Bunga untuk Ibuku | 07 Cerbung Tien Kumalasari

BUNGA UNTUK IBUKU 07
(Tien KUmalasari)

Wajahnya berseri, ketika panggilan telponnya diangkat oleh Baskoro.

“Pagi, cantikku,” jawaban dari seberang.

“Bas, jangan lupa ingatkan ke dealer, kirimnya jangan lama-lama. Nanti kita makan siang bersama, seperti biasanya.”

“Oke, bidadari cantik, siap, laksanakan.”

Wajah Rusmi berseri-seri mendengar sebutan bidadari cantik dari selingkuhannya.

Bunga Mawar Pink (Koleksi Iin Weanind 20190406)

“Benarkah aku cantik?”

“Tentu saja sayang. Kamu sangat cantik dan menyenangkan.”

“Kamu lagi di mana? Bicara begitu, apa tidak terdengar oleh istri kamu?”

“Tidak, dia sedang ada dibelakang, dan aku di halaman. Aku sudah siap mau berangkat, senang mendengar suara kamu yang bisa menambah semangat aku.”

“Bas, kamu selalu bisa menyenangkan hatiku, kamu memang selalu membuat aku puas.”

“Ini baru suara aku, belum kalau kita ada dan berdekatan.”

Mereka berbincang layaknya anak muda yang sedang pacaran. Terkadang mengikik aneh, terkadang terdengar bu Rusmi menjerit kecil. Entah gurauan apa yang membuatnya begitu.

Bibik yang sedang mengambil gelas-gelas bekas minum majikannya, melongok mendengar suara-suara aneh saat nyonya majikannya bertelpon, lalu geleng-geleng kepala, kemudian beranjak ke dapur sambil bergumam.

“Apa sebenarnya yang sedang diperbincangkan, dan dengan siapa ibu bertelpon. Seperti aneh.”

Tapi kemudian bibik mengangkat bahunya dan melanjutkan pekerjaannya.

Ketika sedang sibuk membersihkan dapur dan mempersiapkan alat masak yang akan dipergunakan, bu Rusmi mendekatinya.

“Bik, nanti kalau ada orang datang membawa mobil, tolong disuruh menunggu ya, aku mau mandi dulu.”

“Yang membawa mobil? Maksudnya, tamunya nanti pasti naik mobil, atau bagaimana Bu?”

“Bagaimana sih Bibik ini, tamu naik mobil … tamu naik mobil …”

“Maaf, Bu, saya tidak mengerti.”

“Makanya hentikan dulu pekerjaan kamu, menatap aku, dan dengar baik-baik apa yang aku katakan,” kesal bu Rusmi.

“Baik Bu. Maaf, hanya bersiap memasak, jadi ….”

“Hentikan dulu. Dengar baik-baik. Nanti ada orang yang akan mengirimkan mobil. Mobil untuk aku. Jelas?”

“Ada orang yang mengirimkan mobil?”

“Ya, begitulah. Itu mobil aku. Kamu suruh dia menunggu dulu, aku mau mandi. Kamu nanti bilang, supaya aku bisa cepat-cepat menemuinya. Mengerti?”

“Baik, Bu. Saya mengerti.”

Bu Rusmi membalikkan tubuhnya, masuk ke kamar, untuk mandi dan bersiap menunggu kedatangan mobil yang selalu diinginkannya.

Bibik melanjutkan pekerjaannya, sambil lagi-lagi bergumam.

“Jadi, ibu mau beli mobil? Hm, tidak ada mobil saja sudah sering pergi, nanti kalau ada mobil, apalagi.”

Sesungguhnya bibik merasa bahwa itu bukan urusannya, karena dia hanyalah pembantu di rumah itu. Tapi kelakuan sang nyonya hari ini sungguh membuatnya kesal. Sering bersikap kasar, dan yang membuatnya sakit hati adalah perlakuannya terhadap Wijan, anak nyonya majikannya yang sudah almarhumah. Wijan anak baik, penurut, santun dan tak pernah menyakiti siapapun, tapi ibu tiri dan kakak tirinya memperlakukannya dengan semena-mena. Hal itulah yang membuat bibik tidak bisa menghormati nyonya majikannya dengan rasa tulus, kecuali hanya berbasa-basi karena dia hanyalah pembantu.

Bibik sudah mulai memasak ketika mendengar langkah mendekat.

“Belum ada yang datang?”

Bibik menoleh, melihat sang nyonya sudah berdandan rapi, bersolek dengan luar biasa tebal, sehingga menutupi usianya yang sebenarnya sudah menjelang senja.

“Hei, kok bengong. Kamu itu kalau diajak bicara kok seperti tidak perhatian begitu.

“Maaf Bu, saya hanya … terpesona.”

“Terpesona bagaimana?”

“Ibu kelihatan sangat cantik,” katanya memuji, hanya untuk meredakan amarahnya.

Dan benar. Bu Rusmi tersenyum lebar.

“Benarkah aku cantik?”

“Tentu saja, Bu. Sangat cantik.”

“Oh ya, tadi aku bertanya, belum ada tamu datang?”

“Belum ada, Bu.”

Bu Rusmi membalikkan tubuhnya, berjalan ke arah depan. Tapi kemudian dia berbalik lagi.

“Nanti kalau tamunya datang, kamu harus cepat membuatkan minuman untuk mereka. Mengerti?”

“Iya, Bu.”

Lalu bu Rusmi melanjutkan langkahnya.

*

Bu Rusmi agak kesal, karena mobil yang ditunggu baru datang setelah jam duabelas siang. Ia menandatangani tanda terima mobil dan bicara seperlunya, sampai petugas dealer itu pergi.

Bibik yang keluar dengan membawa dua cangkir kopi terpaksa balik kanan karena tamunya sudah pulang.

“Dasar pekerja lelet, kalau aku jadi majikannya, sudah aku pecat dia,” omelnya sambil mendekati mobil. Ia segera masuk dan menelpon Baskoro.

“Kok baru menelpon? Aku sudah menolak ajakan pak Raharjo untuk makan di luar tadi.”

“Mobilnya baru saja dikirim, aku belum mencobanya juga. Kamu segera keluar, aku akan nyamperin kamu di sebelah barat pintu masuk. Agak jauh ke barat.”

“Baiklah.”

Rusmi masuk kembali ke dalam rumah, mengambil tas dan tanpa bicara apapun kepada bibik, langsung saja keluar dengan membawa mobilnya.

Bibik geleng-geleng kepala menyaksikan ulah nyonya majikannya. Tapi ia merasa curiga, sang nyonya pasti melakukan hal yang tidak benar.

“Masa sih, seorang istri bicara begitu sama laki-laki lain. Laki-laki lah, pastinya, masa iya sesama perempuan akan bicara dengan manja, dengan kemayu seperti dilakukan ibu. Kasihan bapak, ia pasti tak tahu apa yang dilakukan istrinya. Mobil baru itu pasti bapak yang membelikannya. Tapi mana tahu apa yang dilakukan istrinya. Ah, entahlah. Meskipun kesal, tapi aku bisa apa, aku kan hanya pembantu. Tugasku hanya bekerja dan melakukan apa perintah mereka.”

Bibik melanjutkan pekerjaannya. Bersiap memasak untuk para majikan.

*

Pak Raharjo sangat kesal. Waktu istirahat sudah habis, tapi Baskoro belum juga kembali ke kantor. Tadi dia mengajak makan di luar, tapi Baskoro menolak, katanya harus pulang karena ada keperluan. Katanya dia akan makan di rumah. Tapi kenapa begitu lambat dia kembali?

Seorang sekretaris masuk ke ruangannya, dan menyerahkan seberkas surat-surat yang harus ditanda tanganinya.

“Baskoro belum kembali?”

“Saya belum melihatnya, Pak. Tadi kata satpam dia keluar tapi tanpa membawa motornya.”

“Oh ya, lalu dia pergi naik apa?”

“Tampaknya ada yang menjemput.”

Pak Raharjo mengerutkan keningnya. Siapa yang menjemput, padahal Baskoro tadi pamit pulang? Apa keluarganya, dan karena ada keperluan yang sangat penting?

Sampai sekretarisnya keluar, pak Raharjo masih sibuk menelpon Baskoro, tapi tak ada tanda-tanda ponsel Baskoro menerima panggilannya. Rupanya Baskoro mematikan ponselnya.

Lalu pak Raharjo menelpon dealer, menanyakan tentang mobil yang dipesannya. Tapi dari pihak dealer mengatakan bahwa mobil sudah dikirim sejak beberapa jam yang lalu. Lalu pak Raharjo menelpn istrinya, tanpa jawab juga.

“Kemana dia?”

Lalu ditelponnya bibik.

“Ya, Pak. Maaf, saya baru mencuci sayur,” jawab bibik dari seberang, yang meminta maaf karena terlambat mengangkat panggilan ponselnya.

“Ibu mana?”

“Ibu pergi, sudah dari tadi Pak.”

“Ke mana?”

“Tidak mengatakan apa-apa sih, Pak. Begitu ada mobil baru datang, ibu langsung pergi.”

“Jadi sudah ada mobil baru datang?”

“Iya, Pak. Sudah dari tadi.”

Pak Raharjo menutup ponselnya. Ada perasaan tak enak dengan mobil itu. Ia merasa bahwa sang istri tak akan membiarkan mobil barunya diam di rumah. Ia akan semakin sering bepergian. Ada sesal ketika ia harus membelikannya, tapi pak Raharjo sangat risih mendengar rengekan sang istri yang terus-terusan mengganggunya.

“Semoga dia bisa mengendalikan kesenangannya bepergian,” gumamnya sambil membuka berkas yang disodorkan sekretarisnya.

“Mungkin dia kesepian karena aku jarang ada di rumah,” lanjutnya, lalu ia mulai membaca berkas-berkas itu.

*

Di sebuah hotel, mobil berwarna hijau lumut itu meluncur keluar dari halaman. Sepasang asyik masyuk duduk di dalamnya dengan wajah berseri.

“Kita makan dulu?” tanya Rusmi.

“Tidak Bu, saya sudah sangat terlambat. Bingung mencari jawaban kalau nanti pak Raharjo bertanya.”

“Kamu pasti lapar, karena kita belum makan dan langsung masuk ke hotel.”

“Nanti saya makan di kantin saja, soal makan itu gampang. Saya sedang mencari alasan kalau pak Raharjo bertanya atas keterlambatan ini.”

“Mengapa susah-susah mencari alasan? Bilang saja istri sakit, harus mengantar ke dokter, gampang kan?”

“Alasan itu sudah saya kemukakan kemarin, dan sorenya saya terlanjur bilang bahwa dia sudah sembuh.”

“Alasan itu banyak. Jangan bodoh, Bas.”

“Iya, saya sedang memikirkannya.”

Ketika kemudian mobil itu sudah hampir sampai di kantor, Rusmi memberhentikannya. Agak jauh dari pintu masuk.

Baskoro turun setelah mencium tangan yang masih memegangi setir mobil.

“Besok lagi ya?” kata si pemilik tangan dengan wajah berseri.

Baskoro mengangguk, lalu menutupkan pintunya dan membiarkan mobil Rusmi berlalu.

Tapi tanpa di sangka, sebuah mobil memasuki pintu gerbang kantor. Mobil itu berhenti dan si pengemudi membuka kaca mobilnya.

“Bas, dari mana?”

Baskoro terkejut. Pengemudi mobil itu adalah pak Rangga, manager keuangan yang menjadi tangan kanan pak Raharjo.

“Ini … saya … dari rumah, Pak,” jawabnya agak gugup.

“Kok jalan? Siapa tadi yang mengantar?”

Baskoro terkejut, rupanya pak Rangga tahu bahwa dia diantar mobil, yang untunglah dia tidak tahu, siapa yang ada di dalamnya. Kalau tidak, mana mungkin dia bertanya.

“Itu … saudara saya … mm … tadi memang ada keperluan di rumah.”

“Oh ,” hanya itu jawaban pak Rangga, lalu mobil pak Rangga meluncur masuk ke halaman.

Baskoro melangkah masuk dengan hati berdebar. Seri wajah berbinar yang di sepanjang jalan tersirat, sudah lenyap diganti rasa khawatir kena marah.

Begitu dia duduk di kursinya, sebuah panggilan masuk, dan jantungnya hampir copot ketika mengetahui siapa yang memanggil.

Baskoro berdiri setelah meneguk minuman di mejanya, berharap hatinya bisa merasa sedikit tenang.

“Pak Bas baru datang? Dari tadi bapak mencari-cari pak Bas lho,” kata salah seorang bawahannya yang kebetulan berpapasan.

Baskoro tak menjawab, ia langsung menuju ruang atasannya.

“Kamu? Akhirnya kamu datang juga,” tegur pak Raharjo tak senang.

“Maaf Pak, saya sedang ada urusan keluarga,” jawabannya meluncur begitu saja, karena sudah dipersiapkan sebelumnya.

“Kamu pergi tanpa membawa sepeda motor kamu?”

“Iy .. iya Pak, saya dijemput keponakan.”

“Ya sudah, sana. Aku mau bicara sama pak Rangga dulu, lanjutkan pekerjaan kamu.”

Baskoro menarik napas lega. Dipanggil hanya untuk ditanya, dan rupanya sang majikan cukup puas dengan jawabannya. Ia langsung menuju kantin, karena perutnya sekarang terasa keroncongan. Tapi sebelum memasuki kantin, ia kembali berpapasan dengan pak Rangga.

“Mau makan? Kan tadi pulang, belum makan di rumah?” tegur pak Rangga.

“Belum, tadi belum sempat makan karena … ada pembicaraan penting dengan keluarga,” jawab Baskoro yang kemudian langsung masuk ke dalam kantin.

*

Hari Minggu sudah tiba. Dari pagi Nilam sudah merengek-rengek meminta agar diijinkan jalan-jalan bersama Wijan dengan naik sepeda, sementara sang kakak masih tidur tapi sang ibu sudah bersiap dengan baju rapi, duduk di samping suaminya, menemani minum segelas kopi.

“Kamu mau ke mana? Pagi-pagi sudah dandan?” tegur pak Raharjo kepada istrinya.

“Aku mau muter-muter sebentar dengan mobil baru.”

“Bukankah sudah berhari-hari kamu bepergian dengan mobil itu?”

“Iya, ini kan hari Minggu, siapa tahu ada teman bisa diajak jalan. Kalau sama Bapak, aku tidak sampai hati mengajak, kan ini kesempatan untuk beristirahat setelah selama seminggu bekerja,” katanya sambil mengelus lengan sang suami, bersikap seakan sangat perhatian.

“Kalau begitu ajaklah Wijan dan Nilam bersama kamu. Pasti mereka senang muter-muter sama ibunya dengan mobil baru.”

“Apa? Bukankah mereka ingin bersepeda pagi ini?”

“Kalau kamu mengajaknya, pasti mereka mau.”

“Nggak mungkin. Nilam bahkan menolak setiap kali ibu ingin mengantar dan menjemputnya. Ia memilih membonceng Wijan.”

“Nilaaam!” teriak pak Raharjo. Nilam yang sedang memakai sepatu langsung berlari menemui ayahnya.

“Lihat, ibu sudah bersiap mau jalan-jalan dengan mobil baru. Ajak mas Wijan ikut bersama ibu,” kata pak Raharjo.

“Nggak mau, Nilam mau membonceng mas Wijan jalan-jalan dengan sepeda.”

“Tuh kan, apa kata ibu,” kata Rusmi yang semula sudah khawatir Nilam akan menuruti permintaan ayahnya.

“Mas Wijaaan, ayo kita berangkaat,” kata Nilam sambil beranjak ke belakang untuk mengajak sang kakak agar segera berangkat.

“Kalau begitu ibu jalan dulu ya Pak, nanti Bapak mau dibawain apa?”

“Nggak usah, bapak ingin beristirahat saja,” kata pak Raharjo acuh tak acuh, kemudian meraih koran pagi yang ada di mejanya.

Rusmi seakan tak peduli. Ia langsung menghampiri mobilnya, dan berlalu dengan suatu tujuan, yaitu bersenang-senang bersama Baskoro.

*

Wijan dan Nilam sedang duduk di tepi sawah, tempat kesukaan mereka setiap pulang sekolah hanya untuk menikmati kesejukan yang menerpa saat udara panas mendera.

Tapi mereka bukan berada di tempat biasanya. Ada persawahan, dan ada bungalow kecil yang terletak agak jauh dari mereka duduk, sambil berbincang dan terkadang tertawa lucu. Mereka juga sedang menghilangkan rasa penat setelah berkayuh dan berkeringat.

Tiba-tiba Nilam melihat sebuah mobil keluar dari bungalow itu. Nilam terbelalak. Bukankah itu mobil baru ibunya?

*

Besok lagi ya.

at December 05, 2023

Tinggalkan Balasan

Eksplorasi konten lain dari Kissparry

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca

Eksplorasi konten lain dari Kissparry

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca