi bibik masak opor ayam,” kata bibik sambil berdiri, dan beranjak keluar.

Tapi tiba-tiba terdengar dering bel tamu dari arah depan. Bibik bergegas ke arah depan. Memang yang datang adalah dokter langganan. Bibik mempersilakannya masuk. Lalu menunggui sampai dokter itu selesai memeriksa.

“Di mana ibunya?” tanya dokter itu.

“Sedang … sedang keluar, Dokter,” kata bibik yang tidak tahu ke mana majikannya pergi.

“Nilam hanya terkena flu yang agak berat. Harus istirahat di kamar, paling tidak tiga hari.”

“Tapi panasnya itu, Dokter.”

“Ada infeksi tenggorokan. Ini resepnya, segera diminumkan obatnya ya,” dokter itu memberikan resepnya, lalu menepuk tangan Nilam.

“Makan yang banyak, minum obatnya, dan istirahat di kamar. Kalau tidak, kamu tidak akan segera sembuh.”

Nilam tersenyum tipis, tapi tidak menjawab.

Dokter itu mengemasi peralatannya, kemudian beranjak pergi. Bibik mengantarkannya sampai ke depan, lalu langsung mengambilkan makan untuk Nilam. Ia heran ibunya seperti tidak peduli padahal anaknya sakit.

“Mbak Nilam, ini, makan dulu ya. Setelah ini bibik akan ke apotik dekat situ untuk membeli obatnya.”

“Aku makan sama mas Wijan.”

“Jangan rewel dong Mbak, Kata dokter tadi apa, makan yang banyak, minum obat, dan istirahat.”

“Aku kan hanya ingin sama mas Wijan.”

“Mas Wijan sedang ada perlu, jadi Mbak Nilam tidak boleh menanyakannya terus. Ini, bibik letakkan di sini, atau mau disuapin?”

“Aku makan sendiri, pergilah ambil obatnya,” kata Nilam setelah bibik meletakkan makanannya di samping Nilam berbaring.

Bibik ke belakang, mengambil uang, lalu bergegas keluar untuk mengambil obat. Bingung rasanya. Ingin segera meninggalkan keluarga itu, tapi Nilam membutuhkan perhatiannya. Kasihan kalau dia pergi, sedangkan ibunya seakan tak peduli.

Tapi sebenarnya bibik juga memikirkan Wijan. Ke mana perginya majikan mudanya itu, trenyuh bibik kalau teringat bagaimana ibu dan kakak tirinya mengusirnya pergi, tanpa belas, lalu melihatnya melangkah keluar rumah, lalu hilang dibalik pintu gerbang.

“Kemana kamu pergi Mas, bibik ingin pergi bersama kamu, tapi adikmu sakit, bagaimana ini?”

Ketika menunggu obat di apotik, bibik mencoba menelpon Wijan, tapi tak diangkat. Bibik mengusap air matanya yang tanpa terasa menitik, lalu diusapnya dengan lengan bajunya, sebelum pasien apotik yang lain menatapnya.

*

Bibik memasuki kamar Nilam, dan melihat makan yang disiapkannya, hanya dimakan separuhnya.

“Kok nggak habis sih Mbak,” gerutu bibik yang kemudian mengambil piring bekas makan itu, lalu menyiapkan obat yang harus diminum Nilam.

Beruntung Nilam mau minum obatnya dengan tanpa rewel, kecuali hanya sesekali menanyakan Wijan.

“Mungkinkah mas Wijan pergi ke kota dimana bapak membuka cabangnya?” katanya setelah minum obatnya.

“Mungkin juga Mbak.”

“Kamu tahu Bik, bapak itu sangat baik. Beliau sangat sayang sama mas Wijan, juga sama aku,” kata Nilam, pilu.

“Bibik juga sedih Mbak. Teruslah berdoa, agar bapak bisa segera diketemukan dalam keadaan selamat.”

“Aamiin. Aku juga terus berdoa Bik. Aku berhutang janji pada bapak saat aku sakit yang lalu itu, bahwa aku akan menari di depan bapak. Besok kalau bapak pulang, aku benar-benar akan menari didepannya,” lirihnya sambil mengusap air matanya.

“Mbak Nilam anak yang baik.”

“Aku tidak suka perlakuan ibu. Ia membawa laki-laki bercambang itu di kamarnya,” katanya penuh kebencian. Hal yang harusnya disembunyikannya demi menjaga nama baik ibunya, terpaksa dilampiaskannya di depan bibik. Tapi kan bibik pastinya juga tahu tentang si cambang itu.

“Barangkali ada keperluan penting, sehingga harus masuk ke kamar.”

“Bibik pernah melihat laki-laki itu datang ke rumah kan?”

“Iya Mbak, kan dia itu karyawan di kantornya bapak. Bapak sering menyuruhnya datang ke rumah juga. Dulu bibik tidak memperhatikannya, karena hanya melihat sekilas, dan dari belakang, tapi sekarang bibik tahu, bahwa dialah orangnya.”

“Aku benci sama dia.”

“Mbak Nilam kan tidak tahu, apa kepentingannya datang.”

“Kalau saja bibik melihatnya saat di kamar ibu,” Nilam mengusap air matanya yang menitik turun.

“Non tidak usah memikirkannya, itu kan urusan orang tua.”

“Aku malu, ibu melakukan hal buruk itu.”

Bibik mengelus tangan Nilam dengan lembut. Kalau saja Nilam tahu bahwa kakaknya juga pernah memasukkan laki-laki ke dalam kamarnya, dan yang bibik yakini bahwa mereka melakukan sesuatu yang tak pantas. Bibik tak ingin mengatakannya. Nilam akan bertambah sedih memikirkan kelakuan kakaknya juga.

“Mbak Nilam anak baik. Yang terpenting bagi Mbak Nilam adalah belajar yang rajin, jangan memikirkan yang lain-lain. Hal yang menurut Mbak Nilam baik, boleh ditiru, tapi yang tidak baik, tidak boleh ditiru.”

Nilam mengangguk, tapi ia menyembunyikan duka yang mendalam, atas kepergian sang ayah, yang biarpun hanya ayah tiri tapi amat menyayangi dan disayanginya.

Bibik menyelimuti tubuh Nilam, dan memintanya untuk tidur.

“Nanti kalau mas Wijan datang, suruh dia menemui aku ya Bik.”

“Iya, baiklah,” kata bibik sambil membawa piring bekas makan Nilam, keluar dari kamar.

Sesampainya di dapur, lagi-lagi bibik meneteskan air mata. Kemelut sedang menyelimuti kehidupan majikannya yang sangat baik.

“Ya Allah, selamatkanlah tuan Raharjo, lindungilah mas Wijan, sembuhkanlah mbak Nilam,” mulut bibik berkomat kamit melantunkan doa.

*

Bunga Melati, bunga bangsa ayo semua warga empunya

Di kantor, walaupun hari libur, tapi beberapa karyawan hadir di sana. Semuanya menunggu berita tentang atasan mereka, pak Raharjo, yang sampai sekarang belum diketemukan.

Berkali-kali pak Rangga menelpon, tapi belum ada berita yang diharapkannya.

Pak Rangga yang gelisah, mondar mandir di sepanjang koridor. Kegelisahan memenuhi benaknya. Di ruangan Baskoro, ia melihat Baskoro sedang duduk berpangku tangan. Wajahnya menampakkan kesedihan yang mendalam.

Pak Rangga masuk ke ruangan yang memang tidak tertutup itu, dan Baskoro kemudian mengangkat kepalanya begitu mengetahui atasannya masuk.

“Kamu ada di sini juga, Bas? Bukannya ini hari libur?”

“Bagaimana saya bisa bersantai di rumah Pak, kantor sedang dilanda duka mendalam, karena pak Raharjo belum diketemukan.”

Pak Rangga mengangguk.

“Saya akan ke sana siang ini.” kata Baskoro.

“Ke mana?”

“Saya juga harus membezoek Barno, dan menanyakan semuanya dengan jelas. Dia memang bersalah, tapi dia kan juga korban.”

“Ya, jam berapa berangkat?”

“Sebentar lagi Pak, ada teman yang mau mengantarkan saya dengan mobil.”

“Teman kantor?”

“Bukan, teman di luar kantor. Sebentar lagi pasti dia akan mengabari.”

“Baiklah. Nanti kamu juga harus berhati-hati. Ini musim hujan, jalanan licin di mana-mana.”

Tiba-tiba ponsel Baskoro berdering.

“Ah ini Pak, rupanya saya sudah dijemput. Ya, saya segera keluar,” katanya kemudian sambil menjawab telponnya.

“Berangkat sekarang?”

“Iya Pak, barangkali akan mampir ke kantor cabang juga, siapa tahu sudah ada berita. Sangat menyedihkan kalau sampai hari ini pak Raharjo belum juga diketemukan,” kata Baskoro sambil berlalu.

Pak Rangga keluar dari ruangan itu, mengikuti ke arah depan. Dilihatnya Baskoro langsung keluar. Rupanya si penjemput hanya menunggu di luar gerbang.

Pak Rangga melambaikan tangannya, memanggil satpam jaga untuk mendekat.

“Ya Pak.”

“Kamu tahu siapa yang menjemput Baskoro?”

“Tidak tahu Pak, mobilnya berhenti agak jauh dari pintu gerbang. Tapi menurut saya, itu seperti mobil pak Raharjo.”

“Seperti mobil pak Raharjo yang mana?”

“Yang beberapa kali dibawa ke kantor itu, yang warnanya hijau lumut.”

Pak Rangga mengangguk. Ia semakin yakin bahwa ada hubungan khusus antara Baskoro dan istri atasannya.

“Keterlaluan, Baskoro itu. Istri atasannya di santap juga?” gumamnya sambil masuk kembali ke dalam kantor.

“Kasihan pak Raharjo, kalau nanti pak Raharjo sudah kembali dan mengetahui semuanya, habislah kamu,” keluhnya sambil mengangkat ponselnya kembali untuk menghubungi kantor polisi di sana.

*

Di tepi sungai yang sedang mengalir deras, seseorang sedang menyusuri di tepiannya. Ia terus menatap sungai dan mengamati apa yang ada di sekitarnya, sambil sesekali mengusap air matanya yang tak henti-hentinya meleleh turun.

Begitu sampai di kota itu, Wijan kemudian menuju ke tempat di mana mobil ayahnya menemui kecelakaan. Kemarin dia masih melihat mobil itu, tapi sekarang sudah tak ada lagi. Pastinya sudah diderek dan dibawa ke kantor polisi.

Tadi, Wijan merosot turun ke jurang itu dengan hati-hati. Ada tanah landai yang bisa dilaluinya. Jalanan licin. Berkali-kali ia terperosok, tapi kemudian berhasil berpegangan pada akar-akar kayu yang berjuntai.

Dengan susah payah Wijan akhirnya sampai ke tepi sungai itu. Ada bekas-bekas rerumputan dan tanaman yang rusak, pastinya karena kejatuhan mobil ayahnya dari arah atas.

Wijan kembali mengusap air matanya. Lalu tiba-tiba ia melihat sesuatu tersampir di sebuah ranting. Wijan mendekati, dan itu adalah selembar kaus kaki. Wijan tahu, ini adalah kaus kaki ayahnya.

Ia sering membantu sang ayah memakai sepatu, atau melepaskannya, saat berangkat dan pulang kerja. Wijan menggenggam kaus kaki itu dan didekapnya di dadanya.

“Bapak di mana? Bapak di mana?” suara yang semua lirih berubah menjadi keras dan alam memantulkan suaranya itu berkali-kali. Jeritan Wijan barangkali sudah membubung ke langit tingkat tujuh, berharap Yang Maha Pengasih mendengarnya.

“Katakan Bapak, Bapak di mana? Ini Wijan Pak, mencarimu, jangan pergi Pak, jangan biarkan Wijan sendirian. Wijan hanya punya Bapak, jangan pergiiii… jangan tinggalkan Wijan Bapaak. Wijan sendirian… jangan pergi Bapak, pulanglaaaaahhh.”

Tubuh Wijan ambruk di atas batu, menangis terguguk di sana.

Tiba-tiba angin bertiup sangat kencang, dan gelegar guntur terdengar memekakkan telinga. Wijan bergeming. Membiarkan air matanya terus mengalir, walau jeritnya terdengar semakin lirih, karena sudah berjam-jam dia terus berteriak-teriak memilukan.

Bahkan hujan yang mengguyur, tak membuat Wijan beralih dari tempatnya, meringkuk memeluk batu.

*

Baskoro datang kekota itu bersama Rusmi. Mereka tampak seperti orang yang penuh perhatian, dengan memerlukan mendatangi Barno yang dirawat karena luka-lukanya.

Sebelum sampai di rumah sakit, dimana Barno dirawat, ponsel Rusmi berdering.

“Dari pak Rangga? Ada apa dia?”

Rusmi mengangkat ponselnya.

“Ibu, saya tadi melihat mobil ibu di dekat kantor,” rupanya pak Rangga yang penasaran, kemudian ingin mengecek kebenaran dugaan yang dipikirkannya, bahwa bu Raharjo pergi bersama Baskoro.

“Oh, iya benar. Saya sangat prihatin dan tentu saja sedih mendengar musibah yang menimpa suami saya. Karena bingung, saya mengajak Baskoro untuk pergi ke kantor cabang, sekaligus menjenguk Barno yang katanya luka parah, katanya sambil sesekali terisak.

Ah ya, ternyata Rusmi tidak berbohong, dia pergi bersama Baskoro. Mana mungkin bisa berbohong, ketika pak Rangga mengatakan bahwa dia melihat mobilnya di dekat kantor. Tak apa, bukankah alasan Rusmi tepat?

“Baiklah Bu, hati-hati di jalan,” pesan pak Rangga yang memikirkan jawaban Baskoro sebelumnya, yang mengatakan bahwa dia akan pergi diantar temannya. Mengapa jawabannya tidak kompak? Pak Rangga tersenyum miris.

*

Begitu memasuki ruang dimana Barno berbaring, Baskoro langsung meletakkan amplop tebal yang sudah dipersiapkan sebelumnya.

“Kerja baik, tapi aku prihatin melihat keadaan kamu,” kata Rusmi.

“Ini apa?” tanya Barno sambil mengangkat amplop itu.

“Yang sudah aku janjikan. Terimalah. Kalau kamu sudah sembuh, kamu bisa mempergunakannya untuk bersenang-senang,” kata Rusmi sambil tersenyum manis sekali.

Tapi kemudian Rusmi terbelalak. Barno mengacungkan amplop itu dengan tangan yang terhubung dengan botol infus.

“Maaf, saya tidak mau. Bahkan uang yang sudah ibu berikan sebelumnya, akan saya kembalikan,” kata Barno dengan wajah datar.

Rusmi dan Baskoro tertegun.

*

Besok lagi ya.

at December 20, 2023

Tinggalkan Balasan

Eksplorasi konten lain dari Kissparry

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca

Eksplorasi konten lain dari Kissparry

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca