Pagelaran Wayang Kulit, Lakon Bimo Suci, Perjalanan Batin Orang Jawa

Lakon Bimo Suci amat digemari di kalangan kasepuhan karena mengandung permenungan mendalam tentang asal dan tujuan hidup manusia (sangkan paraning dumadi) dan menjawab kerinduan hidup dalam perjalanan rohani orang jawa untuk bersatu dengan Tuhan. Kissparry sudah setidaknya sudah dua kali mengikuti lakon ini.

Pagelaran wayang kulit dengan lakon BIMO SUCI berlangsung di lapangan Posyandu RW.IX Tegalsari Candisari Kota Semarang (malam ini 08/09 – 09/09), yang saat ini masih berlangsung, diperankan oleh Dalang Ki Catur Raharjo dari Semarang.
Lapangan Posyandu RW.IX Tegalsari juga dikenal sebagai Lapangan Parkir RW.09 Tegalsari.

BimoSuci_adegan_2_2018-09-09 at 000701
Pagelaran wayang kulit lakok Bimo Suci adegan ke 2

Alkisah, Bima atas perintah gurunya (Durno) mencari “Banyu Perwitasari” atau “sangkan paraning dumadi”. Dalam perjalanan mencari air kehidupan, Bima menuju hutan Tikbrasara (berarti landeping cipta) yang terletak di gunung ReksaMuka (yang artinya Mata). Di hutan ini Bima dihadang oleh dua raksasa Rukmuka (berarti kamukten) dan Rukmokala (yang berarti Kamulyan). Bima mampu mengalahkan ke dua raksasa itu.

Untuk memperoleh “inti sari pengetahuan sejati” (Perwitasari), Bima harus melalui samadi (yang dilambang dengan hutan Tibaksara dan gunung Reksomuka =Mata/pemahaman yang mendalam). Bima tidak bisa mencapai titik penyatuan mata batin dalam samadi kalau tidak ‘membunuh’ pikiran tentang kamukten dan kamulyan.

Kisah selanjutnya, Bima tahu bahwa ‘banyu/air perwitasari’ tidak terletak di hutan Tikbrasara yang ada di gunung Reksamuka, tetapi di dasar samudera. Maka perjalanan dilanjutkan ke dasar samudra (samudra pangaksama=pengampunan). Dalam samudra bertarung dengan naga (symbol kejahatan/keburukan) dan Bima berhasil membunuhnya.

Untuk memperoleh air perwitasari tidak cukup dengan membuang kamukten dan kamulyan tetapi harus juga berani mengampuni kepada orang-orang yang bersalah dan membunuh kejahatan yang ada dalam dirinya (masuk samudra pengampunan dan membunuh naga kejahatan).

Setelah melampaui berbagai rintangan, akhirnya Bima ketemu Dewaruci ditengah samudera, yang persis dengan dirinya namun dalam ukuran kecil. Bima disarankan Dewaruci masuk ke badan Dewaruci melalui telinga kanan dan di dalam diri Dewaruci, Bima melihat seluruh isi semesta alam, dalam panca warna yang melambangkan aneka nafsu yang merupakan penghalang cipta, rasa dan karsa untuk bertemu dengan Gusti Allah.

Nafsu yang muncul dari warna hitam disebut aluamah, yang dari warna merah disebut amarah, dan yang muncul dari warna kuning disebut sufiah. Nafsu aluamah amarah, dan sufiah merupakan selubung atau penghalang untuk bertemu dengan GUSTI ALLAH. Hanya yang putih yang nyata.

Hati tenang tidak macam-macam, hanya satu yaitu menuju keutamaan dan keselamatan. Namun, yang putih ini hanya sendiri, tiada berteman sehingga selalu kalah. Jika bisa menguasai yang tiga hal, yaitu yang merah, hitam, dan kuning, manunggalnya hamba dengan Tuhan terjadi dengan sendirinya; sempurna hidupnya.

Brotoseno_Bimo_ketemu_Dewaruci_2018-09-09 at 024649
Brotoseno (Bimo) ketemu Dewaruci, dan disarankan agar masuk ke dalam Dewaruci

Setelah itu warna-warna yang dilihat Bima itupun hilang dan berganti dengan 8 warna. Siji wolu kang warni ‘sinar tunggal berwarna delapan’. Disebutkan bahwa sinar tunggal berwarna delapan adalah “Sesungguhnya Warna”, itulah Yang Tunggal. Seluruh warna juga berada pada Bima. Demikian pula seluruh isi bumi tergambar pada badan Bima.

Bima dengan samadi secara benar : menutup mata, mengatur nafas, konsentrasi dengan pikiran dan perasaan yang bersih (Cipta Hening). Dalam samadi ini, Bima menerima Terang atau wahyu sejati dalam samadi: “manunggaling kawula gusti”, kesatuan manusia dengan Tuhan.

Dalam jati diri terdalam, manusia bersatu dengan Tuhan. Kemanunggalan ini yang menjadikan manusia mampu melihat hidup yang sejati. Dalam istilah kejawen: Mati sakjroning urip, urip sakjroning mati. Inilah perjalanan rohani untuk masuk dalam “samudera menanging kalbu”.

Dan, akhirnya, pencarian Bima Suci pun berakhir dengan kebahagiaan.

Pesan-pesan pada lakon ini yang disampaikan oleh ki dalang antara lain agar shalat lima waktu (subuh, dhuhur, asar, maghrib, isya) sebagai hamba Gusti Allah dilaksanakan dengan tertib, dan awal waktu.

Gundhul-Gundhul Pacul (Lagu Jawa)

Lelagon yang disampaikan melalui lelagon gundhul-gundhul pacul

Gundhul gundhul pacul cul
gembelengan
Nyunggi nyunggi wakul kul
gembèlengan
Wakul ngglimpang segané dadi sak latar
Wakul ngglimpang segané dadi sak latar

artinya

Gundul gundul cangkul, tidak hati hati 
Membawa bakul (di atas kepala) dengan tidak hati hati
Bakul terguling, nasinya tumpah sehalaman
Bakul terguling, nasinya tumpah sehalaman

Filosofi dari lagu diatas adalah seperti dikutip dari wikipedia.

Gundul gundul pacul, gembelengan

Gundul adalah kepala plontos tanpa rambut. Kepala adalah lambang kehormatan dan kemuliaan seseorang, sementara rambut adalah mahkota lambang keindahan kepala. Dengan demikian, gundul artinya adalah kehormatan yang tanpa mahkota.

Pacul adalah cangkul, alat pertanian yang terbuat dari lempeng besi segi empat, merupakan lambang rakyat kecil yang kebanyakan adalah petani. 

Orang Jawa mengatakan bahwa pacul adalah papat kang ucul (“empat yang lepas”), dengan pengertian kemuliaan seseorang sangat tergantung kepada empat hal, yaitu cara orang tersebut menggunakan mata, hidung, telinga, dan mulutnya. Jika empat hal itu lepas, kehormatan orang tersebut juga akan lepas.

  1. Mata digunakan untuk melihat kesulitan rakyat.
  2. Telinga digunakan untuk mendengar nasihat.
  3. Hidung digunakan untuk mencium wewangian kebaikan.
  4. Mulut digunakan untuk berkata-kata yang adil.
Gembelengan artinya “besar kepala, sombong, dan bermain-main” dalam menggunakan kehormatannya.

Dengan demikian, makna kalimat ini adalah bahwa seorang pemimpin sesungguhnya bukan orang yang diberi mahkota, tetapi pembawa pacul untuk mencangkul (mengupayakan kesejahteraan bagi rakyatnya). Namun, orang yang sudah kehilangan empat indera tersebut akan berubah sikapnya menjadi congkak (gembelengan).

Nyungi nyunggi wakul kul, gembelengan

Nyunggi wakul’ (membawa bakul di atas kepala) dilambangkan sebagai menjunjung amanah rakyat. Namun, saat membawa bakul, sikapnya sombong hati (gembelengan)

Wakul ngglimpang segane dadi sak latar

Wakul ngglimpang (bakul terguling) melambangkan amanah dari rakyat terjatuh, akibat sikap sombong saat membawa amanah tersebut.
Segane dadi sak latar (nasinya jadi sehalaman) melambangkan hasil yang diperoleh menjadi berantakan dan sia-sia, tidak bisa dimakan lagi (tidak bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat).

Itulah makna dari lelagon gundhul-gundhul pacul tersebut.

Disamping itu disajikan pula lelagon atau lagu yang lain adalah PERAHU LAYAR, dengan syair sebagai berikut.

Yo konco ning nggisik gembiro
Alerap lerap banyune segoro
Angliyak numpak prau layar
Ing dino minggu keh pariwisoto

Galo praune wis nengah
Byak byuk byak banyu binelah
Ora jemu jemu karo mesem ngguyu
Ngilangake roso lungkrah lesu

Adik njawil mas
Jebul wis sore
Witing kalopo katon ngawe awe
Prayogane becik balik wae
Dene sesuk esuk
Tumandang nyambut gawe

lagu Perahu Layar dalam bahasa Indonesia seperti dibawah ini

Mari teman pergi ke lautan untuk bergembira,
di laut bersinar airnya sangat indah,
kita pergi naik kapal perahu berlayar,
di hari minggu kita berwisata ke sana

Tidak tahu dan pelan-pelan ternyata perahu kita sudah sampai di tengah,
bruuk byak airnya pun mengembrak/terbelah,
tidak jenuh kita untuk mengarunginya tetap tersenyum menantangnya,
untuk menghilangkan rasa layu di hati

Kamu mengingatkanku yang ternyata sudah sore hari,
pohon kelapa itu tampak mengambai-lamai,
marilah kita pulang,
sebab kan besok kita harus bekerja.

Menggambarkan suasana liburan ke tempat sesuatu yang indah,ini menggambarkan keindahan pesisir di indonesia yang sangat indah dan patut untuk kita kunjugi lagi ini juga mengisayaratkan kepada kita supaya tetap untuk jangan lupa diri atau keenakan terhadap suasanya.

Kita harus pintar mengatur waktu kemana kita harus melangkah. Di bait akhir mengatakan bahwa kita harus pulang kan besok kita harus bekerja. Ini tanda pesan yang sangat bagus di dalam arti penyampaian lagu tersebut supaya kita tetap disiplin terhadap suatu waktu.

Pagelaran dimulai pukul 19.30 WIB yang diawali dengan beberapa lagu organ tunggal campursari untuk mengundang penontong, dan sekitar 19.50 WIB langsung dilangsungkan acara resmi yang dimulai dengan penyerahan wayang “Bimo” dari tokoh masyarakat kepada Dalang Ki Catur Raharjo, dan beberapa sambutan.

Setelah sambutan yang pada intinya untuk melestarikan kebudayaan Jawa, karena acara tersebut juga didukung penuh oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah, kemudian pagelaran berlangsung hingga pukul 03.00 WIB dini hari.

Semoga bermanfaat

Kissparry Wea
Editor Kissparry

Tinggalkan Balasan

Eksplorasi konten lain dari Kissparry

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca

Eksplorasi konten lain dari Kissparry

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca