Ada Cinta Dibalik Rasa | 39, Cerbung Tien Kumalasari

ADA CINTA DI BALIK RASA 39
(Tien Kumalasari)

Baskoro sedang berdoa di samping gundukan tanah yang masih baru di pemakaman itu. Ada tertulis nama Rusmini dan tanggal meninggalnya.

Baskoro mengusap setitik air matanya. Bagaimanapun ia pernah mengalami kehidupan bersama Rusmi, walaupun buruk, ia tak bisa melupakannya. Sama-sama berada di penjara, menekuni seluruh dosa, membuat mereka semakin dekat, dan saling menguatkan, biarpun tidak setiap saat bisa bertemu.

Saat Rusmi dirawat di rumah sakit, ia tak pernah melewatkan hari-hari tanpa menjenguknya dan memberinya semangat, agar dia kembali sehat dan tetap hidup.

Tapi kemudian Rusmi meninggalkannya. Ada pedih di hati Baskoro, tertoreh sangat dalam, dan membuatnya merasa sendirian. Tapi tidak, seharusnya dia tidak sendirian. Kata Nilam, Hasti melahirkan darah dagingnya. Ia tidak harus sendirian.

Di mana anak itu? Terbayang kembali wajah seorang anak yang mirip dengan dirinya, tapi anak itu adalah anak Suri, bekar istrinya.

Baskoro memijit keningnya, lalu menghapus kembali air matanya yang tak mampu ditahannya.

Ia mendengar langkah kaki, seperti mendekat ke arahnya, tapi tidak segera muncul. Baskoro menoleh, tapi tak melihat siapapun di sekitar tempat itu.

Angin musim kering menerbangkan daun-daun pohon di sekitar pemakaman itu. Baskoro berdiri, mengamati lagi ke sekitar tempat itu, tapi tak ada siapapun.

Apakah telinganya salah? Jelas ada langkah-langkah kaki mendekat, ia mengira langkah-langkah itu akan mendatangi makam Rusmi, tapi tak kunjung tiba, dan malah menghilang tiba-tiba. Baskoro menaburkan segenggam mawar merah dan putih yang tadi dibelinya di pasar.

“Tenanglah kau di sana, semoga Allah mengampuni dosa-dosamu,” Baskoro berbisik pilu, lalu melangkah pergi dengan tertatih.

Ketika ia hampir keluar dari pagar pemakaman itu, dilihatnya sebuah taksi berlalu. Entah siapa penumpangnya.

Kelihatan jelas, karena pagar pemakaman yang tidak begitu tinggi. Baskoro heran. Itukah orang yang tadi melangkah di belakangnya, kemudian mengurungkan niatnya mengunjungi makam seseorang yang entah siapa, dan siapa pula orang itu. Baskoro tak seketika menoleh, karena saat itu dia sedang berdoa.

“Ah, entahlah, mengapa aku memikirkannya?”

Baskoro menuju ke arah sumur pompa yang ada di dekat pintu masuk, mencuci kaki tangannya, membasuh wajah kumuhnya, kemudian berlalu.

*

Sementara itu, di dalam taksi, Daniel mengomel tak henti-hentinya. Nilam bersungut-sungut, kesal kakaknya tak mau mengerti apa yang dipikirkannya.

“Mengapa tiba-tiba pergi? Aku mengajak kamu ke makam bulik Rusmi, karena ketika dimakamkan, kamu tidak bisa mengantarkannya sampai ke kuburan.”

“Berhentilah memarahiku Mas, aku baru akan mengatakan sesuatu.”

Daniel menatap adiknya.

“Kita ke makam bapak sama ibu saja dulu.”

“Katakan kenapa?” kesal Daniel.

“Mas tahu tidak, ketika kita memasuki makam, lalu ada seorang laki-laki duduk bersila di depan makam?”

“Memangnya kenapa?”

“Laki-laki itu Baskoro. Dia orang yang membuat mbak Hasti hamil lalu melahirkan Nugi.”

“Baiklah, laki-laki itu ayah biologis Nugi, lalu kenapa kamu lari seperti orang ketakutan begitu?”

“Aku takut kehilangan Nugi.”

“Apa maksudmu?”

“Baskoro sudah tahu kalau mbak Hasti melahirkan anaknya. Dia pasti akan mencari aku untuk menanyakan, di mana anaknya.”

“Lalu ….?”

“Bagaimana kalau dia ingin membawa Nugi? Aku takut Mas, aku, juga ibu Suri, sangat menyayangi Nugi. Ibu juga pasti ketakutan kalau sampai Baskoro tahu bahwa Nugi ada bersama ibu Suri.”

“Mengapa kamu berpikir bahwa Baskoro akan meminta anaknya?”

“Ya iya lah Mas, Nugi kan darah dagingnya. Aku yakin dia pasti akan menemui aku dan bertanya tentang anaknya. Dia belum tahu anaknya ada di mana, dan dia yakin bahwa aku mengetahui tentang anak itu. Itu sebabnya aku menghindari bertemu dia, aku takut, Mas.”

“Kamu hanya berandai-andai.”

“ Apakah itu tidak mungkin?”

“Mungkin iya, tapi mungkin juga tidak. Kamu tidak boleh ketakutan seperti ini.”

“Dia lebih berhak atas Nugi.”

“Benar, tapi apa kamu yakin, dia ingin membawanya pergi?”

“Aku yakin sekali.”

“Omong kosong apa itu. Dengan ketidak mampuan dia, mungkinkah dia ingin membawa pergi Nugi, merawatnya, membiayai sekolahnya?”

“Itu kalau dia memikirkannya sampai ke situ. Kalau ia hanya menginginkan Nugi, lalu diajaknya Nugi berkeliling kota untuk meminta-minta? Ya Tuhan, aku takut sekali.”

Nilam menyandarkan kepalanya dengan gelisah.

“Sampai kapan kamu bisa menghindari dia? Kalau dia memang mau, dia pasti akan mendatangi kamu di kantor, atau menunggui saat kamu pulang. Itu pasti dilakukannya.”

“O, tidaaaak.”

“Kita sudah hampir sampai,” kata Daniel ketika taksi yang mereka tumpangi sudah sampai di tempat tujuan.

*

Di sebuah tanah pemakaman yang luas, Daniel membawa Nilam agak ke tengah area. Ada sepasang batu nisan yang sudah kusam, tapi masih terawat bersih, lalu Daniel bersimpuh di depannya, sambil menarik tangan Nilam agar duduk di sampingnya.

Nilam membaca tulisan yang tertera pada batu nisan itu. Yang kanan adalah Sumargo dan yang sebelah kiri Sularsih. Keduanya meninggal pada limabelasan tahun silam. Pada tahun yang sama.

“Ini bapak, dan ini ibu kita,” katanya lirih.

Nilam meraba batu nisan yang terasa hangat oleh sengatan matahari. Nama yang baru saja dikenalnya. Tidak menyangka bahwa kedua orang itulah yang mengukir jiwa raganya, bersama ke dua saudaranya. Ia sama sekali tak pernah mendengarnya. Rupanya Rusmi memang sengaja menyembunyikannya. Entah dengan maksud apa.

Nilam dan Daniel diam, untuk memanjatkan doa bagi ke dua orang tuanya. Ada bulir-bulir bening membasah di ke dua mata mereka.

“Aku kemari sebulan sekali. Untuk memastikan, makam mereka benar-benar terawat baik, seperti pesanku kepada penjaga makam ini.”

Nilam mengangguk. Lalu menaburkan bunga yang mereka bawa ke atas makam mereka. Aroma wangi menebar, seperti wanginya kasih sayang ke dua orang tua kepada anak-anaknya, dan kasih sayang anak bagi kedua orang tua mereka.

Bukan salah mereka kalau mereka harus berpisah. Ada jalan kehidupan yang harus mereka lalui, sebelum mereka menemukan sebuah titik, di mana mereka bisa berdiri tegak, dan mengenang mereka dengan selalu menanamkannya di sudut hati mereka. Akan abadi, selama hayat dikandung badan.

Agak jauh dari makam kedua orang tuanya, ada sebuah makam yang kemudian membuat Daniel berhenti, dan berjongkok di depannya. Nilam mengikutinya. Tulisan yang ada, sama seperti yang lainnya, mengukir sebuah nama. Melati.

“Ini makam istriku,” kata Daniel pelan, dengan pandangan sendu.

“Ini kakak iparku?”

Daniel mengangguk.

“Namanya Melati. Ia wanita yang lembut hati, dan kami saling mencintai. Sayang dia meninggal tak lama setelah kandungannya gugur saat berumur dua bulan.”

Nilam menatap kakaknya haru. Rupanya tempat pemakaman selalu menyelipkan kisah perpisahan yang menyedihkan.

*

Mereka memasuki kembali makam Rusmi, dan bayangan Baskoro tak lagi tampak di sana. Ada sesal di hati Nilam, karena lari menjauh demi menghalangi pertemuan Baskoro dan anak yang benar-benar darah dagingnya.

Sambil menaburkan bunga untuk Rusmi, hatinya selalu bertanya-tanya. Salahkah kalau dia lari dari Baskoro demi menyembunyikan darah dagingnya dari laki-laki itu? Barangkali ada kesedihan di hati Baskoro, dan juga sesal, karena telah menapak dijalan yang salah.

Tapi ketika sebuah benih telah tumbuh, benih itu suci tak bernoda. Lalu sesal itu berubah menjadi keinginan untuk menebusnya.

Mampukah Baskoro menghidupi anaknya dengan keadaannya yang miskin papa? Apakah benar, Baskoro ingin merebut Nugi yang memiliki kasih sayang berlimpah dari ibu angkat dan bibinya?

Sambil memegangi gundukan tanah basah itu, Nilam teringat pada ucapan Rusmi sebelum menghembuskan napas terakhirnya. Kepada Baskoro ucapan itu ditujukan, bahwa Rusmi ingin Baskoro mencari darah dagingnya. Rusmi bahkan belum sempat melihat sampai maut menjemputnya..

“Mari kita cari Baskoro, Mas.”

Daniel menatap adiknya, merasa lega ketika tahu bahwa Nilam telah menyadari kesalahannya. Daniel mengangguk. Tapi mudahkah mencari Baskoro diantara sekian banyak peminta-minta di kota itu? Mereka tidak tahu, bahwa Baskoro juga sedang ingin bertemu dengannya.

*

Hari terus berjalan. Hubungan Nilam dan Wijan semakin kelihatan nyata. Mereka bukan sekedar saudara. Mereka adalah sepasang kekasih yang sangat sepadan. Ganteng dan cantik. Wijan sedikit menyesali penolakannya terhadap Nilam ketika dulu Nilam terang-terangan menyatakan cinta kepada dirinya.

Wijan merasa sangat bodoh karena tidak mengenali cinta yang bersembunyi pada perasaannya. Mungkin karena mereka sudah menyayangi sejak masih kanak-kanak, sehingga perbedaan sifat sayang yang tumbuh dalam hati mereka, sama sekali tidak mereka sadari. Tapi tidak. Perasaan seorang gadis ternyata lebih peka.

Ketika Nilam merasakan ada cinta dalam hatinya kepada Wijan, tidak demikian bagi Wijan. Rasa cinta itu tumbuh ketika ia merasa takut kehilangan. Ketika melihat NIlam tergolek tak berdaya dan berlumuran darah pada lengannya. Ya Tuhan, ternyata aku mencintainya. Selalu itulah yang dirasakannya, dengan senyuman yang menyatakan kebodohannya.

Sekarang keduanya sedang berbunga-bunga, karena Raharjo sudah menyatakan siap mengadakan pesta pernikahan kedua anaknya, yang pastinya akan diadakan secara meriah, bersama dengan kerabat dan tentunya anak buahnya, yang bertahun-tahun bersama-sama membangun perusahaannya dengan penuh kesetiaan.

*

Tak berbeda dengan keluarga Raharjo, Marjono yang sudah semakin sehat juga sedang berbahagia, karena anak semata wayangnya telah menemukan laki-laki baik yang berjanji akan menjaganya dan mencintainya dengan sepenuh hati.

Jatmiko, teman Anjani, sahabat masa kecilnya, akan menjadi pasangan yang sangat serasi.

Jatmiko yang merasa tersesat pada perasaan hatinya, semula mengira ia jatuh cinta pada Nilam. Nilam yang sedikit galak, terasa sangat menggemaskan. Tadinya Jatmiko sudah berjanji akan terus mengejar Nilam yang sepertinya jinak-jinak merpati. Tapi kecelakaan itu membuka mata batinnya, bahwa Anjani lah yang sebenarnya dia cintai.

Agak menyakitkan ya, bagaimana menyadari sebuah cinta harus ada yang terluka karena sebuah kecelakaan? Tapi itulah yang terjadi pada ke dua anak muda itu.

*

Baskoro lelah mencari jalan untuk menemui Nilam. Ia tahu, akan sangat gampang kalau dia nekat masuk ke kantor itu dan bermaksud bertemu Nilam. Keinginannya hanya satu, menanyakan keberadaan darah dagingnya.

Tapi rasa sungkan terhadap Raharjo, selalu membuat langkahnya tersendat. Ia merasa sangat berdosa karena pernah bermaksud membunuh Raharjo, hanya demi merebut istri dan hartanya. Tapi ternyata penjara mengungkungnya, sementara Raharjo selamat dari maut.

Ketika dia telah menebusnya dengan bertahun-tahun meringkuk di dalam penjara, ia tetap merasa berdosa.

Itu sebabnya, ketika setiap kali sudah sampai di gerbang perusahaan, langkahnya selalu terhenti. Menunggu Nilam keluar dari kantor juga sangat sulit, karena sekarang Nilam selalu pulang dan pergi bersama Wijan, yang ia tahu bahwa Wijan adalah anak Raharjo.

Rasa tertekan itu membuat Baskoro mengabaikan kesehatannya. Lapar dan haus tak pernah dirasakannya.

Hari itu tiba-tiba ia teringat Nugi. Anak kecil yang wajahnya mirip dengan dirinya diwaktu kecil. Tertatih langkahnya, dengan membawa sebutir jeruk yang susah payah dibelinya dengan mengabaikan keinginannya beli makanan biarpun rasa lapar melilitnya.

Saat istirahat sekolah, ia sudah berdiri di depan gerbang. Ia tak peduli ketika satpam sekolah melihatnya dengan curiga. Ia pasti hanya mengira, ada peminta-minta yang melintas, lalu membiarkannya.

Tapi ketika pelajaran sekolah sudah usai, Baskoro mendapatkan kesempatan itu.

Ia duduk di luar gerbang, menunggu Nugi menuju ruang satpam, seperti selalu dilakukannya sebelum dijemput.

Ketika Nugi benar-benar tampak mendekat, lalu duduk di kursi yang ada di luar ruangan satpam, Baskoro berdiri.

Seperti ada perasaan yang entah apa, Nugi menoleh ke arahnya, lalu berteriak nyaring.

“Pak Tuaaaa!!”

Nugi berlari ke arah gerbang.

“Nugi, mau ke mana?” teriak satpam yang kemudian mengejarnya, lalu menahan lengannya.

“Pak satpam, aku hanya ingin memberikan roti untuk pak tua itu,” katanya sambil meronta.

Gerbang itu masih terbuka, karena anak-anak sekolah sedang keluar dari halaman.

Langkah Nugi tertahan karena banyak teman-temannya sedang keluar bersama-sama.

“Pak Tua !!” Nugi berteriak sambil mengacungkan roti yang dipegangnya.

Gerbang itu nyaris ditutup, ketika Nugi menerobos keluar, menghampiri Baskoro yang terhuyung-huyung.

“Nugi!” satpam berteriak mengejar. Tapi ia membiarkannya ketika melihat Nugi memberikan roti kepada Baskoro. Tapi ia ikut mendekat ke arah mereka.

“Pak Tua, kemana saja? Setiap hari Nugi menyisakan sepotong roti untuk Pak Tua.”

“Aku sedang mencari anakku,” katanya lemah sambil mengulurkan sebutir jeruk untuk Nugi.

“Ini untukku? Hei, mengapa tangan Pak Tua panas sekali. Pak Tua sakit?”

Tubuh Baskoro limbung. Tangannya masih menggenggam roti, ketika ia roboh ke tanah. Nugi berteriak dan memegangi tangannya.

Ketika itulah Suri datang, turun dari dalam taksi. Ia yang sekarang selalu menjemput Nugi, berdebar ketika melihat Nugi bersama dengan Baskoro.

*

Besok lagi ya.

at March 11, 2024
Share
by Tien Kumalasari

diunggah Indarsih Weanind

Ada Cinta Dibalik Rasa | 39, Cerbung Tien Kumalasari

tags: cerbung, cerita bersambung, Tien Kumalasari, Kumalasari, Tien, Seni Budaya, Bahasa Indonesia, kisah, cerita,

Tinggalkan Balasan

Eksplorasi konten lain dari Kissparry

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca

Eksplorasi konten lain dari Kissparry

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca