Ada Cinta Dibalik Rasa | 31, Cerbung Tien Kumalasari

ADA CINTA DI BALIK RASA 31
(Tien Kumalasari)

Suri menatap punggung laki-laki yang melangkah pergi dengan tergesa-gesa. Ia sudah memegangi tas ingin mengambil dompetnya untuk memberinya uang.

“Mengapa dia pergi seperti tergesa-gesa? Padahal ibu ingin memberinya uang,” gerutu Suri.

“Nggak tahu tuh, kenapa. Mungkin takut dimarahi ibu, karena Nugi sudah memberikan roti untuk dia.”

“Masa, takut sama ibu hanya karena kamu sudah memberi dia roti?”

“Tadi dia baik, menanyakan nama Nugi, sekolah Nugi. Lalu ibu datang, kok dia kabur?”

“Ya sudah, ayo naik dulu. Ikut ibu belanja sebentar ya.”

“Tapi Nugi lapar.”

“Ya ampuun, anak ibu kelaparan. Baiklah, nanti makan di dekat pasar, ada warung soto yang enak di sana.”

Nugi mengangguk, lalu masuk ke dalam taksi.

“Langsung ke pasar seperti yang saya bilang ya Pak,” katanya kepada pengemudi taksi.

“Baik, Bu.”

“Kamu tadi pulang awal ya?”

“Iya, pak ojolnya nggak datang-datang.”

“Guru kamu sudah menelpon ibu. Lalu ibu menelpon ojol langganan kita, ternyata dia sakit. Makanya ibu yang jemput kamu, sekalian belanja.”

“Pak ojol sakit apa?”

“Nggak tahu, dia nggak jelasin. Katanya hanya kecapekan sih.”

“Kasihan.”

“Besok kalau dia sudah bisa menjemput kamu, kamu tanya deh, pak ojol sakit apa.”

“Iya.”

“Bagaimana sekolah kamu tadi?”

“Baik. Tadi pulang agak awal, gurunya mau rapat.”

“Iya, tadi ibu sudah ditelpon. Kamu kalau belum dijemput, jangan sembarangan keluar dari gerbang sekolah ya. Seperti tadi itu. Kalau ketemu orang jahat bagaimana coba?”

“Habis, pak tua itu tadi menatap Nugi terus, barangkali dia lapar, terus mau minta uang. Tapi Nugi kan tidak punya uang. Lalu Nugi berikan roti bekal Nugi yang masih tersisa.”

“Anak baik. Tapi lain kali tidak sembarangan keluar gerbang ya.”

“Ada pak satpam mengawasi kok. Dia biarkan Nugi, ketika tahu Nugi mengambil roti untuk pak tua itu.”

“Lain kali hati-hati. Banyak orang jahat berkeliaran. Kalau kamu diculik, bagaimana?”

“Nugi mana mau diajak pergi orang yang tidak Nugi kenal? Kan ibu sudah berpesan begitu?”

“Orang jahat itu banyak akalnya. Satu lagi, kalau diberi apapun oleh orang yang kamu tidak kenal, jangan mau.”

“Pasti kecewa dong, berbaik hati tapi tidak diterima?” protes Nugi.

“Terkadang orang jahat memberikan sesuatu dengan maksud buruk. Bisa jadi ada racun didalamnya.”

“Racun? Berarti Nugi mau dibunuh?”

“Bukan selalu untuk membunuh. Bisa jadi berisi obat bius, lalu setelah kamu memakannya, kamu mengantuk, atau tidak sadar, lalu kamu dibawa pergi oleh orang itu.”

“Apa dia ingin punya anak, sehingga menculik anak-anak?”

“Bukan begitu, dia menculik untuk dipekerjakan dia.”

“Dipekerjakan itu apa?”

“Disuruh bekerja. Bekerjanya apa? Mengemis. Lalu pendapatan dari mengemis itu harus disetorkan ke dia. Kamu mau?”

“Hiih, nggak mau dong.”

“Karena itu, kamu tidak boleh sembarangan mengenal orang asing. Mendekati, atau bahkan diberi sesuatu oleh orang itu. Mengerti?”

“Iya Bu. Tapi pak tua itu tadi sepertinya bukan orang jahat. Nugi kasihan melihat dia.”

“Terkadang orang jahat bersikap baik. Pokoknya kamu harus hati-hati, dan selalu mengingat pesan ibu.”

“Baiklah.”

Taksi itu berhenti di area pasar, lalu Suri mengajak Nugi makan dulu di sebuah warung.

*

Sementara itu laki-laki tua yang ternyata adalah Baskoro itu terengah-engah saat berhenti di bawah sebuah pohon waru. Ia berjalan tergesa, menjauh dari orang yang baru saja dilihatnya. Anak kecil yang wajahnya mirip dengan dirinya itu begitu membuatnya tergetar. Tapi ia lebih tergetar ketika melihat wanita yang menjemput Nugi.

“Bukankah itu Suri? Dia tampak seperti orang berada. Pakaiannya bagus, tubuhnya segar, wajahnya bersinar. Jauh dari ketika masih menjadi istrinya. Tambun dan lusuh, serta tak suka berdandan. Tapi bukan penampilan Suri itu yang membuatnya tergetar. Nugi, adalah anak Suri, yang wajahnya mirip dengan dirinya. Apakah setelah bercerai, ternyata Suri mengandung anaknya? Aneh. Berbulan-bulan sebelum bercerai, dia tak pernah menyentuh Suri. Bagaimana dia bisa hamil? Atau … Suri menikah lagi, dengan orang kaya, lalu hamil? Tapi mengapa wajah anaknya sangat mirip dengan wajahnya?

Baskoro membuka plastik pembungkus roti yang tadi diberikan Nugi. Dia memang lapar. Dia tidak sepenuhnya suka mengemis. Ia hanya meminta-minta kalau merasa lapar. Ada rasa tidak enak saat mengemis. Tapi dia harus melakukan apa?

Setelah keluar dari penjara, meninggalkan Rusmi yang masih ada di penjara, dan sakit-sakitan, lalu Baskoro tak mempedulikannya lagi. Entah mengapa, Rusmi ternyata belum dibebaskan. Baskoro tak begitu memikirkannya.

Ia terus-terusan menyesali hidupnya. Hidup nikmat itu sudah musnah bertahun-tahun lalu. Rumah yang dulu ditinggalinya bersama Suri sudah ditempati orang lain. Ia tak memiliki apa-apa. Sebagai orang yang baru keluar dari penjara, tak mudah mendapatkan pekerjaan.

Dia hanya mondar mandir di jalan, terkadang harus mengacungkan topi butut yang selalu dipakainya, untuk memohon belas kasihan. Penghasilannya tidak banyak, karena dia tidak bermaksud mengumpulkan uang. Ia hanya butuh untuk mengisi perut.

Roti pemberian Nugi sudah semuanya masuk ke dalam perutnya. Ia meneguk air dalam botol yang diberi orang saat meminta-minta di pasar.

Ia menyandarkan tubuhnya yang terasa lelah, di batang pohon tempatnya berlindung. Bayangan Nugi dan Suri bergantian melintas di benaknya. Ia merasa Nugi adalah darah dagingnya. Bukan karena kemiripan wajahnya, tapi getaran dihatinya yang tak bisa dipungkirinya.

Barangkali memang ada ikatan diantara dirinya dan Nugi, tapi bagaimana darah dagingnya bisa terlahir dari rahim Suri sementara lama sekali sebelum berpisah mereka tak pernah bersentuhan?

Baskoro menutupi wajahnya dengan topi, lalu tak lama kemudian dia terlelap oleh kelelahan yang menderanya. Akhir-akhir ini dia merasa tak sehat. Makanan yang masuk ke perutnya tidak terjaga dengan baik. Yang penting kenyang. Barangkali kesehatannya terganggu.

Baskoro tak mepedulikannya. Ia tak tahu bagaimana kelanjutkan hidup yang harus dijalaninya. Ia bahkan merasa putus asa dan ingin mengakhiri hidupnya.

Seorang anak kecil berjalan di depannya. Berhenti, lalu membuka topi penutup wajahnya.

“Heeiii, lancang sekali kamu,” hardik Baskoro.

“Mengapa wajahmu seperti wajah ayahku?”

Baskoro terbelalak.

“Apakah kamu adalah ayahku?”

“Kamu siapa?”

“Aku anakmu, apa Bapak lupa?”

“Ya ampun, kemana saja kamu selama ini? Mendekatlah, biar bapak peluk kamu.”

Baskoro bangkit untuk memeluk anak kecil yang mengaku sebagai anaknya. Tapi anak itu tiba-tiba menghilang.

“Naaaak! Di mana kamu?”

Baskoro terkejut. Ia membuka matanya lebar-lebar. Hari telah menjelang sore, dan bayangan anak kecil itu tak ada di sekitarnya.

“Ya Tuhan, aku hanya bermimpi.”

Air mata Baskoro menetes. Benarkah ia memiliki anak? Anak yang dulu pernah dirindukannya ketika rumah tangganya bersama Suri masih baik-baik saja.

Lalu bencana itu datang karena mimpi tentang kemewahan dan kesenangan mendatanginya, dengan hadirnya seorang nyonya cantik yang tergila-gila padanya. Yang memanjakannya dengan kenikmatan, sehingga terpuruk dalam kubangan dosa. Dosa yang satu disusul dosa yang lain.

Sekarang apa yang didapatnya?”

Baskoro mengusap air matanya, lalu bangkit, dan berjalan sempoyongan. Ia meraba sakunya, ada receh yang ada di sana, dan cukup untuk membeli makanan untuk malam ini. Ia masih merasa lapar, tapi ditahannya, seperti di hari-hari sebelumnya, di mana dia sering menahan rasa laparnya demi berhemat.

Tapi malam ini dia ingin mengisi perutnya karena seharian baru memakan sepotong roti. Itupun pemberian dari Nugi yang wajahnya selalu terbayang dalam ingatannya.

“Apakah dia anakku … apakah dia anakku …” pertanyaan itu terus menerus mendera perasaannya.

*

Hari itu hari Minggu. Wijan tidak melupakan janjinya untuk mengajak Nilam bersepeda bersama. Ia sudah mengeluarkan sepedanya, dan sudah berpamit pada ayahnya. Tapi belum sampai keluar dari halaman, ketika Nilam sudah datang dengan mengayuh sepedanya.

Wajahnya berkilat karena keringat, dan wajah tanpa make up tebal itu menampakkan wajah aslinya. Wajah yang cantik, mata bening bulat mempesona. Sejenak Wijan terpana.

Nilam turun dari sepedanya, mengusap keringat dengan handuk kecil yang dibawanya.

“Kok kamu sudah sampai ke sini sih?”

“Nggak apa-apa, kita berangkat dari sini saja.”

Dari dalam, bibik keluar, dan berteriak senang melihat Nilam.

“Mbak Nilam, ayo minum dulu, jauh-jauh bersepeda pasti lelah.”

“Baiklah Bik, tapi bukan minuman dingin lhoh.”

“Tidak, bibi ambilkan minuman hangat,” kata bibik sambil berlalu ke belakang.

Mendengar teriakan bibik, Raharjo yang sedang menikmati coklat susu buatan bibik, langsung berdiri.

“Nilam, kamu bersepeda dari rumah sampai kemari?”

“Iya Pak, hari masih gelap ketika berangkat.”

“Beristirahat dulu, pasti lelah. Jangan langsung bersepeda lagi.”

“Minum ini dulu, mbak Nilam,” kata bibik sambil membawa nampan berisi segelas coklat susu hangat.

Nilam duduk di tangga teras, dan meneguk minumannya.

Wijan menatapnya sambil tersenyum.

“Bagaimana kalau kita berboncengan saja?” kata Wijan.

“Berboncengan? Wauww, menyenangkan. Tapi aku bukan Nilam kecil lagi lhoh Mas, apa mas Wijan kuat?”

“Enak saja. Menggendong kamu saja aku masih kuat, masa memboncengkan tidak kuat?”

Nilam tersenyum. Membayangkan digendong Wijan? Ia meneguk habis minumannya, untuk mengendapkan debar jantungnya.

“Bik, tolong masukkan sepeda Nilam. Kami akan berboncengan saja.”

“Baik Mas,” kata bibik.

Wijan mendekati sepedanya, menepuk boncengannya sambil menatap Nilam.

“Berangkat sekarang?”

“Bulan depan … “ canda Wijan.

“Bapak, Nilam pergi dulu,” kata Nilam sambil mencium tangan ayahnya.

“Hati-hati,” pesan Raharjo, yang menatap kepergian keduanya dengan berboncengan.

Bibik mendekap nampan sambil menatap kepergian mereka.

“Sebenarnya mereka pasangan yang serasi,” gumamnya.

Raharjo menanggapi sambil tersenyum.

“Terkadang kemauan orang tua tidak sejalan dengan keinginan anak.”

“Semoga benar-benar jadian,” kata simbok sambil meletakkan nampan, lalu membawa sepeda Nilam ke arah garasi.

Raharjo hanya tertawa menanggapi ucapan bibik.

*

Nilam merasa senang. Ia benar-benar menikmati perjalanan yang mengesankan itu sambil mengingat masa lalu mereka yang indah. Mereka berbicang sambil tertawa-tawa. Wijan juga senang, mendengar ocehan Nilam yang tak henti-hentinya, seperti burung yang berkicau diantara dahan pepohonan.

“Apakah Mas Wijan tidak lelah? Kalau lelah, biar gantian Nilam yang memboncengkan.”

Wijan tertawa ngakak.

“Kamu memboncengkan aku, pasti kelihatan lucu. Aku dikira kakek-kakek yang tak mampu mengayuh sepeda dong.”

“Ya enggak, daripada lelah.”

“Aku nggak lelah. Dua hari memboncengkan kamu juga nggak lelah kok.”

Nilam terkekeh.

“Dua hari memboncengkan aku? Aku ogah. Pasti lapar dua hari berada di atas boncengan mas Wijan.”

Lalu keduanya terkekeh.

Hari semakin panas, lalu Wijan menghentikan sepedanya ditepi persawahan. Persis ketika mereka masih anak-anak, duduk di atas sebuah batu, ada parit kecil, dan di depannya ada sawah membentang.

Wajah Nilam berseri-seri. Saat-saat seperti ini bisa terulang lagi. Ia mencopot sepatunya dan memasukkannya kakinya ke dalam air, menggerak-gerakkannya sehingga airnya muncrat ke wajah Wijan, membuat Wijan berteriak-teriak.

“Heiiii! Hentikannn!’

Nilam terkekeh.

“Ayo terusin, aku masukkan kamu ke dalam situ, mau?”

Ia menghentikannya ketika Wijan mengancam akan memasukkannya ke dalam air.

“Jahat deh. Masa aku mau dimasukkan ke situ?”

“Habis, kamu nakal. Kamu itu sudah bukan anak kecil lagi. Tahu?”

Hari ini kita kan ingin mengenang masa kecil kita. Jadi apa salahnya melakukan hal yang dulu pernah kita lakukan.”

Wijan terdiam. Ia ingat, dulu Nilam selalu melakukannya. Dan dia mendiamkannya walau bajunya basah.

Hari sudah siang ketika mereka menghentikan canda ria mereka.

“Lapaaar,” rengek Nilam.

“Kalau begitu ayo makan,” kata Wijan sambil berdiri, lalu mengibaskan pakaiannya yang basah dengan tangannya.

Nilam mengambil sapu tangan dari dalam tas kecilnya, lalu menyapu baju Wijan yang basah.

“Sudah, nanti dibawa berjalan pasti kering sendiri.”

Nilam tersenyum, hari yang menyenangkan, rasanya enggan pulang.

*

Nugi sedang menunggu tukang ojol yang menjemputnya. Suri kemarin menelpon guru sekolah Nugi, agar satpam menjaga anaknya dan melarang keluar dari gerbang sebelum dijemput.

Karenanya Nugi hanya duduk di bangku di depan ruang satpam.

Tapi tiba-tiba laki-laki lusuh yang kemarin diberinya roti, lewat lagi di depan gerbang sekolah. Nugi berdiri. Ia mendekati gerbang.

“Mas Nugi, jangan keluar sebelum dijemput ya,” satpam mengingatkan.

Nugi kembali merogoh tasnya, dan lagi-lagi mengeluarkan sebungkus roti. Ia tidak keluar, hanya mengacungkan roti itu melalui sela-sela besi gerbang sekolah.

“Ini buat Bapak,” kata Nugi yang tidak berani keluar setelah pak satpam mengingatkannya.

Laki-laki itu mendekat, menerima roti yang diulurkan Nugi. Tapi kemudian ia memberikan sebuah jeruk kepada Nugi.

Nugi ingat pesan ibunya. Dilarang menerima pemberian apapun dari orang asing.

Nugi menggoyang-goyangkan tangannya tanda menolak.

*

Besok lagi ya.

at March 01, 2024
Share
by Tien Kumalasari

diunggah Indarsih Weanind

Ada Cinta Dibalik Rasa | 31, Cerbung Tien Kumalasari

tags: cerbung, cerita bersambung, Tien Kumalasari, Kumalasari, Tien, Seni Budaya, Bahasa Indonesia, kisah, cerita,

Tinggalkan Balasan

Eksplorasi konten lain dari Kissparry

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca

Eksplorasi konten lain dari Kissparry

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca