Bunga untuk Ibuku | 28, Cerbung Tien Kumalasari

BUNGA UNTUK IBUKU 28
(Tien Kumalasari)

Rusmi menyilangkan kedua kakinya, menatap ruangan suaminya dengan wajah berseri-seri. Sudah lama hal ini diimpikannya. Duduk dibelakang meja pimpinan atau bahkan pemilik perusahaan besar. Sudah dibayangkannya ketika ia bisa memerintah sana, memerintah sini, lalu setiap karyawan yang datang selalu terbungkuk-bungkuk di hadapannya dengan penuh rasa hormat,

Tangannya meraih sebuah papan kecil berukir, bertuliskan nama Ir. Raharjo Purnomo. Senyum licik mengembang, lalu ia merebahkan tulisan itu dengan tulisannya dibawah.

“Bukankah kamu sudah tak ada lagi di dunia ini, Pak? Maaf ya, aku gantikan kamu, dan jangan khawatir, aku akan melakukan tugas yang tak akan membuat kamu kecewa. Kamu bahkan akan bangga karena aku bisa menjalankan usaha ini dengan baik, dan jangan takut juga, aku tak akan melupakan jasa-jasa kamu, yang telah menaikkan derajat aku dan anak-anakku, yang berangkat dari kalangan rendahan, menjadi orang terkemuka yang disegani.

Rusmi menyandarkan kepalanya dengan santai, lalu memutar-mutar kursi yang didudukinya sambil menampakkan senyuman lebar.

“Enaknya jadi orang yang berkuasa. Nanti aku akan mengatur semuanya. Karyawan yang tidak sependapat denganku, yang menentangku, harus aku singkirkan. Baskoro akan menjadi asisten pribadiku yang berkantor satu ruang denganku. Dia laki-laki menarik yang kuat, berotot, dan bisa bekerja keras. Maksudnya bekerja untuk memuaskan aku,” katanya, lalu terawa lirih.

Rusmi sedang memutar kembali kursi yang didudukinya, ketika pak Rangga memasuki ruangan. Kening laki-laki kepercayaan Raharjo itu berkerut, melihat sikap Rusmi yang seakan sudah menjadi pimpinan.

Selama pak Raharjo belum kembali, tak seorangpun berani duduk di kursi itu. Mereka semua menghormati pemilik perusahaan yang berwibawa, dan sangat baik kepada semua karyawannya.

“Selamat siang, bu Raharjo,” katanya, kemudian duduk di depan Rusmi, walau dengan perasaan yang kurang senang.

Ia meraih papan nama berukir yang bertuliskan nama atasannya, lalu di pasangnya kembali dengan penuh rasa hormat.

“Pak Rangga, apakah masih ada gunanya, tulisan itu dipasang di meja ini?”

“Maaf Bu, bukankah meja ini memang meja kerja pak Raharjo?”

“Tapi bukankah pak Raharjo sudah tidak ada lagi di sini, bahkan di dunia ini. Ya kan?”

Pak Rangga merasa dadanya sakit. Bagaimanapun Raharjo masih dianggapnya sebagai pemilik perusahaan itu.

“Mengapa ibu mengatakan hal itu? Kami masih berharap pak Raharjo akan kembali memimpin perusahaan ini,” jawab pak Rangga dengan wajah tak senang.

“Apakah dua bulan lebih masih belum cukup untuk melakukan penantian?”

“Bertahun-tahun sekalipun kami masih akan tetap menunggu.”

“Jangan bermimpi Pak Rangga. Kita harus bisa menghadapi kenyataan. Dengan tidak ditemukannya pak Raharjo selama dua bulan lebih, tidak bisa kita terus menunggu. Bukankah harus ada yang menggantikannya duduk di kursi ini sebagai pimpinan sekaligus pemilik perusahaan ini?”

Pak Rangga menatap Rusmi dengan tatapan tajam. Alangkah tidak pantasnya seorang istri yang kehilangan suami, lalu baru beberapa bulan menghilang menganggapnya sudah tidak ada, dan berpenampilan sangat menyolok, seakan tak ada lagi duka yang tersisa.

“Pak Raharjo memberikan kepada saya kekuasaan penuh untuk mengelola perusahaan ini, dan kami akan tetap berharap, suatu hari nanti pak Raharjo akan kembali. Saat ini suasana duka belum menghilang dari hati kami semua.”

“Omong kosong apa itu? Ini sebuah perusahaan, harus berjalan dan tidak akan terpengaruh oleh suasana hati.”

“Bukankah perusahaan ini masih berjalan dengan baik dan tak ada kendala yang menghalanginya?”

Rusmi mengerutkan dahinya.

“O, sekarang aku tahu. Rupanya pak Rangga ingin menguasai perusahaan ini, dan lama-lama nanti perusahaan ini akan menjadi milik pak Rangga,” ejek Rusmi dengan senyuman sinis.

“Biasanya hati yang buruk akan mencerminkan sikap seperti apa kata hatinya. Tuduhan bu Raharjo tidak beralasan, karena semua perjalanan dalam mengurus perusahaan ini ada laporannya yang diketahui oleh semua staf. Tak ada yang menyimpang. Ada laporan setiap jengkal perjalanan, yang kelak kalau pak Raharjo kembali akan menjadi petunjuk bahwa kami semua bekerja menurut rel yang ada.”

“Bagaimanapun, harus ada pengganti pak Raharjo yang akan duduk di sini, menggantikan tugas beliau sebagai pemilik. Apa yang memberatkan, menurut Anda?”

“Maksud bu Raharjo?”

“Panggil aku bu Rusmi.”

Pak Rangga terhenyak. Rusmi benar-benar ingin menghilangkan nama Raharjo, bukan hanya di perusahaan ini, tapi juga yang menempel pada namanya.

“Rusmiati adalah namaku, bukan?”

“Baiklah, ibu Rusmiati. Saya tadi bertanya apa maksud ibu dengan perkataan ibu yang terakhir.”

“Tentang pengganti pak Raharjo di kursi ini, bukan? Apa Anda begitu bodohnya sehingga tidak tahu apa yang aku maksudkan?”

“Maaf Bu, yang bodoh adalah orang yang tidak bisa menempatkan dirinya, di mana dia harus duduk, dan di mana dia harus berdiri.”

Rusmi menatap tak senang, tapi Rangga tak peduli. Sikap Rusmi menghilangkan rasa hormatnya.

“Baiklah, begini saja. Terus terang aku harus mengatakan, bahwa aku, sebagai istri almarhum pak Raharjo_”

“Jangan sebut beliau almarhum,” potong pak Rangga, tandas.

“Oho, baiklah, aku sebagai istri Raharjo yang belum kembali, berhak menggantikannya duduk di sini, mengawasi perjalanan usaha ini, dan menentukan mana hal terbaik yang harus dilakukan.”

Pak Rangga tersnyum tipis.

“Sebuah perusahaan bukanlah benda jatuh yang berhak dimiliki seseorang ketika dia menemukannya tak bertuan.”

“Apa maksud Anda?” mata Rusmi melotot menahan marah.

“Ada aturan yang harus digenggam oleh setiap pemegang aturan itu sendiri.”

“Apa maksud anda?” Rusmi berteriak.

“Perusahaan ini tidak bisa dengan seenaknya dipindah tangankan kepada orang lain. Artinya tidak sembarang orang bisa duduk di kursi pak Raharjo seperti yang Ibu lakukan.”

Rusmi menggebrak meja dengan keras.

“Apakah Anda lupa bahwa aku adalah istrinya? Sampai dia pergi, aku adalah tetap istrinya. Anda lupa?” Rusmi masih berteriak.

“Benar. Tapi walaupun Ibu adalah istrinya, tidak serta merta kemudian Ibu berhak menguasai perusahaan ini.”

“Rangga!! Katakan kalau kamu yang ingin berkuasa di sini. Katakan kalau kamu ingin menguasai perusahaan ini!!”

Pak Rangga mencoba tersenyum sabar.

“Sebentar bu, saya akan mengambil sesuatu yang nanti bisa ibu baca,” kata pak Rangga yang kemudian berdiri, lalu keluar dari ruangan. Meninggalkan Rusmi yang masih duduk dengan wajah merah padam.

“Apa yang akan kamu lakukan, Rangga! Aku adalah istrinya. Istri sah. Mengapa kamu mengatakan bahwa aku tak berhak?” gumamnya marah.

Rusmi ingin memanggil Baskoro untuk diajaknya mendengarkan debat yangmembuatnya kesal. Bagaimanapun ia harus bisa menguasai perusahaan ini. Dan hal pertama yang akan dilakukannya, adalah memecat Rangga dengan tidak hormat.

Ia belum jadi menelpon Baskoro, karena pak Rangga sudah muncul kembali dengan membawa sebuah map berisi berkas. Ia meletakkannya di meja, lalu duduk seperti semula.

“Apa ini?”

“Ini adalah salinan sebuah surat, yang bisa ibu baca.”

“Untuk apa aku membaca semua ini? Satu hal yang harus Anda ingat ialah, bahwa aku adalah istri sah pemilik perusahaan ini.”

“Tapi Ibu harus membacanya, supaya ibu tahu, di mana seharusnya ibu duduk,” kata pak Rangga tandas.

Rusmi menarik map itu dengan kasar.

Pak Rangga hanya menunjukkan salinan surat-surat itu, karena kalau ia membwa aslinya, maka khawatir Rusmi akan merobek-robeknya karena marah.

Rusmi membacanya juga, karena dia melihat tanda tangan suaminya di sana.

“Apakah ini wasiat tentang warisan yang ditinggalkan suamiku untuk aku?” kata batin Rusmi yang tetap ingin menjadi penguasa di kantor itu.

Tapi semakin membaca, wajah Rusmi menjadi pucat. Ia menarik surat itu dan merobek-robeknya, persis seperti dugaan pak Rangga.

“Itu surat penting yang Ibu harus tahu, mengapa ibu tidak punya etika dengan merobek-robek surat itu?” tegur pak Rangga marah.

“Ini surat palsu buatan kamu! Kamu memang ingin menguasai perusahaan ini, bukan? Aku akan melaporkannya pada polisi,” teriak Rusmi.

“Silakan ibu melapor.”

“Kamu membuat surat palsu!”

“Surat ini dibuat oleh notaris, ditanda tangani oleh pak Raharjo. Ibu harus tahu bahwa yang berhak menjadi pemilik usaha ini adalah yang bernama Wijanarko. Ibu mengenal nama itu, bukan?”

“Aku akan memecat kamu!!” teriaknya tak terkendali.

“Atas hak apa, ibu bisa memecat saya? Sekarang silakan keluar. Ibu tak berhak berada disini.”

“Kamu setan alas keparat!!”

“Selama pak Raharjo pergi, tak seorangpun berani duduk di kursi itu. Ibu telah lancang melakukannya. Sekarang keluarlah, saya yang mengusir ibu. Mohon maaf kalau saya kurang sopan, soalnya ibu juga tidak bisa menghargai orang lain.”

“Aku pecat kamu.”

“Yang akan dipecat setelah ini adalah Baskoro.”

“Apa?”

“Semuanya sudah dicatat, dan akan dilaksanakan sesegera mungkin. Mohon segera keluar, sebelum satpam memaksanya.”

“Kurangajar kamu!! Setan alas kamu!!” Rusmi berteriak-teriak marah.

“Tunjangan untuk ibu akan dihentikan, karena ketahuan ibu berselingkuh.”

“Jahanam!! Kamu orang kepercayaan yang busuk!!”

Pak Rangga memanggil satpam, yang segera menyeret Rusmi keluar dari ruangan, dan membawanya keluar dari area kantor.

Diruangannya, Baskoro menatap nanar punggung Rusmi yang meronta-ronta karena diusir paksa.

*

Baskoro juga melihat pak Rangga keluar dari ruangan Raharjo dengan wajah gelap. Ia berdebar, apa yang dilakukan Rusmi sehingga satpam menariknya pergi dengan paksa, Pasti dia bicara seenaknya seperti kalau sedang di rumahnya sendiri.

Baskoro ingin menanyakannya kepada pak Rangga, tapi melihat wajah pak Rangga yang gelap, dia mengurungkannya. Sejak kemarin dipanggil ke ruangannya, sikap pak Rangga tampak berubah.

Baskoro merasa bahwa sudah banyak kelakuan buruknya bersama Rusmi yang tercium oleh pak Rangga. Itu sebabnya dia mengatakan semuanya kepada Rusmi, berharap Rusmi bisa melakukan sesuatu untuk melawan pak Rangga, tapi apa yang baru saja dilihatnya, membuat hatinya ciut.

Ia terus bekerja, tapi tidak sepenuhnya konsentrasi kepada pekerjaannya. Ingin ia menelpon Rusmi, tapi takut ketahuan pak Rangga. Karenanya dia hanya mengirim pesan singkat kepadanya.

{“Ada apa?”}

Tapi untuk waktu yang lama, pesan itu tidak terjawab. Dibacapun tidak. Baskoro menjadi gelisah. Ketika waktu istirahat siang, dia hanya makan di kantin, sendirian. Ia tak melihat pak Rangga. Rupanya pak Rangga makan di luar dengan stafnya.

Baskoro merasa lebih tidak enak lagi. Tampaknya hal buruk akan terjadi terhadap dirinya. Sambil makan, dia melihat ke arah ponselnya, tapi dengan kecewa ia melihat bahwa pesan untuk Rusmi belum dibaca juga.

Baskoro tak menghabiskan makanan yang dipesannya. Ia ingin pulang ke rumah Rusmi, tapi nanti akan membuat dia terlambat kembali, dan keadaan akan menjadi semakin parah. Akhirnya Baskoro memilih untuk bersabar, sampai jam kerja sudah selesai.

Tapi sebelum itu seorang sekretaris pak Rangga masuk ke ruangannya, dengan memberikan sebuah surat. Baskoro tertegun. Dengan gemetar dia meraih amplop itu dan membukanya.

Ia lebih gemetar lagi ketika membaca isinya. Baskoro telah dipecat dengan tidak hormat karena pelanggaran susila yang dilakukannya. Setan alas mana yang melaporkan semuanya?

*

Rusmi sedang berbaring di ranjangnya setelah lelah mengamuk dengan membanting semua barang yang ada di kamarnya. Ia kesal dan kecewa karena ternyata ia tak berhasil menguasai perusahaan suaminya, yang sudah dihibahkannya kepada Wijanarko.

“Anak keparat itu sudah minggat, untuk apa diberi kepercayaan yang begitu besar? Ternyata Raharjo telah mengatur semuanya, dan aku terlambat menyingkirkannya. Apa dia sudah merasa kalau aku akan membuatnya mampus?” omelnya berkali-kali sambil membuang semuanya yang ada didekatnya. Kegiatan mengamuk itu berhenti ketika tiba-tiba Baskoro masuk begitu saja ke kamarnya.

Baskoro terbelalak melihat barang-barang berserakan di lantai. Hatinya yang kusut karena dipecat, bertambah kusut melihat semua kekacauan yang ada di depannya.

“Ada apa Bu?” tanyanya sambil mendekat ke arah ranjang.

Rusmi menatap Baskoro tak berkedip. Tak ada kemesraan yang terjadi pada pertemuan itu, karena dua-duanya sedang dilanda beliung yang memorakpandakan semua mimpi dan harapan.

Baskoro melihat bekas air mata di wajah Rusmi.

“Apa yang terjadi?” Baskoro duduk di tepi ranjang. Ia belum sempat mengatakan tentang pemecatan atas dirinya. Bisakah Rusmi menolongnya setelah pagi tadi diseret keluar oleh satpam perusahaan? Apakah yang sebenarnya terjadi?

“Ibu tadi ke kantor, bukan?”

“Kamu sudah tahu, kenapa bertanya?” jawab Rusmi kasar.

“Ibu belum mengatakan semuanya.”

“Tak ada harapan untuk kita. Raharjo menghibahkan perusahaan itu untuk Wijan. Aku bisa apa?” teriaknya sambil menangis.

Baskoro merasa dunianya sudah berhenti berputar. Apa lagi yang bisa diharapkannya dari perempuan yang tak berharta ini?

Tiba-tiba ponsel Rusmi berdering. Baskoro berdebar ketika melirik ke arah ponsel Rusmi yang berdering, dan melihat siapa pengirimnya.

Rusmi meraihnya dengan kasar.

“Kamu? Kemana saja kamu, sehingga sampai sekarang tidak pulang?” hardiknya sebelum Hasti yang ada di seberang mengatakan sesuatu.

“Ibu …,” sekarang suara Hasti terdengar menangis.

“Mengapa menangis? Jangan lebih memberatkan aku dengan masalahmu juga!” bentaknya.

“Ibu, aku hamil.”

“Apaaaa?” Rusmi menjerit.

Bunga Mawar Merah
(Foto Iin Weanind, koleksi Tumy Karangrayung 09-01-2019)

Besok lagi ya. bersambung—

at December 29, 2023
by Tien Kumalasari

Tinggalkan Balasan

Eksplorasi konten lain dari Kissparry

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca

Eksplorasi konten lain dari Kissparry

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca